First and Last Love Story

Junho 2PM Oneshoot Collection
Please Subscribe to read the full chapter

 

"Apakah aku ini memang hanya sampah yang seharusnya dibuang?" tanya seorang laki-laki pada refleksi bayangannya sendiri di cermin. Ia tersenyum kecut pada dirinya sendiri dan kembali berujar, "sepertinya memang benar."

Liquid kental kembali meleleh dari kedua lubang hidungnya. Dan sesaat kemudian, yang ia rasakan hanya gelap.

~ FaLLS ~

Musik klasik yang lembut mengalun dari sebuah grand piano berwarna putih yang tampak elegan. Jemari seseorang menari-nari indah memainkan tuts-tuts piano tersebut. Terdengar indah memang, tapi sekaligus menyayat hati. Seperti terdapat kesedihan yang sangat mendalam dalam alunan musik klasik itu.

"Harus kukatakan berapa kali lagi agar kau sadar bahwa kau memang tak mempunyai bakat." Ujar seseorang yang terlihat mirip dengan si pemain piano. Tapi ia terlihat jauh lebih tua. Ia menghela nafas sebentar dan kembali berujar. "Berhentilah bermain musik, dan raihlah hal lain yang mampu membuatmu menjadi manusia yang lebih berguna. Tidak akan ada orang yang mau mendengarkan musikmu. Kau hanya akan menjadi sampah dengan musik yang seperti itu. Dan pada akhirnya, sampah hanya akan dibuang."

Dan alunan musik klasik itu pun berhenti. Seorang laki-laki beranjak dari kursi tempatnya bermain piano. Ia melangkah meninggalkan tempat itu tanpa sepatah katapun.

.

.

.

Kelopak mata itu perlahan terbuka, menampakkan sepasang bola mata yang sangat indah milik seorang laki-laki bermata sipit.

"Mimpi." gumamnya. Akhir-akhir ini ia memang selalu memimpikan kejadian itu. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 2 siang.

CKLEK

Suara pintu yang terbuka membuat laki-laki tersebut mengalihkan pandangannya kearah pintu.

"Ternyata kau sudah sadar Junho. Kau pingsan sejak kemarin sore. Aku menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi. Bagaimana keadaanmu?" tanya seorang laki-laki lain yang memasuki kamar tersebut.

"Lebih baik." jawab laki-laki bernama Junho itu.

"Baguslah. Sebaiknya kau mandi, kemudian makan. Dari kemarin sore kau belum makan karena pingsan. Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan makanan untukmu."

"Terima kasih Minjun hyung."

~ FaLLS ~

Setelah selesai makan, Junho memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia ingin menyegarkan fikirannya, dan melupakan semua masalah yang selalu mengganggu fikirannya akhir-akhir ini. Setidaknya untuk sementara. Dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Disana udaranya segar, karena banyak pohon yang ditanam disana. Sangat cocok untuk menyegarkan fikiran Junho yang terasa penuh sesak oleh masalah.

Ditengah taman, Junho melihat sebuah bangku kecil memanjang, yang sepertinya muat untuk diisi dua sampai tiga orang dewasa. Ia akhirnya memutuskan untuk duduk disana. Ia sandarkan punggungnya pada sandaran kursi itu, dan perlahan matanya mulai terpejam.

'Berhentilah bermain musik, dan raihlah hal lain yang mampu membuatmu menjadi manusia yang lebih berguna! Tidak akan ada orang yang mau mendengarkan musikmu. Kau hanya akan menjadi sampah dengan musik yang seperti itu. Dan pada akhirnya, sampah hanya akan dibuang.' kata-kata itu terngiang kembali di telinga Junho. Terus berputar seperti kaset rusak yang telah lapuk karena dimakan usia.

"Appa, apakah aku ini memang hanya sampah dimatamu?" gumamnya dengan suara yang teramat lirih.

TAKK!

"Argh!" erangan kecil meluncur begitu saja dari bibir Junho ketika ia merasa ada sesuatu yang memukul kakinya.

"Ah, maaf. Aku kira tidak ada orang. Biasanya bangku ini kosong. Maaf, aku benar-benar tidak sengaja." ucap seorang laki-laki yang -sepertinya- memukul kaki Junho tadi. Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya laki-laki itu seumuran dengan Junho. Wajahnya tampan dan imut disaat yang bersamaan. Pipinya sedikit tembam, tapi itu malah menambah kesan imut pada dirinya. Tapi tatapan mata laki-laki itu terlihat kosong, seperti tak melihat apapun. Ia juga membawa sebuah tongkat kecil yang mungkin membantunya untuk berjalan.

"Maaf, kau..." Junho menggantungkan kalimatnya.

"Buta? Ya." potong laki-laki berpipi chuby itu tanpa ada nada kesedihan didalam ucapannya.

"Maaf." ucap Junho

"Tidak apa-apa. Seharusnya aku yang meminta maaf, karena tongkatku mengenaimu. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Ya. Aku hanya terkejut tadi."

"Syukurlah. Biasanya bangku ini kosong."

"Biasanya?" tanya Junho sedikit heran.

"Ya. Aku kemari hampir setiap hari, dari jam 3 sampai jam 5 sore." ujar laki-laki itu seraya duduk disebelah Junho.

"Setiap hari? Untuk apa?" tanya Junho semakin heran.

"Untuk menenangkan dan menghibur diri."

"Bagaimana bisa?"

"Suara dedaunan yang saling bergesekan, kicauan burung, semilir angin, dan juga suara dari alat musik yang dimainkan oleh musisi jalanan, cukup mampu menenangkan hatiku. Rasanya, semua itu seperti sebuah symphony indah yang disajikan oleh alam." ia memberi jeda sejenak. "Dan suara orang yang berlalu lalang membuatku sangat terhibur. Mereka biasanya memperbincangkan tentang hal-hal indah yang mereka lalui bersama orang-orang terdekatnya. Mulai dari seorang ibu muda yang tak sabar menunggu kelahiran anak pertamanya, pasangan yang baru saja menikah, sepasang remaja yang berpacaran, sampai sekumpulan remaja putri yang membicarakan artis-artis kesayangan mereka. Mendengar percakapan mereka, walaupun hanya sekilas, membuatku seperti ikut merasakan kebahagiaan yang mereka alami." ujar laki-laki itu disertai senyum yang mengembang dan tak pernah putus dari bibir tipisnya.

'Menarik.' batin Junho. Ia hanya diam dan mengamati laki-laki itu berbicara. Menurutnya apa yang dikatakan oleh laki-laki itu menarik, dan sejenak ia dapat melupakan semua masalah yang membebani fikirannya akhir-akhir ini.

"Kenapa kau diam? Apa kau marah padaku karena aku terlalu banyak bicara?" laki-laki itu mengerutkan alisnya lucu.

"Ah, tidak. Tentu saja tidak. Aku suka dengan ceritamu." ujar Junho. Ia melirik jam tangannya sekilas. Jarum jam menunjukkan pukul 4 sore. "Maaf, aku harus pergi sekarang. Aku ada janji. Sampai jumpa, umm..."

"Wooyoung, Jang Wooyoung." ucap laki-laki bernama Wooyoung itu sembari mengulurkan tangannya, berniat untuk menjabat tangan Junho.

"Aku Junho, Lee Junho." Junho menyambut uluran tangan Wooyoung. "Baiklah, aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi Wooyoung-shi."

"Sampai jumpa lagi Junho-shi."

~ FaLLS ~

Angin malam menerobos masuk melalu pintu balkon yang sengaja dibuka oleh pemiliknya. Seorang laki-laki menyandarkan tangannya pada pagar besi yang terpasang mengelilingi balkon tersebut. Semilir angin menyapu wajahnya yang tanpa cela. Ia memejamkan matanya untuk menikmati sensasi dingin yang disajikan oleh angin malam yang menerpa tubuhnya yang hanya terbalut celana training panjang dan kaos hitam yang tak cukup tebal. Suara hewan nocturnal menyapa lembut gendang telinganya, bersamaan dengan suara gesekan dedaunan dan ranting pohon yang tertiup angin. Seperti symphony alam yang disajikan oleh Tuhan untuk semua makhluk-Nya.

'Laki-laki itu benar. Symphony alam ini mampu menenangkan hati.' batin laki-laki itu.

"Jang Wooyoung, kau benar-benar laki-laki yang menarik." senyuman terkembang di wajah laki-laki bermata sipit itu.

~ FaLLS ~

Seorang laki-laki nampak berdiri dibalik pohon. Bersembunyi lebih tepatnya. Ia nampak sedang mengamati, atau lebih tepatnya mengintip seseorang. Walaupun ia yakin bahwa orang yang sedang ia amati dari kejauhan itu takkan mungkin bisa melihatnya, tapi ia tetap melakukan hal itu. Laki-laki bernama Junho itu tak henti-hentinya tersenyum ketika mengamati seorang laki-laki berpipi chuby yang sedang duduk disebuah bangku ditengah taman kota. Laki-laki berpipi chuby bernama Jang Wooyoung itu hanya duduk diam disana. Mungkin sedang mendengarkan symphony alam dan percakapan orang yang sedang berlalu lalang di sekitarnya. Tapi hal itu cukup untuk mengembangkan senyum dari laki-laki bernama Junho itu.

"Oppa, apa Oppa mau membeli bunga dariku?" tanya seorang gadis kecil berambut coklat sebahu pada Junho. Ditangannya terdapat sebuah keranjang yang berisi berbagai macam bunga seperti mawar, anggrek, lily, daisy, dll.

"Boleh. Apakah itu anggrek putih?" tanya Junho sembari menunjuk salah satu dari bunga itu.

"Iya, Oppa benar. Oppa mau membeli yang ini?" tanya gadis kecil itu. Junho hanya mengangguk, dan gadis kecil itu segera menyerahkan beberapa tangkai anggrek putih itu pada Junho. Setelah selesai membayar bunga itu, Junho kemudian berjalan menghampiri Wooyoung.

"Kita bertemu lagi Wooyoung-shi." sapanya.

"Junho-shi?" Wooyoung sedikit tersentak, ia cukup kaget dengan sapaan yang dilontarkan Junho barusan.

"Maaf membuatmu kaget." Junho merasa sedikit menyesal.

"Tidak apa-apa Junho-shi." Wooyoung melemparkan senyum tipisnya.

"Ini untukmu." Junho meletakkan bunga itu di pangkuan Wooyoung.

Wooyoung meraba-raba sesuatu yang baru saja diletakkan Junho di pangkuannya. "Bunga?" tebak Wooyoung.

"Ya. Bunga anggrek putih lebih tepatnya."

"Mengapa kau memberiku ini Junho-shi? Aku ini seorang laki-laki. Bagaimana bisa kau memberikan bunga pada seorang laki-laki." Wooyoung sedikit memajukan bibirnya, merajuk.

"Karena bunga itu indah, seperti dirimu."

.

Blush

.

Semburat merah tipis muncul di pipi chuby Wooyoung. Ia merasa sangat tersanjung akan perlakuan dan perkataan Junho.

"J-jangan mempermainkanku Junho-shi." ucapnya sedikit terbata.

"Aku tidak mempermainkanmu Woo, kau memang indah seperti bunga itu." Junho menampilkan eyes smilenya walaupun ia yakin Wooyoung tak bisa melihatnya.

"Woo?" Wooyoung sedikit tersipu karena Junho memanggilnya dengan sedikit berbeda.

"Kenapa? Kau tidak suka? Aku hanya ingin lebih dekat denganmu. Kau juga bisa memanggilku Ho atau Nuneo."

"Baiklah N-nuneo." semburat merah muda kembali menghampiri pipi chuby Wooyoung. Membuat Junho ingin sekali mencubit pipi tembam itu karena gemas.

"Aku memberimu bunga anggrek putih karena bunga itu memiliki makna yang sangat cocok untukmu Woo. Bunga anggrek putih melambangkan keindahan, kelembutan, kemurnian, kepolosan, dan kebaikan. Dan semua itu ada pada dirimu."

Lagi-lagi semburat merah tipis terlukis apik di pipi Wooyoung yang putih bersih. Dan itu membuat Junho semakin tertarik pada laki-laki itu. Dan entah mengapa, hal itu membuat Junho ingin terus menggoda laki-laki itu.

"J-Jangan menggodaku terus Nuneo." Wooyoung terlihat malu-malu. Sedangkan Junho hanya terkekeh melihat laki-laki berpipi chuby itu salah tingkah.

Dan akhirnya mereka menghabiskan waktu sepanjang sore untuk saling bertukar cerita. Walaupun sebenarnya lebih banyak Wooyoung yang bercerita mengenai dirinya.

Wooyoung adalah seorang laki-laki yatim piatu yang tinggal di sebuah rumah kecil di kawasan belakang taman kota. Sekitar 2 tahun yang lalu, ia dan keluarganya mengalami kecelakaan. Ayah ibunya meninggal, dan ia mengalami kebutaan. Ia lebih memilih tinggal bersama neneknya di rumah kecil itu, dan meninggalkan rumahnya yang sebenarnya bisa dibilang cukup mewah. Ia tak mau terus tinggal disana, dan akhirnya hanya akan terlarut dalam kesedihan karena selalu teringat pada orangtuanya. Dan sekali lagi, setiap hal yang ada pada Wooyoung membuat Junho semakin tertarik dan mengaguminya.

~ FaLLS ~

Sebuah grand piano putih mengalunkan musik klasik yang terdengar menyayat hati. Menggema di setiap sudut ruangan itu. Membuat setiap orang yang -mungkin- mendengarkannya akan ikut terlarut pada kesedihan yang sedang dirasakan oleh sang pemain. Tapi sayang, tak ada satupun orang di ruangan itu, kecuali si pemain piano itu sendiri. Jemarinya terus menari lincah diatas tuts-tuts piano. Tak memperdulikan kedua kelopak matanya yang sedari tadi meluncurkan cairan bening yang mewakili seluruh kesedihannya.

"Kapan kau sadar bahwa musikmu itu hanya akan menjadi sampah Junho?" tanya seseorang dengan nada sinis yang amat kentara. "Untuk apa kau terus bermain musik kalau hanya akan membuang waktumu?"

Alunan musik itu terhenti. Si pemain yang ternyata adalah Junho, berbalik untuk menatap orang yang telah berbicara tadi. "Aku tidak akan berhenti, sampai aku bisa membuktikan bahwa aku memang bisa menjadi sepertimu, Appa." Junho berujar dengan tenang, namun tegas. Tak tersirat sedikitpun emosi dalam nada bicaranya.

"Terserah apa katamu. Aku sebagai ayahmu hanya bisa menyarankan padamu untuk menghentikan semua ini. Musikmu sama sekali tidak memiliki nyawa Junho. Emosimu juga tak pernah stabil. Kau memainkan semua lagu dengan emosimu yang selalu berubah-ubah." Ayah Junho kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.

Musik klasik kembali mengalun, namun kali ini bukan musik yang mampu menyayat hati bagi orang-orang yang mendengarnya. Tapi lebih seperti musik yang dimainkan dengan kemarahan yang menggebu-gebu. Ritme permainannya begitu cepat, tegas, dan keras. Dan semakin lama, semakin cepat dan tak terkendali. Sangat kentara bahwa musik ini memang dimainkan karena kemarahan dari si pemainnya.

'Ternyata kau memang masih sangat labil Junho-ya.' Ayah Junho berujar dalam hati saat mendengar permainan Junho dari luar ruangan.

~ FaLLS ~

"Nuneo?" Wooyoung menebak saat ia merasa ada seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Ya. Ini aku. Ternyata kau sudah mulai hafal dengan kehadiranku, hm?" Junho terkekeh setelah mengatakannya. Memang, sudah beberapa hari ini Junho selalu mengunjungi taman kota itu. Tujuannya tak lain hanya untuk menemui Wooyoung. Menurut Junho, hanya dengan mengobrol bersama Wooyoung, ia bisa merasakan ketenangan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Bahkan hanya dengan memandang Wooyoung saja, mampu membuat Junho melupakan semua masalah yang ia alami. Walaupun hanya untuk sementara. Sepertinya bertemu dengan Wooyoung telah menjadi candu tersendiri bagi Junho.

"Hmm... mungkin aku memang berbakat menjadi cenayang?" gurau Wooyoung. Junho hanya ikut tertawa menanggapi gurauan Wooyoung.

"Kalau kau memang berbakat, coba tebak apa yang sedang kubawa."

"Umm... biar kutebak." Wooyoung menempelkan ujung jari telunjuk ke dagunya, mencoba untuk berfikir. Setelah beberapa detik berfikir tanpa ada jawaban yang keluar, Wooyoung merasakan ada sesuatu yang dingin menempel di pipi chubynya.

"Ternyata kau memang tak punya bakat menjadi cenayang Woo. Ini, es krim untukmu." Junho berucap sembari meletakkan sebuah es krim yang tadi ia tempelkan di pipi Wooyoung ke tangan Wooyoung.

"Ah, terimakasih. Aku sangat menyukai es krim." ucap Wooyoung disertai dengan senyum yang sangat manis.

BLITZ

Tiba-tiba terdengar suara jepretan kamera bersamaan dengan kilatan lampu blitz ke arah Wooyoung.

"Hey, kau memotret tanpa seijinku? Itu kan tidak sopan!" Wooyoung berseru. Ia sedikit kesal karena perbuatan Junho.

"Maaf. Aku hanya ingin mengabadikan momen yang indah."

"Maksudmu?"

"Saat kau tersenyum. Menurutku, itu adalah salah satu momen terindah dalam hidupku." senyuman bulan sabit terkembang di wajah manis Junho.

.

Blush

.

"Berhentilah menggodaku Nuneo!" Wooyoung berseru sembari sedikit memanyunkan bibirnya. Persis seperti anak kecil yang marah karena tidak dibelikan permen kapas. Dan hal itu hanya membuat Junho semakin gemas pada Wooyoung. Lagi-lagi ia mengarahkan kameranya pada Wooyoung dan kemudian mengambil gambarnya.

"Hey, kau memotretku lagi? Kau itu benar-benar tidak sopan Nuneo!"

~ FaLLS ~

Gesekan busur pada senar biola mengalunkan musik klasik yang lembut dan mampu menenangkan hati. Semilir angin malam dan dedaunan yang saling bergesekan, menambah kesan tenang dalam musik itu. Seorang pemuda bermata sipit yang tak lain adalah Junho, nampak berdiri di balkon kamar, menikmati alunan musik yang sedang dimainkannya sendiri. Ia terlihat memejamkan matanya untuk meresapi musik yang sedang ia mainkan.

"Sepertinya akhir-akhir ini kau terlihat lebih hidup Junho. Terlihat sekali dari musikmu." ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di samping Junho. "Apa karena laki-laki berpipi chuby itu?" tanyanya.

"Dari mana kau tahu Minjun Hyung?" tanya Junho heran pada laki-laki yang telah menginterupsi permainannya barusan. Ia menghentikan permainannya, dan meletakkan biolanya di kursi

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
ovygaara
Sebenarnya saya mau nyelipin gambar yg menjadi inspirasi saya ngebuat ff ini. Tapi saya yg gaptek ini ga bisa nyelipinnya. Gambarnya malah ga munculmuncul xD jadi maaf, no pict

Comments

You must be logged in to comment
Tina0608
#1
Chapter 9: Good idea,kreatif. . .
Jd yg baca jg g bosen. . . ^.^V
Tina0608
#2
Chapter 1: Imajinatif. . .
Nice FF sis. . .
cnnisleal
#3
Chapter 13: Nuneooo uri little angel...uri sunshine....cepat lariiii sebelum diterkam om kim hihihi ^^
dehana
#4
Chapter 13: apa iniii om nam gong pedopiiiill, bisa bisanya modus pen ketemu bocah sampe beli pembalut di indomirit haha... sebagai jajaran bini chansung pencinta channuneo yang lagi selingkuh ke taecho aku cemburu wkwkwk,
tapi penasaran, nanggung, jadi lanjut...!!
Woonilynnelle
#5
Chapter 13: Si om ihh mlh beli pmbalut... Wkss.. Sinihh buat aku aja.. Mayann... Haha
Hottest2pmIndo
#6
Chapter 13: Aleming om kim muncul dimari wkwkwkwkwkkw
cnnisleal
#7
Chapter 12: Sebenarnya ceritanya bagus siih, tapi kenapa open ending author-nim hueeeeee kan jadi berharap lebih...... hihihi >,<
Ditunggu deeh cerita2 selanjutnya dari author-nin
Hottest2pmIndo
#8
Chapter 12: Minta kena tampol nih bocah, lanjutin weeiiii jebhaaallll, tolong jgn ada kucing ijo d antara pinguin dna pisangggggg hikkkzzzz...
adeloveskyu #9
Chapter 12: yaudah channie nya buat akoh ajah :p soalnya nuneo nya lbh memilih babang taec.. hehehehe
fytry_ #10
Chapter 12: Why must be open ending...??? Waee..?? Waee...??? *guling2*

Kan guenya jadi gak bisa nentuin itu Junho bakal sama siapaa..??
Sama Channie atau sama Taec... -_-
Imajinasi gue gak nyampe.... #ditoyor.

Atau biar gue gak puyeng dan juga adil biar Taec sama Chan gak sama2 terluka, Junho sama gue aja....
Siniiihhhh....
*kemudian gue ditendang sama authornya*
Wkwkwkwkk.....

Next.... gue tunggu cerita lainnyaaaaaaa......... :D