Ice Breaking

Journey of Us

Musim Gugur, 2012

Hyejin terus berkeringat dingin. Ia sudah tidak fokus lagi memperhatikan pelajaran. Tulisan gurunya di papan tulis terlihat menari-nari dan membuatnya semakin pusing. Ia kemudian mengangkat tangannya.

“Ssaem! Apakah aku boleh ke ruang kesehatan? Aku merasa tak enak badan,” tanya Hyejin dari bangkunya.

“Silakan, Hyejin. Cepatlah sembuh.”

“Terima kasih, Ssaem,” kata Hyejin lalu berjalan ke arah pintu kelas. Sesaat sebelum tangan Hyejin meraih gagang pintu, ia sudah ambruk dan tak sadarkan diri.

Yoongi berlari dan menggoyangkan tubuh Hyejin. Ia memanggil-manggil Hyejin namun tak ada jawaban. Yoongi segera menggendong Hyejin di pundaknya dan berlari ke ruang kesehatan tanpa mempedulikan ucapan gurunya.

3 jam kemudian...

Hyejin merasakan kepalanya sangat berat. Ia samar-samar mendengar suara kakaknya. Ia mencoba membuka mulutnya tapi tak ada suara yang bisa ia keluarkan.

“Seokjin Oppa,” kata Hyejin akhirnya.

Seokjin langsung menghampiri Hyejin dan membantunya duduk. “Kau tak apa?”

Hyejin hanya mengangguk lemas. Ia kemudian membuka matanya secara utuh dan mendapati Yoongi sedang menatapnya tanpa ekspresi.

“Kenapa dia di sini?” tanya Hyejin pada kakaknya.

“Yoongi yang membawamu ke sini. Mengapa kau bertanya seperti itu?” kata Seokjin.

Hyejin mematung. Ia hanya menatap Yoongi tanpa ekspresi juga. Ia tak menyangka Yoongi masih punya rasa kemanusiaan padanya padahal Hyejin membuatnya kesal di awal masuk sekolah.

 

Yoongi sedang menatap langit musim gugur di rooftop sekolah sambil memasang earphone di kedua telinganya. Sudah sejak setengah tahun belakangan ini ia pergi ke rooftop setiap istirahat. Ia lebih suka menyendiri daripada harus berkumpul dengan teman-temannya di kantin sekolah.

“Apa aku mengganggumu?”

Yoongi menolehkan kepalanya tanpa berbalik. Hyejin sedang berdiri di dekat pintu sambil menenteng buku. Seolah tak peduli, Yoongi hanya menggeleng sambil menatap langit kembali.

Tanpa permisi, Hyejin duduk di sebelah Yoongi dan ikut menatap langit. Ia ikut terdiam karena memang ia dan Yoongi tak pernah mengobrol.

“Soal kemarin,” kata Hyejin memecah keheningan. “Terima kasih.”

Yoongi tak menjawab. Ia masih terus menatap langit. Hyejin juga tak marah dengan sikap Yoongi karena memang ucapannya tidak perlu ditanggapi. Hanya sebuah ucapan terima kasih.

Mereka kembali terdiam cukup lama. Yoongi dengan earphone dan Hyejin sedang sibuk menulis cerita di bukunya. Hanya suara angin dan tawa anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan yang mengisi keheningan di antara mereka.

“Kau baik-baik saja?”

Hyejin mematung. Ia perlahan menoleh ke arah Yoongi yang sedang menutup matanya. Tak ada ekspresi berarti di wajah Yoongi.

“Aku baik-baik saja. Kemarin hanya kurang sehat,” kata Hyejin akhirnya. Hatinya menghangat. Sedikit banyak ada perasaan lega menyusup ke dalam dirinya mendengar Yoongi bertanya tentang keadaannya. Pandangannya terhadap Yoongi mendadak berubah ketika itu.

Hyejin tersenyum kecil pada Yoongi yang masih memejamkan mata tanpa ada respon. Ia menutup bukunya dan ikut berbaring di sebelah Yoongi. Ia melepas satu earphone Yoongi dan memasangnya di sebelah telinganya.

“Kau mendengarkan apa?”

Yoongi agak terkejut namun membiarkan Hyejin melakukan apa yang ia mau. Tak ada gunanya melawan Hyejin karena ia sangat keras kepala. Yoongi memilih diam dan kembali menutup mata.

“Wah, musik klasik. Kau suka musik seperti ini rupanya. Seokjin Oppa punya banyak yang seperti ini di laptopnya,” kata Hyejin.

Yoongi memilih diam dan mendengarkan semua celotehan Hyejin tentang Oppa-nya yang mengoleksi banyak musik klasik hanya untuk menemaninya mengerjakan tugas.

 

Musim Panas, 2015

“Aku sangat bersyukur kita tak sekelas. Bisa gila aku jika harus sekelas denganmu lagi,” cerocos Hyejin sambil mengeluarkan pulpen dari tempat pensil.

Menjadi pendengar celotehan Hyejin sudah menjadi rutinitasnya selama tiga tahun belakangan ini. Sejak Hyejin mengucapkan terima kasih di rooftop SMP tiga tahun lalu, mereka mendadak menjadi teman yang tak terpisahkan hingga SMA.

Yoongi memang mencoba untuk menjauh dari Hyejin. Tapi gadis itu terus mendekati Yoongi hingga akhirnya Yoongi menyerah. Salah satu alasannya adalah karena Hyejin yang selalu memberi penjelasan bahwa Yoongi memang orang yang baik pada semua orang kepada perempuan-perempuan yang menyatakan rasa sukanya pada Yoongi. Ia merasa bahwa Hyejin bisa menjadi bentengnya untuk menghadang orang-orang yang salah paham padanya. Terdengar jahat memang, tapi hanya Hyejin yang bisa memahaminya.

“Yoongi-ya, soal lagu yang kau berikan padaku minggu lalu, mengapa kau tak bekerja sama dengan studio musik untuk membuat album? Kupikir lagu itu sangat bagus,” kata Hyejin setelah beberapa saat terdiam.

Yoongi menghela nafasnya sejenak. “Tidak. Orang-orang hanya akan membayarku untuk membeli hak cipta dari laguku. Aku tak menyukainya.”

“Aku tak mengerti lagi. Mengapa kau begitu pesimis? Tidak semua orang itu jahat. Masih banyak orang yang baik di luar sana,” Hyejin mulai kesal.

“Molla,” kata Yoongi menyerah.

Yoongi memang sering membuat lagu sejak kelas dua SMP dan memperdengarkannya kepada Hyejin. Ia selalu meminta pendapat Hyejin tentang liriknya karena Hyejin menyukai hal-hal yang berhubungan dengan bahasa. Mereka berdua sepakat untuk tidak menyebarkan lagu buatan Yoongi ke internet atau ke orang lain. Cukup untuk konsumsi mereka berdua saja.

Setiap hari, Hyejin akan menyusul Yoongi yang lebih dahulu pergi ke rooftop. Mereka akan memakan bekal buatan Seokjin karena Yoongi dan Hyejin sama-sama tidak mau makan di kantin. Hanya saja, Yoongi tidak akan makan kecuali Hyejin yang memaksanya makan. Bahkan terkadang Hyejin menyuap paksa Yoongi, hanya agar Yoongi mau makan. Tubuhnya sangat kecil seperti orang kekurangan gizi, kata Hyejin.

Kegiatan mereka sama saja setiap harinya. Hyejin membuat cerpen, Yoongi mendengarkan lagu atau terkadang membuat lagu dengan gitarnya.

Saat ini pun begitu. Yoongi sedang menyantap kimbab yang dibawa Hyejin sambil memetik gitarnya. Hyejin sendiri masih sibuk menulis cerpen yang akan ia ikutkan.

“Hyejin-a, bagaimana dengan ini?” tanya Yoongi tiba-tiba. Hyejin berhenti menulis dan memfokuskan pendengarannya kepada petikan gitar Yoongi. Ia memperhatikan setiap melodi yang dimainkan Yoongi.

“Apa yang ingin kau ceritakan dari lagu ini?” tanya Hyejin begitu Yoongi selesai memainkan gitarnya.

“Hanya tentang anak yang tidak pernah berhenti berusaha,” kata Yoongi singkat.

“Kau mungkin bisa membuatnya lebih bersemangat tapi liriknya bisa kau buat menyentuh. Ceritakan saja tentang anak itu, betapa ia tak pernah putus asa,” kata Hyejin.

Yoongi mendengarkan dalam diam sambil menulis setiap perkataan Hyejin. Mereka kemudian melanjutkan kegiatan masing-masing sambil sesekali mencomot potongan kimbab.

Yoongi sejenak terdiam. Ia memandang langit musim panas yang terik. Otaknya berputar mencari inspirasi.

“Hyejin-a.”

“Hm?” Hyejin tak sedikit pun berpaling dari bukunya.

“Apa mimpimu?” tanya Yoongi setelah terdiam beberapa saat.

Hyejin mengalihkan pandangannya kepada Yoongi. Laki-laki itu masih mendongak menatap langit.

“Aku?” Hyejin ikut menatap langit. Ia mencoba mencari apa yang menarik dari langit hingga Yoongi sangat suka menatapnya.

“Sejak kecil aku ingin menjadi guru. Tapi, aku menyukai cerita dan puisi. Mungkin aku akan menjadi guru bahasa.”

Yoongi hanya mengangguk.

“Kau sendiri?”

“Molla,” kata Yoongi singkat.

“Kau selalu menyebalkan memang,” cibir Hyejin.

Hyejin POV

Aku dan Yoongi segera turun begitu bus yang kami naiki berhenti di halte dekat rumah kami.

“Ah, benar. Aku lupa mengatakan ini padamu. Mulai besok aku akan bekerja paruh waktu di minimarket dekat rumahmu,” kataku.

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa? Aku tidak bisa sepenuhnya bergantung pada Oppa. Dia sudah tua dan seharusnya sudah menikah. Usia 26 tahun dengan pekerjaan mapan, seharusnya ia sudah punya istri sekarang. Bukannya mengurusiku,” jelasku.

Mengapa Yoongi selalu melemparkan pertanyaan klise seperti itu? Sudah enam tahun aku dan dia berteman dan laki-laki itu masih bertanya kenapa?

“Kau mengambil jadwal di malam hari?” Yoongi masih dengan wajah datarnya.

Aku hanya mengangguk sambil menatap matanya.

“Kenapa?”

Dia mulai lagi.

“Min Yoongi yang terhormat, aku kan sudah kuliah. Dari pagi hingga sore aku kuliah dan tidak ada waktu lagi,” ucapku mencoba sabar menghadapi pertanyaannya.

“Hajima,” katanya singkat, padat, dan cepat. Apa lagi ini?

“Kau melarangku?”

Yoongi hanya mengangguk tanpa menatapku. Ia terus berjalan dengan kedua tangannya ia masukkan ke saku celana.

“Kau bodoh atau bagaimana? Apa hakmu melarangku? Aku ingin meringankan beban Oppa dan kau melarangku?”

Aku mulai kesal. Laki-laki ini memang tidak peka atau tidak tahu? Apakah hidupku terlihat sepele?

“Kubilang jangan. Malam itu waktunya tidur, mengapa kau harus bekerja jika kau bisa tidur?”

“Ucapanmu keterlaluan. Mengapa kau begitu peduli apakah aku tidur atau tidak? Apa pedulimu dengan aku mengambil shift malam atau siang? Apa urusanmu?”

Yoongi menghentikan langkahnya. Aku sedikit terlambat berhenti lalu berbalik badan menghadap Yoongi. Ia sedang menatapku dalam, tanpa sepatah kata.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet