Oktober Kelabu

Description

Semua berawal dari kebaikan hati. Berniat membalas budi tapi nyatanya membawa kemalangan.

Pemuda itu hadir dengan sayap hitam legam dan gigi runcing yang menakutkan. Menjemput gadis yang sudah menawan hati. Mencoba menyelamatkan namun nyatanya membahayakan.
 

Foreword

Haruskah ada kasta yang memisahkan kita.
Bisakah cinta ini bersama walau rasanya mustahil.
Kau dan aku berbeda.
Kau bagai siang yang memancarkan kehangatan.
Sedang aku adalah malam yang dingin cenderung kelam dan suram.
.
.
.

Musim gugur yang dulu kusukai kini menjadi musim yang paling ku benci. Setiap 3 bulan dalam 1 tahun mencoba menahan diri yang nyatanya hanya berujung pada rasa sakit tak tertahankan. Ibuku pergi tepat di hari ulang tahunku yang ke 17 tahun, menyusul ayah yang lima tahun lalu pergi di bawa takdir.

Kini diriku memang tidak sendiri. Nenek merawatku bahkan menguatkanku agar tetap bertahan. Berulang kali, bahkan sering terfikir untuk mengakhiri hidup yang rasanya sia-sia. Tapi seseorang berkata padaku jika hidup itu sangat berharga. Mendoakan orang tua yang telah tiada dan mengikhlaskannya merupakan hal yang sepaptutnya di lakukan.

Namun pertemuanku dengan pemuda itu sesingkat gerhana bulan dilangit malam. Tak lebih dari satu hari, namun rasanya ingin kembali bertemu pemuda yang bahkan ku tak tahu namanya.

Sejauh yang ku ingat pemuda itu memiliki warna kulit putih pucat yang nampak bersinar di bawah sinar rembulan. Wajahnya tampan dan berkharisma dengan rambut cokelat keemasan yang serupa dengan rambutku.

Wajahnya tampan dan berkharisma dengan rambut cokelat keemasan yang serupa dengan rambutku       


"Jungiee ayo makan"

Panggilan dari nenek menyadarkanku akan fikiran tentang pemuda misterius yang ku temui 2 hari yang lalu. Membuatku tersenyum kecut di udara dingin bulan Oktober yang kembali membuatku merasa tak nyaman.

Udara malam di bulan Oktober memang selalu sukses membuat mood ku menjadi buruk. Mengikis rasa senang yang beberapa saat lalu terasa di hati.

"Iyaa Nek.. Aku segera kesana"

₹¬₹

Suara lolongan anjing membuat malam semakin menyeramkan. Langit terlihat berawan tanpa taburan bintang yang menghiasi Korea seperti biasanya.

Namun malam tak menjadi penyurut keberanian seorang pemuda yang kini tengah asyik memandang sebuah rumah berlantai dua bercat ungu muda. Pemuda itu tersenyum mendengar suara seorang gadis yang menolongnya 2 tahun lalu. Gadis cantik berambut panjang sepinggang dengan mata hazel mempesona. Pemuda itu memang telah lama mengamati gadis cantik yang ia ketahui beranama Soojung.

Memang rasanya terasa singkat mengartikan jika arti dari perasaan hangat di hatinya adalah cinta. Tapi sungguh perasaan ini semakin membesar setiap harinya. Mencipta sensasi yang tak pernah di rasakan sebelumnya.

Teringat jelas pertemuannya dengan sang gadis. Pemuda itu terpesona pada kebaikan hati Soojung yang dengan tulus menolongnya dari perangkap buatan manusia.

Membebaskannya dari jeratan menyakitkan yang menusuk tubuh kecilnya yang rapuh. Tepat 2 tahun yang lalu ayahnya memberi hukuman dengan mengambil seluruh kekuatannya. Menjadikannya burung gagak kecil yang tak berdaya.

Ditengah rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya, seorang gadis cantik menghampirinya. Mencoba melepaskan jeratan besi berduri yang melukai tubuhnya. Mengucapkan kata-kata yang seolah menenangkan.

"Kau akan baik-baik saja"

Gadis itu terus bergumam, seraya jemarinya melepaskan dengan lembut besi berduri itu. Seolah tak ingin melukai tubuh kecil yang kenyataannya sudah terluka.

"Sehun hyung sedang apa disini?"

Kegiatan pemuda itu terganggu oleh suara teriakan yang tak lain bersumber dari teman sekamarnya di asrama. Ingin sekali memukul wajah pemuda kurang ajar yang berani mengusik kegiatannya.

"Apa urusanmu"

Pemuda bernama Sehun itu segera pergi meninggalkan seorang pemuda yang kini terdiam mematung di tempatnya. Mood pemuda berkulit putih itu seketika hancur begitu saja. Rasa senang yang sejak tadi menjalari seluruh dadanya hilang tak berbekas. Semua ulah Lucas , pemuda itu selalu saja ingin tahu semua urusan pribadinya.


***

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet