Daddy's big boy

NUESTRA MAGOA [INDONESIAN BTS FANFICT]

Insecure again, dangerous again
So bad , us, yeah
Enduring more, holding out
So hard , I can’t

(Jungkook’s part ---House of Card)

Jungkook POV

Disini aku berdiri. Di depan pagar bercat putih setinggi pinggangku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terakhir kali aku menginjakkan kaki di tempat ini adalah 3 tahun lalu. Aku selalu minta bertemu dengannya di luar rumah, karena aku tidak ingin memandang bagian gelap dari rumah ini kembali. Aku menghela nafas pelan, setelah kurasa cukup, aku mulai membuka pagar itu, dan masuk ke pekarangan. Hanya ada sedikit bunga tumbuh di halaman namun cukup terawat. Kurasa ia memiliki waktu cukup banyak hingga memperhatikan bunga-bunga disini.

Aku membuka pintu bercat putih yang senada dengan pagar luar. Warna yang kupilih ktika mereka bertanya apa warna kesukaanku untuk cat pagar itu, dan aku hanya tau warna putih, warna gaun yang dipakai eomma saat itu. Aku tertawa pelan ketika menyadari pintu itu tidak terkunci, masih sama, ceroboh. Untung saja disini tidak banyak orang berotak kriminal.

Ruang tamu terlihat cukup rapi, hanya beberapa koran tidak terlipat dengan rapi. Aku menyusuri hingga ke ruang tengah, tempat TV dan beberapa pigura yang memajang medali Taekwondoku, rak buku dan sofa santai. Kosong. Aku menghela nafas pelan lagi. Lebih baik aku naik ke kamar. Ketika menginjak anak tangga kedua, suara pintu yang tertutup menghentikanku.

“ Siapa disana?” Sebuah suara bariton terdengar. Langkah kaki itu mendekat ke arahku yang masih membeku, mencengkram pegangan tangga erat.

“ Jungkook, kau kah itu?” Pemilik suara itu tepat ada di belakangku sekarang. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuatku berbalik, menatap kedua mata teduh yang selama setahun ini tidak terlihat, bahkan aku hampir lupa seperti apa rasanya memandang mata itu kembali. Sebentar saja aku memastikan bahwa ia adalah sosok yang selama ini aku inginkan danaku rindukan. Bukan sosok lainnya yang bahkan membuatku ingin menghilang saja dari muka bumi ini.

“ Nde, aboeji. Ini aku.” Ucapku masih terdiam di depannya. Kulihat ia tersenyum senang, lalu menepuk kedua pundakku yang sama tinggi dengan pandaknya. Ia memandangku dari ujung kaki hingga kepala.

“ Adeul, kau tumbuh dengan cepat ternyata. Aigo! Bahkan tinggimu sudah setinggi appa!” Ucapnya lalu dengan cepat manarikku ke pelukannya. Ia menepuk-nepuk punggungku selayaknya seorang ayah memeluk anak laki-lakinya.

Tubuh appa masih kekar seperti dulu. Dan aku cukup bangga tumbuh hampir sekekar dirinya. Aku menikmati rasa dipeluknya sekarang ini. Pelukkannya membuatku nyaman dan membuat hatiku hangat. Ia melepaskan pelukan lalu memandangku kembali dengan senyum bahagia di wajahnya.

“ Kau pasti lelah di perjalanan. Naik dan bersihkan dirimu, appa akan buatkan makan malam yang lezat untukmu.” Ia lalu berlalu menuju dapur dengan girang.

Selama beberapa menit aku masih terpaku di tempat. Aku rindu dengan suasana ini. Aku menikmati setiap detik perlakuannya padaku tadi, walau hanya beberapa menit. Dan berharap akan selalu seperti ini.

 

Seusai membersihkan diri, aku mengecek handphone dan mengetik balasan ke grup BTS, menjawab aku telah sampai dengan selamat dan akan makan malam dengan appa. Jimin hyung sudah lebih dulu menjawab sebelum aku, ia berkata sedang memasak bersama noonanya di rumah. Aku biasanya iri padanya ketika ia menyebut seberapa perhatian noonanya terhadap dirinya.

Noona Jimin adalah seorang biarawati. Ia cantik, aku pernah bertemu sekali dengannya di gereja. Mereka tinggal berdua disini, karena orangtua mereka berada di Thailand dan menetap disana karena urusan bisnis. Jimin hyung pasti sangat nyaman sekarang, tapi disini aku juga merasa nyaman, setidaknya tadi. Sekarang? Entahlah, aku akan mengetahuinya nanti setelah bertemu dengan appa kembali di bawah.

Aku melangkah dengan cepat dari tangga terakhir dan memasuki ruang tengah untuk menuju ke dapur. Disana aku melihat banyak foto dulu masih terpajang. Fotoku sambil menggigit medali emas hasil pertandingan Taekwondo dengan eomma dan appa di sampingku, foto appa dengan seragam tentaranya, fotoku saat masih bayi, dan…foto ketika aku pertama kali debut. Aku mengerutkan alis, sejak kapan foto ini ada disini?

“ Kook-ah, ayo kemari, makanan sudah siap.” Ucap appa dari dapur. Aku menoleh dan mengangguk. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang indah untukku.

Kami makan dengan tenang dan mengobrol ringan. Appa memasak daging panggang kesukaanku dengan sempurna. Ia memasang senyum bangga dan bahagianya ketika aku bercerita betapa senangnya aku dan hyungdeul ketika menerima beberapa penghargaan, dan diundang ke Billboard bahkan membawa pulang tropi Top Social Artist.

“ Daebak, Anakku ini sudah sukses besar ternyata, hahahaha.” Ucapnya sambil meminum tehnya setelah makanannya habis.

“ Oh ya, appa kemarin membeli DVD player baru, kau mau nonton setelah ini?” Aku melebarkan mataku.

“ Nonton? Tentu saja! Ayo menonton sesuatu yang bagus, Appa! Aku punya banyak stok film di flashdiskku.” Ucapku semangat.

“ Arraseo, ayo kita menonton!” Aku tersenyum.

Tolong tetaplah seperti ini, Appa.

 

 

Aku membuka mataku ketika membau sesuatu dari dapur. Aih, punggungku pegal juga tidur di ruang tengah. Tunggu , ruang tengah? Oh, aku baru ingat. Tadi malam aku menonton dengan appa hingga larut malam. Namun bantal dan selimut telah menemaniku hingga bangun, padahal tadi malam aku tidak membawa bantal dan selimut kesini. Mungkin appa. Aku tersenyum mengingat hal-hal yang terjadi tadi malam. Ya, tidak seperti ekspektasiku ketika sampai di depan rumah kemarin.

Namun, aku mengernyit ketika mencium bau yang tidak enak dari dapur. Seperti bau sesuatu yang hangus terbakar. Jangan-jangan appa memasak sesuatu terlalu lama. Dengan segera aku bangkit dari sofa dan menuju dapur untuk memeriksa. Benar saja, appa sedang memasak sesuatu di atas kompor. Ia membelakangiku, terlihat sibuk dengan kegiatannya.

“ Appa? Kau menghanguskan masakanmu? Baunya tercium hingga ke ruang tengah.” Ucapku sambil mengambil air putih. Appa terlihat masih sibuk dengan kegiatannya. Aku terkekeh melihatnya.

“ Appa! Butuh bantuan?” Ucapku lebih keras.

Ia berhenti bergerak. Lalu berbalik dengan sesuatu yang hangus di tangannya. Detik itu juga aku menyadari yang ada di depanku ini bukan appa.

Pyar!

Aku melepaskan gelas yang ada di tanganku hingga gelas itu pecah berkeping-keping di lantai. Aku melangkah mundur hingga membentur dinding ketika melihat apa yang sedang ia bakar di kompor. Mengerikan. Aku bahkan ingin muntah seketika. Ia memegang sebuah besi yang ia tusukkan ke sebuah kepala kucing yang telah terbakar hangus.

“ Oh, Jungkookie, Good Morning! Kau sudah lapar, sebentar ya, appa sedang memasakkan sesuatu untukmu.” Suara itu… nada itu… senyuman itu dan tatapan itu kembali. Sosok yang ada di depanku bukan appa yang semalam memelukku hangat. Ia adalah sosok yang selama ini membuatku tidak ingin pulang.

“Kau… apa yang kau lakukan?” Ucapku tersendat.

Ia memiringkan kepalanya sambil tetap tersenyum. “ Kau? Panggil aku appa, Kooki-ah. Bukan ‘Kau’.” Ucapnya dengan nada manis.

Aku bergidik ketika ia menaruh benda mengerikan itu di atas piring dan berjalan menuju meja makan di depanku lalu duduk disana dan tetap tersenyum. Ia memotong sebagian kepala itu, lalu menaruhnya ke piring kosong di depanku.

“Cha, duduklah dan makan.” Aku tetap terdiam. Tidak! siapa yang mau memakan benda menjijikan itu. Untuk 5 menit aku berdiri dan masih menatap sosok didepanku tajam. Ia masih sibuk memotong-motong benda menjijikan itu dengan pisaunya.

“ Jongkookie, duduklah.”

Aku masih diam di tempat.

“ Kooki-ah, ayo cepat duduk agar kita bisa memulai sarapan bersama.”

Aku masih menatapnya tajam dan ia membalas tatapanku dengan tatapan manis yang menurutku sadis.

“ Aniyo, aku akan makan di luar. Kau bisa habiskan itu semua sendiri.” Ucapku lalu berbalik bermaksud keluar dari dapur.

ZAP!

Mataku membulat ketika sebuah pisau menancap di dinding sebelahku. Jika saja aku tadi bergerak lebih cepat sedikit, maka pisau itu akan menancap sempurna di telingaku. Aku terdiam bergidik.

“Kau ingin membunuhku, hah?” Ucapku berusaha agar suaraku tidak bergetar.

Ia tertawa pelan. “ Sudah kubilang panggil aku appa. Bukan ‘kau’. Aku ini appamu!” Ucapnya dengan nada tenang tapi penuh tekanan.

Aku berusaha mengatur diriku sendiri. Andwe, Jeon Jungkook. Kau tidak boleh takut. Kau tidak boleh lemah. Aku lalu berbalik menghadap sosok mengerikan yang sekarang terlihat menatapku tajam.

“ Appa? Kau? Bukan! Sadarlah, dirimu bahkan sangat mengerikan untuk menjadi seorang ayah!” Ucapku tidak kalah keras.

Ia berdiri dengan perlahan sambil terus menatap tajam ke arahku. Pagi ini rumah sengat sepi dan senyap, sehingga suara deritan kursi itu terdengar jelas di telingaku, dan percayalah itu lebih mengerikan dari deritan benda apapun yang ada di film horror.

Ia berdiri dan berjalan pelan ke arahku. Ya, aku tau. Seharusnya aku lari dari psikopat ini. Tapi entah kenapa, si bodoh Jeon Jungkook ini malah tetap berdiri dengan menantang ketika monster itu semakin mendekat.

“ Apa? Kau mau menyakitiku? Lakukan saja!” Teriakku dengan nafas menggebu.

Tangannya tiba-tiba mencengkram bahu kananku erat, membuatku hanya merasa sedikit sakit. Ia lalu menaikkan daguku dan memaksa kepalaku mendongak dan menatapnya yang lebih rendah.

“Apa bahumu pernah sakit atau terkilir sebelumnya? Sepertinya menyenangkan bukan memiliki bahu yang sehat dan tidak pernah sakit. Kupikir untuk seorang penyanyi, bahu cukup krusial jika mengalami cedera, karena kau juga tidak akan bisa menggerakkan tanmu jika bahumu sakit.” Ucapnya sarkas.

Aku tertawa pelan. “ Kau mau mematahkan bahuku? Baiklah, patahkan sekarang jika itu membuat nafsumu puas!” Ucapku lantang.

Ia tertawa dengan keras setelah mendengar jawabanku. “ Hahaha, baik. Kau mau bahu sebelah mana? Kanan? Kiri? Atau lenganmu juga?” Tanyanya santai.

“ Patahkan semua yang ingin kau patahkan dari tubuhku.”

Ia mengencangkan cengkramannya di bahu kananku sehingga membuatku memejamkan mata bersiap merasakan sakit. Namun setelah itu aku merasakan tangannya tidak lagi menyentuh bahuku atau bagian tubuhku lainnya. Aku membuka mata dan menemukan ia masih berada di depanku namun memunggungiku.

Apa ini? Kenapa ia tidak melakukan sesuatu terhadapku. Ia malah terdiam tak bergerak membelakangiku. Harusnya aku pergi dari sini sekarang juga, aku bisa mati jika tetap berdiri disini. Namun, aku tetap diam berdiri disini sibuk memikirkan apa yang sedang terjadi pada sosok di depanku ini.

PYAR!

“Argh!!”

Dan tiba-tiba ia berbalik dengan piring ditangannya lalu memukulkan piring ke bahu kananku dengan kencang hingga pecah. Aku berteriak kesakitan dan langsung terduduk ketika merasakan bahuku sangat sakit. Warna merah timbul di bajuku bagian bahu kanan yang berwarna putih. Aku memegang bagian bahu kananku dan merasa beberapa beling menancap disana.

‘Sial, kenapa darah!’ Gumamku. Ia lalu berbalik pergi masuk ke kamarnya setelah melihatku berdarah. Dan hal itu membuatku masuk ke kamarku untuk menangani bahuku.

“Ssh! Sialan! Kenapa dari semua benda harus piring!” Gumamku ketika berhasil mencabut semua beling yang menancap dan mengguyur bahuku dengan alkohol.

“Aish!!! Sakit sekali!” Teriakku ketika merasakan perih yang luar biasa di bahuku. Aku lalu memberi obat di luka sobek yang cukup panjang di bahuku, lalu menutupnya dengan plester besar lalu kubalut perban. Yah, cukup baik untuk ukuran mengobati diri sendiri dengan satu tangan.

Aku melihat pantulan diriku di depan cermin. Dada bagian kiri, kedua lenganku, perutku, pinggang kanaku, semuanya terdapat bekas luka yang telah dilepas jahitannya. Maha karya sosok yang menempati raga appaku tadi pagi dan tahun-tahun sebelumnya yang hobby melukai dan membunuh sesuatu atau seseorang.

Dan kenapa aku membiarkan ia melukaiku yang bahkan bisa mematahkan lehernya seketika karena sejak kecil aku menguasai Taekwondo? Tentu saja karena aku tidak ingin membunuh ayahku sendiri. Dan bila aku kabur, sosok itu masih memiliki nafsu membunuh atau melukai yang belum tersalurkan sehingga ia bisa saja membunuh orang tak bersalah di luar sana.

Aku tidak mau itu terjadi dan menyebabkan appa dipenjara dan menghabiskan masa tuanya sendiri terkurung dan dibatasi sel besi. Tidak, aku tidak mau. Aku lebih memilih ia melukaiku untuk menghabiskan semua nafsu membunuhnya hingga ia tenang. Aku ini orang yang kuat, aku akan sembuh dengan cepat dan tidak akan mati dengan cepat. Itu yang kupegang setiap kali menginjakkan kaki di rumah ini sejak awal.

Setelah merasa lebih baik, aku lalu menelpon Jimin hyung, satu-satunya orang yang bisa kutemui dengan cepat di luar rumah saat ini. Ketika mendapat jawaban iya darinya, aku segera mengganti bajuku dengan kaos hitam, dan memakai jaket tipis, lalu turun ke bawah dan keluar dengan cepat dari rumah ini. Aku perlu keluar dulu dari tempat gelap ini untuk sementara waktu.

 

 

~to be continued~

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Menarik nih!
dhesy_dpotter #2
Baru baca awalnya.. menarik ^^
Lanjutkan
lia_jiyoo #3
Chapter 4: Anw menurutku lebih pas "di dalam mobil" daripada "di atas mobil"

Dan oh ya, aku tidak menyangka Jung Hoseok punya ayah begitu ㅠㅠ
lia_jiyoo #4
Chapter 3: Kelam. Dan dingin.
lia_jiyoo #5
Chapter 2: Wah, membacanya cukup membuatku takut. Lebih takut daripada membaca chapter sebelumnya.
lia_jiyoo #6
Chapter 1: Ayahnya punya alter ego?
lia_jiyoo #7
Ditunggu lanjutannya