ChanBaek Version

Road to Nowhere
Please Subscribe to read the full chapter

 

Tak ada satu hal pun di dunia ini yang abadi. Makhluk hidup bersifat mortal, benda mati pun pasti akan lapuk termakan oleh waktu. Namun tak pernah sekali pun terbersit dalam benak lelaki tersebut bahwa cinta mereka pula bersifat fana.

Untuk seorang Byun Baekhyun, Park Chanyeol adalah segalanya. Ia adalah sumber hidupnya. Mataharinya. Napasnya. Denyut jantungnya. Tak ada hal lain yang dapat menggantikan presensi laki-laki itu baginya. Ia pula tak yakin bahwa ia sanggup meneruskan hidup jika Chanyeol memutuskan untuk pergi. Meninggalkannya dalam kesendirian kelam dan membawa seluruh hangat yang selama ini menjadi selimut hati. Atau barangkali Baekhyun akan kehilangan akal hingga seumur hidupnya hanya dihabiskan di pusat rehabilitasi kejiwaan.

Sebegitu dalamnyakah ia mencintai seorang Park Chanyeol? Sebegitu nekatnyakah ia melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan eksistensi sang Suami di sisinya?

Benar, mereka telah meresmikan hubungan secara hukum sejak empat tahun silam. Di mana semuanya tak nampak lebih baik dari hari sekarang. Keduanya berjumpa dengan cara yang tidak normal. Tidak jika mata pencaharian pokok mereka sama sekali bukanlah hal yang lumrah.

Tepat tujuh tahun yang lalu—awal mula perjumpaan mereka—Baekhyun dipertemukan oleh seorang pemuda tampan dan bertungkai jenjang. Ia memiliki sepasang netra bulat yang nampak bercahaya. Kesan pertama yang ditangkap tidak lebih dari seorang mahasiswa universitas ternama.

Baekhyun lantas merasa ciut. Ia tak bernyali memperkenalkan diri dan membuka topik percakapan. Namun takdir berkata lain ketika Chanyeol-lah yang merapatkan jarak dengan sebuah senyum miring. Bukan sesuatu yang mencibir, melainkan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat. Seakan-akan ia tengah berlari di lintasan maraton selama berhari-hari hingga tenggorokannya tandus.

Kala itu Chanyeol mengulurkan tangan ke arahnya sembari memperkenalkan diri. Impresi kuat tergurat dalam hati. Mereka memutuskan untuk bertemu sekali lagi, dan tanpa sadar hubungan keduanya pun telah berada dalam zona pertemanan.

Perlahan-lahan Baekhyun mulai mengetahui pekerjaan seperti apa yang digeluti Chanyeol. Ia adalah salah satu anggota dari sebuah komplotan geladak yang kala itu menguasai pasar Asia Timur untuk penyelundupan obat-obatan terlarang. Sang Kepala Komplotan sangat menyukai Chanyeol hingga ia dipercaya untuk menjadi kaki tangannya. Sebagian besar tugas yang ia jalani selalu menempatkan dirinya dalam bahaya. Ia bisa saja tertangkap dan mendekam di balik jeruji besi untuk seumur hidup. Atau bisa juga lelaki tersebut terlibat dalam baku tembak antar gang. Namun tentu Baekhyun tak mampu menyuarakan kecemasannya. Saat itu ia hanyalah seorang teman bagi Park Chanyeol, dan tidak lebih. Lagipula, ia tak ingin menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Baekhyun takut jika perasaan itu bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, Chanyeol memintanya untuk menerima ajakan kencan yang ia tawarkan. Tentu Baekhyun kepalang girang untuk menolak. Namun berikutnya ia menyadari, bahwa ia masih memiliki satu rahasia yang harus diketahui Chanyeol sebelum mereka benar-benar resmi berkencan. Lelaki itu masih ingat betul apa yang dikatakan suaminya ketika ia mengakui pekerjaannya saat itu.

.

“Aku seorang lak-laki bayaran.” Ujarnya lirih, tak melepaskan pandangan dari sepasang manik cokelat Chanyeol. Ia menggigit bibir bawah, menanti respon lelaki di hadapannya.

Namun hanya keheningan yang menyambut. Chanyeol masih berdiri di sana dengan raut tak terselami. Ia tak dapat mengartikan senyum tipis yang kini dipasang Chanyeol. Tidak pula ketika sebuah anggukan samar menambah kebingungan Baekhyun.

“Aku menjual tubuhku demi uang, Park Chanyeol.” Ulangnya, kini dengan nada lebih tegas.

“Aku tahu.” Jawabnya kemudian, seakan-akan ia tak acuh pada fakta yang baru saja dipaparkan Baekhyun.

“A-apa? Ba-bagaimana—”

“Koneksiku sangat luas, Byun Baekhyun. Aku tahu di mana kau tinggal, berapa umurmu, dari mana asalmu, dan apa pekerjaanmu.”

Lelaki itu semakin terperangah. Ia tak dapat mengatupkan mulut saat senyuman lebar tersungging pada wajah Chanyeol. Ia mengambil satu langkah maju dan meletakan satu tangan di atas bahu kanan Baekhyun.

“Tapi aku menyukaimu. Bagaimana ini?”

Wajah mereka kini hanya bersenggang sekian senti. Baekhyun menelan saliva dengan susah payah tatkala napas beraroma tembakau milik Chanyeol membentur ujung hidungnya.

“Ta-tapi aku tidak pantas—”

“Ayolah, Baekhyun, aku pun bukan orang benar.” Ujarnya sembari memutar kedua bola mata. Dan demi Tuhan, Chanyeol tampak begitu menawan meski ia tengah memasang tampang jengah.

Sesaat setelah kalimat persetujuan terlontar dari mulut Baekhyun, detik itu pula ia mendapatkan cumbuan ringan dari Chanyeol. Perpaduan antara aroma tembakau dan pahit Espresso lantas menyentuh indra pencecap Baekhyun. Ia menyukainya. Ia suka bagaimana Chanyeol menggerakan bibirnya dengan penuh hati-hati. Ia suka bagaimana kepalanya bergerak ke samping kiri dan memberikan kesempatan baginya untuk membalas kecupan. Ia suka bagaimana Chanyeol memegang tengkuknya dengan ketegasan. Ia suka bagaimana cumbuan mereka diselingi oleh senyuman girang.

.

Hubungan mereka sejak tujuh tahun lampau tak berjalan sesuai harapan. Pertengkaran terjadi di sana-sini. Namun keduanya tak sanggup berpisah untuk mengakhiri segala penderitaan. Kau tentu tahu bagaimana rasanya ketika kau mencintai seseorang dengan begitu dalam, namun menyadari bahwa sama sekali tak ada harapan dalam hubungan percintaan kalian. Kau tak sanggup melepaskannya, seakan-akan kau hendak mati jika mengetahui bahwa kau tak dapat memilikinya lagi.

Hal itulah yang kini terjadi dalam hubungan Baekhyun dan Chanyeol. Kepribadian mereka bersinggungan satu sama lain. Sejak kecil hidup Baekhyun tak pernah mudah sehingga karakternya terbentuk menjadi seperti itu; keras kepala, mandiri, dan memiliki harga diri tinggi.

Demikian pula dengan Chanyeol yang sejak remaja sudah menjadi anggota komplotan geladak. Perangainya keras dan ia tak takut pada apapun. Sejak menikah, lelaki itu memaksa Baekhyun untuk berhenti dari pekerjaannya. Dan dengan berbagai argumentasi serta beberapa perabot rumah yang hancur akibat pertikaian mereka, akhirnya Baekhyun memutuskan untuk menuruti keinginan Chanyeol. Ia berhenti untuk mempertahankan hubungan mereka. Dan sejak empat tahun terakhir, Baekhyun hanya menerima uang dari sang Suami tanpa melakukan apa-apa.

Ia merasa kecil. Ia merasa tak berguna. Baekhyun bukanlah orang yang berpendidikan. Keluarganya terlampau kekurangan hingga ia harus berhenti menuntut ilmu sejak lulus dari sekolah menengah pertama. Tak ada orang yang ingin memperkerjakannya hingga lelaki tersebut memutuskan untuk menjual diri. Setidaknya ia berjuang untuk mempertahankan hidup dan bukan mengharapkan sesuatu dari orang lain.

Ia mendesah keras tatkala jam tua di sudut ruangan berdenting dua kali, menandakan waktu telah menunjukkan pukul dua malam. Chanyeol masih belum pulang. Kendati ini bukan sesuatu yang aneh, namun mengetahui bahwa lelaki itu akan melakukan suatu misi besar-besaran dalam penyelundupan obat-obatan terlarang ke pasar Amerika membuat Baekhyun cemas bukan main. Ini adalah kali pertama mereka akan melakukannya. Tentu bukan hal yang mudah dan bahkan Baekhyun dapat kehilangan Chanyeol jika misi ini gagal.

Lelaki itu tersentak dari lamunan tatkala ia mendengar derum kendaraan di depan rumah. Lantas tungkainya melangkah lebar menuju jendela dan mengintip dari balik tirai merah kesukaannya.

Chanyeol keluar dari BMW X4 berwarna hitam yang nampak familier. Well, sejak sebulan belakangan lelaki itu akan mengantar Chanyeol pulang setelah mereka membicarakan mengenai rencana penyelundupan. Banyak hal yang perlu diobservasi serta ditangani dengan matang sebelum misi dimulai. Itu sebabnya Chanyeol lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama lelaki pemilik mobil mewah tersebut ketimbang dirinya. Ia adalah parner yang akan melakukan misinya bersama Chanyeol.

Baekhyun lantas kembali ke ruang tengah. Ia berdiri di sana sembari melipat tangan di depan dada, menanti kedatangan Chanyeol. Dan ketika daun pintu berayun terbuka, sontak ia disambut oleh wajah letih sang Suami.

“Kau belum tidur?” tanyanya sambil lalu. ia melempar tas ransel ke atas sofa dan menghentikan langkah tepat di hadapan Baekhyun.

“Aku menunggumu.”

Senyum samar tersungging pada wajah Chanyeol. “Terima kasih. Tapi aku akan lebih senang lagi jika menemukanmu sedang terlelap di atas tempat tidur.”

“Agar tidak mendengar omelanku?” tanyanya dengan satu alis berjingkat.

Chanyeol menyasap wajah, tampak kesal. “Oh, tidak lagi, Baek.”

“Aku tidak suka kau menghabiskan banyak waktu dengan Kai.”

“Dengar, Kai hanya parner kerjaku, oke? Kami tidak ada hubungan apa-apa.”

“Oh, ya? Bagaimana jika kukatakan bahwa Kai menyukaimu?”

“Ini tidak masuk akal!” intonasi suaranya meninggi. “Apa kau punya bukti?”

“Aku tahu, Yeol. Aku bisa melihatnya!”

“Hei, itu tak cukup mendasar untuk mengasumsikan bahwa Kai menyukaiku. Hubungan kami tak lebih dari parner kerja.” Chanyeol berusaha meyakinkan Baekhyun. Kini intonasinya sudah jauh lebih tenang dan ia meletakkan kedua tangan di atas bahu sang Suami.

“Tak menutup kemungkinan bahwa perasaan lain akan tumbuh.” Ujarnya datar, dengan raut terluka. Kenyataan bahwa Chanyeol sama sekali tak mempertimbangkan perasaannya justru hanya menambah luka di hati Baekhyun.

“Damn it, Baek!” bentak Chanyeol sembari meragut surai cokelatnya. Ia tampak frustasi. Segala hal yang tengah ia hadapi saat ini benar-benar menguras habis seluruh kesabaran. Menjalani misi yang dipercayakan Suho—bos tertinggi dari komplotan mereka—sama sekali bukan hal yang mudah. Lalu kini harus ditambah lagi dengan pertentangan Baekhyun. Tak bisakah mereka tak bertikai untuk kali ini saja?

“Setidaknya pikirkan perasaanku. Aku tahu misi ini sangat penting bagimu. Tapi apa aku sama sekali tidak penting? Demi Tuhan, kita sudah menikah selama empat tahun tapi tak pernah sekali pun kau mendahuluiku dari pekerjaan.” Ujar Baekhyun, tak mampu menyembunyikan getaran pada suara.

Chanyeol menengadahkan kepala sembari mengembuskan napas berat. Wajahnya memerah dengan kedua mata berair—menandakan bahwa ia tengah berjuang membendung amarah.

“Kau tahu aku mencintaimu.” Lirihnya kemudian, kembali mempertemukan manik mereka.

“Kalau begitu tunjukkan. Buktikan padaku.”

“Dan kau ingin aku melepaskan misi ini?” tanyanya tak percaya.

“Jika hanya itu satu-satunya cara untuk menjauh dari Kai—”

“Kau sinting, Byun Baekhyun.” Tukasnya. “Kau sinting!” ia mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Baekhyun.

Tangan gemetar Chanyeol merogoh saku celana dan mengeluarkan sekotak batang nikotin. Ia menyelipkannya di antara himpitan kedua bibir dan membakar ujung rokok.

Asap tersebut kini tengah memenuhi paru-parunya. Ia mendiamkannya selama sekian detik di dalam sana, lalu meniupkan kepulannya ke depan wajah Baekhyun. Tangan kirinya tengah memegang kening yang berdenyut sementara pandangannya hanya terarah pada sosok lelaki mungil di hadapannya.

“Kaupikir aku bisa mengundurkan diri begitu saja? Kau tahu ini bukan hanya sekadar pekerjaan. Mereka sudah seperti keluarga bagiku. Kami sudah berjanji untuk tak mengkhianati satu sama lain. Dan mengundurkan diri dari misi yang dipercayakan adalah sebuah pengkhianatan.” Ujarnya cepat.

“Persetan!” Baekhyun mengibaskan tangan. “Aku hanya mencemaskanmu, Park Chanyeol. Apa yang harus kulakukan jika kau tidak kembali nanti? Aku bukan hanya mencemaskan kedekatanmu dengan Kai, tapi bagaimana jika mereka menangkapmu?”

Lantas Chanyeol terbungkam. Batang nikotin itu hanya terhimpit di kedua jemari, sementara ia tak berniat untuk menghirup asap beracunnya. Raut wajahnya kini mulai mengendur setelah ia menyadari bahwa hal ini pula tak mudah bagi Baekhyun. Chanyeol tahu bahwa ia tak pernah merasakan ketenangan sejak mereka bersama. Namun lelaki itu pun terlampau mencintai pekerjaan serta teman-temannya di sana. Ia takkan mampu jika harus dihadapkan pada pilihan; Baekhyun atau teman-temannya.

Batang nikotin tersebut terjatuh ke atas lantai yang lantas diinjak oleh sepatu kulitnya. Chanyeol mengambil langkah merapat dan melingkarkan kedua lengannya pada pinggang sempit Baekhyun.

“Aku akan kembali.” tuturnya lirih.

Lelaki itu mendengus. “Aku kalah, bukan?”

“Maaf. Aku akan menyelesaikan misi ini secepat mungkin.”

Satu bulir air mata menganak sungai di permukaan wajah Baekhyun. Ia menarik napas tajam dan membalas pelukan suaminya.

“Aku benar-benar merasa bodoh, Park Chanyeol. Katakan sebuah alasan mengapa aku masih tetap bertahan menjadi suamimu.”

“Karena kau mencintaiku. Sama dalamnya seperti perasaanku.”

Dan detik itu pula, isakan pertama meluncur dari celah bibir Baekhyun. Ia memukul punggung Chanyeol dengan kepalan tangan, menyalurkan seluruh kekesalan kepada lelaki tersebut.

“Kenapa kau selalu membuatku menjadi seperti ini?”

“Maaf, maaf.”

Hanya kata itu yang diucapkan Chanyeol selama ia menanti hingga kesedihan Baekhyun mereda. Mereka terpaku pada posisi tersebut sekian menit lamanya, hingga kemudian lelaki yang lebih pendek memutuskan untuk menarik diri. Ia menatap lurus ke dalam mata sang Suami. Berusaha menyelami pikirannya, namun sama sekali tak menemukan jawaban. Sejak dulu Chanyeol adalah sebuah misteri tak terpecahkan. Kendati tujuh tahun terlampaui, Baekhyun pun masih tak dapat menebak jalan pikirannya.

“Aku akan pergi. Hingga misi tuntas, aku akan pergi. Mungkin akan lebih baik jika kita tak bertemu.”

“Kau akan menceraikanku?”

“Tentu saja tidak!” pekiknya dengan kedua mata membeliak. “Aku hanya berpikir jika ini adalah jalan terbaik. Dan jangan kuatir, aku takkan menyukai Kai. Aku takkan tertangkap. Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Byun Baekhyun.”

Lelaki itu menggeleng cepat. “Tidak, jangan lakukan ini.”

“Baek,” ia menangkup sisi wajah Baekhyun. “Baek, dengar. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menyelesaikan semuanya jika kita tetap seperti ini. Aku janji setelah seluruhnya tuntas aku akan memperbaiki hubungan kita. Jadi kumohon, biarkan aku menjalani misi ini dengan tenang.”

Sontak ia menepis tangkupan tangan Chanyeol dari pipinya. Amarah kini kembali memuncak, siap memecahkan tengkorak kepala. Apakah ia masih belum mengerti juga?

“Aku tidak butuh apapun, Park Chanyeol. Yang kuinginkan hanya kau, tetap berada di sisiku. Batalkan misi itu dan menjauh dari Kai.”

Chanyeol mendecakkan lidah. Sekali lagi, emosinya terpancing. Ia mengangkat kedua tangan di udara, seakan-akan lelaki itu tengah mendeklarasikan kekalahan.

“Aku pergi.” Tukasnya rendah.

“Pergi saja! Pergi dan jangan menampakkan wajahmu lagi di hadapanku!”

Baekhyun tak benar-benar mengamini ucapannya. Itu hanya sebuah ultimatum kosong, dan Chanyeol pula paham. Ia tahu bahwa setiap kalimat ancaman yang keluar dari mulutnya takkan benar-benar terjadi. Karena Chanyeol pasti akan kembali kepadanya. Karena Baekhyun sama sekali tak memiliki opsi lain selain memaafkan dan menerimanya kembali. Karena mereka terlalu mencintai.

Malam itu, Chanyeol keluar dari rumah dengan bantingan pintu yang menggema di penjuru ruangan. Dan Baekhyun hanya dapat berharap bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada suaminya.

 

.

XX

.

 

Selama dua puluh tujuh tahun hidupnya, Chanyeol tak pernah sedikit pun berharap berada dalam situasi sulit seperti ini, dihadapkan pada dua pilihan tersulit sepanjang hidupnya. Dan jika Chanyeol dipaksa harus memilih satu diantaranya, maka ia bersumpah hal itu akan menjadi daftar terakhir yang dilakukannya. Namun seperti kata pepatah; hidup itu pilihan. Maka Park Chanyeol harus tetap memilih walaupun harus menyakiti salah satunya.

“Ada apa dengan wajahmu?” Tanya Kai, sahabat rangkap parner kerja Chanyeol dalam misi kali ini. Pemuda berkulit gelap itu mengernyitkan alis melihat raut wajah lelaki di sebelahnya. Pasalnya Chanyeol sama sekali tak merespon perkataannya.

“Tidak ada.”

“Hei, Bung, aku bukan orang bodoh yang tidak menyadari perubahan wajahmu. Katakan, apa masalahmu.”

“Ini soal Baekhyun.”

“Suamimu? Ada apa lagi?”

Helaan napas pun keluar dari celah bibir Chanyeol, merasa lelah dengan semuanya. “Baekhyun memintaku berhenti dari pekerjaan ini. Entahlah, aku merasa kekhawatirannya itu tidak mendasar. Bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian yang sudah seperti keluarga bagiku?”

Tak ada respon berarti dari Kai, yang dilakukannya hanya mengisap batang nikotin yang terselip di kedua belah bibirnya. Ekspresinya tak terbaca. Dan itu justru membuat Chanyeol bertambah pusing. Ayolah, tidak bisakah sahabatnya itu merespon semua perkataannya? Ingin rasanya Chanyeol melubangi kepala Kai saat ini juga.

“Hanya itu?” cetusnya

“Hanya itu? Kau bilang ‘hanya itu?’ seletah sekian menit tidak mengeluarkan sepatah kata? Kau sinting atau bodoh, Kai? Kau tidak terkejut sama sekali?”

“Di bagian mananya yang harus membuatku terkejut? Baekhyun yang memintamu untuk berhenti dari dunia ini? Atau tatapan matamu yang mengatakan kalau kau ingin melubangi kepalaku?” ujarnya sarkartis seakan bisa menebak apa yang tengah dipikirkan pemuda satunya. Dan itu cukup membuat Chanyeol terkejut. Apakah diam-diam Kai mempunyai indra keenam? ”Kita sudah lama bersahabat dan menjadi rekan kerja, jadi aku hapal luar dalam dirimu termasuk arti tatapnmu itu.” Kembali Kai seakan menjawab pemikiran Chanyeol dengan intonasi datar. “Kupikir itu wajar. Seorang suami, kekasih, atau apapun itu namanya meminta pasangannya untuk berhenti dari pekerjaan yang bisa merenggut nyawanya kapan saja. Tidak ada yang tidak mendasar dari kekhawatirannya. Baekhyun hanya tidak ingin kau celaka, bodoh.”

“Aku tahu, hitam. Tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan semuanya. Kalian sangat berarti untukku.”

“Lantas, apa kau rela meninggalkan Baekhyun?”

“Aku lebih baik mati daripada harus kehilangannya.”

“Dengar, Yeol. Aku tidak memaksamu berhenti dari pekerjaan gelap ini, dan aku pun tidak memintamu untuk tetap berada di dalamnya. Itu semua tergantung padamu. Aku, atau bahkan, seluruh komplotan pun  tahu, Baekhyun sangat mencintaimu seperti kau mencintainya, dia hanya mencemaskanmu. Pasangan mana yang rela melihat pasangan satunya bekerja mempertaruhkan nyawa. Tidak ada yang bisa menjamin, apakah kita masih selamat setelah misi ini, lolos dari kejaran orang-orang yang berkedok polisi, atau justru pulang hanya tinggal jasad. Itu semua bisa terjadi.”

“Ini membuatku gila.”

“Seharusnya kau bersyukur masih ada orang yang mengharapkan kepulanganmu. Tidak seperti aku dan lainnya. Tapi terlepas dari itu, ada apa dengan kopormu? Jangan bilang kau berencana tinggal di tempatku!”

“Aku sudah menentukan keputusanmu, asal kau tahu.”

“Kau laki-laki terbodoh yang pernah kukenal dimuka bumi ini, brengsek!”

“It’s me.”

“Bagaimana dengan Baekhyun? Kau tidak meninggalkannya, bukan? Karena jika itu benar aku bersumpah akan menguburmu hidup-hidup.”

“Sudah kukatakan. Aku lebih baik mati daripada kehilangannya.”

“Lantas?”

“Tentu saja aku mempertahankannya, hanya saja saat ini aku perlu menjauh darinya demi misi kita kali ini. Agar aku lebih bisa berkonsentrasi. Kau tahu bagaimana buruknya ia saat sedang marah.”

“Dan kau memilih rumahku sebagai tempat pelarianmu?”

Chanyeol hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaan kai.

“Kau benar-benar sinting.” Cecarnya

“Tapi aku akan kembali padanya, Kai, hanya pada Baekhyun. Karena dialah tempatku pulang.”

“Semoga kau menepati janjimu itu, Park.” Ujarnya sembari meneguk minuman beralkohol di tangannya. Sementara Chanyeol hanya memandang Kai dengan ekspresi tak terbaca. Pemuda itu sadar betul bahwa misi kali ini lebih berbahaya.

Aku pasti kembali.

 

.

XX

.

 

Keesokan harinya, hanya kekosongan yang ditemui Baekhyun di sisi ranjangnya. Tidak ada dekapan hangat sang suami, tak ada wajah terlelap Chanyeol dan tak ada bibir yang memberikan ciuman padanya. Chanyeol benar-benar pergi dan Baekhyun merasa hampa. Kendati ini bukan kali pertama ia melakukannya, namun kenyataan tersebut justru tak pernah membuatnya terbiasa.

Kini tungkai tersebut melangkah memasuki kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pemuda mungil tersebut dapat meilhat kondisi fisiknya saat ini. Tampak kacau dengan lingkar hitam di sekitar mata, belum lagi mata sipitnya yang sembap. Entah berapa lama waktu yang dihabiskannya untuk menangis, menangisi si Bodoh Chanyeol. Setelah dirasa cukup membenahi kekacauan, ia pun kembali melangkahkan kakinya ke dapur  untuk membuat sarapan.

Di ruangan itu, kembali kekosongan menyerangnya, bahkan kian terasa. Biasanya ada Chanyeol yang akan selalu membantunya memasak, menyiapkan dua porsi sarapan, tapi kali ini semua hanya kenangan. Entah sampai kapan semua ini harus ia lalui. Byun Baekhyun sangat merindukan Park Chanyeol.

Kunyahan tak bersemangat menjadi teman sarapan Baekhyun, pikirannya mengawang jauh. Kekehan kecut pun meluncur di sepasang bibir tipisnya.

“Chanyeol benar-benar pergi, kupikir itu hanya mimpi buruk.” Gumamnya sembari mengingat pertengkaran mereka di malam sebelumnya. Setetes air mata pun jatuh membasahi pipi Baekhyun dan secepat kilat ia pun menghapusnya.

Dengan perasaan berkecamuk, lelaki itu pun menyingkirkan makanan yang baru beberapa sendok ia telan. Baekhyun hanya membutuhkan Chanyeol-nya.

‘Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Byun Baekhyun.’

Kalimat itu terus berputar di kepala Baekhyun bak sebuah mantra penenang. Ia tahu, Chanyeol selalu menepati janjinya dan kali ini pun ia pasti menepati janjinya. Namun, tak selamanya Dewi Fortuna selalu berpihak pada suaminya.  Pernah beberapa kali Baekhyun menemukan Chanyeol pulang dengan tubuh penuh luka, dan itu cukup menyadarkan pemuda tersebut bahwa profesi yang dijalani Chanyeol sangat berbahaya yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.

“Kenapa kau tak mau menuruti permintaanku sekali saja, Yeol? Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, lantas bagaimana aku bisa menjalani sisa hidupku?”

Bukan cuma sekali ini Baekhyun meminta Chanyeol berhenti dari pekerjaannya, tapi pemuda tinngi itu selalu mempertahankan pendapatnya. Dan jika sudah begini, Baekhyun hanya bisa pasrah karena ia tahu, ia akan selalu kalah.

Linangan air mata terus membasahi wajah lelaki itu, segala macam keluh kesah telah ia keluarkan, namun tak ada satu pun yang mampu membuatnya tenang. Dengan menyandarkan punggung sempitnya di sandaran sofa, Baekhyun pun mulai berpikir langkah apa yang harus ia ambil setelahnya. Dan setelah tiga puluh menit berperang dengan akal sehatnya, pemuda mungil itu akhirnya mengambil suatu keputusan penting. Keputusan yang mungkin akan membawanya kepada kemurkaan sang suami.

“Baiklah, Chanyeol. Jika kau tetap bersikeras mempertahankan pekerjaanmu, maka aku pun akan melakukan hal yang sama.”

 

.

XX

.

 

“Sial! Mereka akan melakukan pemeriksaan di hari misi.” Umpat Kai sembari menendang udara.

Chanyeol mengangkat wajah dan menatap lelaki yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia tak tampak baik, dan lantas Chanyeol pun menyadari bahwa Kai sama sekali tak terlelap semalaman. Barangkali ia sibuk meretas beberapa situs kepolisian untuk mengetahui jadwal pemeriksaan kapal. Kendati mereka telah membayar mahal kepada perusahaan yang memiliki kapal tersebut, namun tentu mereka tak dapat menjamin jika barang penyelundupan takkan ditemukan.

“Dan itu hanya dua minggu dari sekarang, Chanyeol. Kita nyaris berhasil jika saja polisi-polisi bodoh itu tak memutuskan untuk melakukan pemeriksaan.” Imbuh Kai seraya meragut sura gelapnya. Keningnya mengernyit dalam dan sungguh, Chanyeol acapkali bertanya-tanya; bagaimana mungkin ia masih tampak menarik dengan tampang kusut seperti itu?

“Kapan kapal berikutnya berangkat?” tanya lelaki itu, berusaha agar tetap tenang.

“Bulan depan.”

“Goddammit!”

Kini keduanya sama sekali tak mampu mengendalikan kepanikan. Wajah Chanyeol lantas memerah dan ia pun mengabaikan roti panggang yang hendak disantapnya sebelum Kai datang dengan informasi tersebut. Tentu mereka tak dapat menunggu lebih lama lagi. Chanyeol sudah berjanji kepada Baekhyun bahwa ia akan menyelesaikannya dengan cepat. Terlebih, jika mereka harus mengulur-ulur waktu, maka besar kemungkinan jika rencana tersebut akan terendus oleh pihak luar. Dan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Chanyeol serta Kai. Lagipula, Suho tentu akan kehilangan segalanya jika misi kali ini benar-benar gagal.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Kai, melirik Chanyeol.

Embusan napas berat terhela dari celah bibirnya. Ia melatakkan kepalan tangan di atas meja dan kedua alisnya menyatu tatkala ia menyuarakan jawaban untuk pertanyaan Kai. “Tak ada pilihan lain. Kita akan memajukan waktunya.”

“Park Chanyeol, kupikir itu bukan gagasan yang baik. Rencana kita belum cukup matang.” Intonasinya terdengar ragu.

“Kita juga tak bisa mengundurnya hingga bulan depan, Kim Jongin!” bentak Chanyeol, tak dapat mengabui tekanan.

Sementara rahang Kai lantas terkatup rapat tatkala ia mendengar nama lengkapnya terlontar dari mulut Chanyeol. Sejak ia bergabung dengan komplotan Suho, lelaki itu telah mengganti namanya guna melindungi identitas asli. Dan sudah menjadi kesepakatan bersama untuk tak memanggil satu sama lain dengan nama asli mereka. Tentu tak semua anggota menggunakan nama samaran. Hanya beberapa yang merasa bahwa keluarga serta kehidupan pribadi mereka perlu dilindungi. Tentu Kai tak mau jika komplotan musuh akan menggunakan keluarganya untuk melancarkan aksi balas dendam. Sementara Chanyeol yang sejak kecilnya tinggal di panti asuhan, ia sama sekali tak memiliki kekuatiran untuk menggunakan nama asli. Satu-satunya kecemasan baginya saat ini hanyalah Byun Baekhyun.

“Kita tak bisa menundanya lagi, Kai.” Ujar Chanyeol rendah, kali ini terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

Kai menggigit bibir bawah. “Tapi kau tahu bahwa risikonya akan lebih besar, bukan?”

“Setidaknya itu adalah pilihan terbaik ketimbang mengulurnya hingga bulan depan. Mereka takkan menolerir keterlambatan.”

Setelah memperhitungkan banyak hal, Kai akhirnya mengangguk setuju. Ucapan Chanyeol memang benar. Mereka yang di Amerika sana takkan menolerir keterlambatan. Itu hanya akan menambah perkara. Atau bahkan menambah musuh bagi komplotan mereka.

“Baiklah, kita lakukan pekan depan.”

 

.

XX

.

 

Dari: Chanyeol

Subyek: Tunggu Aku

Kau masih ingat janjiku, bukan? Apapun yang terjadi aku tetap akan kembali. Jadi tetaplah menunggu.

 

Baekhyun nyaris mencampakkan ponsel yang kini tengah berada dalam genggamannya. Setelah tiga hari tak meninggalkan kabar sejak kepergiannya, kini Chanyeol justru mengirim pesan singkat yang sama sekali tak diinginkan Baekhyun. Apakah ia harus mengatakan hal itu kepadanya? Apakah ia harus membuatnya merasa semakin kesal?

Yang Baekhyun inginkan hanya kepulangan Chanyeol. Yang Baekhyun inginkan hanya kabar bahwa ia telah membatalkan misi dan menarik diri dari pekerjaan riskan tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan pada rumah tangga mereka. Tentu Baekhyun tak menginginkan perceraian. Tentu pula ia tak ingin berpisah dari sang Suami. Tetapi jika tetap seperti ini, keduanya hanya akan semakin terluka.

 

Ke: Chanyeol

Subyek: Masa Bodoh

Terserah.

 

Tak berapa lama kemudian, Chanyeol kembali membalas pesannya.

 

Dari: Chanyeol

Subyek: Bohong

Aku tahu kau peduli. Aku tahu kau memercayaiku. Aku tahu kau akan menunggu. Jangan menyakiti dirimu sendiri, Baek.

 

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet