Saputangan Garfield

Fitzwilliam Darcy: Yang Tak Akan Pernah Terganti

'Lizzyyy.....', tante gardiner mengingatkan keponakan kecilnya, menyaksikan tingkah polah anak berdua itu. Pada saat yang bersamaan, terdengar suara baritone laki-laki 'Will..!!' dari samping kanan kursi mereka. Keduanya serentak diam, lalu spontan menempelkan telunjuknya di bibir yang lain. 'Ssssttt..', ujarnya hampir berbarengan. Keduanya terdiam lagi, serentak menarik telunjuk masing-masing.., lalu saling menatap satu sama lain..., lalu serentak tertawa terbahak-bahak. 'Hussshhh anak-anak pelankan suara kalian', terdengar juga dua suara dari sisi kanan kiri yang hampir bersamaan. Kedua anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat, dan tertawa bersama lebih keras dari sebelumnya. Amanda Gardiner dan George Darcy, saling melambaikan tangannya sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala mereka. Di samping George, duduk seorang pria yang tampak sedikit lebih tua darinya berpakaian seragam militer.

'Jadi, stalker..., mmmm....namamu Willy?', Lizzy mengedipkan matanya dan terus tertawa. 'Oh My God! bukan...oh No..bukan Willy. Aku akan sangat menderita kalau dikasih nama seperti itu (*)', ujarnya serius. 'Nama asliku aja sudah cukup memalukan, apalagi kalau diganti jadi Willy', kali ini dia ikut cekikikan bersama Lizzy. 'Namaku Fitzwilliam. Itu Ayahku, George, dan pamanku James. Tapi keluargaku memanggilku William, atau lebih sering lagi cuma Will. Di luar keluargaku, aku lebih sering dipanggil dengan nama Darcy', jelasnya panjang lebar. 'Oh ! Namaku Elizabeth Bennet. Semua orang memanggilku Lizzy. Sorry tadi aku meninju kamu...éeehmm..dua kali..eeemmh gak sengaja. abis kamunya ngeselin juga sih!', ujarnya sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kiri dan mendonggakan dagunya ke atas, seolah-olah menantang Will untuk berdebat dengannya. Darcy menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangannya 'Friends ?'. Elizabeth membalas senyum dan jabatan tangannya 'Friends', ujarnya pasti.

Beberapa saat setelah lepas landas, kru pesawat menyajikan makan malam. Karena baru kali ini duduk di kelas bisnis, Elizabeth terpukau dengan variasi menu yang ada di depannya. Semuanya tampak segar dan menggiurkan, tidak seperti yang biasa dia lihat di kelas ekonomi, hanya kotak yang ditutup alumunium foil. Sekarang dihadapannya makanan dan minuman kualitas restaurant, lengkap dengan perlengkapan makan lainnya serasa tidak sedang makan di pesawat.

'Kenapa kok bengong.., tidak lapar?', Darcy mengernyitkan dahinya. 'Mmm...oh nggak, cuma aku baru kali ini melihat makanan pesawat sebagus ini', jawab Lizzy. 'Oh ..', Darcy cuma mengendikan bahunya. Dia meraih gelas jus jeruk yang ada di depannya, tapi belum sempat dia meminumnya, tiba-tiba ' Kraaaakkk !!', terdengar bunyi badan pesawat terguncang. Jus jeruk yang tepat di depan hidungnya tumpah menyembur mukanya. Sedetik kemudian terdengar pramugari menginstruksikan sabuk pengaman dikarenakan turbulensi.

'Huffff..basah semua deh', Darcy berusaha mengeringkan bekas jus di muka dan bajunya dengan tissue. 'Ini, pake saputanganku', Elizabeth mengeluarkan saputangan dari jaketnya. 'Terima kasih,... Elizabeth Bennet', Darcy menempelkan tangan di depan dadanya dan menganggukan kepala pada Lizzy sambil tersenyum. Dia melap mukanya dengan saputangan kecil itu. Elizabeth kecil, merasakan dadanya tiba-tiba berdegup sangat kencang dan mukanya terasa hangat. Selama beberapa saat dia hanya menatap muka anak laki-laki tampan di sampingnya itu dan seolah-olah dia merasa harus menahan nafasnya.

'Sama-sama', ujarnya singkat. Lalu segera menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Darcy dan menyibukkan dirinya dengan santapan siangnya sampai waktunya kru pesawat mengambil kembali tempat makanan mereka.

Sisa perjalanan mereka lebih banyak di isi dengan membaca buku yang dibawanya masing-masing dan pura-pura tidur. Elizabeth masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang membuatnya jengah tadi, tapi dia merasa anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu membuatnya sedikit malu dan membuat perutnya merasa tidak karuan. Dan seorang Elizabeth Bennet, tidak pernah sebelumnya merasa malu-malu!

Lain dengan Darcy, selang beberapa menit dia akan menoleh dan memperhatikan gadis kecil yang berambut ikal disampingnya itu. Dia terlihat sangat serius membaca komiknya. Dan kelihatannya, kalau dia berpikir serius, dia selalu mengemut ibu jari kirinya sementara telunjuk kanan nya akan memutar-mutar rambut dekat telinganya. Pemandangan yang sangat indah buatnya, mengingatkannya pada adiknya Georgiana, yang mungkin lebih muda dari Lizzy, tapi punya kebiasaan serupa. Tanpa disadarinya, dia sering tersenyum sendiri setiap kali melihat 'aksi' tangan  Lizzy. Malam ini dia akan segera bertemu dengan adiknya itu, orang yang paling dia sayangi di seluruh dunia.

Terdengar suara kapten mengumumkan kalau sebentar lagi pesawat akan mendarat. Semua penumpang bersiap dengan posisi duduk tegak dan sabuk pengaman yang terkunci ketat. Tak lama kemudian satu persatu dari mereka sudah boleh melangkah menuju pintu keluar. 'Sampai ketemu lagi Lizzy', Darcy mengulurkan tangannya sambil tersenyum. ' Bye Darcy', Lizzy menjabat tangannya lalu berjalan tergesa mengikuti tante dan kakaknya keluar pesawat.

'Lizzy, tunggu!!  kamu lupa....', Darcy berusaha melambaikan tangannya ke arah Lizzy yang sudah berjalan jauh di depannya, '....saputanganmu..', ujarnya pelan setengah berbisik. Dia tau gadis kecil itu tidak akan mendengarnya kalaupun dia berteriak. Dia memandang potongan kain halus berwarna putih kecil yang ada di genggamannya. Pinggiran kainnya dihiasi dengan bunga bunga kecil mungil berwarna coklat muda, terlihat initial e.b di salah satu pojoknya. Gambar Teddy Bear....eehh bukan, gambar kucing gemuk, terlukis di tengahnya. Tentu saja! pikirnya sambil tertawa kecil 'who else? GARFIELD !!'. Darcy menggelengkan kepalanya dan bergegas mengikuti ayah dan pamannya yang sudah menuju loket imigrasi.

Di luar pintu kedatangan, terlihat Georgiana melompat- lompat kegirangan melihat kakaknya. Di sampingnya berdiri pasangan sopir dan asisten rumah tangga mereka, Reynolds. Darcy memeluk adiknya dan berusaha mengangkat badannya ketika kedua lengan adiknya memeluk erat lehernya, 'How are you, Sweety... Ready to go home?'. Georgiana hanya mengangguk, lalu melingkarkan tangan mungilnya di lengan kakaknya. Dia belum begitu fasih dengan bahasa Indonesianya karena jarang pulang ke Jakarta. Sejak ibu mereka, Lady Anne, sakit-sakitan dan memilih untuk dirawat di rumah sakit keluarganya di Singapura, Georgiana tinggal dan sekolah di negeri tempat keluarga ibunya itu berasal.

(*) Di negara yang berbahasa inggris, jika anak laki dipanggil dengan nama Willy, kemungkinan besar dia akan jadi bahan olok-olokan temannya di sekolah. Karena bisa diartikan juga sebagai . Kalau nama aslinya William, seringkali mereka akan dipanggil dengan sebutan Bill, oleh teman-temannya. Seperti hal nya Bill Gates. Nama depan dia aslinya adalah William.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
IamnotLizzyBennet
Sudah sejak lama saya terpikir untuk membuat novel versie modern Pride and Prejudice. Kalau Darcy kita bikin jadi figur cowok idaman yang jatuh bangun sama gadis biasa tapi smart seperti Lizzy, tentunya ceritanya harus sedikit lebih banyak konflik dari hanya seputar pesta dansa dan gaun gala bukan?

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet