Chapter 1

Oktober Kelabu

Kenangan itu menyiksaku.
Menimbulkan rasa sakit yang menggelitik.
Menoreh luka yang tak pernah bisa sembuh.
Bagai pedang yang menghunus jantung.

Lihatlah aku..
Menunggu sendiri.
Berharap keajaiban menghampiri.
Namun semu dan tak pernah terwujud.
.
.
.
.
Rumah itu hangus tak bersisa, menyisakan tanya yang mengundang derai air mata. Seolah kemalangan tak pernah ada habisnya. Tatapan kosong tertuju pada rumah yang hanya menyisakan tembok-tembok hangus dan abu panas yang menyesakkan dada.

Gadis itu hanya bisa terdiam tanpa suara. Bising dari para tetangga yang membantu memadamkan api seolah tak mengusik sang gadis. Semua fikirannya hanya tertuju pada rumah yang menimbun neneknya kini. Masih segar diingatannya kejadiaan sebelum peristiwa naas ini terjadi.

Neneknya yang masih tersenyum kala dirinya akan berangkat ke kampus. Menenteng tas kecil berisi bekal makanan. Memberikan kecupan singat di dahi yang membuat dadanya menghangat. Mencipta kebahagian kecil yang membuatnya tak kuasa menahan senyum.

Namun tepat pada pukul 10:30 dirinya mendapat kabar dari petugas akademik di kampusnya. Petugas itu mengatakan jika rumahnya hangus terbakar. Fikirannya menjadi kosong, wajah sang nenek terbayang di otaknya.

Tanpa berbasa-basi dan mengulur waktu gadis itu segera pulang dengan air mata yang tak tertahankan. Rasa khawatir dan takut melingkupi hati. Mencoba menghubungi ponsel sang nenek namun tak terhubung. Fikirannya berkecamuk, namun tak ingin berfikir negatif terlebih dahulu. Neneknya pasti baik-baik saja. Semuanya belum pasti dan tentu masih ada harapan walau sedikit.

Namun takdir berkata lain. Takdir tak mengizinkan harapannya terkabul. Semuanya hancur tak berbekas, hanya menyisakan pedih yang memicu air mata dan semakin menyesakkan dada. Tentu sulit mempercayai semuanya. Perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa neneknya terpanggang hidup-hidup dan sulit untuk di evakuasi.

Rumah itu hancur bersama semangat hidup yang selalu memberi kekuatan. Kejadiaan naas yang selalu terjadi di bulan Oktober, tepat satu hari sebelum hari kematian ibunya. Kado terburuk sebelum hari kelahirannya.

Oktober yang kelabu.
Membawa luka.. Memicu air mata.
Dibawah langit.. Ditemani hembusan udara sore musim gugur yang dingin.
Takdir menyapa..
Mengatakan salam perpisahan.

Menyisakan perih akibat luka lama yang tak pernah sembuh.
Apa kabar takdir? 
Dirimu kembali hadir.
Membawa kemalangan yang tiada akhir.
Menguliti kesedihan tiada berujung.

Kini hanya sepi yang menemani, beratapkan langit malam bersama hembusan angin musim gugur gadis itu meratap. Memeluk batu nisan sang nenek yang telah pergi meninggalkannya. Menoreh luka untuk kesekian kalinya tanpa bisa di antisipasi.

Bisakah memilih walau hanya sekali, walau hanya memiliki beberapa detik untuk menentukan pilihan. Tanpa banyak berfikir hanya satu pintanya, ambilah nyawanya tanpa harus bunuh diri.

Hatinya begitu tersiksa mencipta gumpalan awan mendung yang tak pernah mendapat terik sinar mentari pagi. Terus menggelap hingga awan berubah pekat dan hanya kelabu yang menyelimuti. Kesedihan seolah tak pernah lepas dari hidupnya. Bisakah barang sedikit kebahagiaan menghampiri walau hanya sekejap mata.

₪₪

Mata cokelat keemasannya memandang seorang gadis yang tengah duduk bersimpuh memeluk batu nisan. Langit malam seolah tak membuat sang gadis merasa takut.

Tak ada niatan untuk menghampiri apalagi menghibur gadis yang selama ini tengah diawasinya

Tak ada niatan untuk menghampiri apalagi menghibur gadis yang selama ini tengah diawasinya. Berbekal informasi dari para ketua klan, Kim Jongin tahu sedikit tentang biografi sang gadis.

Namun pengawasannya sedikit terusik kala matanya mengkap sesosok pria yang memiliki aura yang dibenci hampir seumur hidupnya. Pria tinggi berkulit putih dengan rambut cokelat keemasan yang berkilau di bawah sinar rembulan malam.

Kim Jongin merasa cukup untuk hari ini. Bertindak gegabah tidaklah membuahkan hasil yang baik. Semua rencana yang telah diatur klannya tidak boleh berantakan begitu saja. Egonya harus terus diredam, rasa ingin tahunya haruslah di pendam.

Gadis itu harus berada dibawah pengawasan klannya sebelum terlambat. Tentu bangsa kulit pucat juga memiliki rencana yang sama.

Pertarungan akan segera dimulai. Tak harus selalu dengan pertumpahan darah. Jika memang tak bisa di selesaikan dengan pembicaran hangat tentulah semua akan diperlukan.

***

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet