Chapter 2

Story of Byun Family
Please Subscribe to read the full chapter

"Segala yang nyaman memang kadang lebih enak dinikmati sendiri. Berbagi hanya akan merusak kenyamanannya." - Chapter 2

Taehyung berangkat pagi-pagi sekali hari ini bersama adik dan ayahnya. Tidak ada perang dunia yang terjadi. Meskipun Taehyung dapat merasakan tatapan tajam yang dilemparkan ayahnya padanya—ya,ya, ia tahu kalau tadi malam ia bersikap kurangajar sekali pada ayahnya, tetapi ia bersyukur kalau amarah ayahnya tidak meledak saat itu juga.

Ketika Taehyung tiba di kelasnya, ia hanya menemukan dua orang gadis yang sedang bergosip di bangku depan, seorang lelaki yang tertidur di mejanya, dan seorang gadis beramput panjang yang sedang membaca buku di bangkunya. Taehyung berjalan melewati mereka dan melangkah menuju bangkunya di barisan belakang. Ia sempat melirik buku bacaan yang dibaca oleh gadis berambut panjang itu saat ia melewatinya.

Taehyung mendapati beberapa bingkisan berwarna merah muda di atas mejanya. Ia menghela napas, lalu menyingkirkan bingkisan-bingkisan itu dan meletakkannya di atas loker di belakang kelas. Tatapannya sempat bertemu pada dua orang gadis yang sedang bergosip di barisan paling depan yang entah sejak kapan sudah memperhatikannya.

“Itu dari gadis-gadis di tingkat menengah pertama.” kata salah satu dari mereka.

Taehyung mengedikkan pandangannya pada bingkisan-bingkisan tersebut. “Ambil saja kalau kalian mau.” katanya.

Taehyung lalu menghempaskan tubuhnya di bangkunya. Ia memasang headphone-nya ke telinga, lalu membaringkan kepala di atas meja. Tak mempedulikan dua teman sekelasnya itu yang berlari menghampiri loker dan mulai memilih-milih bingkisan yang akan mereka ambil. Ketika matanya hendak terpejam, tiba-tiba saja seseorang menepuk punggungnya dengan tepukan yang cukup keras.

“What’s up bro?!”

Taehyung menegakkan tubuh dan menemukan Jimin sudah duduk di bangku di seberang mejanya sambil memberikan cengiran tidak jelas padanya. Ia agak mendengus saat melihat sahabatnya yang satu itu. Tangannya bergerak menyentuh pundaknya yang agak nyeri setelah dipukul tadi. “Tenagamu kuat juga, Jimin.”

Jimin hanya tertawa sombong. Ia melirik dua gadis yang sedang heboh memilih-milih bingkisan di atas loker.

“Bingkisan dari penggemarmu, bukan?” tanya Jimin.

Taehyung hanya diam tidak menjawab.

Jimin berdecak. “Ck, dasar lelaki populer berhati baja. Tega sekali kau menolak pemberian penggemarmu. Itu dibeli dengan uang, tahu!”

“Kau boleh mengambilnya juga kalau kau mau.”

Jimin hanya memperhatikan Taehyung dengan tatapan tidak mengerti. Kenapa orang-orang populer di sekolah biasanya bersikap semaunya sendiri seperti Taehyung itu, sih? Kalau saja ia termasuk ke dalam orang populer, ia pasti tidak akan bersikap seperti Taehyung.

Jimin menggelengkan kepala menyadari kelakuan buruk sahabatnya itu, tetapi kemudian matanya memicing saat menangkap plester di leher Taehyung.

“Bekas kemarin?” tanya Jimin tanpa wajah berdosa sama sekali.

Taehyung segera menurunkan headphone dari telinganya untuk menutupi plester di lehernya dengan salah tingkah.

“Woah, aku benar-benar tidak menyangka kalau kau akan senekat itu padanya.” decak Jimin. “Tetapi noona itu cantik juga. Siapa namanya?—aduh aku lupa. Jessica? Jessica Jung? Benar, kan? Dia penjaga bar di tempat itu, kan?”

Taehyung sempat melihat gadis berambut panjang yang duduk tak jauh di dekatnya menoleh ke arah Jimin dengan kening berkerut.

“Jangan bicarakan hal itu disini.” kata Taehyung dengan suara datar, matanya masih melirik ke arah gadis berambut panjang itu dengan tatapan tanpa ekspresi.

Gadis itu kini mengalihkan pandangannya pada Taehyung. Dan Taehyung langsung menahan napas saat tatapan mereka bertemu selama beberapa detik sebelum akhirnya gadis itu kembali memusatkan pandangannya pada buku bacaannya.

Jimin mengikuti arah pandang Taehyung dan seketika langsung mengerti. “Oh, aku mengerti. Maaf.” bisiknya sambil mendelik jahil ke arah gadis itu.

“By the way, malam ini kita akan kesana lagi, kan?”

————————

“Kalian boleh memesan apa saja disini. Malam ini aku yang akan traktir.” kata Sungjae dari balik meja bar.

Jimin dan beberapa temannya yang lain langsung bersorak senang. Hanya Taehyung yang tidak. Lelaki itu malah lebih memilih duduk menyendiri di salah satu bangku di sudut meja bar, sementara teman-temannya mulai berpesta di tengah ruangan yang diterangi oleh lampu berkerlap-kerlip yang memusingkan mata.

“Kau datang lagi.” kata seorang wanita yang berdiri di balik meja bar di depan Taehyung. Wanita itu baru saja datang dan langsung menuangkan minuman ke dalam gelas yang kemudian disodorkan pada Taehyung.

“Tanpa alkohol, kan?” tanya Taehyung.

Wanita itu mengangguk.

“Sungjae yang akan membayar.” kata Taehyung kemudian meneguk minumannya.

Wanita itu melirik ke arah Sungjae yang sedang bertugas sebagai pekerja paruh waktu di balik meja bar tak jauh darinya. “Kenapa kau tidak duduk disana saja bersama Sungjae?”

Taehyung meletakkan gelasnya di atas meja. “Aku sudah merasa nyaman duduk disini.”

Wanita itu kembali menatap Taehyung. “Walaupun sendirian?”

Taehyung terdiam sejenak, kemudian mengangguk.

Wanita itu menganggukkan kepala mengerti. “Ternyata memang benar. Segala yang nyaman memang kadang lebih enak dinikmati sendiri. Berbagi hanya akan merusak kenyamanannya.”

Taehyung mengangkat kepala, balas menatap wanita itu dengan tatapan tidak mengerti.

“Lihat dirimu. Kau selalu saja duduk menyendiri disini. Tidak pernah bergabung dengan teman-temanmu yang sedang berpesta di ruang tengah sana. Kau hanya asyik dengan duniamu sendiri, merasa nyaman dengan duniamu sendiri, tanpa ingin berbagi pada oranglain. Aku jadi penasaran apa yang kaulakukan saat berada di rumah bersama keluargamu? Apakah kau juga hanya menyendiri seperti ini?”

Taehyung hanya terdiam mendengar ucapan wanita itu. Tangannya memainkan gelas kosong di depannya. “Tetapi aku berbagi kenyamananku denganmu saat ini.”

“Hanya saat ini.” ralat wanita itu. “Hanya disini. Tetapi di luar tempat ini, kau bahkan tidak pernah menolehkan kepalamu sedikitpun ke arahku.”

Taehyung kembali terdiam.

Wanita itu mendesah panjang saat melihat Taehyung yang bereskpresi seperti itu. “Tidak apa-apa, Taehyung. Aku tahu kau ini populer. Tidak apa-apa kalau kau berpura-pura tidak mengenaliku saat di luar tempat ini.”

“Bukan begitu maksudku.”

Wanita itu memperhatikan wajah Taehyung tanpa berkedip. Kemudian matanya mengarah pada plester di leher Taehyung. Meskipun headphone itu melingkar di leher Taehyung, wanita itu masih dapat melihat plester yang tertempel disana.

“Kau menutupinya dengan plester?” tanya wanita itu.

Taehyung meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menyentuh plester yang menempel di lehernya dengan wajah kikuk.

“Eomma dan appa akan marah padaku kalau sampai mereka melihatnya.” kata Taehyung, menduga wanita itu akan marah padanya setelah ia berkata demikian.

Di luar dugaan Taehyung, wanita itu malah tersenyum.

“Aku pikir kau tidak akan peduli dengan mereka, tetapi ternyata kau masih mempedulikannya.”

Taehyung menundukkan kepala. “Appa akan berubah menjadi monster kalau sedang marah. Aku tidak suka melihatnya.”

Lagi-lagi wanita itu tersenyum. “Ternyata kau masih seorang anak-anak, Byun Taehyung.”

Taehyung mengangkat kepala, balas menatap wanita itu.

“Tidak ingin minum alkohol, tidak ingin berpesta di ruang tengah bersama teman-temanmu, tidak suka melihat ayahmu marah, tidak ingin membuat ayahmu marah karena ulahmu.” Wanita itu menyebutkan satu persatu sambil menghitung jarinya, lalu ia menatap Taehyung dengan mata dan bibir yang tersenyum. “Ternyata kau memang masih anak-anak, Taehyung.”

Taehyung menatap wanita itu dengan mimik tanpa ekspresi.

Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke depan, memperkecil jarak di antara mereka, dan menatap manik Taehyung lekat-lekat. “Tetapi aku menyukaimu.” ia lalu mengecup pipi lelaki itu sekilas.

Taehyung cukup tertegun dengan ciuman tiba-tiba itu. Tetapi kemudian ia tersenyum, terlihat miris. “Aku juga menyukaimu, Jessica.”

Wanita itu tersenyum, lalu kembali menegakkan tubuhnya dan melayani beberapa pengunjung yang memesan minuman, meninggalkan Taehyung yang duduk sendirian di bangkunya sambil memperhatikan wanita itu. Sesekali wanita itu melirik ke arahnya sambil tersenyum, namun Taehyung hanya membalasnya dengan tatapan tanpa ekspresi.

Nyatanya, Taehyung tidak benar-benar menyukai wanita itu.

————————

Sohyun memungut uang kertas serta recehan yang berserakan di atas ranjangnya sambil menghitung jumlahnya. Ketika seluruhnya sudah terhitung, ia menghela napas panjang.

“Tidak cukup juga.” keluhnya.

Sohyun membaringkan kepala dengan wajah ditekuk. Tangannya memainkan pecahan tabungan ayam yang baru beberapa menit lalu ia hancurkan.

“Tabungan dari ATM sudah kuambil, tabungan dari si ayam juga sudah kuambil, tetapi uangnya belum cukup juga. Apa yang harus kulakukan?” ujarnya, lirih.

Sebenarnya Sohyun sudah berulangkali berpikir untuk meminta pada ibunya, tetapi ia selalu saja tidak berani. Bukan hanya tidak berani, ia hanya tidak tega meminta-minta pada ibunya. Ini kan keinginannya, berarti ia harus mengumpulkannya sendiri. Ia tidak bisa begitu saja meminta uang pada ibunya. Kalau ia masih bisa berusaha untuk mencari uang, kenapa ia harus meminta pada ibunya?

Tetapi…

Sohyun berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, ia turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar.

————————

“Eomma.”

Taeyeon yang sedang memakai make-up di balik meja rias menolehkan kepala dan melihat Sohyun berdiri di bingkai pintu kamarnya dengan tangan memegang handel pintu.

“Boleh aku masuk?” tanya Sohyun.

Taeyeon tersenyum. “Tentu saja, Sayang.” ia merentangkan tangannya pada putrinya. “Sini kemari.”

Sohyun melangkah masuk ke dalam kamar ibunya, lalu segera memeluk tubuh ibunya. “Eomma.” ucapnya dengan suara merajuk.

“Ada apa?”

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet