Pertemuan kedua

Fitzwilliam Darcy: Yang Tak Akan Pernah Terganti

10 Tahun sebelumnya

Hari itu cuaca sangat panas. Bulan juni, bukan bulan favoritnya, debu dan sengatan matahari selalu membuat kepalanya pusing. Tetapi, bulan ini juga selalu dia nanti-nantikan karena akhirnya mereka dapat pergi berlibur mengunjungi kakek dan nenek Bennet di tempat kelahiran ayahnya di sebuah desa kecil di Jogya. Elizabeth sangat menyukai rumah mereka yang besar dan tua dengan arsitektur jaman Belanda dulu. Dindingnya yang dilapisi batu-batu alam dan plafondnya yang sangat tinggi membuatnya selalu nyaman dan adem, meskipun cuaca di luar sangat panas. Aaah...dia sudah tak sabar ingin segera besok, semua barang bawaannya sudah disusun rapi di koper kecilnya. Dia tak perlu bawa banyak baju, musim kemarau seperti ini, setiap kali bajunya dicuci, dia akan kering di hari yang sama. Dia hanya perlu banyak bawa buku cerita, buat teman setianya dikala tiduran di bawah pohon di bukit Oakham, begitu kakeknya menyebut nama bukit kecil yang tidak jauh dari rumah mereka. 

'Lizzy, Jennie, cepat bawa koper kalian ke bawah', terdengar suara mamanya memanggil dia dan kakaknya dari ruang makan. Elizabeth memeriksa kopernya untuk terakhir kali, lalu menutup ritsleting, menguncinya dan membawanya turun ke lantai bawah. 'Lho, kok cuma bawa koper segede upil gini? Emang cukup baju kamu buat 3 minggu? Belum sepatu, jaket, topi....', Nyonya Bennet membelalakan matanya melihat koper kecil yang dibawanya.

Lizzy memotong pembicaraan mamanya, 'Mam,..Mam.. aku gak perlu baju macem-macem. Musim panas gini cukup T-shirt aja, gak makan tempat. Sepatu yg aku pakai ini aja.aku bawa sandal juga'.

'Apa? T-shirt katamu?sandal?...oh tidak..no..no...no!! Oalaah pak..paaak.. diomongin nih anak emasmu iniii! Nanti malu-maluin kita di sana', Nyonya Bennet mondar-mandir di ruang makan sambil memanggil-manggil suaminya. Lizzy cuma tersenyum melihat ibunya panik. Semenit kemudian pak Bennet muncul dari pintu teras samping dengan santainya menjawab 'Kamu apain lagi ibumu Lizzy?', katanya santai, lalu duduk di kursi makan.

'Mama bilang aku malu-maluin bawa koper kecil pap', ujarnya sama santainya, lalu ikutan duduk di kursi dekat papanya. 'Bukan kopermu yang bikin malu anak keras kepala! Itu lho pak..masa dia cuma bawa T-shirt sama sandal gitu itu. Nanti kalau mau kunjungan ke sodara apa gak malu? Kalo ada undangan pesta di sana trus gimana? Nanti kamu disangka anak kampung baru tau', Nyonya Bennet menekuk mukanya.

'Hmmm..betul-betul tragedi kalau begini caranya', pak Bennet menggaruk-garuk dagunya dan mengedipkan matanya pada Lizzy. 'Salah kopernya kok pap, bukan salahku. Kenapa dia kecil gitu, jadi aja yang muat cuma sandal', Lizzy memasang muka serius. 'Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu nak, ini sungguh masalah yang pelik', ucap pak Bennet sambil memandang tajam koper kecil Lizzy yang tak jauh dari tempat duduknya. 'Setuju pap, kurasa kopernya harus kita kasih hukuman yang setimpal buat kejahatannya yang tak termaafkan. Bikin mama marah gitu itu lho pap. Ya gak mam?', Lizzy mengalihkan pandangannya pada mamanya, yang bengong menatap bolak balik antara Lizzy dan suaminya saat mereka bicara. 'Kok jadi koper...? Kenapa kopernya?..' pikir Nyonya Bennet, merasa bingung sendiri. Nyonya Bennet, yang panggilan aslinya Fanny, memang bukan wanita yang paling cerdas di dunia, dia sering panik untuk hal-hal sepele. Pak Bennet dan Lizzy terkadang sering bersekongkol membuatnya bingung.

'Ah sudahlah, terserah kamu aja. Jangan nyesel nanti kalau kamu keliatan ndeso sendirian sementara kakak dan adik-adikmu tampil elegan', ujarnya sambil melirik ke arah tangga, melihat Jane turun membawa koper seukuran kulkas. Di tergopoh-gopoh ketika sampai di tangga bawah. 'Kamu sudah bawa semua yang aku bilang Jennie? Baju dan sepatu pesta nggak lupa? Kakakku bilang kita mungkin akan diundang ke pesta tetangga barunya kakek dan nenekmu. Rumah mereka yang di belokan sungai itu lho, inget gak yang dekat jembatan. Yang besar banget. Baru direnovasi. Pesta orang sekelas itu pastinya perlu baju elegan', tambahnya sambil mendelik ke arah Lizzy. 'Memangnya kita dapet kartu undangan? Aku kok gak tau..', pak Bennet pura-pura bingung. Istrinya langsung menyela ' ya nggak to paak..mereka kan gak kenal kita, jauh di sini. Kakakku dapet undangan, ibu sama bapakmu juga, ya otomatis kita juga toh kalo kita tinggal sama mereka selama libur. Gimana sih kamu ini? Sukanya telat begitu mikirnya. Itu kan logika yang gampang banget', Nyonya Bennet bicara panjang lebar sok merasa lebih pintar. Pak Bennet hanya menanggapi dengan kata 'ooh' , lalu melirik ke arah Lizzy dan mereka berdua tersenyum ditahan. Sementara Jane hanya terdiam, melirik mamanya lalu adik dan papanya, dengan pandangan curiga. Dia tahu kalau mereka suka diam-diam mentertawakan kekonyolan mamanya.

Keesokan harinya keluarga Bennet pergi ke Jogya dengan kereta api. Setiap tahunnya mereka selalu memilih kereta api ketika pergi dan naik pesawat ketika kembali dari liburannya. Jalur selatan selalu menjadi favorite mereka karena pemandangannya yang hijau dan indah di sepanjang perjalanan. Lizzy dan Jane bercengkrama santai, pak Bennet tenggelam bersama buku bacaannya, Nyonya Bennet sibuk dengan hp dan tidak jarang sambil selfie, Lydia dan Kitty ribut dengan games di tabletnya, sedangkan Mary lebih banyak tidur sepanjang perjalanan. Sesampainya di Jogya, Pak Hill, sopir keluarga sudah menunggu di stasiun menjemput kedatangan mereka. Kakek dan nenek Bennet tidak pernah ikut menjemput karena mobilnya tidak akan muat dengan barang bawaan plus pasukan srikandinya.

Tampak di kejauhan rumah keluarga besar Bennet yang dikelilingi kebun bunga di sisi kanan dan semacam hutan kecil di sisi kirinya. Lahan keluarga Bennet merupakan satu-satunya penghasil bunga di daerah itu, yang dikenal dengan sebutan Omah Longbourn. Setiap hari mondar-mandir truk yang memasok bunga ke kota-kota terdekat. Begitu mobil mendekat ke gerbang rumah, terlihat kakek dan nenek mereka melambaikan tangan keluar dari pintu depan. Begitu mobil berhenti, Lizzy yang duduk di dekat pintu kanan langsung meloncat keluar. 'Lizzy!! Aduuuh itu anak!!!'terdengar Nyonya Bennet berteriak kecil. Pak Bennet turun dari kursi depan dan membuka pintu tengah kiri ' silahkan Nyonya, selamat datang di Longbourn', ujarnya sambil membungkukan kepala dan badannya pada istrinya sambil tertawa kecil.

'Ummi!! Abba!! Lizzy berlari menuju nenek kakeknya dengan kedua tangan di udara. Setelah duduk di kereta sekian lama, dan di mobil yang berdesakan, dia sudah tak tahan ingin berlari mengelilingi Longbourn. Tapi tentunya dia harus menyapa dulu kedua orang yang sangat dirindukannya selama setahun. Tangannya memeluk erat kakek dan neneknya itu ', Aku sangat rindu sama kalian. Tapi aku juga rindu sama bunga-bunga, ayam, bebek, burung, ...'

'Sudah sana pergi. Kami tau, kamu pengen jalan ke kebun sebelum mulai gelap. Sana.., gak usah pakai basa basi, nanti keburu mamamu tau', neneknya menepuk tangan Lizzy sambil tertawa lebar. Tanpa menunggu semenit, Lizzy mencium pipi nenek dan kakeknya 'you are the best , ummi!', ujarnya sambil tertawa lalu secepat kilat kabur berlari ke kebun bunga dan menghilang di antara kerimbunan petak bunga matahari dan sedap malam. Kakek dan neneknya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah cucu kesayangannya itu.

Tak lama kemudian satu persatu dari cucunya menyalami mereka, lalu semua masuk ke dalam rumah. Terdengar suara nyonya bennet yang masih tidak senang mengetahui anak keduanya sudah lenyap di kebun bunga, atau di hutan belantara, begitu dia menyebut petak kebun kayu kecil yang ada perbatasan lahan Longbourn.

Angin sore bertiup sepoi-sepoi, langit di ujung barat mulai memerah, Lizzy duduk terpukau menikmati udara segar dari batang pohon jambu yang selalu menjadi favoritnya. Pohon itu sudah berdiri di situ selama yang dia ingat, sejak TK dia sudah sering memanjat dan duduk berjam-jam dipohon itu. Bahkan sering sampai tertidur. Namun kali ini ketenangannya sedikit terganggu dengan pemandangan baru yang sedikit agak jauh dari tempatnya, tapi dia masih bisa melihatnya dengan jelas.

Tampak dua orang lelaki muda, menunggang kuda sambil bercakap-cakap dan diselingi tawa. Keduanya tampak santai, lalu berhenti beberapa saat seolah-olah juga sedang menikmati matahari terbenam. Mereka membelakanginya. Dari postur tubuh mereka, tampaknya keduanya sangat atletis, yang satu tampak lebih tinggi dari teman disampingnya. Entah mungkin karena mereka merasa ada yang memperhatikan punggung mereka dari jauh, atau karena mereka memang berniat melangkahkan kudanya ke arah yang berlawanan, tiba-tiba Lizzy melihat keduanya seolah-olah bersamaan menoleh ke arahnya, lalu menggiring kudanya menuju rumah Longbourn.

Ketika dirasanya mereka semakin mendekat, Lizzy mulai setengah yakin kalau mereka benar-benar melihat dirinya bergelantungan di pohon itu, karena keduanya seperti menahan tawa sampai mukanya setengah kembung. Semakin mendekat lagi, keduanya turun dari kudanya. Lizzy sedikit jengah karena sekarang posisi dia ada di atas kepala kedua lelaki itu. Dia sedikit panik memutuskan apakah dia loncat dengan resiko kehilangan kaki, atau turun perlahan dengan resiko kehilangan harga diri, karena tentunya dia harus membelakangi keduanya dan memberikan pemandangan pantatnya yang menurutnya sebesar parabola, tepat di depan muka mereka. Akhirnya dia memutuskan tetap duduk di dahan itu, dan melongokan kepalanya kebawah 'Hai, ada yang bisa saya bantu?', ujarnya dengan gaya sok cool menutupi rasa malunya. Tapi ketika pandangan matanya mendarat di muka pria satunya yang tinggi,..dia tersentak kaget! Matanya terbelalak semakin bulat, mulutnya sedikit menganga dan tiba-tiba saja dia kehilangan keseimbangannya 'Will  !! Oh my god..Wi..Wi..Will?' , katanya tergagap. lalu Buummm!!! Tak disangkal lagi sekarang dia baru saja kehilangan kedua-duanya, kaki dan harga dirinya!! Ketika dia mendarat dengan pantatnya di rumput.

'Aaaaawwww!!'

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
IamnotLizzyBennet
Sudah sejak lama saya terpikir untuk membuat novel versie modern Pride and Prejudice. Kalau Darcy kita bikin jadi figur cowok idaman yang jatuh bangun sama gadis biasa tapi smart seperti Lizzy, tentunya ceritanya harus sedikit lebih banyak konflik dari hanya seputar pesta dansa dan gaun gala bukan?

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet