Chapter 1

The City

Jihoon POV

 

Mataku mendadak terbuka saat sebuah gedoran yang terbilang keras terdengar dari pintu depan. Maklum, rumah yang kutinggali ini termasuk kecil sehingga ketukan pelan di pintu pun bisa terdengar seisi rumah.

Gedoran itu semakin lama semakin keras, kini dibarengi dengan panggilan yang kukenali adalah suara Seungkwan. 

"Mingyu! Jihoon-hyung! Aku mengantar sarapan!"

Sarapan. Satu kata itu berhasil membuatku otomatis bangun dari tempat tidur dan bergegas untuk membuka pintu. Aku yakin Mingyu juga sama, dan dugaanku terbukti saat kulihat dia juga keluar kamar dengan mata setengah terpejam dan mulut yang menguap lebar. Mingyu itu tinggi dan kakinya panjang, tapi aku yang duluan sampai ke pintu dan membukanya. 

Seungkwan berdiri di sana, dengan senyum cerah dan wajah ceria seperti biasanya. Di tangannya ada keranjang besar yang ditutupi kain. Aroma sedap menguar dari sana.

Mata Mingyu berbinar saat melihat Seungkwan. Yah, siapa yang tidak senang melihat kekasih sendiri? Dengan senyum lebar ia mempersilakan Seungkwan masuk dan menuntunnya ke dapur diikuti olehku.

Kami duduk bersama di meja makan. Dua kursi kosong, karena Chan membantu Bibi Kim bekerja dan sudah berangkat pagi-pagi. Tanpa disuruh, aku dan Mingyu segera menyerbu keranjang yang berisi beberapa roti yang masih hangat, bacon, telur rebus, serta omelet. Kami makan dengan lahap, sementara Seungkwan mengamati kami sambil mengunyah rotinya pelan. 

"Kadang aku heran apa kalian ini senang melihatku di pagi hari atau cuma menganggapku sebagai tukang antar makanan."

Mingyu tersedak. Buru-buru kusodorkan segelas air padanya yang segera diteguknya habis. Lalu ia menatap Seungkwan dengan tatapan sedih. "Kau meragukan cintaku padamu, begitu?"

Nah, mereka mulai lagi. Bukan, bukannya aku ini alergi dengan adegan romantis. Tapi kalau bisa jangan bertingkah lovey-dovey di depanku, apalagi saat aku makan. Bisa-bisa aku muntah saking gelinya.

"Bisakah acara romantis kalian ditunda sampai sarapan selesai? Aku ini sedang makan." 

Mata kedua temanku itu menatapku heran, lalu senyum jahil mereka muncul. "Aish Mingyu-ya, kau tahu tidak betapa aku merindukanmu? Beberapa jam tidak melihatmu rasanya seperti sudah beberapa hari." Seungkwan melingkarkan kedua lengannya di pundak Mingyu dan bersandar mesra pada bahunya. Aku tahu mereka sedang mencoba membuatku jengkel.

"Ya, Seungkwanie. Aku juga sangaaaat merindukanmu." Ia balas memeluk kekasihnya itu. 

Kuangkat piringku untuk dibawa ke wastafel sambil mengumpat beberapa kali dengan suara kecil. Di belakangku bisa terdengar Seungkwan dan Mingyu yang tertawa karena sudah berhasil menjahiliku, dan bibirku membentuk seulas senyum. Mereka memang jahil, tetapi mereka adalah teman-teman kesayanganku.

Suara mereka masih terdengar saat aku mencuci piring. Pembicaraan mereka sama seperti biasanya; Seungkwan dan Mingyu yang menceritakan kegiatan mereka masing-masing kemarin, dan Mingyu akan mengajak Seungkwan berjalan-jalan ke pasar sekaligus menemaninya belanja.

"Jihoon-hyung! Kami pergi dulu, ya!"

"Aku juga, hyung!" 

Hal yang kudengar selanjutnya adalah suara pintu depan yang ditutup. 

Sepi. Hanya tinggal aku disini. Bibi Kim dan Chan belum kembali, jadi sebaiknya aku bersantai dulu. Ditemani segelas kopi, aku duduk di teras rumah. Menikmati udara pagi dan pemandangan orang-orang yang berlalu-lalang.

 

---

Seungcheol POV

 

"Selamat pagi, Tuan Muda!" beberapa sapaan serupa kudengar dari para pelayan yang kubalas dengan sebuah senyum dan anggukan sopan. 

Pagi ini indah, tetapi aku tidak merasa begitu. Selalu saja rutinitas yang sama, wajah-wajah yang sama. Kadang aku berpikir bagaimana jika aku terlahir di keluarga yang biasa saja. Mungkin aku tidak akan hidup semewah ini, tapi setidaknya aku bebas melakukan apapun.

Sesosok pria seumuranku berdiri tepat di hadapanku saat kakiku melangkah memasuki ruang tamu.

"Pagi, Tuan Muda!" sapanya dengan ceria. 

"Jisoo?" temanku satu ini adalah orang yang biasanya sulit ditemui karena segudang tugas yang dimilikinya. Bagaimana tidak? Jisoo merupakan salah satu pengusaha muda yang sukses dan punya bisnis hampir di seluruh sudut kota. Seperti Ayah, pikir Seungcheol.

Entah dari mana, Jisoo mengeluarkan secarik kertas yang sarat tulisan. "Jadwalmu hari ini: teori politik dengan guru Kim, les musik dengan guru Min, dan pembelajaran mengenai kota-kota tetangga kita dengan Minghao."

Dahiku mengernyit heran. Bukankah hari ini-

"Tak usah didengarkan, Cheol. Kertas itu sudah kubuang tadi karena aku harus mengatur ulang jadwalmu." ia menoleh dan mendelik marah pada Jisoo, "Kenapa orang terhormat sepertimu malah mengaduk-aduk isi tempat sampah orang lain?" Jisoo hanya tersenyum dan tertawa kecil menanggapinya. Sungguh, tidak ada yang bisa menebak jalan pikiran seorang Hong Jisoo.

"Aku tahu, hari ini aku akan berangkat ke gerbang selatan." 

Mereka berdua pasti menyadari wajahku yang berubah suram karena aku bisa melihat tatapan prihatin di mata mereka. 

"Jangan khawatir, aku akan menemanimu kali ini." Perkataan dari Jisoo mengejutkan aku dan Jeonghan. 

"Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Ayahmu sudah banyak membantu untuk proyekku yang terbaru. Setidaknya melindungi anak sulungnya saat berada di luar tembok adalah sedikit tanda terima kasih dariku."

Jeonghan memandang Jisoo dengan tatapan menyelidik. "Memangnya tahu apa kau tentang daerah di luar tembok? Pengusaha sepertimu sepertinya tidak punya banyak waktu untuk menjelajah."

Jisoo hanya tertawa kecil dan balik menatap tajam pada Jeonghan. "Jangan bicara seolah kau begitu mengenalku, Jeonghan-ssi. Banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku."

Tatapan penuh selidik dari Jeonghan berganti menjadi seringai jahil. "Oh ya? Kurasa aku tahu cukup banyak tentangmu. Seperti saat kau mabuk Sabtu kemarin dan terbangun di ranjang bersamaku. Tanpa busana."

"Kau.." wajah Jisoo semerah tomat, aku tidak tahu apakah ia sedang malu atau marah. Mungkin keduanya. Bukan sekali dua kali aku mengetahui kalau mereka menghabiskan malam bersama, jadi ini bukan kabar mengejutkan buatku.

"Permisi, Tuan Muda." seorang pelayan berdiri di pintu ruang tamu. "Semua barang-barang yang anda perlukan untuk bepergian sudah selesai dikemas. Apakah anda memerlukan hal-hal lain?"

"Terima kasih. Jika nanti aku butuh sesuatu akan kuberitahu."

"Baik, Tuan Muda." Pelayan itu membungkuk sopan, lalu beranjak pergi.

Aku kembali memfokuskan diri pada kedua temanku yang sepertinya masih tidak lelah saling menggoda dan mengejek, tapi pikiranku melayang pada ingatanku mengenai pengalamanku sebelumnya di luar tembok. 

Tempat tinggal kumuh, wajah-wajah dengan mata memelas meminta belas kasihan, jauh berbeda sekali dengan orang-orang di dalam kota. Kuharap tempat tujuanku kali ini tidak separah yang dulu.

 

 

 

A/N: How is it? Good? Bad? Please do tell me in the comment section ^^

Dan please cek fic baruku 'The Devil Is My Boss' 

Stay tune for the next chapter!

Thank you! ( ^ - ^ )

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
nabila11 #1
Chapter 2: Next!!! Please....
sseundalkhom
#2
Chapter 2: heh buset yoon jeonghan mulutnya ampun, seungkwan juga jahil banget
24Delution
#3
Chapter 1: Daebak!! Next please XD