Till the End of Time

Till the End of Time

Hujan selalu berhasil membawa Jihoon ke masa lalunya. Ketika netranya bertatapan langsung dengan langit berwarna kelabu, ingatannya akan berlayar menuju masa kecilnya. Dan suara air hujan yang bersentuhan dengan tanah akan mengantar pikirannya pada sosok sang kakak.

Kala itu, hujan turun deras diiringi suara gemuruh yang dapat membuat semua orang menutup telinga bila mendengarnya. Jihoon yang saat itu berusia delapan tahun hanya bisa meringkuk di dalam selimut. Tangan kecilnya menggenggam erat selimut berwarna biru muda kesayangannya. Hari sudah malam, sudah waktunya untuk Jihoon tidur. Namun, suara gemuruh dan hujan membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Terlebih, Jihoon sedang demam.

Tubuhnya sangat panas dan kepalanya sangat sakit hingga ia sedari tadi gelisah. Ia ingin menangis karena kepalanya terasa ingin pecah. Belum lagi udara dingin yang menusuk kulitnya hingga ke tulang. Jihoon ingin keluar untuk mencari kakaknya, namun tubuhnya lemas sekali. Orang tuanya sedang pergi keluar rumah karena urusan kantor sehingga ia hanya tinggal berdua dengan kakaknya. Tiba-tiba lampu kamarnya mati dan Jihoon akhirnya benar-benar menangis.

Isakan terus keluar dari bibir tipisnya. Lengan baju panjangnya sudah basah karena digunakan untuk mengelap air mata yang terus keluar. Kepalanya semakin sakit karena terus menangis, tetapi itu tidak membuatnya menghentikan tangis. Ia marah karena kakaknya tidak menemaninya, padahal ia sedang sakit dan di luar udara sangat dingin. Tangisnya semakin menjadi karena itu.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka secara keras. Ia menyembulkan kepalanya dari balik selimut dan menemukan wajah khawatir sang kakak di depan pintu.

“Astaga, Jihoon, Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf. Aku lupa kalau kau sendiri, tadi aku sedang mengerjakan tugas. Maaf, Jihoon.” Yoongi segera naik ke ranjang dan memeluk tubuh mungil Jihoon.

Yoongi dapat merasakan panas tubuh Jihoon bahkan ketika ia baru menyentuh kasurnya. Ia memeriksa panas tubuh adiknya. Dan Yoongi ingin menangis karena tubuh Jihoon sangat panas. Bibirnya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.

“Kepalaku sakit sekali, kak.” Suara Jihoon terdengar pelan dan serak. Yoongi langsung memijat kepala Jihoon, berharap dapat mengurangi rasa sakitnya. Kemudian ia menggenggam dan mengusap-usap tangan Jihoon yang dingin agar dapat kembali hangat. Yoongi yang saat itu berusia sebelas tahun berani melakukan apapun asalkan Jihoon merasa lebih baik.

“Sudah jangan menangis lagi, nanti demammu naik.” Bukannya mereda, tangis Jihoon justru menjadi. Tangan kanan Yoongi ia gunakan untuk memijat kepala Jihoon dan tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap punggung Jihoon agar tubuh adiknya tidak menggigil lagi.

“Jangan menangis lagi, Jihoon. Sekarang coba tidur ya? Kakak akan tidur di sini juga, oke?” Jihoon membuka matanya, menatap Yoongi dalam. Ia tahu kalau tugas kakaknya belum selesai karena Yoongi terburu-buru datang ke kamarnya.

“Tapi tugas kakak bagaimana? Memang sudah selesai?” Jihoon tidak mau sendiri di kamar, tetapi ia juga tidak mau melihat kakaknya dihukum karena tidak mengerjakan tugas.

“Sudah tidak usah dipikirkan. Sekarang kau tidur saja, ya.” Jihoon mengangguk sebelum memejamkan mata. Tangan hangat Yoongi masih memijat kepalanya. Dan itu membuat sakit di kepala Jihoon berkurang.

“Tidur yang nyenyak, Jihoon.”

.

.

Jihoon tersenyum setiap kali ia mengenang masa kecilnya. Ia bisa mengingat bagaimana tawanya bersatu padu dengan tawa Yoongi. Bagaimana hangatnya tangan Yoongi ketika menggenggam tangannya di musim dingin. Dan bagaimana Yoongi memeluknya ketika tubuhnya demam. Semuanya terasa sempurna.

Puas melamun, Jihoon bangkit dari posisinya. Ia melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Pukul sudah menunjukkan waktu makan malam.

Suara gemuruh masih terdengar di luar begitu pun hujan deras yang masih setia mengguyur kota. Ia merapatkan jaket hijau tuanya sebelum berjalan pelan ke dapur. Mengambil semangkuk bubur yang sudah tersedia dan menyiapkan segelas susu putih yang kemudian ditaruh di atas nampan.  Dengan senyum tipis yang terpatri di wajah, Jihoon membawa nampan tersebut ke dalam ruangan di sebelah kamarnya.

“Kak Yoongi, sudah waktunya makan malam.” Suara Jihoon tidak cukup kuat untuk membuat Yoongi menoleh kepadanya.

Tanpa membuang waktu, ia segera masuk ke dalam. “Makan dulu yuk, kak.” Jihoon mengambil posisi di sebelah Yoongi. Ia menarik bangku yang ada di depan meja dan meletakkannya di sebelah Yoongi. Setelah nyaman dengan posisinya, ia kembali bicara, “Iya, di luar sedang hujan deras.” Mulut Yoongi yang tadi terbuka sedikit kini tertutup lagi.

“Aaa—” Jihoon berucap sambil menyuapkan sesendok bubur pada Yoongi. Dengan sabar Jihoon menunggu sampai Yoongi membuka mulutnya. Pelan tapi pasti Yoongi menghabiskan makanannya. Jihoon senang karena kali ini kakaknya menghabiskan makannya.

“Buburnya enak ya, kak? Kalau begitu besok aku akan membuatnya lagi untukmu.” Jihoon membersihkan sudut bibir Yoongi yang terdapat sisa bubur.

Jihoon tahu sebanyak apapun ia berbicara, Yoongi tidak akan membalas ucapannya. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya diam.

Hampir genap lima tahun Yoongi seperti ini. Diam pada posisinya sekalipun ia merasa bosan. Pergerakan yang dilakukannya hanyalah mengedipkan mata atau membuka mulut ketika Jihoon menyuapinya.

Tidak. Ia tidak menyalahkan ayahnya ketika laki-laki itu mendorongnya sampai jatuh dari lantai tiga rumahnya. Saat itu ayahnya mabuk sehingga tidak menyadari apa yang ia lakukan. Pandangannya gelap ketika tubuhnya bertubrukan dengan lantai. Dan ketika ia sadar, ia tidak dapat merasakan apapun kecuali dadanya yang sesak. Yoongi masih bersyukur karena setidaknya ia masih dapat menggerakan bibirnya walau sedikit.

Jihoon menyisir lembut rambut hitam Yoongi. Menyingkirkannya dari mata Yoongi agar laki-laki itu dapat melihat dengan jelas. Secercah rasa bersalah selalu ada ketika ia menatap wajah Yoongi lekat. Terlebih ketika ia melihat air menggenang di kedua kelopak mata Yoongi. Matanya terasa panas saat itu juga.

 “Sama-sama, kak. Aku juga menyayangimu,” ucap Jihoon saat melihat Yoongi membuka mulutnya sedikit. Senyum paling indah ia berikan pada Yoongi.

 

Dan entah benar atau tidak, ia melihat Yoongi tersenyum kepadanya.

 

 

Jihoon berusia tujuh belas dan Yoongi berusia dua puluh

mereka masih ada untuk satu sama lain

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
21alynn #1
Astaga akhirnya nemu brothership jihoon yoongi juga:")))) huhu. Feelnya dapet banget, jadi ikutan nangis pas baca:')
Navydark
#2
Chapter 1: Aaaa, kirain brothershipnya itu fluff tapi ternyata angst. Bapeh deh
norma0402_ #3
Chapter 1: astagaaa~ selalu suka baca ff genre family gini. apalagi yoongi jihoon :')