why

Cave Canem

Time Deviation

.

.

.

Do Soojung dulu adalah gadis yang, sedang, dan selalu, tersenyum.

Saat dia mendapatkan nilai tertinggi dalam tes bahasa Inggrisnya, teman-temannya akan memberikan dia selamat, dan dia tersenyum. Senyum bangga. Bahagia. Di hari yang sama, saat dia pulang ke rumah, dia mendapati rumahnya kosong, dapurnya kosong, dan sisa-sisa kebahagiaan yang hangat dari rumah itu sepertinya mengalir, keluar.

Do Soojung dulu adalah gadis yang, sedang, dan selalu tersenyum.

Di hari berikutnya, kebahagiaan itu kembali datang. Soojung tinggal bersama ayah dan ibu yang sangat lengket, dan cukup mengejutkan dirinya saat dia mendapati Ibu pergi ke rumah nenek dan Ayah duduk sendirian dengan wajah yang gelap.

Soojung tidak berani bertanya, namun pecahan gelas dan air yang mengalir di ruang tamu sudah menjawab semuanya.

Soojung bertanya apakah sang Ayah memukul Ibu.

Sang Ayah hanya memandang Soojung, sedih. Tidak menjawab. Namun Soojung tahu sang Ayah tidak melakukannya. Ayah hanya terbawa emosi, itu saja.

Beberapa hari kemudian, Ibu kembali pulang. Untuk mengobati luka di waktu sang Ibu pergi, Soojung terus tersenyum, selebar mungkin, semenawan mungkin.

Karena ia tahu Ayah dan Ibunya butuh senyuman. Dan itu berhasil. Mereka berdua kembali tertawa saat menonton film lucu dan Soojung merasa aliran dahsyat, aku sayang mereka.

Saat musim semi ke empat belas, Soojung melihat sang Ayah sedang membuka album. Album kecil berwarna merah bergambar kelinci putih. Sang Ayah kelihatan marah saat Soojung bertanya ‘apa itu?’ dan Soojung bukannya ingin mencari tahu juga. Jelas, Ayah yang marah bukanlah Ayah yang ingin Soojung temui.

Soojung melewati masa-masa kebahagiaan penuh rasa kekeluargaan. Kemudian saat itupun datang.

.

Time Deviation

.

“Kim Jongin.”

Soojung memandang pria dengan wajah sedih itu.

Wajah itu wajah yang cantik, tentu saja—dengan wajah begitu, banyak gadis yang terpikat. Dengan rambut hitam itu, banyak pria yang menginginkan.

Menginginkan apa?

“Kim Jongin, apa kau melihatku?”

Soojung bertanya dengan nada datar yang kosong. Mereka berada disebuah restoran, berhadap-hadapan. Soojung tahu.

Tahu kalau Jongin melihatnya.

(dan bukannya melihat dalam arti melihat. Melihat disini maksudnya mengobservasi.)

“Aku berumur dua puluh tiga tahun.” Bisik Soojung. “Ibuku empat puluh tujuh tahun. Ayahku lima puluh tahun.” Bisik Soojung. “Butuh kuulangi? Aku dua puluh tiga tahun, delapan tahun tanpa ayah disampingku. Saat aku umur tujuh, Ayahku membawaku ke kebun binatang. Kami tertawa melihat kungkang dan jerapah. Aku menangis melihat bayi kelinci yang terlihat menjijikkan. Aku ingat itu semua.

“Saat aku umur sebelas, Ayahku membelikan aku kelinci. Aku benci kelinci. Ayah hampir membuang kelinci itu kalau saja aku tidak menahannya. Aku bilang, tak apa-apa, ayah, kelinci ini lucu. Aku masih benci kelinci.

“Umur empat belas, ibu bilang Ayah pergi ke luar negeri. Padahal aku tahu koper ayah masih di kamar, baju-baju ayah masih terlipat rapih di lemari. Ibu bohong. Satu-satunya yang hilang adalah buku album berwarna merah dengan kelinci di kovernya.”

Amarah memenuhi dadanya, rasa sesak ingin membunuh pria ini. Pria yang sudah membuatnya menangis menyedihkan. Soojung hampir tidak bisa melanjutkan bicaranya—karena kalau dia bicara, suaranya pecah, dan air mata akan jatuh. Tapi persetan dengan itu semua.

“Ayahku. Tidak sepertimu, dia adalah pria yang bertanggung jawab. Tidak sepertimu, dia sudah memiliki kehidupan, dan tidak sepertimu…. Dia punya sesuatu untuk diperjuangkan.” Soojung bergetar.

Kim Jongin menunduk.

Bayangan matanya bahkan kelihatan cantik.

Soojung ingin menampar Kim Jongin. Berhenti terlihat cantik. Berhenti membuat semua orang suka padamu. Pikirmu, dengan senyummu semua orang akan jatuh? Apa kau pikir dengan sedikit kibasan matamu semua orang jadi pelayanmu, budakmu, kacungmu?

(Soojung benci karena semua hal yang dia bicarakan tadi adalah benar adanya.)

“Ayah pasti pernah bilang padamu kalau aku benci kelinci, Kim Jongin.” Soojung berkata. “Aku kira kelinci lebih baik dibandingkan kau. Tapi aku salah menyandingkan kau dengan kelinci… ah! Hahaha. Aku bahkan tidak yakin kau manusia!” Soojung tertawa, menyorongkan sesuatu. Tawanya tidak lucu.

“Lihat foto ini?” Soojung berbisik, pertama kali merasa keji melakukan sesuatu.  “Untuk pertama kalinya dalam delapan tahun aku bertemu lagi dengan album merah kecil itu lagi. Aku menemukan ini dalam pelukan ayahku kemarin. Dia tidur dengan damai.”

(tapi ibu tidak. Ibu tidak damai. Dia sakit, selang infus dimana-mana, biaya obat yang begitu tinggi rela Soojung bayar demi memertahankan sedikit obor kehidupan yang ada dalam hidup Ibu.)

Jongin… “Kau tahu… apa maksudku, kan?”

Alangkah baiknya kalau dia mati saja. Kim Jongin termangu disana, tergugu.

Untuk itu sebuah pengorbanan adalah hal yang pantas. Yang Soojung berikan adalah secarik foto,

Hilang sudah semua rasa bersalah pada Ibu. Foto tahun delapan puluhan, dimana Kim Jongin tengah tertawa bahagia… orang disampingnya juga tertawa. Orang yang begitu Soojung kenal, hanya saja wajahnya begitu muda dan tidak berkeriput seperti sekarang.  

Itu adalah…

 

AYAHKU.

 

 

Do Soojung adalah gadis yang selalu tersenyum. (Namun dia tidak sedang tersenyum.)

Dia gadis penuh senyuman yang tidak peduli bunga apa yang baru saja dia injak, atau binatang apa yang baru dia bunuh, demi mendapat apa yang dia inginkan.

Dan saat ini, di tangannya kelinci berwarna putih salju, tenggelam.

Di

Lautan

Penuh

Darah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Do you see the message Soojung wants to Jongin to do?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
weirdoren
#1
Chapter 2: “Apa tuh, ‘hmm’? Ngomong pakai bahasa korea dong!”

HAH. Ciri khasnya masih ada. *love sign*