[i] her plan

COMEBACK

Bulan Januari terasa bagaikan dilema bagi Nara. Pertama, ia tidak suka musim dingin terutama salju. Kedua, dia benci menjadi tua. Ketiga, pesawat bukan tempat nyaman untuk bepergian. Turbulensi ketika pesawat hendak mengudara telah sukses membuat perutnya mual setengah mati meskipun ia sudah sering berpergian menggunakan kendaraan itu.

Beberapa hal tadi merupakan sisi negatif dari bulan Januari. Sisi baiknya adalah; 1) Nara bisa terbebas dari grandma yang cerewet 2) Dia bisa menemui Ibunya di Kanada 3) Nara berulang tahun--meski hal ini dianggap tidak terlalu penting untuknya. 

Biasanya untuk anak-anak gaul standar London, mereka bakal mengadakan pesta besar-besaran di umur tujuh belas. Meski umur tersebut belum dianggap legal untuk mulai minum-minum, tapi Nara paham betul kalau teman-teman sekolahnya bakal mengabaikan peraturan itu. Menurut mereka, toh setahun lagi mereka juga legal.

Tapi hal di atas jelas tidak berlaku untuk Nara. Beberapa tahun terakhir ini dia sedang dalam proses menghemat, rasanya amat sangat menyiksa, tapi ia harus melakukannya demi mendapatkan sesuatu yang belum ingin ia ceritakan di awal cerita ini.

Kunjungannya ke rumah seharusnya disambut dengan hangat, tetapi Nara tidak menemukan siapa pun begitu ia sampai rumah. Memang sih, Nara juga salah. Ia sengaja tidak memberitahu Ibunya perihal kedatangannya. Nara hanya ingin semuanya jadi kejutan, meski hasilnya...

Menahan desakan untuk mendengus keras-keras, Nara pun mencari kunci rumah. Tadi ia sempat bertanya pada satpam rumahnya dan mengatahui bahwa ibunya masih belum pulang kerja. Padahal sekarang matahari sudah terbenam.

Diabaikannya masalah kecil itu. Nara menemukan kunci rumah di bawah sebuah pot bunga. Rumahnya yang cukup megah terasa dingin, berbeda dengan rumah milik grandma di London sana. Ia suka furnitur serba kayu dan segala hal yang bergaya klasik, menurut Nara rumahnya di Vancouver ini terbilang cukup modern. Berbanding terbalik dengan rumah grandma yang masih bercorak alam meski berada di tengah kota.

Sejak menapakan kaki di sini--tidak, bukan sejak itu, tetapi sejak beberapa hari lalu saat ia berulang tahun ke tujuh belas--Nara sering kepikiran sesuatu. Ia agak terusik karena suatu alasan yang mengesalkan, Nara mengakui bahwa ia gelisah.

Saat ini dia sedang berada di kamarnya, tengah berdiri di samping jendela yang mengarah langsung ke arah rumah besar yang berada tepat di sampingnya. Di sana terdapat jendela yang tampak sejajar dengan jendela kamarnya. Hanya saja, di balik itu jendela tampak sangat gelap. Tidak ada penerangan sama sekali yang sering kali membuat orang-orang berpikir rumah kosong itu angker.

"Nara?"

Tanpa menoleh pun Nara tahu suara itu berasal dari Ibunya. Ia kemudian membalikan badan, tersenyum simpul dan langsung menurunkan hardcase gitar akustik yang dibawanya dari London sebelum melebur ke pelukan ibunya.

"You must be surprised, aren't you?" ujar Nara kepada Ibunya, Jung Hana.

Hana tertawa singkat. Ia mengelus rambut kecoklatan putrinya yang sudah memanjang. 

"Kalau Ibu bilang tidak terkejut bagaimana?" tanyanya.

Nara melepas pelukan. Ia memasang ekspresi merajuk, "Then i'll leave now."

Hana tertawa renyah. Mau tak mau Nara ikut tersenyum melihat tawa ibunya. 

Jadi, menurut pendapat grandma di London sana, Ibu Nara merupakan warga Korea Selatan tulen. Ayahnyalah yang membuat mereka tinggal di Vancouver dan membuat Nara berkewarganegaraan Kanada. Padahal, ayah Nara sendiri orang British asli. Tapi, kini ia sangat malas membahas masalah ini. Ia mengutuki dirinya sendiri yang secara reflek langsung memikirkan garis keturunan mereka begitu melihat ibunya yang sangat Asia.

Hana tampak cantik di usianya yang sudah hampir memasuki usia akhir tiga puluhan. Rambut hitamnya digelung rapi, ia masih memakai pakaian kantor. Meskipun memakai higheel tingginya tidak jauh beda dengan Nara. Sebab Hana memang mungil, sedangkan Nara cukup tinggi karena mempunyai gen dari ayahnya.

"What you're looking at, honey?" tanya Hana begitu ingat apa yang sedang Nara lakukan tepat saat ia memasuki kamar anak itu.

"Nothing?" balas Nara dengan nada bertanya.

Hana duduk di tempat tidur yang ada di dalam kamar itu. Anaknya sudah lama tinggal di London bersama mertuanya. Nara juga memutuskan untuk tinggal di sana setelah ayahnya kecelakaan pesawat beberapa tahun silam, mungkin saat ia berumur dua belas?

Hana kurang ingat berapa umur Nara saat itu. Yang pasti, Nara menetap di rumah neneknya dan kembali ke Vancouver tiap dua tahun sekali. Kalau hitungannya tidak meleset, Hana yakin kalau seharusnya Nara pulang tahun depan, mungkin sekalian sampai dia lulus SMA. Kepulangan Nara yang lebih awal jelas membuatnya terkejut.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Hana.

Nara menggedikan bahunya. 

"Tidak banyak. Aku masih ikut klub musik dan sebagainya."

"Kau bisa ikut sekolah musik kalau mau."

"Aku sudah berulang kali memberitahu jawabannya," timpal Nara. "Mom tidak berniat mendaftarkanku ke sekolah yang aneh-aneh 'kan? Aku tidak ingin berakhir seperti cerita fantasi di Harry Potter atau sebagainya. Mereka berakhir di sekolah khusus yang menyeramkan dan punya banyak monster. Aku tak mau itu."

Salah satu poin negatif Nara; ia terlalu terobsesi dengan buku fantasi dan segala hal yang berbau fantasi.

Hana tergelak. Ia tidak membalas perkataan Nara dan malah berkata, "Keluarga Lee baru kembali ke Seoul satu minggu yang lalu, kira-kira saat Natal."

"Kenapa Mom mengatakannya padaku?" 

"Lebih baik kukatakan saja daripada putriku bertele-tele untuk menanyakannya," ujar Hana singkat. "Kau selalu kelihatan penasaran tentang keluarga mereka. Apa ada semacam cerita misterius tentang mereka? Misalnya, hal-hal semacam mereka yang punya ruang bawah tanah canggih yang menyimpan banyak temuan terbaru?"

Nara tahu kelakukannya tidak sopan, tapi ia memutar bola matanya. "Sekarang aku tahu dari mana pemikiran absurdku berasal."

"Kau memang putriku," ujar Hana sambil tertawa. "Maaf, Mom tidak bisa mengunjungimu sering-sering. Kalau saja pekerjaan kantor bisa ditangani orang lain..."

Nara tahu betul alasan asli mengapa Ibunya tak mau mengunjunginya di London. Tapi, alih-alih mengungkit-ungkit, ia hanya mengangguk tanpa mengucapkan hal lain.

Percakapan ringan menyertai anak dan ibu tersebut ketika mereka turun ke ruang makan untuk makan malam. Suasana rumah megah yang hanya berisi dua orang saja membuat suara denting sendok dan garpu terdengar sangat nyaring. 

Tidak seperti rumah megah yang sering tidak ditempati pada umumnya, Ibu Nara sempat memasak sendiri untuk makan malam mereka. Ia memang dikenal pintar memasak, membuat Nara secara tidak langsung tertular hal baik itu meski mereka jarang bertemu.

Steak buatan Ibu membuat Nara dilanda rasa melankolis. Tiba-tiba saja ia jadi semakin ingin menemui seorang teman yang membuatnya teramat marah karena berani-beraninya meninggalkan dia tanpa pemberitahuan apa pun.

"Nah, Nara, apa yang membuat kamu pulang lebih awal?" tanya Hana pada anaknya yang tidak biasanya sediam itu. "Karena liburan panjang?"

Nara yang tengah terhanyut dalam pikirannya yang lain pun baru merespon beberapa detik kemudian. Ia menelan steak dagingnya ketika berkata, "Seperti itulah. Aku dapat liburan musim dingin lebih panjang dari biasanya, mungkin guru kami sedang baik."

"Atau mungkin sekolahmu sedang ada acara besar yang tak mau direpoti dengan kehadiran murid-murid nakal semacam kamu," timpal Hana. Ia melirik putrinya yang kini memasang ekspresi merajuk. "Kudengar kau cukup sering membuat masalah. Apa Mom benar?"

Perkataan ibunya jelas tidak benar.

Nara tahu dia tidak salah. Sebab, siapa sih yang bakal diam saja waktu melihat anak tidak bersalah sedang dipojokkan sampai tidak berangkat selama seminggu penuh? 

Nara hanya mengekspos mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Ia benar-benar geram dan ingin mengasih sedikit pelajaran buat si penindas kurang ajar. Meski hasilnya, dia sendiri harus kena skorsing selama sehari. Tapi, toh itu juga cuma sehari. Hal tersebut takkan membuatnya jadi semacam idiot atau apa karena ketinggalan pelajaran.

"Aku sudah menjelaskannya pada Mom lewat telepon," ujar Nara. Ia mengacungkan hari telunjuk dan tengahnya, kemudian berkata, "I swear."

"Dan membuat keributan di hari pertama masuk sekolah?"

"Bukan seperti itu. Aku hanya kena imbas dari teman-temanku yang gila."

"Lalu, menyelinap malam-malam ke sekolah demi menyewa studio rekaman supaya bisa mendapat kualitas video yang bagus?"

"Aku sudah minta izin guru musik kami, tapi ternyata otoritasnya tidak sebesar kepala sekolah. Kalau seperti itu 'kan jelas bukan salahku."

Hana menatap putrinya yang tengah memakan steak daging tanpa mau menatapnya. Ia jelas tidak marah pada Nara, tapi ulah yang sering dilakukan anak perempuan satu-satunya ini mampu membuat Hana gemas. Ia selalu menasihatinya, tapi ia juga tidak bisa memarahinya karena Nara memang tidak salah.

Nara bisa dibilang termasuk anak yang sopan. Ia bisa menjaga perilaku kalau sudah bertemu orang baru ataupun bertemu orang yang lebih tua dengannya. Nilai akademik dan non akademiknya juga bagus. Hanya saja, kemampuan Nara untuk bersosialisasi dengan banyak orang--tidak memandang bagaimana karakteristik orang tersebit--membuatnya khawatir kalau-kalau anaknya ini terbawa hal-hal yang tidak baik.

Nara memang sopan dan cukup baik. Tapi, ia jahil minta ampun. Banyak guru yang melapor padanya bahwa mereka tidak bisa membuat membiarkan perempuan ini bosan kalau tidak ingin hal-hal aneh terjadi.

"Tujuh belas tahun harusnya membuatmu dewasa," ungkap Hana. 

Nara mengangguk. "Aku memang sudah dewasa, Mom. Sebab aku sudah bisa memikirkan apa yang benar dan apa yang salah serta apa konsekuensi dari setiap hal yang kulakukan. Jadi, kalau aku berbuat hal yang kurang normal, kuharap Mom tahu kalau aku sudah tahu konsekuensinya. Aku mendapat pengalaman dan pelajaran dari hal-hal semacam itu, bukan dari kegiatan sekolah yang oh-sangat-monoton."

"I get it," balas Hana. Ia bergumam lagi, "As long as those weird stuff didn't bring you into jail then Mom will keep silent."

Sebenarnya, Nara sedang kepikiran tentang kejadian beberapa minggu lalu di mana ia mendapatkan dare bodoh dari seorang teman. Tantangannya cukup simpel, yakni mencoba membuat polisi salah paham denganmu. 

Nara sedang dalam mode depresi karena terlalu banyak tugas sekolah saat itu sampai membuatnya melakukan sesuatu yang gila ; berlagak mencuri di sebuah mini market meski sebenarnya sudah membayar pembelian benda itu. 
Hasilnya, ia dan teman-temannya berada di kantor polisi selama kurang lebih dua jam, sampai kemudian dinyatakan tidak bersalah setelah polisi itu melihat bukti cctv yang ada.

Setelah pindah ke London, Nara memang terasa lebih hidup. Ia memiliki banyak pengalaman aneh yang membuatnya agak lupa dengan dirinya yang dulu. Maksudnya, dulu sekali, Nara memang suka yang aneh-aneh. Tapi, paling tidak ia masih terkontrol, tidak seperti akhir-akhir ini.

Ponselnya terdengar terus-terusan bergetar karena terisi oleh notifikasi beruntut yang berasal dari akun Youtube-nya. Video cover lagu ost salah satu film dewasa yang akan ditayangkan bulan depan ternyata diapresiasi cukup baik oleh viewers setianya.

Mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang masih bergetar-getar, Nara jadi kepikiran lagi. Ia benar-benar tidak bisa tenang. Nara merasa dilema habis-habisan. 

"Kenapa keluarga Lee memutuskan buat menetap di Seoul?" tanya Nara pada akhirnya.

Ia melihat ibunya yang menahan senyum. "Anak bungsu mereka punya aktifitas khusus di sana. Kau mau menemuinya? Sayang sekali, Mom tidak punya nomor kontaknya."

"Mereka selalu tidak di rumah tiap kali aku pulang," gumam Nara. Ia berdecak kecil, "Aku punya sedikit urusan dengan anak bungsu dari keluarga Lee."

"Kau bisa menemuinya. Mom akan ke Seoul untuk menemui Papamu sebulan lagi. Akhir-akhir ini dia sibuk, banyak penerbangan yang harus dilakukan sampai tidak sempat pulang ke sini, hasilnya ia jadi harus terus menetap di sana."

"Aku tidak akan ke Seoul," balas Nara. Ia menjawab dengan nada mantap. "Tidak akan pernah ke sana."

"Kemampuan bahasa koreamu cukup baik. Sangat disayangkan kalau begitu."

Nada menggembungkan pipinya. Ia menatap ponsel yang masih saja bergetar, kini di sana ada sebuah notifikasi dari akun official sekolah yang memberi selamat akan liburan musim dingin mereka dan pesan supaya murid-muridnya menghabiskan waktu liburan dengan bijak.

Nara tahu ia gila, tapi ia sudah tidak bisa menahannya lagi.

"Mom, maaf sekali karena aku harus pergi lagi besok. Sebab, klub musik sekolahku punya acara pagelaran musik klasik di Makau. Aku seharusnya langsung membicarakannya pada Mom, tapi aku tidak mau Mom sedih. Mom bisa ikut denganku, tapi sepertinya kau tidak akan sempat 'kan?" []

_________________________

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sacrifar-kun
#1
Good fanfic. Agak susah nemu fanfic bahasa indonesia NCT yang well written. You did it good. Keep writing, okay!