[ChanBaek] Soulmate -- Chanyeol

Balas Jasa Skripsi
Please Subscribe to read the full chapter

Kamu adalah matahari.

Terlalu panas untuk kugenggam, terlalu bersinar untuk kudampingi.

Kamu bersinar terang, menyilaukan, memberikan cahaya.

Mustahil kita bersama.

 

Aku seperti malam sementara kamu adalah siang.

Kita berdampingan bukan untuk berpasangan.

Bagaimana bisa gelap sepertiku mengharapkan cahaya semesta?

[Chanyeol, 11 Tahun. Temu]

Hujan meteor Leonid merupakan—

 

Chanyeol mematikan televisi yang menampilkan perjalanan angkasa. Sejak tahu bahwa ia lahir ditahun yang sama dengan hujan meteor, ia jadi sangat menyukai langit dan objeknya. Chanyeol berharap saat bertemu soulmatenya suatu hari nanti, ia akan melihat konstelasi bintang. Jika mendengar cerita orang-orang dewasa, harusnya ia akan melihat soulmatenya seindah rasi bintang.

 

Tubuh gempalnya menghampiri sepeda setelah berpamitan pada Ibu. Ayahnya masih tidur, mungkin lelah karena Chanyeol mendengar orangtuanya bertengkar tadi malam. Kakinya yang cukup pendek meraih sadel kesusahan, tas besar beberapa kali merosot karena geraknya yang naik-turun.

 

Begitu tiba di halaman sekolah, Chanyeol segera memarkirkan sepeda ditengah. Menurut pengalaman, akan sulit bagi orang-orang mengerjai sepedanya jika ia parkir ditengah sesakan kendaraan lain.

 

Setelah menyapa Kepala Sekolah yang berdiri di pintu lobi, Chanyeol berbelok menuju klub Pecinta Binatang. Senyumnya mengembang lebar karena anak anjing yang kemarin lusa ia selamatkan masih tidur nyenyak, tidak kedinginan atau ketakutan.

 

“Chanyeol, bel sudah bunyi.”

 

Chanyeol mengalihkan pandang ke pintu, guru olahraga berdiri disana. Berat hati, anak itu mendekap ransel dan berjalan pelan setelah melambai pada anak anjing yang melihatnya saja tidak.

 

Di kelas, Chanyeol duduk pada barisan ke-tiga dari depan. Baris pertama untuk siswa rajin dan pintar, sedang baris terakhir adalah siswa populer. Berhubung ia tidak masuk dalam dua kategori itu, maka baris tengah pas untuknya.

 

Sambil menunggu wali kelas masuk, Chanyeol mencoret halaman terakhir buku catatan dengan agenda hari ini. Ia akan makan siang kemudian bermain di ruang klub. Pulang sekolah nanti, Chanyeol ingin mengajak Ferret jalan-jalan ke taman baru dekat kompleks rumahnya. Iya, dia menamai ferretnya sebagai Ferret. Menurut Chanyeol itu jenius, jadi jangan menertawakannya.

 

Pintu kayu coklat bergeser, seketika mengheningkan suasana karena wali kelas mereka adalah bapak tua yang sebentar lagi pensiun. Kata Kepala Sekolah, “jangan menjahilinya, nanti serangan jantung,” makanya satu sekolah sangat pendiam pada bapak Song.

 

Pak Song meletakkan buku absen hitamnya kepodium guru. Pengaris kayu panjang yang biasa ia gunakan untuk menghukum disandarkan ke papan tulis. Ia mengambil kapur kuning kemudian menulis aksara China di papan.

 

Jangan minta Chanyeol menjelaskan. Dia bukan siswa rajin dan pintar.

 

Saat berbalik, beliau menepuk tangan beberapa kali hingga debu kapur terbang. Chanyeol senang memperhatikan partikel itu memberi bentuk abstrak tiap harinya, seperti galaksi.

 

“Anak-anak, hari ini kita kedatangan siswa baru.”

 

Chanyeol menegakkan duduk, menjulurkan sedikit leher karena terhalang anak perempuan yang duduk didepannya. Kenapa sih, anak perempuan itu tinggi-tinggi?

 

Langkah pelan terdengar. Sepatu putih yang jelas baru membawa pandangan Chanyeol naik pada celana pendek coklat dan kemeja biru-kemerahan. Siswa baru yang jelas laki-laki itu menuduk, sepertinya malu diperhatikan orang sekelas.

 

“Nak, perkenalkan dirimu.”

 

Chanyeol tidak yakin, apakah perasaan berdesir yang dirasakannya adalah pertanda atau karena hembusan angin yang masuk dari jendela. Udara pagi ini cukup dingin, omong-omong. Pokoknya, begitu ia bertatap dengan anak itu, jantungnya berdentum sangat keras hingga memekak telinga. Chanyeol menggigit bibir, antara harap dan cemas karena, masa’ iya anak semenarik dia adalah soulmatenya?

 

“Hai, semua. Namaku Byun Baekhyun.”

 

Anak baru tersenyum lebar hingga matanya sipit seperti anjing yang Chanyeol temukan kemarin. Mulutnya membentuk persegi panjang sempurna, mengingatkan Chanyeol pada bantal sofa yang ada di rumah.

 

Setelah perkenalan singkat, Baekhyun disilahkan duduk pada baris ujung dekat jendela, tiga kursi dari Chanyeol jika mengambil jalan Letter L seperti kuda. Tidak tahu istilah ini?

 

Ha, masa’ sama Chanyeol kalah.

 

Meski sempat curi pandang, Chanyeol yakin perasaan yang sesaat tadi menyerangnya hanya kebetulah. Ayah sering bilang bahwa anak-anak kerap mendapat sinyal palsu soal soulmate, jadi Chanyeol tidak harus berharap.

 

Ya, Chanyeol harusnya mengurus Ferret saja.

**^^**^^**

 

[Chanyeol, 13 Tahun. Pisah]

“Baekhyun, apa kamu tidak bosan mengikutiku?” Chanyeol menghentikan langkah karena 1) dia tidak mau diikuti Baekhyun; 2) dia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah; dan 3) rumah Baekhyun tidak searah dengannya.

 

“Tapi Baekhyun ingin main sama Chanyeol.”

 

Park Chanyeol berbalik, sebelah tangan menggenggam gagang sepeda sementara tangan yang lain menggaruk rambutnya yang lepek oleh keringat.

 

“Tapi rumah Baekhyun bukan kesini. Nanti bibi pusing mencari.” Sebenarnya kejadian itu hanya pernah berlangsung satu kali, di hari ketiga pindahan Baekhyun. Lelaki mungil itu mengikuti Chanyeol pulang sehingga orangtuanya kalap mencari kemana-mana. Untung Ayah Chanyeol yang bekerja sebagai satpam kompleks tahu Baekhyun mampir ke rumahnya. Jika tidak, mungkin lain cerita.

 

Menggembungkan pipi, Baekhyun bergeleng keras kepala. “Baekhyun mau sama Chanyeol.”

 

Duh, bukannya menolak nih ya. Chanyeol juga senang menghabiskan waktu bersama Baekhyun. Masalahnya, hari ini ia mendapat surat kaleng ancaman di laci sepatu, tersurat bahwa jika dia tampak pulang dengan Baekhyun, mereka akan memukuli Chanyeol habis-habisan.

 

Chanyeol tidak mau Baekhyun khawatir, itu saja.

 

“Memang Baekhyun tidak malu dekat denganku?”

 

Bagai tersambar petir, Baekhyun terlonjak kemudian mendekatkan diri kepada Chanyeol. “Apakah ada yang mengganggu Chanyeol lagi?”

 

Aduh, salah bicara. Baekhyun kenapa kamu peka?

 

“Tidak kok.” Mata melirik sekitar, hidung kembang-kempis, jari gemetar. Chanyeol benar-benar tidak bisa bohong.

 

“Siapa dia? Apa yang dia lakukan pada Chanyeol? Sini Baekhyun beri pelajaran!” Anak bermarga Byun itu menyingsing lengan baju jagoan, membuat Chanyeol panik.

 

“Jangan!”

 

“Baekhyun tidak suka Chanyeol diganggu! Jangan lindungi orang jahat seperti mereka!”

 

Chanyeol tetap menggeleng. Dilepasnya gagang sepeda setelah memasang pijakan. Dua telapak gemuk menepuk bahu Baekhyun tegas. “Chanyeol juga tidak suka Baekhyun berkelahi. Baekhyun tidak belajar hapkido untuk menyakiti orang lain, ‘kan?”

 

Api membara yang terpancar dari mata Baekhyun meredup. Ia menurunkan lengan baju kemudian mengusap wajah Chanyeol yang basah.

 

“Iya, Baekhyun tidak berkelahi lagi. Jangan nangis, ya?”

**^^**^^**

“Baekhyun, sepertinya Chanyeol akan pindah.”

 

Chanyeol membuka pembicaraan pulang sekolah hari itu. Mereka sedang menyantap es krim setelah bermain kejar-kejaran.

 

“Pindah kemana?” Baekhyun berhenti menjilat es krim. Dadanya terasa nyeri karena Chanyeol akan pergi.

 

Chanyeol menggeleng. “Tidak tahu. Tadi malam aku hanya mendengar sedikit. Sepertinya Ayah dan Ibu bercerai.”

 

Chanyeol tidak terlihat sedih. Dia tahu kata keramat itu akan datang cepat atau lambat, apalagi Ibunya sudah mencari tempat tinggal baru.

 

“Jadi kita akan berpisah?”

 

Pertama kalinya sejak dua tahun mereka bertemu, mata Baekhyun berkaca-kaca. Chanyeol membuang stik es krimnya kemudian duduk bersila didepan Baekhyun.

 

“Maaf Chanyeol tidak bisa masuk ke SMP yang sama dengan Baekhyun.”

 

Baekhyun hanya diam. Perasaan sedih menderanya. “Apa Baekhyun tidak bisa bertemu Chanyeol lagi?” lirihnya.

 

Chanyeol menggeleng. “Baekhyun ingat harapan Chanyeol mengenai soulmate?”

 

“Ingin bertemu saat hujan meteor?”

 

Chanyeol mengangguk semangat. “Chanyeol sudah cek, katanya 13 Agustus 2015 nanti hujan meteor akan terjadi. Apa Baekhyun mau bertemu Chanyeol saat itu?”

 

Baekhyun mengangguk sama semangatnya. Air matanya yang tadi menggenang sudah hilang karena rencana masa depan yang mereka susun.

“Tapi, Baekhyun sungguh tidak masalah dengan Chanyeol?”

 

“Tidak pernah, Chanyeol. Baekhyun suka Chanyeol apapun keadaannya.”

 

“Meski Chanyeol gendut dan jelek?” Chanyeol menggigit bibir bawahnya gugup.

 

Baekhyun melempar stik es krimnya ke tempat sampah kemudian menatap Chanyeol dengan mata memicing. “Bahkan jika Chanyeol pendekpun, Baekhyun suka.”

 

Dua anak laki-laki itu saling tersenyum kemudian membuat banyak rancangan untuk masa depan mereka. Mereka hanyalah anak biasa dari keluarga tidak berada. Jika benar Chanyeol pindah nanti, belum tentu mereka bisa bertukar pesan lewat pos atau telepon. Mereka harus menahan rindu hingga waktunya tiba.

**^^**^^**

“Baekhyun, ayo pamitan pada Chanyeol.” Ibu Baekhyun mengusap bahu Baekhyun yang sejak tadi menyembunyikan wajah di punggungnya, tidak mau melihat kepergian Chanyeol lebih nyata.

 

Chanyeol sendiri sudah banjir air mata sejak sampai di terminal bus. Ia merasa sangat sedih karena bukan hanya perpisahan orangtuanya saja yang nyata, perpisahannya dengan Baekhyun tidak kalah nyata.

 

“Baekhyun,” panggil Chanyeol dengan suara serak karena busnya akan berangkat. Baekhyun menoleh sedikit dari punggung ibunya dengan wajah sedih. Ia semakin sedih saat Chanyeol mengulurka

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet