Two

To Build a Home with You
Please Subscribe to read the full chapter

Damn it!

Dengan kesal aku membanting pintu mobil kemudian setengah berlari melewati parkiran. Dari sekian banyak hari, bisa bisanya aku terlambat hari ini. Padahal ini hari pertamaku harus membimbing anak baru titipan Direktur Utama perusahaan tempatku bekerja. Kondisiku memang belum benar benar pulih tapi aku sudah menunggu hari ini sejak Direktur mendatangiku sebulan yang lalu.

Sial, sial, sial!!!

“Pagi, Manajer Bae. Anda telat hari ini.” sapa Doyoung dengan cengiran khasnya.

“Pagi.” balasku ramah sebelum melotot padanya. “Diam dan kembali bekerja.” tambahku setengah menggerutu sementara Doyoung hanya cengengesan.

Ugh!

Aku benci anak ini karena wajah murah senyumnya benar benar membuatku tak bisa marah. Bahkan untuk sekedar mengerjainya pun aku selalu gagal.

Sesampaimya di ruangan, aku langsung mengambil botol vitamin dari tas dan menenggaknya bahkan tanpa air. Saking terlambatnya hari ini, aku bahkan lupa memakan obat dan vitaminku. Untung saja aku selalu mengembalikannya ke tas.

Jam sudah menunjukkan pukul 8.25 pagi. Jadi aku hanya punya waktu 5 menit untuk membuka kembali file anak baru ini. Tak banyak informasi mengenai wanita ini, bahkan foto dan marganya pun tak tertera.

Apa Direktur ingin mengerjaiku? Karena serius, selama aku bekerja di sini, sudah banyak karyawan yang kuseleksi dan baru kali ini aku mendapatkan kandidat yang seistimewa ini.  Kenapa istimewa? Karena hanya ada tanggal lahir, kampus, dan nilai nilai akademiknya yang selalu berhasil membuatku terpana setiap kali melihatnya. Dia juga melampirkan beberapa desain komplek perkantoran dalam resumenya dan ya, aku mengerti kenapa nilai akademik manusia ini semuanya di atas rata rata. Dia tak hanya jenius, tapi juga punya bakat alami. Semua desain yang diberikannya sangat unik dan luar biasa menarik.

Setelah kubaca ulang, ternyata bukan hanya desain perkantoran yang diberikannya. Ada real estate dan rumah tinggal. Dari 3 desain rumah yang diselipkannya, ada 1 yang menarik perhatianku. Rumah kayu bergaya eropa klasik. Terlihat sederhana dengan 2 kamar tidur, 2 kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah, dan dapur terbuka yang langsung menghadap halaman belakang. Rumah itu dikelilingi halaman yang luas dan ada taman bermain juga kolam kecil di sudut kanan halaman depannya. Di sepanjang pagar ditanami bunga dan pepohonan yang membuat rumah terlihat sejuk. Aku bisa membayangkan diriku tertidur di ayunan halaman belakang sambil membaca novel.

Suara pesan masuk membuyarkan lamunanku. Aku tak membukanya, hanya memeriksa lewat panel notifikasi dan dadaku langsung berdegup tak karuan.

 

Wendy Son

Kudengar kau sakit. Semoga kau baik baik saja.

 

Sebagian diriku yang masih waras senang menerima pesan itu, setidaknya dia masih ingat padaku, masih peduli. Tapi sisi jahatku ingin berteriak ‘persetan’ tepat di depan wajahnya karena setelah secepat itu mengggantiku dengan wanita lain, dia tidak berhak menyusup kembali dalam hidupku. Karena aku sudah memantapkan diri untuk tak lagi menoleh ke belakang.

Tapi tentu saja itu hanya pikiran liarku yang berbicara. Nyatanya, aku malah menyimpan kembali ponselku dan mengabaikan pesannya.

Mungkin aku akan membalasnya nanti. Yang jelas tidak sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 8.35 pagi dan anak itu masih belum muncul di ruanganku. Luar biasa. Aku bangun, mandi, bersiap, dan pergi ke kantor dengan terburu hanya agar aku tak terlambat menyambut manusia istimewa titipan Direktur ini. Tapi lihatlah, sudah lewat 5 menit dari jadwal dan dia belum datang. Benar benar luar biasa. Kalau tak mengingat kondisi kesehatanku yang masih belum stabil ini, aku pasti sudah menyuruh orang lain untuk menyeretnya ke hadapanku. Tapi karena aku sedang tidak punya tenaga untuk protes, akhirnya aku memutuskan untuk mencarinya. Mungkin dia tersesat dan tak tahu di mana ruanganku. Namun logikanya, kalau tidak tahu harusnya bertanya.

Belum juga tanganku menyentuh gagang, pintu sudah terbuka tanpa ada suara permisi sebelumnya yang membuatku menghela napas. Ada apa dengan hari ini sebenarnya? Dari aku telat bangun, telat sampai kantor, anak baru yang telat, dan sekarang ada yang mencoba masuk tanpa permisi ke ruanganku.

“Please...”

Apapun yang ingin kukatakan langsung terhenti saat melihat 2 sosok yang berdiri di dekat pintu.

Kang Minhyuk.

Bersama seorang wanita yang tak kukenal.

Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini. Rasa malu kembali menghampiri ketika CEO perusahaan ini tersenyum padaku. Bukan, bukan karena aku menyukainya, tapi karena kejadian beberapa tahun lalu saat aku menegurnya setelah meletakkan bekas minumnya sembarangan. Aku mungkin tak akan semalu itu kalau dia balik memarahiku dan mengatakan kalau dia atasanku, tapi yang dilakukannya justru tersenyum ramah sambil membungkuk minta maaf dan membuang sampah miliknya. Aku baru tahu siapa dia setelah Seohyun menepuk pundakku dan membungkuk minta maaf atas namaku. Itu benar benar kejadian yang sangat memalukan.

Benar kata Seohyun, harusnya aku bertanya dan lebih jeli siapa saja orang di sekelilingku.

“CEO Kang.” sapaku membungkuk sopan.

“Hei, tak usah formal begitu.” Kang Minhyuk mengibaskan tangannya dengan santai kemudian masuk bersama wanita yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam.

Mataku tertuju pada sepatunya sebelum memandangnya dan mata kami bertemu. Aku tak yakin kenapa wanita ini ada di sini. Apa dia anak baru itu? Tapi wajahnya terlihat begitu muda, seperti anak SMA. Belum lagi pakaiannya yang tidak terlihat seperti seseorang yang serius ingin bekerja di sini. Lengan baju yang digulung hingga bawah siku, rambut yang digerai berantakan, celana berbahan jeans walau berwarna hitam, dan ultraboost 20 berwarna hitam putih. Really?

“Manajer Bae, kenalkan, ini Seulgi.”

Seulgi?

Oh. Anak baru itu.

OH!

“Manajer Bae? Hello? Apa kau masih di sini?”

Aku menoleh pada Kang Minhyuk dan kembali dibuat malu karena melamun di depannya. Ya Tuhan, tak henti hentinya aku mengatakan ini, serius ada apa dengan hari ini? “Maaf, CEO Kang.” aku membungkuk malu dan dibuat semakin malu karena Kang Minhyuk malah tertawa walau bukan menertawakan.

“Tolong ajari anak ini. Kalau dia macam macam, marahi saja. Kalau mau, kau juga boleh menggeplak kepalanya.”

Kupikir itu hanya basa basi, candaan, tapi saat melihat bagaimana wanita itu menatap sebal pada CEO Kang, aku langsung berasumsi kalau mereka punya hubungan istimewa. Lagipula, entah kenapa aku merasa wanita ini mirip seseorang. Wajahnya terasa familiar. “Baik, Pak.”

“Ya sudah, kutitipkan dia padamu.”

Aku mengangguk pelan dan CEO Kang berlalu dari hadapanku. Kupandangi kembali wanita itu.

Seulgi.

Yeah, namanya Seulgi. Entah Seulgi apa. Jujur aku ingin bertanya tapi Direktur beberapa waktu lalu pernah memperingatkan agar aku tak bertanya siapa dia. Jadi aku akan menghormati perintah itu.

“Namaku Bae Joohyun. Selama 3 bulan ke depan kau akan training di bawah pengawasanku. Jadi aku ingin kau tahu untuk peraturan pertama, kuharap ini yang pertama dan terakhir kalinya kau datang terlambat selama masa training. Apa itu cukup dimengerti?”

“Karena aku menyukaimu jadi baiklah.”

What?

“Sorry?” tanyaku bingung.

“Kubilang karena aku menyukaimu jadi aku akan datang tepat waktu.” ulang Seulgi tersenyum.

Aku memandangnya.

Benar benar memandangnya.

Dia orang yang sama dengan orang yang datang bersama CEO Kang tadi, kan? Karena sekarang wajahnya sangat berbeda. Kalau tadi dia seperti anak SMA biasa yang tengah dipaksa ke sekolah, sekarang wajahnya seperti berandal SMA yang mendapatkan mainan baru. Sangat ceria. Begitu sumringah. Namun senyumnya sedikit mengerikan untukku. Mungkin ini yang dimaksud Direktur Kang kalau anak ini kurang ajar dan sesukanya.

Tapi baiklah, karena setidaknya aku sudah mendapatkan izin dari CEO Kang untuk menggeplak kepalanya, jadi aku tak akan segan melakukan itu suatu hari nanti kalau dia semakin tidak sopan. Yang kali ini akan kumaklumi.

Aku berjalan mendekatinya dan Seulgi hanya tersenyum. Jujur aku tak suka dengan ketidaksopanannya, tapi aku tetap menjulurkan tangan padanya. “Bae Joohyun.”

“Seulgi.” dia membalas uluran tanganku. Seringai tipis di bibirnya membuatku sedikit gugup. “Orang yang akan menikahimu suatu hari nanti.”

Sontak aku menarik tangan darinya namun Seulgi hanya tertawa. Kedua tanganku mengepal, siap menghajar tawa menyebalkan dari wajahnya namun kutahan.

Dasar sinting.

Aku berbalik untuk mengambil ponsel dan berkas Seulgi di meja sebelum kembali ke hadapan Seulgi. “Kita mulai trainingnya.” ucapku ketus namun Seulgi hanya tertawa renyah.

Seulgi sialan.

 

 

 

“Kenapa wajahmu?” tanya Seohyun yang tengah mengoleskan lotion di kaki dan tangannya.

Aku memandang pantulan wajahnya di cermin lantas mengerang, melemparkan berkas Seulgi ke lantai dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Kudengar Seohyun tertawa dan itu membuatku membuka selimut, memberinya tatapan sebal yang membuat tawanya menjadi. “Aku benci wanita itu.”

“Siapa?” Seohyun melirik cermin di depannya.

“Seulgi. Karena dia membuatku seperti orang bodoh, tidak kompeten dengan perkerjaanku!” aku sedikit menyesal kenapa tidak menghajarnya sekali saja hari ini dan melenyapkan senyum sialan itu dari bibirnya.

Seohyun memutar tubuhnya ke arahku. “Kau sudah bekerja di sana selama 7 tahun, Joohyun. Semua orang tahu kau kompeten dan berdedikasi tinggi. Bagaimana ceritanya kau kalah dengan anak baru.”

Mataku melotot. “Karena dia menyebalkan. Mulutnya benar benar menyebalkan. Dan aku benci karena dia selalu saja tersenyum setiap aku memberikan teguran atau menjelaskan sesuatu padanya.” jelasku dengan dahi berkerut. “Dia sangat aneh.”

Seohyun diam sesaat sebelum menyeringai lebar. “Jangan terlalu membencinya. Karena bagaimanapun juga dia calon istrimu.”

Sialan.

Dengan segenap tenaga kulemparkan bantal ke arah Seohyun yang berhasil ditepisnya sambil tertawa. “Aku menyesal sudah menceritakan itu padamu.”

“Oh please, aku tidak menyesal mendengarnya.” Seohyun kembali tertawa seraya bangkit dan berjalan ke ranjang, mengangkat selimut dan masuk ke dalamnya. “Titip salam untuk calon istrimu di kemudian hari itu.”

Aku tahu dia hanya menggodaku tapi wajahku refleks cemberut.

“Oke, aku harus tidur tepat waktu karena aku tak ingin wajahku lekas keriput.” Seohyun berbaring sambil memasang penutup matanya. “Dan karena aku tak ingin terlambat seperti seseorang.”

Aku mendengus, memandang Seohyun sebentar sebelum memutar tubuh memunggunginya. Kuraih ponsel di meja nakas, menarik kembali panel notifikasi dan pesan dari Wendy masih ada di sana, tak terbalas. Aku tak yakin bisa membalasnya tanpa merasa marah. Selain itu kalau aku membalasnya, aku takut hatiku kembali menginginkannya lebih dari ini.

Dia sudah punya orang lain, Joohyun. Berhenti mengharapkannya!

Hanya saja meski sudah berkali kali hal itu kukatakan, hatiku masih terus memanggilnya dan itu sangat menyakitkan.

 

***

 

“Pagi, Joohyun.”

Oh Tuhan, kenapa sepagi ini aku sudah harus berhadapan dengannya. “Pagi.” balasku menatap sebal. Aku sendiri bingung kenapa sekesal ini padanya. “Dan kembali kuingatkan, aku atasanmu di sini jadi kuharap kau bisa bersikap sopan.” ucapku sedikit menggertakkan gigi.

“Oh? Jadi memanggilmu Joohyun tidak sopan? Bukannya itu namamu?”

Tidak, Joohyun, ini masih pagi. Jangan terpancing emosi karena makhluk ini. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan.

“Tidak sopan itu kalau aku memanggilmu sayang.”

Seulgi...

Sekarang aku benar benar ingin menghajar wajahnya hingga semua giginya rontok. “Bisa kau bersikap lebih sopan saat kita di kantor?”

“Jadi aku boleh bersikap tidak sopan di luar kantor?” Seulgi balik bertanya dengan ekspresi takjub dan mata berbinar.

Rasanya aku kehabisan kata kata menghadapi manusia ini. “Boleh jelaskan padaku seperti apa Seulgi yang sopan dan yang tidak?” tanyaku menyilang tangan di dada, berusaha mengintimidasi walau aku tahu itu percuma di hadapan anak bengal ini.

Seulgi tekekeh dan mulai menghitung dengan jarinya. “Aku mendengarkan semua penjelasanmu, melakukan semua perintahmu, mencatat dan mengingat apa yang harus kutahu, memanggilmu Manajer Bae. Itu, kan, tugasku di sini?”

Oh, dia menantangku? “Yup.” aku membenarkan karena memang itu yang harus dilakukannya.

“Dan saat pertama melihatmu, aku yakin kau bukan seseorang yang gila hormat yang ingin selalu dipanggil dengan panggilan hormat di manapun kau berada.”

Dia membuatku benar benar kehabisan kata kata.

“Dan namamu Bae Joohyun. Atau kau berbohong padaku siapa namamu?” matanya membelalak dengan ekspresi seakan aku sudah membohonginya betulan.

“Yup, kau benar. Namaku Bae Joohyun. Dan mereka memanggilku Joohyun. Kau benar dan aku yang salah.” sahutku sinis.

Seulgi tersenyum, namun bukan seringai seperti biasa. Kali ini dia tersenyum, benar benar tersenyum, yang membuat matanya seperti bulan sabit. Seolah matanya ikut tersenyum. Sangat indah.

Huh?

Aku berdehem pelan, mengahalau pikiranku yang sedikit kacau sebelum menjauh darinya. Seulgi menyebalkan, ya, tapi aku juga tak bisa bilang dia tidak sopan. Seperti yang dikatakannya, dia sigap mengerjakan apapun, mau menerima perintah dari siapapun, bahkan saat ada yang memintanya membelikan kopi, Seulgi tak segan melakukannya. Kadang aku merasa dia tidak sopan, tapi kalau harus ditanya apa itu, aku juga bingung bagaimana menjawabnya.

Apa yang sebenarnya membuatku merasa dia tidak sopan? Hati kecilku berkata aku tahu apa jawabannya, hanya saja aku tak ingin mengakuinya. Sejak pertama bertemu Seulgi, dia sudah membuatku sedikit tak nyaman karena dengan gamblangnya berkata kalau dia menyukaiku.

Apa aku senang? No. Tidak sama sekali. Jujur aku justru merasa dia mempermainkanku disaat hatiku sedang kacau, saat topik percintaan sangat sensitive untukku. Dalam situasi yang lebih baik, aku tak menampik hal itu membuatku senang. Karena siapa yang tidak saat ada seseorang yang baru pertama kali bertemu denganmu, sudah sanggup membuat pengakuan segamblang itu. Sebagai wanita, itu sebuah kebanggaan tersendiri. Tapi aku juga tak bisa menyalahkan Seulgi sepenuhnya karena dia tak tahu kalau aku sedang patah hati.

Selain itu, meski menyebalkan, aku juga tak menampik Seulgi menarik.

Sangat menarik.

Dia punya mata yang sangat indah meski kadang cukup tersembunyi di balik poni berantakannya. Caranya berpakaian membuatku berpikir dia orang yang suka bekerja lepas, tanpa beban, sehingga cukup membuatku bingung dia mau bekerja kantoran. Tapi mengingat posisi yang diinginkannya, aku maklum. Desain interior, arsitek, dan beberapa jabatan lain memang selalu berpakaian lebih santai seperti hanya mengenakan kaos dan jeans juga sepatu lari, mirip penampilan Seulgi saat pertama dia training di sini. Dan jangan tanya tentang pengawas lapangan. Aku bahkan tak heran kalau mereka berangkat kerja tanpa mandi.

Anak magang...

Training....

What?

Kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Training artinya dia sudah diterima di perusahaan ini. Tapi aku tak tahu sama sekali. Dan aku tak mendengar ada penerimaan pegawai baru beberapa bulan lalu. Atau aku yang terlalu patah hati sampai aku tak menyadarinya?

Kubuka kembali file berkas Seulgi. Tapi mau sampai berapa kalipun aku membola balik berkas itu, tak ada informasi tambahan mengenai siapa dia.

Siapa kau sebenarnya, Seulgi?

 

***

 

Samar aku mendengar seseorang memanggil namaku namun mataku terlalu berat untuk dibuka. Tak lama kurasakan seseorang memegang lenganku, kemudian menggoyangkan bahuku perlahan, masih sesekali memanggil namaku. Tubuhku rasanya lemas namun kupaksakan untuk membuka mata. Tak langsung berhasil memang, perlu beberapa menit hingga aku mulai tersadar.

Silau lampu membuatku kembali memejamkan mata untuk beberapa detik sebelum membukanya lagi dengan perlahan. Aku cukup terkejut ketika melihat Seulgi di depanku. Wajahnya terlihat cemas.

“Hei...” sapanya seraya beranjak menjauh dan kembali dengan segelas air putih. Dia memberikannya padaku yang langsung kutenggak karena tenggorokanku terasa kering. Aku tersentak saat tangannya meraba dahiku dan berusaha bangun dari sofa tapi kepalaku langsung berdenyut yang membuatku meringis dan tanpa sengaja mencengkeram tangan Seulgi. “Joohyun, hei, jangan memaksakan bangun dulu.”

“Bisa... Bisa ambilkan obat di tasku?”

“Ya, ya, tunggu sebentar dan jangan bangun dulu.” Seulgi bergegas bangkit dan membawakan tasku ke sofa.

Wajahnya yang terlihat bingung dan ragu dan itu membuatku ingin tertawa karena aku mulai terbiasa dengan tampang sialannya. Sekali lagi aku memintanya mengambilkan obat dan Seulgi meminta maaf sebelum merogoh isi tasku.

Oke, dia punya sikap dan sopan.

Hanya sedikit kurang ajar.

Seulgi membantuku bangun, kemudian meletakkan obat dan vitamin di telapak tanganku. Setelahnya dia kembali mengambilkan air minum dan memeganginya untukku. Aku hanya tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih sebelum menenggak 2 pil sekaligus.

Untuk beberapa menit aku menyandarkan kepala di sofa sambil memijat kening dengan kedua mata terpejam. Tubuhku masih lemas namun pusingnya sudah berkurang. Aku mulai menghitung dari 1 hingga 10, menyelaraskan dengan tarikan dan hembusan napasku. Kulakukan sebanyak 3 kali pengulangan hingga aku merasa cukup nyaman untuk membuka mata.

“Sudah merasa lebih baik?”

Aku menoleh. “Ya. Thank you.” jawabku tersenyum tipis. “Maaf, tanganmu.” aku menunjuk bekas kuku di dekat pergelangan tangannya.

Seulgi memandang tangannya sebentar kemudian menggeleng pelan. Dia menatapku cukup lama dan itu membuatku sedikit salah tingkah. “Kau yakin sudah tidak apa? Aku bisa membawamu ke Rumah Sakit.”

“Tidak perlu, aku...”

“Kau pingsan, Joohyun.” potongnya cepat.

Tatapan tajamnya membuatku langsung memalingkan wajah. “Aku hanya sedang istirahat dan...”

“No, kau pingsan.” bantah Seulgi. Nada suaranya tegas, tak memberiku ruang untuk sebuah argumen. “Beberapa jam yang lalu kau memintaku membawakan beberapa berkas ke mejamu. Aku melakukannga dan kau sudah berbaring di sofa ini saat itu. Kupikir kau tidur.” keningnya berkerut. “Sejam kemudian aku masuk dan memanggilmu 2 kali tapi kau tidak menyahut. Kupikir kau kelelahan makanya aku tidak ingin mengganggu. Tapi saat masuk yang ketiga kalinya, aku kembali memanggilmu dan kau tidak menyahut. Karena sudah jam pulang jadi aku berniat membangunkanmu.” jelasnya. “Kau pingsan, Joohyun.”

Aku terkesiap saat Seulgi memegang pergelangan tanganku. Dia terlihat cemas dan aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu ketika mata kami bertemu.

Gugup? Ya.

Malu? Entahlah.

“Aku akan mengantarmu ke Rumah Sakit.”

“Seulgi...” kupegang tangannya ketika dia ingin berdiri dan Seulgi kembali duduk. Aku menggeleng. “Aku sudah ke rumah sakit makanya aku punya obat dan vitamin ini.” aku tak mengerti kenapa harus mengatakan hal ini padanya tapi melihat wajah cemasnya membuatku cukup merasa bersalah. “Aku tak apa, oke? Hanya perlu istirahat.”

Cukup lama Seulgi menatapku dan aku kembali salah tingkah dibuatnya. “Oke.” dan seolah tersadar, Seulgi menarik tangannya dariku yang entah kenapa membuatku sedikit kecewa. “Sorry, a-aku...”

“Nah, tak apa. Justru aku yang harus berterima kasih karena kalau bukan karenamu, mungkin satpam yang akan menemukanku.” aku tak kuasa menahan senyum saat melihat wajahnya yang sedikit merona. Juga sikapnya yang tadinya begitu tegas dan penuh kharisma, tiba tiba saja berubah gugup seperti anak kecil yang kedapatan mengambil sesuatu milik orang tuanya tanpa izin.

Oh.

Ini menarik.

 

***

 

Ini tak adil.

Sangat tidak adil.

Disaat Wendy sudah bahagia dengan penggantiku di sana, di sini aku masih terjebak dalam perasaanku terhadapnya. Kenapa harus semudah itu untuknya tapi tidak untukku? Kenapa hatiku masih saja memanggilnya meski aku tahu dia sudah bersama orang lain. Rasanya ingin marah, ingin memaki, tapi tak tahu pada apa, pada siapa. Karena kalau ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku.

“Kenapa harus sesakit ini.”

Aku berusaha berontak dengan memukuli tanganku namun Seohyun terus memelukku hingga aku lelah sendiri dan menangis menyerah di pelukannya. Kupikir mengetahui kalau Wendy sudah bersama orang lain itu sudah sangat menyakitkan, nyatanya saat aku dan Seohyun tak sengaja melihat mereka bersama, rasanya jauh lebih buruk. Aku yang masih merasakan sakit hati dan penyesalan tak terkira setelah kematian kedua orang tuaku 11 tahun yang lalu dan sekarang harus menambah beban hidupku karena mematahkan hatiku sendiri.

Berkali kali aku mencoba berpikir logis kalau ini memang sudah jalan terbaik untuk kami. Karena aku dan Wendy adalah manusia gagal yang hubungannya tak pernah baik baik saja sejak awal. Kami berdua sama sama egois.

Dia gagal memahamiku, dan aku gagal memahaminya.

Dia lelah berjuang karena egoku dan aku lelah berjuang menuruti egonya.

Dalam ceritaku, dia yang menyakitiku. Tapi dalam ceritanya, aku lah yang menyakitinya.

Ya, aku terluka karenanya.

Kemudian balik melukainya setelah aku tak mampu menutup lukaku sendiri karenaya.

Tak ada yang bisa dipertahankan, dari awal semuanya sudah salah namun aku tak sanggup dengan rasa sakit ini.

“Kau akan sembuh, aku yakin itu.” ucap Seohyun mengusap punggung dan kepalaku. “Aku tahu sekarang kau merasa ini tak adil, tapi segala sesuatu ada masanya. Setiap tindakan ada konsekuensinya. Jangan terlalu menyalahkan dirimu, please. Kalau kau pernah berpikir ini jalan terbaik untuk kalian, artinya ini memang jalan yang terbaik. Karena aku percaya padamu, Hyun.”

Aku yakin ini jalan terbaik, hanya saja aku tak sanggup menahan lukanya. Selama 2 bulan ini aku hampir merasa bukan diriku lagi. Aku mendapatkan apartemen satu lantai di atas Seohyun, namun bisa dihitung jari tangan berapa kali aku tidur di sana. Kenapa? Aku aku tak pernah bisa tidur tanpa terbangun karena mimpi buruk. Sementara bersama Seohyun, aku merasa jauh lebih tenang karena dia akan memelukku setiap kali aku terbangun tanpa bertanya apapun.

“Jangan terlalu dipaksakan untuk membencinya kalau kau tidak bisa, oke? Karena entah kenapa aku merasa di ujung jalan ini, ada seseorang yang jauh lebih baik sedang menunggumu membuka hati.”

Kuhapus air mataku dan melepaskan pelukan kami. “Siapa? Henry Cavill? Yeah, kalau dia aku bersumpah patah hatiku akan langsung terlupakan.”

Seohyun mendengus pelan lantas beranjak keluar kamar. “Kau patah hati tapi masih bisa berkhayal sejauh itu. Good!”

Teriakannya membuatku tersenyum.

Henry Cavill.

The iest Man alive.

“Stop that filthy litte smile, You ert!” Seohyun kembali ke ranjang dan menendang kakiku.

“Wae?” aku mulai merengek seperti anak kecil sambil menarik selimut hingga bahu. “Dia benar benar seksi.”

“Aku kasihan dengan Superman Ahjussi karena dia sering menjadi objek fantasi gilamu.”

Terima kasih Tuhan karena memberiku sahabat seperti Seohyun karena dia selalu tahu bagaimana membuatku tertawa dengan celetukan lucunya. “Superman Ahjussi? Really?”

“Apa harusnya Superman Harabeoji? Karena umurnya kan sudah...”

“Yah! Stop!” kuhentikan ucapannya dengan melempar bantal ke wajahnya. “Jangan merusak khayalanku.”

Seohyun menatapku dengan mata melebar dan mulut ternganga. Sangat dramatis. “Katakan, kau pernah berkhayal sejauh apa tentang paman itu?”

Kali ini aku terbahak sampai perutku sakit sambil menendang kakinya dengan gemas. “Sinting.”

“Kau lebih sinting karena berkhayal yang tidak tidak. Dasar cabul.”

“Yah! Bukan salahku kalau aku...”

“Yah!!!” Seohyun bangkit dan menekan kedua bahuku ke ranjang. “Dasar sinting. Jadi kau benar benar pernah berpikiran jorok seperti itu?! Dasar sinting! Kau sinting, Bae Joohyun!” dia melotot namun tertawa setelahnya.

“I mean, he has a nice body, and you know,” candaku memainkan kedua alis. “Those legs, thighs, and...”

“Yah!!! Bae Joohyun!!!”

 

***

 

Sepulang kerja sore ini aku memutuskan mampir ke supermarket untuk membeli beberapa perlengkapan mandi dan sekedar mengisi kulkas dan dapurku yang kosong melompong. Untungnya tadi siang aku membuat catatan apa saja yang harus dibeli karena ternyata baru setengahnya masuk troli dan kakiku sudah mulai sakit padahal sudah 2 minggu lebih ini aku jarang menggunakan heels, thanks to Seulgi. Karena dia, aku harus ekstra jalan jalan di perusahaan. Tapi kalau dipikir lagi, sekarang aku jarang merasakan nyeri pada telapak kakiku yang membuatku mulai berpikir untuk lebih sering menggunakan flat shoes. Sayangnya tubuhku akan terlihat semakin pendek dan Seulgi akan semakin bahagia mengejekku.

Tanpa sadar aku tersenyum mengingat kejadian beberapa waktu lalu ketika aku mengajak Seulgi berkeliling ke beberapa divisi. Saat itu aku tengah menjelaskan apa saja yang mereka kerjakan ketika aku tak lagi melihatnya berdiri di sebelahku. Aku menoleh dan memutar tubuh dan tak sengaja menabrak Seulgi yang ternyata berdiri di belakangku. Entah aku yang terlalu fokus sehingga tak menyadari kalau dia sudah berpindah posisi, tapi yang jelas hari itu heels ku menginjak sepatunya hingga Seulgi mengerang kesakitan. Dia mengomel sepanjang hari dan memintaku berhenti menggunakan heels. Karena menurutnya, heels tak akan membuatku terlihat tinggi dan dia mengatakan itu berulang kali.

‘Sekali pendek akan tetap pendek’

Kalau mengingat wajahnya saat itu, rasanya lucu walau aku merasa cukup bersalah karenanya.

Setelah hampir semua barang yang ada di catatan masuk troli, aku pergi mencari daging. Awalnya aku berniat membuat sup daging untuk makan malam, tapi saat melihat ikan dan ayam segar, seketika aku ragu. Dan pada akhirnya aku malah membeli ketiganya, daging, ayam, dan salmon.

Merasa semua yang ingin kubeli sudah berada dalam troli, aku berjalan menuju kasir sambil melihat lihat ketika troliku tanpa sengaja menyenggol sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang.

“Seulgi?”

Seulgi menatapku dan menghela napas. “Setelah menginjak kakiku dengan heels, sekarang kau menabrakku dengan troli belanja. Kau punya dendam pribadi padaku, Manajer Bae?” tanyanya dengan wajah datar.

Kalau aku baru mengenalnya mungkin aku sudah minta maaf sejadinya namun karena aku cukup tahu anak ini, jadi aku hanya mengucap maaf seadanya. Terlebih karena dia memanggilku Manajer Bae, dan bukan Joohyun. “Sorry.”

“Belikan aku es krim dan aku akan memaafkanmu.” ucapnya masih dengan ekspresi datar.

Ini yang kubilang dia lucu. “Ya sudah, ambil sana dan masukkan ke troliku. Gabung dengan permintaan maaf tragedi sepatu.” balasku asal.

Matanya membelalak lebar. “Kalau itu tidak bisa hanya dengan es krim. Kakiku rasanya ditusuk hingga tembus sampai telapak. Balasan yang sepadan hanya dengan traktiran makan malam.”

Hampir saja aku menjitak kepalanya ketika kulihat sosok yang sangat kukenal berjalan mendekati kami. Tanganku gemetar dan dadaku terasa sesak seketika.

“Joohyun, hei...” Wendy tersenyum kaku.

Aku menelan ludah saking gugupnya. “Hei.”

Wendy memandangku, memandang Seulgi kemudian memandangku lagi. “Sudah sehat?”

Entah kenapa pertanyaan itu membuat emosiku tersulut. Teringat kembali pesannya yang kuabaikan. “Ya, ya, sudah.” jawabku sedikit ketus sambil menahan diri untuk tak meluapkan patah hatiku karenanya di hadapan puluhan pasang mata di tempat ini.

“Syukurlah.”

Aku ingin marah tapi dari raut wajahnya, aku tahu dia tulus peduli padaku. Dan itu yang membuatku merasa dipermainkan oleh perasaanku sendiri. “Thanks.”

“Belanja bulanan?” tanya Wendy memperhatikan troliku.

“Ti...”

“Ya.” Seulgi memotong ucapanku.

Aku memandang Seulgi yang pandangannya masih tertuju pada Wendy sementara Wendy hanya memandang kami bergantian. Aku tak yakin dengan apa yang harus kulakukan karena suaraku pasti bergetar kalau harus bicara lebih dari 2 atau 3 patah kata. Dan aku tak ingin Wendy menyadari kalau kehadirannya masih berpengaruh dalam hidupku.

“Kau?”

“Seulgi.” Seulgi maju dan mengulurkan tangannya dengan ramah pada Wendy.

“Son Wendy.” balas Wendy menjabat tangan Seulgi.

Bisa kulihat sedikit perubahan dari ekspresi wajah Wendy namun aku tak ingin berasumsi yang membuat suasana semakin canggung. Sayangnya sepertinya Seulgi punya pemikiran sebaliknya.

“Aku tahu.” balas Seulgi santai namun senyumnya membuatku bergidik ngeri.

Wendy memandangku dan kali ini aku bisa melihat jelas kekesalan di wajahnya. Aku tak seharusnya sejahat ini tapi melihat hal itu, rasanya sakit hatiku cukup terbalaskan. Itulah yang kurasakan ketika melihat fotonya dengan orang lain.

Dengan sengaja aku mengusap lengan Seulgi beberapa kali kemudian memandang Wendy. “Sorry, tapi kami harus pulang. Aku berjanji membuatkannya makan malam.”

Wendy mengangguk pelan kemudian berlalu dan aku tak ingin tahu dia berjalan kemana karena saat ini aku hanya ingin berterima kasih pada Seulgi.

“Hei, bagaimana kalau aku masak makan malam untukmu sebagai ganti tragedi sepatu?” tanyaku dan Seulgi tersenyum. Senyum yang aku yakin tak akan pernah kulupa untuk beberapa tahun ke depan.

Kupikir membuat makan malam untuk Seulgi akan terasa canggung karena ini pertama kalinya aku mengajaknya ke tempatku, dan yeah, kami bukan teman, apa lagi pasangan. Sejauh ini interaksi kami hanya sebatas atasan dan bawahan, disamping bagaimana kami selalu berdebat dan dia selalu menggoda juga mengejekku, aku belum merasa kami berteman. Entah Seulgi menganggapku apa.

“Kau mau saos manis, pedas, atau keduanya?” tanyaku sambil mengaduk bahan bahan untuk saos ayam tepung kami nanti.

“Kau bisa makan pedas?” Seulgi balik bertanya sambil membolak balik ayam di wajan.

“Bisa. Hanya saja tidak terlalu pedas.” jawabku memasukkan air perasan lemon ke dalam mangkok saos.

“Kalau begitu masukkan sedikit saja bubuk cabainya.”

Aku menoleh. “Kau tak bisa makan pedas?”

Seulgi menggoyangkan bahu. “Biar kau juga bisa makan.” jawabnya singkat, masih memperhatikan ayamnya.

Ingin kupukul kepalanya dengan sendok di tanganku. Bisa bisanya dia mengucapkan hal seperti itu dengan santainya seakan kata katanya tak membuatku berbunga bunga. Wajahku merona dan aku menyadari itu, sehingga aku kembali menunduk.

Aku tak mengerti kenapa belakangan ini, lebih tepatnya setelah kejadian Seulgi mendapatiku pingsan waktu itu, meski kami sering adu mulut dan dia masih membuatku kesal, tapi ada sesuatu yang sedikit berbeda. Dia menyebalkan, tapi terkadang, mulut manisnya membuatku malu dan salah tingkah.

“Wijennya mana?” tanya Seulgi membangkit ayam dan meniriskannya.

“Laci atas.” jawabku menyiramkan dressing di atas caesar salad milikku.

Aku tak yakin bagaimana awalnya tapi tangan kiri Seulgi memegang pinggiran meja di samping tanganku sementara dia berdiri di belakangku. Tangan kanannya membuka laci di atas kepalaku, mengeluarkan toples berisi wijen dari sana.

Napasku tertahan. Entah karena sudah beberapa minggu ini aku sendiri dan tak pernah berinteraksi semacam ini dengan seseorang, tapi degupan di dadaku terasa memekakkan telinga. Aku gugup, takut Seulgi bisa mendengar atau merasakannya.

“Kau harus lebih jelas memberi instruksi, Manajer Bae, jangan hanya laci.” Seulgi berbicara pelan di dekat telingaku sementara kedua tangannya berada di sisi tubuhku.

“Sorry...”

Dan sepanjang makan malam aku dibuat gugup karenanya sementara Seulgi masih tertawa tawa, berceloteh seolah dia tak melakukan apapun. Aku tak berani menatap matanya bahkan hingga aku mengantarnya ke depan pintu.

Oh God... Apa yang terjadi???

 

***

 

“Boleh aku bertanya?” aku memandang Seohyun yang bersiap mengeluarkan muffin dari oven.

“Sejak kapan ada larangan?” Seohyun bertanya balik sambil meletakkan wadah berisi muffin fresh from the oven di atas kitchen counter.

Aku masih memandang Seohyun yang juga masih fokus pada muffin coklatnya dan aku tak memungkiri hal itu membuatku sedikit ragu mengutarakan apa yang tengah mengganjal di dadaku. Maksudku hari ini Seohyun terlihat begitu ceria. Pagi pagi sekali dia membangunkanku untuk membuat muffin dan beberapa kue kering yang akan diberikannya pada Yoona. Hatinya sedang senang dan aku sedikit tak enak kalau pertanyaanku terkesan menuduh dan membuat suasana menjadi tak nyaman.

“Hyun?”

Sambil menghela napas berat aku berdiri, mondar mandir di depannya, memikirkan bagaimana harus bertanya tanpa terkesan menuduh. “Kau tahu Wendy sudah punya pacar, kan?” Ya, kalimat itu lebih mengarah pada sebuah tuduhan daripada pertanyaan.

Raut wajah Seohyun sedikit berubah. Ada kerutan di antara matanya yang membuatku yakin dia memang sudah tahu. Karena yeah, dia pacaran dengan Yoona. Yoona adalah adik sepupu Taeyeon. Dan Taeyeon adalah teman Wendy di kantor. Atau bisa kubilang salah satu teman baik Wendy. Aku yakin sedikit banyak Taeyeon tahu dan ya, seperti ada benang yang membuat kami saling berkaitan.

“Mungkin.” jawabnya menggoyangkan bahu sambil menyiapkan beberapa kotak untuk muffinnya nanti.

Aku berdiri di seberangnya, memandangnya dengan kedua tangan melebar memegang pinggiran meja. “Lantas kenapa kau tidak pernah mengatakan apapun?”

Seohyun menghentikan aktifitasnya dan memandangku. “Kalau posisi kita dibalik, apa yang kau lakukan?”

Dan pertanyaan itu sukses membungkamku.

“See? Kau bahkan tidak tidak bisa menjawabnya. Bagaimana kau berharap aku akan mengatakan sesuatu?”

Oke, itu adil.

Seohyun melepaskan sarung tangan dan menarik kursi bar kemudian duduk sambil bersilang tangan di dada. “Aku tahu. Bahkan sesuatu yang mungkin belum kau tahu.”

Terkadang kejujuran itu menyakitkan, tapi tahu sekarang daripada nanti justru akan lebih baik. “Katakan.”

Dia mendengus sambil tertawa pelan. “Kau yakin? Kau yakin ingin tahu kalau Wendy melirik wanita lain beberapa minggu sebelum kalian putus? Kau yakin ingin tahu dia beberapa kali berkencan dengan pacarnya yang sekarang selama masih bersamamu?”

What?

“Atau kau juga ingin tahu kalau dia tidur dengan pacarnya yang sekarang sementara dia juga menidurimu?”

Oh. Wow. Lututku langsung lemas mendengarnya.

“...What?”

“Kau tahu, berkali kali aku ingin mengatakan hal itu tapi aku tidak tahu bagaimana karena kau sangat mencintainya. Dan jangan lupa aku sudah berkali kali mengataimu bodoh, tolol, sinting, dan caci maki lainnya tapi kau masih saja memilih bertahan dengannya.”

Sekujur tubuhku gemetar dan lidahku seketika kelu. Bisa kurasakan air mataku menetes tapi aku tak punya kekuatan untuk menghapusnya.

“Tapi aku berusaha mengerti posisimu. Kau mencintainya. Bahkan terlalu tolol untuk terus mencintainya padahal yang kalian lakukan hanya saling menyakiti. Yang aku tidak bisa mengerti adalah kau sanggup melakukan itu selama bertahun tahun, Joohyun. Karena itulah aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.”

“Jadi kau memilih diam dan melihatku melukai kami berdua?” tanyaku mulai terisak.

“Itu karena kau selalu memilih kembali padanya daripada mendengar apa yang kukatakan.”

Untung saja aku sempat duduk sebelum kakiku benar benar menyerah. Kuusap wajahku, memijat dahi dan keningku yang mulai terasa sakit.

“Aku tidak berniat merusak semua kenangan yang kalian miliki. Tapi seperti itulah adanya.”

Kupikir tak ada yang lebih menyakitkan daripada mengetahui Wendy sudah bersama orang lain secepat ini. Nyatanya yang sekarang berkali kali lebih buruk. Aku masih menunduk, menyimpan wajahku yang penuh air mata di telapak tangan ketika kurasakan Seohyun mendekat dan memelukku.

Mereka bilang menangis dalam diam itu adalah tangisan yang jauh lebih menyakitkan dan sekarang aku membuktikannya sendiri.

 

***

 

Pengalaman adalah guru yang paling berharga.

Ya, karena hal itulah aku masih bisa bekerja dengan waras. Walau tak sungguh bisa menyembunyikan sakit hati yang kurasakan, atau bersikap profesional setiap saat, setidaknya aku bisa membimbing Seulgi hingga selesai masa trainingnya. Rasanya lega karena aku harus bersikap berlawanan dengan apa yang tengah kurasakan di depannya. Aku tak menampik, training ini berhasil karena Seulgi sepertinya cukup mengerti dengan apa yang sedang kualami. Karena semenjak kejadian dia mendapatiku pingsan dan pertemuan tak sengaja dengan Wendy di supermarket, walau tak sesering awal training, Seulgi lebih jarang adu argumen denganku. Bahkan saat aku memarahinya karena pikiranku kalut, dia hanya diam dan melakukan semua perintahku. Dia hanya akan menggodaku ketika melihat moodku cukup bagus.

Selesai dengan urusan training, juga semua laporan yang harus kuserahkan siang itu, aku  menyerahkan surat cuti dadakan yang kubuat kemarin siang. Entah mereka akan menyetujuinya atau tidak, yang jelas aku harus menyerahkannya.

“Hei.”

Aku menoleh ketika Seulgi berjalan ke arahku dan duduk bersandar di dinding atap bangunan perusahaan bersamaku. Aku memandangnya sebelum melengos. Bukan karena marah, tapi karena setiap kali dia menatapku, dadaku berdetak sedikit tak karuan. Yang sampai sekarang masih membuatku cukup heran bagaimana aku bisa membimbingnya hingga selesai tanpa ada drama yang cukup berarti.

“Kudengar kau mengajukan cuti.”

Alisku meninggi. Bagaimana dia bisa tahu?

Sepertinya keherananku terlihat jelas di wajahku sehingga Seulgi menggoyang goyangkan kedua tangannya di depan dada seraya tertawa. “Aku mendengar dari Direktur tadi siang saat bertemu dengannya.”

Dahiku berkerut mendengar penuturannya.

“Maksudku beliau.” ralat Seulgi cepat namun kali ini aku tak lagi bereaksi. “Jadi rencana mau liburan ke mana?”

“Entah.”

“Jadi kau mengambil cuti tapi belum memikirkan ingin melakukan apa?” Seulgi terlihat takjub.

“Karena aku memutuskan cuti baru kemarin, jadi yeah, aku masih belum punya rencana.” balasku jujur.

“Jangan bilang karena kau bosan 3 bulan penuh bersamaku.” ucapnya setengah bercanda sambil terkekeh.

Aku balas tertawa. “Bisa jadi.”

“Hei, kau keterlaluan, Manajer Bae.”

Tak biasanya aku mengobrol dengan orang yang tak begitu kukenal, tapi anehnya Seulgi tak membuatku gerah atau merasa kurang nyaman. “Hanya ingin menenangkan pikiran.”

Saat Seulgi memandangku, aku tak lagi membuang muka. Kubiarkan mata kami bertemu, cukup lama, yang membuat dadaku kembali berdegup aneh. Matanya sangat indah dan aku benar benar tak kebe

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Cakemoo #1
Chapter 4: thank you authornim! selalu suka dengan gaya bahasa di setiap cerita authornim 💛💗
Mybaebii
#2
oww welcome back
4zahan #3
Chapter 3: ini update harusnya chapter 4, chapter 3 kemaren terhapus kah?
Imconanian
#4
Chapter 3: Aku tungguin 😅 akhirnya rujuk
BaePolarBear
#5
Chapter 3: Udh ketar ketir bacany mrk berantem eh ahirnya adegan dewasa
BaePolarBear
#6
Chapter 2: Ugi pinter bgt bikin hati joohyun jatuh cinta
BaePolarBear
#7
Chapter 1: Iseng baca lg aff
Eh ada yg comeback
Imconanian
#8
Aku udah jarang banget nemu author yg tulisannya nyaman dibaca dan bikin kebawa cerita tau ih, ceritanya bagus bikin ketagihan bacanya
4zahan #9
Chapter 3: akhirnya ketemu link author ini, terima kasih untuk semua cerita2 indahnya, ga sabar nunggu kelanjutannya
olinmelin #10
Chapter 3: kak terharu kmu update. kirain ini gak bakal dilanjut. huhu makasih ya kak 🫶