[ChanBaek] Soulmate -- Baekhyun

Balas Jasa Skripsi
Please Subscribe to read the full chapter

Kamu adalah bulan

Terlalu lembut untuk kugenggam, terlalu malu untuk kudampingi

Kamu bersinar tanpa menyilaukan, memberikan cahaya untuk kelam sehabis senja

Tentu kita pasti bisa bersama

 

Kamu malam dan aku adalah siang

Kita berdampingan dan kita akan berpasangan

Hanya gelap yang menemani cahaya, karena tanpa gelap, cahaya bukanlah apa-apa

(Baekhyun, 11 Tahun. Jumpa)

Baekhyun sebenarnya tidak suka pindah sekolah. Ia rindu pada teman-temannya di Bucheon. Ia juga dengar, orang kota sering mengejek warga desa sepertinya karena logat mereka, makanya Baekhyun sedikit merutuk saat ia tiba di Seoul.

 

Bukannya tidak bersyukur diberi kesempatan lebih, Baekhyun hanya begitu menyukai Bucheon. Tidak sesak seperti Seoul, apalagi jalur transportasi ibu kota negara itu saling berhubung namun bertolak belakang.

 

Malam sebelum masuk sekolah baru, Baekhyun berharap bisa menemukan teman yang baik. Ia pernah berkompetisi Hapkido dengan siswa Seoul sebelumnya, jadi perkenalan mereka tidak akan sulit, ‘kan?

 

Sambil mengharapkan kehidupan sekolah yang menyenangkan, Baekhyun terlelap. Senyumnya merekah tanpa sadar begitu hamparan bintang membentuk spiral menjadi tempat bermainnya dengan banteng gemuk yang melompat dari satu bintang ke bintang lain.

 

Baekhyun terkekeh geli karena beberapa bintang mungil menggelitik pipinya. Semuanya terlihat sangat bercahaya sehingga fokus Baekhyun jatuh pada sebuah bintang yang berada diekor spiral.

Bintang itu redup, cahayanya bahkan nyaris hilang. Sekitarnya gelap karena memang hampa. Di semesta yang luasnya tak terkira ini, ada satu bintang yang cahayanya tidak terang, namun mampu menarik Baekhyun.

 

Saat Baekhyun hendak meraih bintang itu, banteng yang ditungganginya berontak kemudian melemparnya. Baekhyun jatuh dari hamparan bintang spiral ke ketiadaan, sebelah tangan terulur karena bintang redup yang tidak sempat digenggam.

 

“Baekhyun, ayo bangun nak.” Ibu Baekhyun mengguncang tubuh anaknya hingga netranya terbuka. Ujung matanya berhiaskan mutiara bening saat Baekhyun menangis kencang entah kenapa.

**^^**^^**

Dilihat-lihat, sekolah barunya tidak begitu buruk. Baekhyun dengar disini juga ada klub hapkido. Guru olahraganya bahkan sudah meminta Baekhyun untuk bergabung, mengingat bakatnya yang tidak main-main itu sayang untuk dilewatkan. Baekhyunpun setuju, toh dia senang dengan hapkido.

Mengikuti wali kelasnya yang cukup tua, Baekhyun berdiri didepan kelas. Beberapa wajah terlihat penasaran. Tidak seperti sekolahnya yang lama, anak-anak disini gaya berpakaiannya lebih trendi. Anak perempuan menghias rambut secantik mungkin, sedang yang lelaki memakai sepatu dan jam tangan terbaru.

Diantara 40-an anak, netra Baekhyun menangkap sesuatu. Seseorang. Wajahnya bulat dengan telinga mencuat seperti peri. Kacamatanya sangat tebal hingga Baekhyun sulit melihat langsung matanya, tapi Baekhyun tahu satu hal.

 

Dialah yang selama ini Baekhyun cari.

 

Baekhyun merasakannya, desiran angin yang menggelitik ujung jari, dentuman keras didada, perut geli tergelitik yang membuatnya mulas. Baekhyun sering mendengar ibunya menceritakan perasaan ini.

 

Tidak salah lagi, anak laki-laki gemuk berkacamata tebal itu adalah soulmatenya.

**^^**^^**

“Hai Chanyeol. Mau main sama Baekhyun?” Sapa Baekhyun siang itu pada Chanyeol yang sibuk mengurusi anak anjing di ruang klubnya.

 

Baekhyun sudah mendengar bahwa Chanyeol merupakan ‘bulan-bulanan’ di sekolah. Tidak ada yang salah dengan Chanyeol sebenarnya. Dia ceria, cukup pintar terutama dalam pelajaran IPA dan kesenian. Dia penyayang binatang, asik dan mudah diajak mengobrol. Mungkin kekurangannya hanya bentuk tubuh yang cukup gempal serta kacamata yang ketinggalan jaman.

 

Oh, juga keluarga yang nyaris diambang perpisahan.

 

Bukan hal asing sebenarnya bagi soulmate untuk berpisah, namun perpisahan itu tetap menjadi aib, karena sejatinya soulmate tidak boleh berdiri sendiri, apalagi jika ada anak yang menjadi saksi.

 

Awalnya Chanyeol mau saja bermain dengan Baekhyun, apalagi setelah Baekhyun mengikutinya pulang ke rumah. Tapi setelah beberapa kali dirundung anak ‘keren’, diingatkan dia tidak pantas bermain dengan orang populer seperti Baekhyun, Chanyeol menutup diri. Menolak untuk melirik Baekhyun lebih dari lima detik.

 

Baekhyun tidak suka itu. Dia ingin terus bersama Chanyeol, ingin dekat, ingin mengenal lebih jauh, ingin menyesuaikan diri untuk Chanyeol.

 

“Baekhyun jangan disini, nanti ada yang marah.”

 

Meski Chanyeol menghindarinya, anak itu masih bersikap baik. Hal ini membuat hati Baekhyun tersentuh.

 

“Tapi Baekhyun mau main sama Chanyeol, sama puppy juga.” Baekhyun menggembungkan pipi. Dia tahu bahwa ia terlihat menggemaskan—Ibu yang bilang—makanya Baekhyun sedikit berharap Chanyeol takluk.

 

“Tapi nanti Chanyeol disuruh jauhin Baekhyun lagi.”

 

Ini nih, yang tidak Baekhyun suka dari anak kota. Berteman kok pilih-pilih, padahal masih SD loh ini. Bibit-bibit jahat kalau ditanam sejak kecil akan membuat dunia menjadi semakin buruk.

 

“Baekhyun, ayo main di lapangan!”

 

Baekhyun dan Chanyeol menoleh ke pintu klub. Disana berdiri teman sekelas mereka yang termasuk populer serta beberapa anak dari kelas lain yang membawa bola sepak. Menimbang sejenak, Baekhyun kemudian meraih tangan Chanyeol. “Chanyeol, ayo main di lapangan.”

 

Chanyeol melongo, begitupula orang yang mengajak mereka. Anak populer itu menggaruk tengkuk. “Tapi aku hanya mengajak Baekhyun.”

 

Seolah ucapannya berbahaya, Baekhyun menghadap mereka dengan wajah marah. “Kenapa sih, kalian tidak mau bermain dengan Chanyeol? Bukannya Chanyeol teman?”

 

“Baekhyun, sudahlah. Jangan bertengkar.”

 

“Tidak mau! Orang seperti ini perlu diberi pelajaran. Baekhyun mau main sama Chanyeol kok dihalangi terus.”

 

“Itu karena orangtuanya mencemari ikatan soulmate! Ibuku bilang aku tidak boleh dekat dengan Chanyeol.”

 

Melihat gurat sedih diwajah Chanyeol, Baekhyun yang terlanjur marah jadi gelap mata. Ia berdiri kemudian menerjang tubuh didepannya seperti banteng.

 

 

“Hiks... hiks...”

 

“Sudah, jangan menangis lagi. Baekhyun tidak apa, kok.” Bujuk Baekhyun pada Chanyeol yang terisak sambil menggeret sepedanya.

 

“Tidak apa matamu! Luka-luka ini kamu sebut apa?” gertak Chanyeol disela isak tangisnya. Baekhyun menggigit bibir, menahan senyumnya untuk tidak mengembang lebih lebar. Ia berlari kemudian merentangkan tangan beberapa langkah dari Chanyeol. Masih dengan senyum lebar diwajah, Baekhyun berucap;

 

“Baekhyun tidak suka Chanyeol diganggu, tidak suka juga Chanyeol menangis. Tapi karena ini salah Baekhyun, Chanyeol jangan sedih lagi, ya? Baekhyun akan terus disisi Chanyeol.”

 

Chanyeol mengusap wajahnya yang becek. Kacamatanya berembun sehingga ia semakin sulit melihat. Didekatinya Baekhyun kemudian menyusup dalam pelukannya.

 

Baekhyun suka Chanyeol.

**^^**^^**

(Baekhyun, 13 Tahun. Pergi)

 

Chanyeol akan pindah.

 

Baekhyun sebenarnya tidak mau berpisah dengan Chanyeol. Ia juga sudah merengek pada orangtuanya agar dibolehkan ikut dengan anak itu, sayang keinginannya tidak bisa terkabul.

 

Makanya, saat ia dan Ibu mengantar Chanyeol serta kakak dan ibunya ke terminal bus, Baekhyun merasa sedih sekali. Dia hanya ingin bersama dengan Chanyeol, kenapa sulit?

 

Baekhyun tidak berkedip sama sekali sampai bus yang membawa Chanyeol hilang dari pandangan. Saat melihat gantungan kunci ditangannya, barulah ia menangis keras. Tersedu-sedu hingga sesak napas. Ibu Baekhyun hanya bisa mengusap punggung anaknya, tidak berucap apapun karena jika benar Chanyeol dan Baekhyun adalah soulmate, maka perpisahan ini membawa luka yang terlalu dalam untuk dibayangkan.

**^^**^^**

“Nak, maukah kamu audisi di perusahaan kami?”

 

Baekhyun mengerjap polos saat paman mencurigakan yang sejak tadi mengikutinya menyodorkan kartu nama. Baekhyun perhatikan kartu itu lama, namun tidak memberi respon berarti.

 

“Diskusikanlah hal ini dengan keluargamu. Suaramu sangat sayang untuk tidak dikenal lebih jauh.”

 

Malamnya, Baekhyun menceritakan hal ini pada Ayah dan Ibu. Keduanya terkejut, namun Baekhyun bisa melihat sedikit perasaan bangga terselip dari sorot matanya.

 

“Kalau kamu memang mau, tidak ada salahnya mencoba, nak.” Begitu respon Ayah. Baekhyun menggembungkan pipi kemudian mencubit ujung bantal.

 

“Tapi Baekhyun hanya ingin menyanyi untuk Chanyeol, Ayah.”

 

Duh, dasar bucin.

 

Ibu mengusap bahu Baekhyun sayang. “Kamu masih muda, ada banyak hal yang patut dicoba sebelum bertemu soulmatemu. Jangan sampai keinginan mencoba hal baru itu muncul saat kalian sudah berkeluarga, karena bisa saja terjadi perpisahan. Kamu ingat kenapa orangtua Chanyeol berpisah, bukan?”

 

Baekhyun mengerucutkan bibir. Ibu dan Ayah Chanyeol berpisah karena Ibu ingin tinggal ditempat sepi, sedang Ayahnya menolak karena masih ingin mengejar banyak hal di kota. Baekhyun menggeleng kuat-kuat, tidak mau hal itu sampai terjadi padanya.

 

“Baekhyun paham, Bu.”

**^^**^^**

“Dia trainee itu, ya?”

 

Telinga lebar Baekhyun menegak saat dirinya mendengar anak sekolah yang menunjuk dirinya. Berpura-pura tidak mendengar, Baekhyun dan dua teman traineenya berjalan santai sambil menyesap kopi. Jaim ceritanya.

 

“Iya. Dulu satu sekolah denganku.”

 

Mendengar itu, Baekhyun ingin berbalik dan menyapa, namun Jongdae merangkul lengannya dan merapatkan tubuh mereka. “Jangan berbalik dulu,” bisiknya.

 

“Wah, benarkah? Dulu dia bagaimana?”

 

“Dia cukup populer. Termasuk atlet sekolah juga. Cukup pintar terus baik sama siapa saja.”

 

“Loh, masa’? sebersih itu?”

 

“Nggak juga, sih. Dulu dia berteman dengan anak culun

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet