Prolog

The City

 

Kota Lumina adalah kota yang dibangun setelah peradaban manusia nyaris musnah. Merupakan salah satu tempat yang masih bisa ditinggali manusia, kota itu terus berkembang pesat seiring berjalannya waktu.

Kota yang kabarnya lebih indah dari apapun itu tetap terang-benderang bahkan saat malam hari. Dikelilingi tembok tinggi dan kokoh berwarna sehitam jelaga, puncak-puncak bangunan yang tampak dari balik tembok terlihat kontras dengan gelapnya langit malam yang pekat.

Kota itu tidak pernah tidur. Selalu saja terdengar musik yang berkumandang sampai bisa terdengar ke balik tembok, tempat orang-orang kurang beruntung yang tidak bisa tinggal di dalam kota membangun pemukiman. Berharap suatu hari kota itu akan mempersilakan mereka masuk dengan tangan terbuka.

Ya, terus saja berharap seperti itu.’ Dengus Jihoon sebal. Hari demi hari, tidak ada hal lain yang didengarnya selain “Apakah hari ini kita diizinkan masuk ke kota?” “Kapan kita bisa tinggal di dalam sana?”. Jihoon muak mendengarnya.

Dari dahan pohon tempatnya duduk dia bisa melihat kota itu dengan lebih baik. Ditatapnya Kota Lumina dengan sorot mata tidak suka.

Apa spesialnya kota itu sampai orang-orang dari pemukiman kumuh di luar tembok ingin sekali tinggal di sana? Hal yang mustahil menurut Jihoon mengingat kondisi dan tingkat kemiskinan di sini. Jihoon yakin mereka tidak akan sanggup untuk menaggung biaya hidup yang besar di sana. Sebagian besar orang-orang di sekitarnya tidak tahu kota itu sebaik dirinya, bahwa kota itu sebenarnya jauh dari khayalan-khayalan indah mereka.

Kota itu penuh dengan orang-orang arogan dan kejam. Bayangkan saja, mereka yang tinggal di luar tembok dan jelas-jelas berjuang mati-matian mencari nafkah yang tidak seberapa masih saja diminta untuk membayar pajak. Sementara tidak ada perkembangan atau fasilitas apapun yang diberikan pada mereka.

Jihoon heran. Sampai kapan orang-orang di sekitarnya mau terus memimpikan sesuatu yang mustahil?

“Hyung! Jihoon-hyung!”teriakan dari bawah pohon menyadarkan Jihoon dari lamunannya.

“Kenapa, Channie?”

“Ayo pulang, sebentar lagi sudah mau tengah malam.” Adiknya, Lee Chan, mendongak menatapnya.

Jihoon melompat turun dan mendarat di hadapan adiknya. “Ayo. Nanti Bibi Kim bisa marah kalau kita belum tidur.”

“Hyung, kita ini bukan anak kecil lagi. Masa kita masih dimarahi kalau belum tidur?” Benar kata Chan. Umur mereka yang masing-masing sudah 21 dan 18 tahun seharusnya sudah dianggap sebagai orang dewasa.

Jihoon tertawa kecil. “Kau seperti tidak tahu Bibi Kim. Mingyu saja masih dimanjanya.”

Chan menghela napas. “Hyung, Mingyu-hyung itu anak kandung Bibi Kim. Wajar saja kalau seorang ibu memanja anaknya.” Tidak seperti kita yang sudah tidak punya orang tua, pikirnya sedih.

“Hei, Bibi Kim kan sudah bilang kalau kita sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Dia bahkan meminta kita memanggilnya ‘Ibu’ kalau kita mau.” Jihoon merangkul pundak Chan. “Jadi jangan sedih, oke? Masih ada aku disini. Juga Bibi Kim dan Mingyu.”

Perlahan Chan tersenyum. “Ya, hyung.” Sambil berjalan menyusuri barisan pohon, pandangan Chan tertuju ke arah kota. “Hyung, menurutmu apa kita bisa masuk ke sana?”

Pertanyaan itu lagi. Kalau saja yang berbicara bukan adiknya, Jihoon pasti sudah emosi.

“Aku ingin sekali pergi ke taman bermain di dalam sana.” Chan memandang takjub, dari matanya bisa terlihat binar penuh harap dan pantulan kota yang bersinar itu.

Andai saja kau tahu, Chan. Kota itu tidak akan membuka pintunya untuk kita. Terutama untukku.’

“Channie,” Jihoon berhenti berjalan dan berdiri di hadapan adiknya, kedua tangannya memegang pundak Chan, “kau harus mengerti kalau Lumina tidak sembarang mengizinkan orang seperti kita masuk. Meskipun kita bisa masuk, kita tidak punya banyak uang.”

“Aku mengerti, hyung.” Ia tersenyum pada hyung-nya. Tapi dalam hati tetap saja keinginan itu ada.

Jihoon tersenyum lega. Dia tidak ingin adiknya itu menginjakkan kaki di kota. Sebisa mungkin impian mustahil seperti itu harus dihindari dan dikesampingkan, atau yang lebih baik tidak usah dibahas sama sekali. Ya, itu lebih baik.

Chan sadar kalau kakaknya tahu sesuatu tentang Kota Lumina. Tetapi topik itu selalu dihindari Jihoon jika Chan berusaha mengorek informasi darinya. Jihoon tahu menyembunyikan sesuatu dari adiknya sendiri itu salah. Tetapi Jihoon tidak keberatan jika itu dilakukan agar adiknya tidak mengetahui rahasia kelam tentang kota yang dipandangnya kagum, dan betapa busuk dan kotornya hal yang dilakukan manusia hanya demi sebuah status dan kekuasaan. Tidak, adiknya terlalu berharga untuk itu.

“Ayo pulang. Aku sudah mengantuk.” Jihoon kembali merangkul pundak adiknya dan menuntunnya keluar dari area pepohonan. Chan dengan riang menjawab Jihoon, namun pandangan matanya terus mencuri pandang ke arah Kota Lumina yang bersinar terang bahkan saat bulan tak terlihat seperti malam ini.

Kota yang amat dibenci kakaknya sejak kecil.

 

 

Suara musik yang memekakkan telinga dan tawa canda mengisi seisi jalan. Parade para penari dalam balutan kostum unik, marching band, bahkan sirkus memenuhi jalan raya. Para penduduk yang ikut memeriahkan suasana berjalan mengiringi parade dan mengenakan beraneka topeng. Anak-anak yang turut serta bersorak dan memekik senang.

Seorang pria muda tampak tengah menikmati itu semua ditemani dengan beberapa makanan ringan yang dibelinya di stand penjual makanan. Dia memilih berdiri di sudut-sudut yang tidak begitu ramai, sesekali ia menoleh dan melihat sekeliling.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan ia terlonjak kaget. “Aish, Yoon Jeonghan! Bisa tidak jangan mengagetkanku? Bisa-bisa aku mati muda!”

Jeonghan melipat tangannya di dada dan menatap pria itu dengan marah. “Harus berapa kali kubilang jangan kabur saat kau punya jadwal belajar! Apa kata orang nanti kalau kau ini jadi bodoh? Kau punya reputasi yang harus kau jaga, Tuan Muda Choi!”

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu di tempat seperti ini!” Ia balik memelototi Jeonghan, “Panggil aku Seungcheol! Dan lagi, tidak ada orang yang akan jadi bodoh cuma karena melewatkan belajar satu hari.”

“Kau sudah bilang alasan itu berulang kali.”

Seungcheol menghela napas. “Hari ini ada festival, Jeonghan-ah. Setidaknya biarkan aku bersenang-senang sebentar.”

“Hampir setiap hari ada festival, Cheol. Kau mau absen setiap hari, begitu? Perlu kuadukan pada ayahmu?”

Ekspresi takut langsung muncul di wajahnya begitu ayahnya disebut. Well, sebenarnya ayah angkat. Tapi Beliau berkeras agar Seungcheol memanggilnya dengan sebutan Ayah. “Apapun selain itu, please! Aku tidak mau disuruh pergi keluar tembok lagi! Kau sudah lupa yang sebelumnya?” Ia menatap Jeonghan dengan mata memelas. Terakhir kali ia dihukum keluar tembok selama seminggu merupakan mimpi buruk baginya.

 Tempat tinggal kumuh, kotor dan tak terawat yang merupakan pemukiman di luar sana terasa mengerikan baginya yang sudah hidup di kota sejak lahir. Meski sudah dibekali dengan peralatan lengkap dan bahan makanan yang cukup untuk bertahan, tetap saja Seungcheol jatuh sakit begitu kembali ke kota karena lingkungan yang tidak higienis.

Belum lagi orang-orangnya, Seungcheol bergidik ngeri. Setiap saat ia harus mengamati sekelilingnya dengan waspada. Bukannya menghina, tapi penduduk di luar tembok mayoritas adalah orang tidak mampu. Dan ekspresi wajah mereka tidak bersahabat. Tidak ada salahnya kalau Seungcheol berpikir ada kemungkinan dia bisa dirampok, atau yang lebih parah dibunuh, bukan?

“Kau tahu betul bahwa tanpa kuadukan pun, Tuan Choi sudah tahu. Dia,” matanya melirik ke beberapa titik di keramaian, bertemu pandang dengan beberapa orang yang diketahuinya adalah orang suruhan ayah Seungcheol, “punya mata dimana-mana.”

“Aku tahu.” Jawabnya pahit. Kehidupan yang serba berkecukupan dan status yang tinggi bukanlah sesuatu yang tidak memiliki harga. Semua itu harus dibayar dengan kebebasannya. Kemana-mana ia selalu diikuti. Ia harus belajar macam-macam hal mulai dari politik, budaya dan tata krama. Dia juga dituntut untuk selalu berperilaku sopan santun. ‘Untuk menjaga nama baik’, begitulah yang dikatakan oleh ayahnya.

Menjaga nama baik apanya, orang-orang kota saja tidak tahu bagaimana rupa sang Tuan Muda Choi ini.’ Rutuknya dalam hati.

“Jadi kau mau pulang baik-baik, atau menunggu diseret?” kata Jeonghan. Ekor matanya menangkap pergerakan dari orang-orang suruhan yang semakin mendekat ke arah mereka.

Hal itu tidak luput dari perhatian Seungcheol. Tanpa memberi jawaban pada Jeonghan, ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Terdengar bunyi nada sambung, dan dalam bunyi ketiga orang di seberang sana mengangkat teleponnya. Suara berat seorang pria menyapa indra pendengaran Seungcheol.

“Ayah, ini aku.”

Jeonghan otomatis merasa cemas.

“Aku yakin Ayah sudah tahu aku sedang berada di mana sekarang. Aku tahu aku sudah lalai memenuhi kewajibanku. Aku bersedia menerima apapun hukuman yang akan Ayah berikan.

“Aku.. merasa bosan, Ayah. Setiap hari yang kulakukan hanya belajar dan belajar. Aku juga ingin menikmati kehidupan di luar rumah seperti layaknya anak muda seumuranku. Semua guru privat dan pelajaran yang kau sodorkan kepadaku itu penting, tapi aku juga butuh istirahat sesekali.

“Untuk kali ini saja, izinkan aku menikmati festival ini sampai selesai, please.”

Belum pernah Jeonghan mendengar sahabatnya itu berbicara dengan nada yang begitu memohon.

“Baiklah, terima kasih.” Seungcheol menutup telepon. Saat dilihatnya kembali kerumunan orang, orang-orang yang sedari tadi mengikutinya sudah tidak ada. Ia bernapas lega.

“Apa katanya?” tanya Jeonghan.

“Aku boleh menonton festival sampai selesai.” Ia tersenyum kecil. Jeonghan tahu bukan hanya itu saja yang diucapkan sang ayah kepada anaknya. “Dan setelah itu jadwal belajarku akan ditambah dua kali lipat. Penjagaanku juga akan diperketat.” Sorot mata sedih milik sahabatnya itu membuatnya turut prihatin.

“Dan aku dihukum untuk keluar tembok. Lagi.” Bahunya merosot seakan memikul beban tak kasat mata. “Yah, setidaknya kali ini Ayah mengirimiku ke gerbang selatan. Daerah sana lebih aman dan bersih.”

Jeonghan hendak menghiburnya sebelum Seungcheol duluan memotongnya. “Aku tidak apa-apa Jeonghan-ah. Mari menonton festival ini bersama, aku sedang butuh ditemani.”

“Lihatlah. Bukankah kota ini menakjubkan?” Matanya tak henti-henti mencerna semua pemandangan indah di depannya dengan rakus. Senyumnya merekah polos bak anak kecil.

Jeonghan hanya menemaninya dalam diam. Ia tak ingin mengganggu Seungcheol ia yakini tengah menikmati keindahan kota untuk meredam rasa sedihnya. Meski sang Tuan Muda sangat menyukai kota ini, dan jelas-jelas segala bentuk pendidikan yang dicekoki ke kepalanya bertujuan mempersiapkannya untuk mengabdi kepada kota ini kelak, dia masihlah seorang pemuda dengan rasa ingin tahu dan jiwa petualang yang besar. Tak adil rasanya jika dia hanya mendekam di dalam rumah besar dan dingin hanya dengan ditemani oleh buku-buku dan para pelayan.

Seungcheol memejamkan mata. Terpaan angin malam yang sejuk membelai wajahnya. Ia menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan diri. Seluruh hal menyenangkan yang dialaminya hari ini terpatri jelas di otaknya, sebagai sebuah memori yang akan terus disimpannya.

Karena kebebasan yang bagai sebuah candu baginya ini sebentar lagi akan tergantikan oleh rasa kesepian dan buku pelajaran yang tak ada habisnya.

 

 

 

A/N: Bagaiman pendapat para readers sekalian? Should I continue or not?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
nabila11 #1
Chapter 2: Next!!! Please....
sseundalkhom
#2
Chapter 2: heh buset yoon jeonghan mulutnya ampun, seungkwan juga jahil banget
24Delution
#3
Chapter 1: Daebak!! Next please XD