Tak terduga

Fitzwilliam Darcy: Yang Tak Akan Pernah Terganti

Darcy sangat berterima kasih pada teman sekolahnya, Charles Bingley, yang setengah mati memaksanya untuk menghabiskan masa liburan sekolah kali ini bersama keluarganya. Selama bertahun-tahun sejak meninggalnya sang ibu, Lady Anne Darcy, dia hampir tidak pernah lagi berlibur untuk dirinya sendiri. Dia curahkan seluruh waktu luangnya untuk adiknya, Georgiana, jika ayahnya tidak sedang memberinya kuliah bebas tentang manajemen Pemberley Universal. Sejak dia lulus dari Eton college, ayahnya memutuskan untuk mentrainingnya sedini mungkin di perusahaan keluarganya itu. Beruntunglah dia boleh memilih kuliah di Leiden saat ini, jadi dia tidak begitu kesepian karena dia bisa tinggal dengan sepupu dari keluarga ayahnya yang hampir semua masih tinggal di sana. Di Leiden inilah, dia bertemu pertama kali dengan Charlie, dan mereka memutuskan untuk menyewa apartemen bersama.

Darcy selalu menolak ajakan Charlie untuk berlibur bersama, karena juga dia tidak begitu suka keramaian ibukota. Keluarga Bingley sebelumnya tinggal di Jakarta dan tahun ini mereka pindah ke tempat baru di pedesaan karena ayahnya memasuki usia pensiun. Setelah menimbang-nimbang dan merasa tidak enak kalau menolak terus, akhirnya dia setuju untuk ikut bersama Charlie ke tempat tinggal orangtuanya yang baru. Tempatnya sangat cantik, rumah tua yang baru direnovasi, dengan kolam ikan besar di belakangnya, kebun sayuran seluas mata memandang, dan yang paling dia sukai, mereka punya beberapa kuda yang terlatih. Berkuda adalah salah satu olahraga yang paling dia suka, selain lari atau jalan kaki.

Satu yang membuatnya sangat malas untuk berkunjung ke keluarga Bingley, adalah adik-adiknya Charlie yang sangat mengesalkan, terutama Caroline. Adik bungsunya, Louisa, juga menyebalkan, tapi tidak sejudes kakaknya. Carol tentu saja tidak pernah menunjukkan kejudesannya sama Darcy, karena dia pengagum setia dan fans beratnya sampai mati, tetapi hampir pada setiap orang yang mereka jumpai kalau sedang hangout bersama, kejudesannya tak ada yang bisa menandingi. Terkadang Darcy pura-pura tidak dengar kalau dia sedang keluar mood judesnya (maunya sih pura-pura tidak kenal juga, tapi apa daya tangan gadis itu selalu mencengkram erat lengannya), dia tetap memasang muka datar dan menyibukan diri dengan hpnya, menundukkan kepalanya serendah mungkin dengan harapan tidak orang di sekitarnya yang mengenalnya. Terutama kalau mereka makan di restoran, cara Carol memperlakukan staff resto seperti layaknya mereka pelayan pribadinya. Dia selalu bertingkah layaknya seorang ratu, walaupun.. Ratu Belanda saja yang dia tau pasti akan pingsan kalau melihat gayanya Carol. Ah sudahlah..., dia menggelengkan kepalanya, menepis lamunan negatif dari kepalanya. 'Nikmati apa yang ada di depanmu', gumamnya pada diri sendiri sambil duduk diam di atas kudanya. Achilles, kuda yang ditungganginya, seolah-olah tau kalau tuannya sedang tidak ingin diganggu, juga diam tak bergerak seperti patung. 

'Heh, apa kamu bilang Darcy? Sorry aku gak denger jelas ', Charlie mendonggakkan dagunya. Darcy menoleh pada temannya yang tampaknya juga sangat menikmati matahari terbenam sore ini. 'Oh, bukan apa-apa.., aku hanya ngomong nonsense', ujarnya tersenyum. Entah kenapa dia merasa harus menoleh ke belakang, seolah-olah ada orang yang memanggilnya. Charlie ikutan menoleh ke belakang karena melihat temannya membelokan kudanya secara tiba-tiba seperti itu. Sesaat mereka hanya terdiam memandangi perkebunan bunga yang ada di depannya. Mereka berdiri di perbatasan tanah Netherfield (nama perkebunan sayuran milik keluarga Bingley) dan lahan Longbourn yang penuh dengan bunga, milik tetangga mereka. 

'Ini penglihatanku aja..atau kamu juga melihat itu?' Ujar Darcy mengisyaratkan dengan kepalanya ke arah pohon besar yang tampak di kejauhan. Charlie mengikuti arah petunjuk Darcy dan melihat seperti ada orang yang bergelantungan di pohon. Tidak terlalu jauh untuk melihat kalau figurnya seperti seorang gadis berambut panjang, namun masih cukup jauh untuk melihat jelas mukanya. 'Hmmm..tampaknya seseorang yang terjebak di pohon', Charlie menjawab sekenanya. Darcy mengernyitkan dahinya. 'Tampaknya dia berusaha turun, keliatannya seorang perempuan. Lihat dia kelihatannya celingak celinguk begitu. Ayo kita lihat, mungkin dia butuh bantuan', ujarnya sambil menepuk kudanya berjalan lebih cepat, tapi tidak berlari. Charlie mengikuti langkahnya, berjalan dengan  ritme serupa di sampingnya.

Semakin dekat, mereka melihat seorang gadis berambut ikal panjang. Tampak kusut diterjang angin, menutupi sebagian mukanya. 'Ngapain anak perempuan segede itu masih naik-naik pohon, lihat dahannya aja sampai melengkung gitu keberatan', ujarnya pada Charlie sambil menahan tawa. Karena mereka sudah begitu dekat dengan pohon yang dimaksud, mereka gak berani tertawa beneran. Darcy sampai kembang kempis menahan tawa, saat melihat gadis itu sepertinya mencari-cari cara untuk turun dari pohon, karena kepalanya terfokus liat kiri kanan rumput yang ada di bawahnya. Tampak beberapa daun kering terselip dirambut ikalnya yang acak-acakan. Tiba-tiba gadis itu menegakkan kepalanya, meluruskan bahunya seolah-olah dia sedang duduk di kursi yang paling nyaman di dunia, bukan di batang pohon. Meskipun jelas dia tampak sedikit jengah dengan jari jarinya yang memegang erat dahan disampingnya, namun dia mengangkat dagunya sedikit ke atas, mulutnya menyunggingkan senyum yang membuat Darcy berhenti bernafas beberapa detik, tapi yang paling mengagetkannya...matanya!!! 

Matanya yang berbinar-binar, bulat sempurna seperti bulan.. No! seperti bola embun yang tertimpa matahari pagi. Berkilau dan membuatnya terpaku seperti patung. Mata yang pernah dijumpainya beberapa tahun lalu, mata yang tak akan pernah dia lupakan kalau dia menemukannya kembali. Dan...Yes..dia menemukannya kembali!! Di sini, di tempat yang jauh dari mana-mana, negeri antah berantah. Serasa ada dalam cerita dongeng. Spontan jarinya mencubit paha kanannya sendiri, hanya untuk memastikan kalau di tidak sedang bermimpi. Seolah-olah dikomando dia dan gadis itu mengucapkan kata yang sama:

'Aawww'

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
IamnotLizzyBennet
Sudah sejak lama saya terpikir untuk membuat novel versie modern Pride and Prejudice. Kalau Darcy kita bikin jadi figur cowok idaman yang jatuh bangun sama gadis biasa tapi smart seperti Lizzy, tentunya ceritanya harus sedikit lebih banyak konflik dari hanya seputar pesta dansa dan gaun gala bukan?

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet