SehunxOC Version

Road to Nowhere
Please Subscribe to read the full chapter

 

Tak ada satu hal pun di dunia ini yang abadi. Makhluk hidup bersifat mortal, benda mati pun pasti akan lapuk termakan oleh waktu. Namun tak pernah sekali pun terbersit dalam benak gadis tersebut bahwa cinta mereka pula bersifat fana.

Untuk seorang Jang Juhee, Oh Sehun adalah segalanya. Ia adalah sumber hidupnya. Mataharinya. Napasnya. Denyut jantungnya. Tak ada hal lain yang dapat menggantikan presensi laki-laki itu baginya. Ia pula tak yakin bahwa ia sanggup meneruskan hidup jika Sehun memutuskan untuk pergi. Meninggalkannya dalam kesendirian kelam dan membawa seluruh hangat yang selama ini menjadi selimut hati. Atau barangkali Juhee akan kehilangan akal hingga seumur hidupnya hanya dihabiskan di pusat rehabilitasi kejiwaan.

Sebegitu dalamnyakah ia mencintai seorang Oh Sehun? Sebegitu nekatnyakah ia melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan eksistensi sang Suami di sisinya?

Benar, mereka telah meresmikan hubungan secara hukum sejak empat tahun silam. Di mana semuanya tak nampak lebih baik dari hari sekarang. Keduanya berjumpa dengan cara yang tidak normal. Tidak jika mata pencaharian pokok mereka sama sekali bukanlah hal yang lumrah.

Tepat tujuh tahun yang lalu—awal mula perjumpaan mereka—Juhee dipertemukan oleh seorang pemuda tampan dan bertungkai jenjang. Ia memiliki sepasang netra bulat yang nampak bercahaya. Kesan pertama yang ditangkap tidak lebih dari seorang mahasiswa universitas ternama.

Juhee lantas merasa ciut. Ia tak bernyali memperkenalkan diri dan membuka topik percakapan. Namun takdir berkata lain ketika Sehun-lah yang merapatkan jarak dengan sebuah senyum miring. Bukan sesuatu yang mencibir, melainkan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat. Seakan-akan ia tengah berlari di lintasan maraton selama berhari-hari hingga tenggorokannya tandus.

Kala itu Sehun mengulurkan tangan ke arahnya sembari memperkenalkan diri. Impresi kuat tergurat dalam hati. Mereka memutuskan untuk bertemu sekali lagi, dan tanpa sadar hubungan keduanya pun telah berada dalam zona pertemanan.

Perlahan-lahan Juhee mulai mengetahui pekerjaan seperti apa yang digeluti Sehun. Ia adalah salah satu anggota dari sebuah komplotan geladak yang kala itu menguasai pasar Asia Timur untuk penyelundupan obat-obatan terlarang. Sang Kepala Komplotan sangat menyukai Sehun hingga ia dipercaya untuk menjadi kaki tangannya. Sebagian besar tugas yang ia jalani selalu menempatkan dirinya dalam bahaya. Ia bisa saja tertangkap dan mendekam di balik jeruji besi untuk seumur hidup. Atau bisa juga lelaki tersebut terlibat dalam baku tembak antar gang. Namun tentu Juhee tak mampu menyuarakan kecemasannya. Saat itu ia hanyalah seorang teman bagi Oh Sehun, dan tidak lebih. Lagipula, ia tak ingin menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Juhee takut jika perasaan itu bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, Sehun memintanya untuk menerima ajakan kencan yang ia tawarkan. Tentu Juhee kepalang girang untuk menolak. Namun berikutnya ia menyadari, bahwa ia masih memiliki satu rahasia yang harus diketahui Sehun sebelum mereka benar-benar resmi berkencan. Gadis itu masih ingat betul apa yang dikatakan suaminya ketika ia mengakui pekerjaannya saat itu.

 

.

 

“Aku seorang perempuan bayaran.” Ujarnya lirih, tak melepaskan pandangan dari sepasang manik cokelat Sehun. Ia menggigit bibir bawah, menanti respon lelaki di hadapannya.

Namun hanya keheningan yang menyambut. Sehun masih berdiri di sana dengan raut tak terselami. Ia tak dapat mengartikan senyum tipis yang kini dipasang Sehun. Tidak pula ketika sebuah anggukan samar menambah kebingungan Juhee.

“Aku menjual tubuhku demi uang, Oh Sehun.” Ulangnya, kini dengan nada lebih tegas.

“Aku tahu.” Jawabnya kemudian, seakan-akan ia tak acuh pada fakta yang baru saja dipaparkan Juhee.

“A-apa? Ba-bagaimana—”

“Koneksiku sangat luas, Jang Juhee. Aku tahu di mana kau tinggal, berapa umurmu, dari mana asalmu, dan apa pekerjaanmu.”

Gadis itu semakin terperangah. Ia tak dapat mengatupkan mulut saat senyuman lebar tersungging pada wajah Sehun. Ia mengambil satu langkah maju dan meletakan satu tangan di atas bahu kanan Juhee.

“Tapi aku menyukaimu. Bagaimana ini?”

Wajah mereka kini hanya bersenggang sekian senti. Juhee menelan saliva dengan susah payah tatkala napas beraroma tembakau milik Sehun membentur ujung hidungnya.

“Ta-tapi aku tidak pantas—”

“Ayolah, Juhee, aku pun bukan orang benar.” Ujarnya sembari memutar kedua bola mata. Dan demi Tuhan, Sehun tampak begitu menawan meski ia tengah memasang tampang jengah.

Sesaat setelah kalimat persetujuan terlontar dari mulut Juhee, detik itu pula ia mendapatkan cumbuan ringan dari Sehun. Perpaduan antara aroma tembakau dan pahit Espresso lantas menyentuh indra pencecap Juhee. Ia menyukainya. Ia suka bagaimana Sehun menggerakan bibirnya dengan penuh hati-hati. Ia suka bagaimana kepalanya bergerak ke samping kiri dan memberikan kesempatan baginya untuk membalas kecupan. Ia suka bagaimana Sehun memegang tengkuknya dengan ketegasan. Ia suka bagaimana cumbuan mereka diselingi oleh senyuman girang.

 

.

 

Hubungan mereka sejak tujuh tahun lampau tak berjalan sesuai harapan. Pertengkaran terjadi di sana-sini. Namun keduanya tak sanggup berpisah untuk mengakhiri segala penderitaan. Kau tentu tahu bagaimana rasanya ketika kau mencintai seseorang dengan begitu dalam, namun menyadari bahwa sama sekali tak ada harapan dalam hubungan percintaan kalian. Kau tak sanggup melepaskannya, seakan-akan kau hendak mati jika mengetahui bahwa kau tak dapat memilikinya lagi.

Hal itulah yang kini terjadi dalam hubungan Juhee dan Sehun. Kepribadian mereka bersinggungan satu sama lain. Sejak kecil hidup Juhee tak pernah mudah sehingga karakternya terbentuk menjadi seperti itu; keras kepala, mandiri, dan memiliki harga diri tinggi.

Demikian pula dengan Sehun yang sejak remaja sudah menjadi anggota komplotan geladak. Perangainya keras dan ia tak takut pada apapun. Sejak menikah, lelaki itu memaksa Juhee untuk berhenti dari pekerjaannya. Dan dengan berbagai argumentasi serta beberapa perabot rumah yang hancur akibat pertikaian mereka, akhirnya Juhee memutuskan untuk menuruti keinginan Sehun. Ia berhenti untuk mempertahankan hubungan mereka. Dan sejak empat tahun terakhir, Juhee hanya menerima uang dari sang Suami tanpa melakukan apa-apa.

Ia merasa kecil. Ia merasa tak berguna. Juhee bukanlah orang yang berpendidikan. Keluarganya terlampau kekurangan hingga ia harus berhenti menuntut ilmu sejak lulus dari sekolah menengah atas. Tak ada orang yang ingin memperkerjakannya hingga gadis tersebut memutuskan untuk menjual diri. Setidaknya ia berjuang untuk mempertahankan hidup dan bukan mengharapkan sesuatu dari orang lain.

Ia mendesah keras tatkala jam tua di sudut ruangan berdenting dua kali, menandakan waktu telah menunjukkan pukul dua malam. Sehun masih belum pulang. Kendati ini bukan sesuatu yang aneh, namun mengetahui bahwa lelaki itu akan melakukan suatu misi besar-besaran dalam penyelundupan obat-obatan terlarang ke pasar Amerika membuat Juhee cemas bukan main. Ini adalah kali pertama mereka akan melakukannya. Tentu bukan hal yang mudah dan bahkan Juhee dapat kehilangan Sehun jika misi ini gagal.

Gadis itu tersentak dari lamunan tatkala ia mendengar derum kendaraan di depan rumah. Lantas tungkainya melangkah lebar menuju jendela dan mengintip dari balik tirai merah kesukaannya.

Sehun keluar dari BMW X4 berwarna hitam yang nampak familier. Well, sejak sebulan belakangan gadis itu akan mengantar Sehun pulang setelah mereka membicarakan mengenai rencana penyelundupan. Banyak hal yang perlu diobservasi serta ditangani dengan matang sebelum misi dimulai. Itu sebabnya Sehun lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama gadis pemilik mobil mewah tersebut ketimbang dirinya. Ia adalah parner yang akan melakukan misinya bersama Sehun.

Juhee lantas kembali ke ruang tengah. Ia berdiri di sana sembari melipat tangan di depan dada, menanti kedatangan Sehun. Dan ketika daun pintu berayun terbuka, sontak ia disambut oleh wajah letih sang Suami.

“Kau belum tidur?” tanyanya sambil lalu. ia melempar tas ransel ke atas sofa dan menghentikan langkah tepat di hadapan Juhee.

“Aku menunggumu.”

Senyum samar tersungging pada wajah Sehun. “Terima kasih. Tapi aku akan lebih senang lagi jika menemukanmu sedang terlelap di atas tempat tidur.”

“Agar tidak mendengar omelanku?” tanyanya dengan satu alis berjingkat.

Sehun menyasap wajah, tampak kesal. “Oh, tidak lagi, Ju.”

“Aku tidak suka kau menghabiskan banyak waktu dengan Irene.”

“Dengar, Irene hanya parner kerjaku, oke? Kami tidak ada hubungan apa-apa.”

“Oh, ya? Bagaimana jika kukatakan bahwa Irene menyukaimu?”

“Ini tidak masuk akal!” intonasi suaranya meninggi. “Apa kau punya bukti?”

“Aku tahu, Hun. Aku bisa melihatnya!”

“Hei, itu tak cukup mendasar untuk mengasumsikan bahwa Irene menyukaiku. Hubungan kami tak lebih dari parner kerja.” Sehun berusaha meyakinkan Juhee. Kini intonasinya sudah jauh lebih tenang dan ia meletakkan kedua tangan di atas bahu sang Istri.

“Tak menutup kemungkinan bahwa perasaan lain akan tumbuh.” Ujarnya datar, dengan raut terluka. Kenyataan bahwa Sehun sama sekali tak mempertimbangkan perasaannya justru hanya menambah luka di hati Juhee.

“Damn it, Ju!” bentak Sehun sembari meragut surai cokelatnya. Ia tampak frustasi. Segala hal yang tengah ia hadapi saat ini benar-benar menguras habis seluruh kesabaran. Menjalani misi yang dipercayakan Suho—bos tertinggi dari komplotan mereka—sama sekali bukan hal yang mudah. Lalu kini harus ditambah lagi dengan pertentangan Juhee. Tak bisakah mereka tak bertikai untuk kali ini saja?

“Setidaknya pikirkan perasaanku. Aku tahu misi ini sangat penting bagimu. Tapi apa aku sama sekali tidak penting? Demi Tuhan, kita sudah menikah selama empat tahun tapi tak pernah sekali pun kau mendahuluiku dari pekerjaan.” Ujar Juhee, tak mampu menyembunyikan getaran pada suara.

Sehun menengadahkan kepala sembari mengembuskan napas berat. Wajahnya memerah dengan kedua mata berair—menandakan bahwa ia tengah berjuang membendung amarah.

“Kau tahu aku mencintaimu.” Lirihnya kemudian, kembali mempertemukan manik mereka.

“Kalau begitu tunjukkan. Buktikan padaku.”

“Dan kau ingin aku melepaskan misi ini?” tanyanya tak percaya.

“Jika hanya itu satu-satunya cara untuk menjauh dari Irene—”

“Kau sinting, Jang Juhee.” Tukasnya. “Kau sinting!” ia mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Juhee.

Tangan gemetar Sehun merogoh saku celana dan mengeluarkan sekotak batang nikotin. Ia menyelipkannya di antara himpitan kedua bibir dan membakar ujung rokok.

Asap tersebut kini tengah memenuhi paru-parunya. Ia mendiamkannya selama sekian detik di dalam sana, lalu meniupkan kepulannya ke depan wajah Juhee. Tangan kirinya tengah memegang kening yang berdenyut sementara pandangannya hanya terarah pada sosok gadis mungil di hadapannya.

“Kaupikir aku bisa mengundurkan diri begitu saja? Kau tahu ini bukan hanya sekadar pekerjaan. Mereka sudah seperti keluarga bagiku. Kami sudah berjanji untuk tak mengkhianati satu sama lain. Dan mengundurkan diri dari misi yang dipercayakan adalah sebuah pengkhianatan.” Ujarnya cepat.

“Persetan!” Juhee mengibaskan tangan. “Aku hanya mencemaskanmu, Oh sehun. Apa yang harus kulakukan jika kau tidak kembali nanti? Aku bukan hanya mencemaskan kedekatanmu dengan Irene, tapi bagaimana jika mereka menangkapmu?”

Lantas Sehun terbungkam. Batang nikotin itu hanya terhimpit di kedua jemari, sementara ia tak berniat untuk menghirup asap beracunnya. Raut wajahnya kini mulai mengendur setelah ia menyadari bahwa hal ini pula tak mudah bagi Juhee. Sehun tahu bahwa ia tak pernah merasakan ketenangan sejak mereka bersama. Namun lelaki itu pun terlampau mencintai pekerjaan serta teman-temannya di sana. Ia takkan mampu jika harus dihadapkan pada pilihan; Juhee atau teman-temannya.

Batang nikotin tersebut terjatuh ke atas lantai yang lantas diinjak oleh sepatu kulitnya. Sehun mengambil langkah merapat dan melingkarkan kedua lengannya pada pinggang sempit Juhee.

“Aku akan kembali.” tuturnya lirih.

Gadis itu mendengus. “Aku kalah, bukan?”

“Maaf. Aku akan menyelesaikan misi ini secepat mungkin.”

Satu bulir air mata menganak sungai di permukaan wajah Juhee. Ia menarik napas tajam dan membalas pelukan suaminya.

“Aku benar-benar merasa bodoh, Oh Sehun. Katakan sebuah alasan mengapa aku masih tetap bertahan menjadi istrimu.”

“Karena kau mencintaiku. Sama dalamnya seperti perasaanku.”

Dan detik itu pula, isakan pertama meluncur dari celah bibir Juhee. Ia memukul punggung Sehun dengan kepalan tangan, menyalurkan seluruh kekesalan kepada lelaki tersebut.

“Kenapa kau selalu membuatku menjadi seperti ini?”

“Maaf, maaf.”

Hanya kata itu yang diucapkan Sehun selama ia menanti hingga kesedihan Juhee mereda. Mereka terpaku pada posisi tersebut sekian menit lamanya, hingga kemudian gadis itu memutuskan untuk menarik diri. Ia menatap lurus ke dalam mata sang Suami. Berusaha menyelami pikirannya, namun sama sekali tak menemukan jawaban. Sejak dulu Sehun adalah sebuah misteri tak terpecahkan. Kendati tujuh tahun terlampaui, Juhee pun masih tak dapat menebak jalan pikirannya.

“Aku akan pergi. Hingga misi tuntas, aku akan pergi. Mungkin akan lebih baik jika kita tak bertemu.”

“Kau akan menceraikanku?”

“Tentu saja tidak!” pekiknya dengan kedua mata membeliak. “Aku hanya berpikir jika ini adalah jalan terbaik. Dan jangan kuatir, aku takkan menyukai Irene. Aku takkan tertangkap. Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Jang Juhee.”

Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak, jangan lakukan ini.”

“Ju,” ia menangkup sisi wajah Juhee. “Ju, dengar. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menyelesaikan semuanya jika kita tetap seperti ini. Aku janji setelah seluruhnya tuntas aku akan memperbaiki hubungan kita. Jadi kumohon, biarkan aku menjalani misi ini dengan tenang.”

Sontak ia menepis tangkupan tangan Sehun dari pipinya. Amarah kini kembali memuncak, siap memecahkan tengkorak kepala. Apakah ia masih belum mengerti juga?

“Aku tidak butuh apapun, Oh Sehun. Yang kuinginkan hanya kau, tetap berada di sisiku. Batalkan misi itu dan menjauh dari Irene.”

Sehun mendecakkan lidah. Sekali lagi, emosinya terpancing. Ia mengangkat kedua tangan di udara, seakan-akan lelaki itu tengah mendeklarasikan kekalahan.

“Aku pergi.” Tukasnya rendah.

“Pergi saja! Pergi dan jangan menampakkan wajahmu lagi di hadapanku!”

Juhee tak benar-benar mengamini ucapannya. Itu hanya sebuah ultimatum kosong, dan Sehun pula paham. Ia tahu bahwa setiap kalimat ancaman yang keluar dari mulutnya takkan benar-benar terjadi. Karena Sehun pasti akan kembali kepadanya. Karena Juhee sama sekali tak memiliki opsi lain selain memaafkan dan menerimanya kembali. Karena mereka terlalu mencintai.

Malam itu, Sehun keluar dari rumah dengan bantingan pintu yang menggema di penjuru ruangan. Dan Juhee hanya dapat berharap bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada suaminya.

 

.

XX

.

 

Selama dua puluh tujuh tahun hidupnya, Sehun tak pernah sedikit pun berharap berada dalam situasi sulit seperti ini, dihadapkan pada dua pilihan tersulit sepanjang hidupnya. Dan jika Sehun dipaksa harus memilih satu diantaranya, maka ia bersumpah hal itu akan menjadi daftar terakhir yang dilakukannya. Namun seperti kata pepatah; hidup itu pilihan. Maka Oh Sehun harus tetap memilih walaupun harus menyakiti salah satunya.

“Ada apa dengan wajahmu?” Tanya Irene, sahabat rangkap parner kerja Sehun dalam misi kali ini. Gadis itu mengernyitkan kening melihat raut wajah lelaki di sebelahnya. Pasalnya, Sehun sama sekali tak merespon perkataannya.

“Tidak ada.”

“Hei, aku bukan orang bodoh yang tidak menyadari perubahan wajahmu. Katakan, apa masalahmu.”

“Ini soal Juhee.”

“Istrimu? Ada apa lagi?”

Helaan napas pun keluar dari celah bibir Sehun, merasa lelah dengan semuanya. “Sehun memintaku berhenti dari pekerjaan ini. Entahlah, aku merasa kekhawatirannya tidak mendasar. Bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian yang sudah seperti keluarga bagiku?”

Tak ada respon berarti dari Irene, yang dilakukannya hanya mengisap batang nikotin yang terselip di kedua belah bibirnya. Ekspresinya tak terbaca. Dan itu justru membuat Sehun bertambah pusing. Ayolah, tidak bisakah sahabatnya itu merespon semua perkataannya? Ingin rasanya Sehun melubangi kepala Irene saat ini juga.

“Hanya itu?” cetusnya

“Hanya itu? Kau bilang ‘hanya itu?’ seletah sekian menit tidak mengeluarkan sepatah kata? Kau sinting atau bodoh, Irene? Kau tidak terkejut sama sekali?”

“Di bagian mananya yang harus membuatku terkejut? Juhee yang memintamu untuk berhenti dari dunia ini? Atau tatapan matamu yang mengatakan kalau kau ingin melubangi kepalaku?” ujarnya sarkartis seakan bisa menebak apa yang tengah dipikirkan Sehun. Dan itu cukup membuat Sehun terkejut. Apakah diam-diam Irene mempunyai indra keenam? ”Kita sudah lama bersahabat dan menjadi rekan kerja, jadi aku hafal luar dalam dirimu termasuk arti tatapanmu itu.” Kembali Irene seakan menjawab pemikiran Sehun dengan intonasi datar. “Kupikir itu wajar. Seorang istri, kekasih, atau apapun itu namanya meminta pasangannya untuk berhenti dari pekerjaan yang bisa merenggut nyawanya kapan saja. Tidak ada yang tidak mendasar dari kekhawatirannya. Juhee hanya tidak ingin kau celaka, bodoh.”

“Aku tahu, tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan semuanya. Kalian sangat berarti untukku.”

“Lantas, apa kau rela meninggalkan Juhee?”

“Aku lebih baik mati daripada harus kehilangannya.”

“Dengar, Sehun. Aku tidak memaksamu berhenti dari pekerjaan gelap ini, dan aku pun tidak memintamu untuk tetap berada di dalamnya. Itu semua tergantung padamu. Aku, atau bahkan, seluruh komplotan pun  tahu, Juhee sangat mencintaimu sama sepertimu, dia hanya mencemaskanmu. Istri mana yang rela melihat suaminya bekerja mempertaruhkan nyawa. Tidak ada yang bisa menjamin, apakah kita masih selamat setelah misi ini, lolos dari kejaran orang-orang yang berkedok polisi, atau justru pulang hanya tinggal jasad. Itu semua bisa terjadi.”

“Ini membuatku gila.”

“Seharusnya kau bersyukur masih ada orang yang mengharapkan kepulanganmu. Tidak seperti aku dan lainnya. Tapi terlepas dari itu, ada apa dengan kopormu? Jangan bilang kau berencana tinggal di tempatku!”

“Aku sudah menentukan keputusanmu, asal kau tahu.”

“Kau laki-laki terbodoh yang pernah kukenal dimuka bumi.”

“It’s me.”

“Bagaimana dengan Juhee? Kau tidak meninggalkannya, bukan? Karena jika itu benar aku bersumpah akan menguburmu hidup-hidup.”

“Sudah kukatakan. Aku lebih baik mati daripada kehilangannya.”

“Lantas?”

“Tentu saja aku mempertahankannya, hanya saja saat ini aku perlu menjauh darinya demi misi. Agar aku lebih bisa berkonsentrasi. Kau tahu bagaimana buruknya ia saat sedang marah.”

“Dan kau memilih rumahku sebagai tempat pelarianmu?”

Sehun hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaan Irene.

“Kau benar-benar sinting.” Cecarnya

“Aku pasti akan kembali, Irene. Hanya untuk Juhee. Karena dialah tempatku pulang.”

“Semoga kau bisa menepati janjimu itu.” Ujarnya sembari meneguk minuman beralkohol di tangannya. Sementara Sehun hanya memandang Irene dengan ekspresi tak terbaca. Pemuda itu sadar betul bahwa misi kali ini lebih berbahaya.

Aku pasti kembali.

 

.

XX

.

 

Keesokan harinya, hanya kekosongan yang ditemui Juhee di sisi ranjangnya. Tidak ada dekapan hangat sang suami, tak ada wajah terlelap Sehun dan tak ada bibir yang memberikan ciuman padanya. Sehun benar-benar pergi dan Juhee merasa hampa. Kendati ini bukan kali pertama ia melakukannya, namun kenyataan tersebut justru tak pernah membuatnya terbiasa.

Kini tungkai tersebut melangkah memasuki kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin. Gadis tersebut dapat meilhat kondisi fisiknya saat ini. Tampak kacau dengan lingkar hitam di sekitar mata, belum lagi mata sipitnya yang sembap. Entah berapa lama waktu yang dihabiskannya untuk menangis—menangisi si Bodoh Sehun. Setelah dirasa cukup membenahi kekacauan, ia pun kembali melangkahkan kakinya ke dapur  untuk membuat sarapan.

Di ruangan itu, kembali kekosongan menyerangnya, bahkan kian terasa. Biasanya ada Sehun yang akan selalu membantunya memasak, menyiapkan dua porsi sarapan, tapi kali ini semua hanya kenangan. Entah sampai kapan semua ini harus ia lalui. Jang Juhee sangat merindukan Oh Sehun.

Kunyahan tak bersemangat menjadi teman sarapan Juhee, pikirannya mengawang jauh. Kekehan kecut pun meluncur di sepasang bibir tipisnya.

“Sehun benar-benar pergi, kupikir itu hanya mimpi buruk.” Gumamnya sembari mengingat pertengkaran mereka di malam sebelumnya. Setetes air mata pun jatuh membasahi pipi Juhee dan secepat kilat ia pun menghapusnya.

Dengan perasaan berkecamuk, gadis itu pun menyingkirkan makanan yang baru beberapa sendok ia telan. Juhee hanya membutuhkan Sehun-nya.

‘Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Jang Juhee.’

Kalimat itu terus berputar di kepala Juhee bak sebuah mantra penenang. Ia tahu, Sehun selalu menepati janjinya dan kali ini pun ia pasti menepati janjinya. Namun, tak selamanya Dewi Fortuna selalu berpihak pada sang Suami.  Pernah beberapa kali Juhee menemukan Sehun pulang dengan tubuh penuh luka, dan itu cukup menyadarkan gadis tersebut bahwa profesi yang dijalani Sehun sangat berbahaya yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.

“Kenapa kau tak mau menuruti permintaanku sekali saja? Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, lantas bagaimana aku bisa menjalani sisa hidupku?”

Bukan cuma sekali ini Juhee meminta Sehun berhenti dari pekerjaannya, tapi pemuda tinggi itu selalu mempertahankan pendapatnya. Dan jika sudah begini, Juhee hanya bisa pasrah karena ia tahu, ia akan selalu kalah.

Linangan air mata terus membasahi wajah gadis itu, segala macam keluh kesah telah ia keluarkan, namun tak ada satu pun yang mampu membuatnya tenang. Dengan menyandarkan punggung sempitnya di sandaran sofa, Juhee pun mulai berpikir langkah apa yang harus ia ambil setelahnya. Dan setelah tiga puluh menit berperang dengan akal sehatnya, gadis mungil itu akhirnya mengambil suatu keputusan penting. Keputusan yang mungkin akan membawanya kepada kemurkaan sang suami.

“Baiklah, Sehun. Jika kau tetap bersikeras mempertahankan pekerjaanmu, maka aku pun akan melakukan hal yang sama.”

 

.

XX

.

 

“Sial! Mereka akan melakukan pemeriksaan di hari misi.” Umpat Irene sembari menendang udara.

Sehun mengangkat wajah dan menatap gadis yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia tak tampak baik, dan lantas Sehun pun menyadari bahwa Irene sama sekali tak terlelap semalaman. Barangkali ia sibuk meretas beberapa situs kepolisian untuk mengetahui jadwal pemeriksaan kapal. Kendati mereka telah membayar mahal kepada perusahaan yang memiliki kapal tersebut, namun tentu mereka tak dapat menjamin jika barang penyelundupan takkan ditemukan.

“Dan itu hanya dua minggu dari sekarang, Sehun. Kita nyaris berhasil jika saja polisi-polisi bodoh itu tak memutuskan untuk melakukan pemeriksaan.” Imbuh Irene seraya meragut sura gelapnya. Keningnya mengernyit dalam dan sungguh, Sehun acapkali bertanya-tanya; bagaimana mungkin ia masih tampak menarik dengan tampang kusut seperti itu?

“Kapan kapal berikutnya berangkat?” tanya lelaki itu, berusaha agar tetap tenang.

“Bulan depan.”

“Goddammit!”

Kini keduanya sama sekali tak mampu mengendalikan kepanikan. Wajah Sehun lantas memerah dan ia pun mengabaikan roti panggang yang hendak disantapnya sebelum Irene datang dengan informasi tersebut. Tentu mereka tak dapat menunggu lebih lama lagi. Sehun sudah berjanji kepada Juhee bahwa ia akan menyelesaikannya dengan cepat. Terlebih, jika mereka harus mengulur-ulur waktu, maka besar kemungkinan jika rencana tersebut akan terendus oleh pihak luar. Dan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Sehun serta Irene. Lagipula, Suho tentu akan kehilangan segalanya jika misi kali ini benar-benar gagal.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Irene, melirik Sehun.

Embusan napas berat terhela dari celah bibirnya. Ia melatakkan kepalan tangan di atas meja dan kedua alisnya menyatu tatkala ia menyuarakan jawaban untuk pertanyaan Irene. “Tak ada pilihan lain. Kita akan memajukan waktunya.”

“Oh Sehun, kupikir itu bukan gagasan yang baik. Rencana kita belum cukup matang.” Intonasinya terdengar ragu.

“Kita juga tak bisa mengundurnya hingga bulan depan, Bae Joohyun!” bentak Sehun, tak dapat mengabui tekanan.

Sementara rahang Irene lantas terkatup rapat tatkala ia mendengar nama lengkapnya terlontar dari mulut Sehun. Sejak ia bergabung dengan komplotan Suho, gadis itu telah mengganti namanya guna melindungi identitas asli. Dan sudah menjadi kesepakatan bersama untuk tak memanggil satu sama lain dengan nama asli mereka. Tentu tak semua anggota menggunakan nama samaran. Hanya beberapa yang merasa bahwa keluarga serta kehidupan pribadi mereka perlu dilindungi. Tentu Irene tak mau jika komplotan musuh akan menggunakan keluarganya untuk melancarkan aksi balas dendam. Sementara Sehun yang sejak kecilnya tinggal di panti asuhan, ia sama sekali tak memiliki kekuatiran untuk menggunakan nama asli. Satu-satunya kecemasan baginya saat ini hanyalah Jang Juhee.

“Kita tak bisa menundanya lagi, Irene.” Ujar Sehun rendah, kali ini terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

Irene menggigit bibir bawah. “Tapi kau tahu bahwa risikonya akan lebih besar, bukan?”

“Setidaknya itu adalah pilihan terbaik ketimbang mengulurnya hingga bulan depan. Mereka takkan menolerir keterlambatan.”

Setelah memperhitungkan banyak hal, Irene akhirnya mengangguk setuju. Ucapan Sehun memang benar. Mereka yang di Amerika sana takkan menolerir keterlambatan. Itu hanya akan menambah perkara. Atau bahkan menambah musuh bagi komplotan mereka.

“Baiklah, kita lakukan pekan depan.”

 

.

XX

.

 

Dari: Sehun

Subyek: Tunggu Aku

Kau masih ingat janjiku, bukan? Apapun yang terjadi aku tetap akan kembali. Jadi tetaplah menunggu.

 

Juhee nyaris mencampakkan ponsel yang kini tengah berada dalam genggamannya. Setelah tiga hari tak meninggalkan kabar sejak kepergiannya, kini Sehun justru mengirim pesan singkat yang sama sekali tak diinginkan Juhee. Apakah ia harus mengatakan hal itu kepadanya? Apakah ia harus membuatnya merasa semakin kesal?

Yang Juhee inginkan hanya kepulangan Sehun. Yang Juhee inginkan hanya kabar bahwa ia telah membatalkan misi dan menarik diri dari pekerjaan riskan tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan pada rumah tangga mereka. Tentu Juhee tak menginginkan perceraian. Tentu pula ia tak ingin berpisah dari sang Suami. Tetapi jika tetap seperti ini, keduanya hanya akan semakin terluka.

 

Ke: Sehun

Subyek: Masa Bodoh

Terserah.

 

Tak berapa lama kemudian, Sehun kembali membalas pesannya.

 

Dari: Sehun

Subyek: Bohong

Aku tahu kau peduli. Aku tahu kau memercayaiku. Aku tahu kau akan menunggu. Jangan menyakiti dirimu sendiri, Ju.

 

<
Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet