One

A North's Summer to South's Winter

Hi everybody! choigiah is here.

ini adalah post pertama author di aff, sebenarnya lebih fokus ke ffn cuma agar lebih banyak link mau coba share disini juga kekeke.

here is the link to my FFn stories FFn LINK

as you know, plot dari tema cerita ini terinspirasi dari film secretly greatly (tau kan?) sejak nonton film itu di tahun 2013 selalu ingin bikin cerita yang punya plot military gitu, jadi mungkin ada beberapa (atau banyak) latar belakang yg diambil dari sana.

tapi meskipun latar belakangnya dari SG, purely cerita ini asli pemikiran author sampe sakit kepala(?) dan plotnya pun ga akan sama kayak secretly greatly-so yeah.

also, i would like to create a seventeen fanfic because OMG SOONSEOK IS ASDFGJKLHSFA CUTE I SHIP THEM SO HARD.

i hope you guys enjoy this!


A North's Summer to South's Winter

Part I


 

Fairy snow

Fairy snow

Blowing blowing everywhere

Would that I too could fly

Lightly lightly through the air

I should drift I should blow

Near more near to the glow

I should die

I should die

Through the light in your eye

 

---Sara Teasdale---

 

...........................................

 

Winter,

12 Desember 2013

Titik embun menyeruak di permukaan jendela yang terpatri rapi pada bingkai klasik di sebuah ruangan elegan. Embun-embun itu mengepul membentuk konformasi uap yang mengaburkan pandangan, menghalangi cerca-cerca cahaya untuk masuk ke dalam ruangan.

Dingin.

Hanya itu yang bisa disimpulkan. Hawa dingin itu nyata, menembus dari sekat-sekat jendela yang tidak tertutup rapat berusaha mengusik kehangatan yang tersaji. Namun hawa dingin itu seakan tidak mempengaruhi dua orang lelaki yang kini berdiam di ruangan itu, saling berpandangan, terpisah oleh sebuah meja kayu antik yang cukup besar di antara keduanya.

"Haruskah kita terlibat terlalu banyak? Aku pikir Negara punya banyak hal yang bisa dilakukan selain bergantung pada militer untuk masalah seperti ini"

Seorang pria gempal dengan setelan rapi bangkit dari kursi. Gemericik lencana dan atribut yang tersampir di pakaiannya sedikit memecah kesunyian yang ada. Ia dengan tenang duduk di sudut meja besar itu dan mulai mengetukan jemarinya. Pandangannya terlempar pada sesosok lelaki kaku yang berdiri di hadapannya, mencoba mencari jawaban rasional dari lelaki itu.

Wajah yang ditatap itu hanya termangu kaku. Luka panjang di pipi dan pelipis serta sorotan mata tajam seakan berbicara sendiri pada siapapun yang menatapnya. Aku lahir untuk Tanah Air. Tidak ada penolakan, tidak ada keraguan, hanya ada sebuah cerminan dari rasa mengabdi yang tinggi atas nama cinta Tanah Air. Hanya itu. Dan tanpa perlu berucap, pertanyaan yang dilontarkan pria gempal itu seakan terjawab dengan sendirinya.

"Pembelaan atas nama Tanah Air tidak pernah beralasan, Tuan Jenderal"

Suara itu terdengar parau, namun tetap tegas dan pasti. Sorot wajah itu masih belum menorehkan ekspresi apapun. Hanya berdiri terpaku tak bergeming.

"Mereka bukan salmon yang bisa kita kirim lalu mati begitu saja. Kau sendiri mengerti sulitnya mencari prajurit baru"

Pria gempal itu tak berhenti mengetukan jemarinya di atas meja. Namun kini Ia memalingkan tatapannya ke arah jendela, mencoba menembus kabut embun yang menghalangi bingkai, seperti berusaha mencari arti dari dasar bela tanah air yang baru saja diucapkan lawan bicaranya.

"Hidup disini pun mereka sudah hampir mati ratusan kali, maka demi negara tidak alasan untuk takut"

Sebuah decakan terdengar begitu jawaban itu terlontar. Rasanya sudah tidak asing kalimat itu terlempar kembali padanya. Situasi seperti ini bukanlah hal baru. Dan selalu, setiap kali perbincangan ini terjadi, kapasitas dan loyalitas selalu menjadi nilai apresiasi tertinggi yang akan Ia berikan pada pria kaku yang kini tegah menghadapnya. Kau tidak pernah mengecewakan.

"Kau punya nama bukan? Orang kebanggan hasil didikan seorang Kolonel Jung"

Baru dengan meluncurnya kalimat itu, sebersit senyum halus yang bahkan hampir tidak nampak tersungging di pangkal bibir sang pria kaku.

"Bukan hanya kebanggaanku, tapi kebangganmu dan Tanah Air juga"

Sang pria tambun akhirnya kembali menatap lurus pada lelaki kaku di depannya. Tak ayal sebuah senyum ikut tersungging di bibirnya.

"Jangan sampai mengecewakan, jika kau mau pangkat Brigadir menjadi milikmu musim panas nanti"

Bingkai jendela berembun itu terketuk sedikit dengan adanya hembusan angin musim dingin yang cukup keras. Bersamaan dengan itu butir-butir salju mulai turun, pias dan dingin bersatu lalu menyeruak dengan sendirinya. Persis seperti sorot mata kaku itu yang juga dingin dan tak terdefinisi.

"Tidak akan pernah"

 

...........................................

 

"Jangan ya, kau tidak perlu membawa ini lagi. Disana akan lebih menyenangkan jadi tidak perlu membawanya"

Tangan halus yang sudah mulai menampakan gurat keriput itu mengusap pelan kepalanya. Kemudian dengan telaten membenarkan kembali kerah bajunya yang sediikit kusut karena tidak disetrika.

"Kenapa tidak boleh dibawa? Aku mau membawa ini! Aku ingin jadi—"

"Sssst"

Telunjuk itu menempel di bibirnya. Membuatnya menghentikan kata-kata yang ingin Ia ucapkan. Kata-kata kebanggan yang selalu Ia ucapkan kepada siapapun yang Ia temui.

"Aku mengerti, tapi benda ini tidak akan berguna lagi. Nanti kau pasti akan mengerti. Ya? Kau mau mendengarkan aku kan?"

Sebuah senyum tulus terlempar ke arahnya. Dan dengan itu Ia hanya bisa terdiam. Tangan itu kembali mengusap kepalanya dan tak segan pula mencubit pipinya.

"Jadilah anak yang baik"

 

...........................................

 

Distrik Pyongcho

Pyongyang, Korea Utara

Training Camp Komplek 013

05.00 PM

Suara denting kayu dan besi yang berbenturan bergaung dan mengudara dari sebuah lapangan usang yang cukup luas. Bukan hanya satu kayu, tapi puluhan kayu dan besi satu sama lain saling beradu dengan keras dan kasar. Gaung-gaung itu terdengar seperti melodi yang silih berganti, bergiliran bersuara hingga frekuensinya dapat didengar dari jarak yang cukup jauh. Suara dentuman benda tumpul yang saling berbenturan itu diiringi juga oleh suara teriakan dan erangan. Entah itu teriakan kemenangan, ketakutan, semangat yang membara, atau apapun itu arti suara yang keluar dari puluhan mulut yang kini berkumpul di lapangan tersebut. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang peduli suara teriakan siapa dan karena apa orang itu berteriak. Semua hanya fokus pada apa yang harus mereka lakukan saat ini. Memukul sekeras mungkin, bertahan selama mungkin.

Gaung-gaung itu tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Sama saja seperti nada do-re-mi yang begitu umum dan membosankan. Bertahun-tahun dihabiskan untuk melakukan hal yang sama dari pagi hingga pagi lagi, rasanya gendang telinga sudah menjadi tuli. Resisten akan hawa-hawa pahit yang ikut muncul bersama setiap dentuman kayu itu. Resisten terhadap sakit yang menjalar setiap kali kayu lawan menghantam tubuh, resisten pada ketakutan dan rasa iba.

"BANGUN! TIDAK ADA YANG JATUH DAN MENYERAH BEGITU SAJA! MENYERAH BUKAN PILIHAN! BANGUN DAN HANCURKAN LAWAN!"

Sebuah teriakan keras dengan mudah mengalahkan puluhan suara lain yang juga hadir disana. Suara itu terdengar kejam dan memaksa. Namun dengan munculnya suara itu, setiap tubuh yang lemah kembali menguat, setiap yang jatuh kembali bangkit, dan semua kembali berjuang untuk menjadi yang terbaik. Selalu begitu, tidak pernah ada pilihan.

"TEMPO! BERPIKIR SEBELUM MENYERANG! JANGAN MAU DIBODOHI LAWAN!"

Suara itu kembali meninggi, menggelegar dari sesosok pria yang berdiri mengepalkan tangannya di belakang. Memandangi tiap-tiap orang dengan seksama. Memastikan setiap individu melakukan gerakan dengan benar dan bersifat selayaknya prajurit militer sejati. Tidak boleh ada satupun yang lemah dan menyerah.

Pria itu bukanlah sosok yang terlihat mengerikan. Posturnya biasa saja, Badanya bidang namun tidak terlalu atletis. Tidak terlalu pendek tidak juga terlalu tinggi. Namun semua orang tahu, dibalik postur tubuhnya yang biasa-biasa saja, tersimpan ratusan luka abadi. Dan luka-luka itu yang kini berusaha Ia berikan pada prajurit-parjurit di sekelilingnya.

Tatapan itu dingin. Tidak pernah seukir senyum pun ia berikan. Tidak pernah pula rona keramahan ia hadirkan untuk orang di sekelilingnya. Hanya sebuah raut tajam dan lagi, didefinisikan sebagai wujud cinta dan bela Tanah Air yang sesungguhnya. Tidak perlu banyak tertawa dan membual, cukup diam dan melakukan yang terbaik untuk Tanah Air. Dan semua prajurit seharusnya paham akan itu.

"Lemah"

Ucapnya singkat ketika Ia melewati seorang prajurit muda yang meringis kesakitan di tanah. Semburat air mata dengan jelas tersirat di wajah prajurit muda itu. Namun bagi pria itu, tidak ada alasan seorang yang akan membela Tanah Air untuk menangis hanya karena luka.

"Kalau dipukul saja sudah kesakitan lebih baik menjadi sampah"

Dan dengan itu Ia melangkah pergi. Tidak ada ekspresi. Tidak ada nada menghina. Hanya serentet kalimat yang diucapkan datar. Begitu mendengar kalimat itu, sang prajurit muda perlahan bangkit kembali.

"Aku tidak lemah!" Ucapnya lantang membuat langkah Pria itu terhenti. Ia membalikan tubuhnya sedikit menatap prajurit muda yang kini terengah sembari memegangi tongkat kayunya.

"Buktikan"

Ucapnya lagi seraya melangkah pergi. Dan dari jauh (tanpa perlu menoleh) Ia dapat mendengar sang prajurit berteriak keras dan mulai kembali bertarung.

"Komrad Mayor!"

Sebuah suara yang cukup lantang tiba-tiba mengahampirinya ke tengah lapangan Ia menoleh dan mendapati salah satu letnan yang membantunya menjaga Training Camp hari ini datang mendekat.

"Kolonel Jung memanggil anda ke ruangannya sekarang"

 

...........................................

 

Berbeda dengan training camp dan barak tentara yang kumuh dan seadanya, Kantor Pusat Markas Besar Militer selalu menjadi tempat yang elegan dan elit. Bangunan kantor pusat ditopang dengan pilar-pilar kokoh yang dipoles dengan cat terbaik. Dihiasi dengan ukiran-ukiran tradisonal Korea Utara serta dibubuhi karpet-karpet beludru dan lampu gemerlap bak hotel bintang lima. Jika dibandingkan dengan barak tentara yang usang dan diisi ribuan tentara tanah air, kantor pusat ini jelas dihuni oleh petinggi-petinggi militer yang aktif berkonspirasi dengan urusan politik negara. Ironis.

Langkah kaki pria itu cepat. Menatap lurus dan sesekali mengangguk pada beberapa penjaga yangberjaga di kantor pusat markas besar. Sebenarnya bukan sesuatu yang aneh bagi Kolonel Jung untuk mengadakan pertemuan. Mereka biasa bertemu dan berbicara di komplek barak tentara ataupun training camp. Hanya saja memanggilnya ke Kantor Pusat adalah sesuatu yang jarang dilakukan, terkecuali jika ada hal besar yang melibatkan Tanah air hingga harus dibicarakan secara pribadi. Dan jika sudah ada hal besar yang terjadi pada tanah air, maka pastilah bukan sesuatu yang baik.

 

...........................................

 

Tidak ada yang perlu diharapkan dari sebuah pertemuan pribadi di kantor markas besar militer. Tidak untuk sebuah ucapan selamat datang, ataupun sekedar secuil senyum dari seorang guru terhadap muridnya. Tidak masalah. Toh hal seperti itu bukan sesuatu yang penting. Hanya saja, adalah suatu kejutan ketika pertemuan yang seharusnya bersifat "pribadi" ini ternyata turut mengundang oknum lain, dan itulah yang kini terjadi di dalam ruang kerja Kolonel Jung.

"Oh, jadi bukan hanya aku yang diundang?"

Kolonel Jung yang semula tampak khusyuk berbicara dengan orang lain di ruangan itu langsung menatap ke arah pintu masuk. Begitu pula dengan sosok lain yang juga ada di ruangan itu. Mulanya Ia berdiri tegap membelakangi pintu masuk. Begitu mendengar sahutan yang tiba-tiba muncul, Ia menolehkan kepalanya.

"Sebuah sapaan hormat akan terdengar lebih menyenangkan, Komrad Mayor Kwon Soonyoung"

Raut wajah Kolonel Jung tampak tenang. Namun sekilat tatapan menyindir jelas terpatri di wajahnya. Salah satunya adalah senyum manipulatif di ujung bibirnya yang langsung hilang sepersekian detik kemudian. Well, setidaknya senyum selamat datang itu masih ada.

"Salam hormat, Komrad Mayor Kwon Soonyoung memenuhi panggilan"

Soonyoung—pria dingin itu memberikan gerakan hormat dengan cepat kemudian berjalan mendekati Kolonel Jung. Ia berdiri tepat di sebelah sosok lain yang telah mendahuluinya datang ke ruangan itu.

"Aku rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini. Kau bisa kembali bertugas. Maaf telah mengganggu waktumu Kapten Lee"

Kolonel Jung nampak berusaha menyudahi percakapannya dengan lelaki di samping Soonyoung. Entah percakapan apa yang mereka bicarakan, Soonyoung tidak peduli. Tetapi mengundang seorang kapten untuk menghadap Kolonel di markas besar? Rencana apa lagi yang sebenarnya sedang digarap?

Kapten itu menunduk cepat kemudian memberikan gerakan hormat. Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan, meninggalkan Kolonel Jung dan Soonyoung dalam keheningan yang tidak bertahan terlalu lama.

"Berapa banyak orang yang anda panggil untuk menghadap? Anda terlihat merahasiakan sesuatu"

Soonyoung mulai angkat bicara membuat Kolonel Jung sedikit mendelik. Ia berbalik badan dan berjalan mendekati rak buku yang ada di sebelah meja kerjanya.

"Sebuah project besar tentang Tanah Air, tidak ada yang dirahasiakan—"

"Dengan memanggil seorang kapten dari distrik lain?"

Kalimat Kolonel Jung dengan cepat disambar oleh Soonyoung, membuatnya kembali mengarahkan tatapannya pada Soonyoung.

"Kau pikir markas militer dibangun sebesar ini untuk apa jika bukan untuk memanfaatkan potensi yang ada? Tanah Air adalah milik setiap individu, bukan tentara pada distrik tertentu"

Kolonel Jung dengan tenang menjawab pertanyaan Soonyoung. Ia menyandarkan tubuhnya di rak itu sembari melipat kedua tangannya.

"Jika begitu seharusnya Jenderal-Jenderal tidak berkumpul di Pyongcho. Seharusnya kantor pusat ada di seluruh distrik militer"

Kalimat Soonyoung tetap datar, sama seperti sebelumnya. Jika dibandingkan dengan Soonyoung, Kolonel Jung masih jauh lebih ekspresif, meskipun kebanyakan ekspresinya adalah ekpresi mencibir dan mengejek yang sudah biasa Ia lontarkan pada seluruh prajurit di bawahnya.

"Kau benar-benar mirip sekali denganku, kebanggaan"

Kolonel Jung kembali menampakan seringai mencibirnya, kalimat itu Ia ucapkan pelan sembari menekankan intonasi pada kata "kebanggaan." Sebuah panggilan sayang yang biasa digunakan Kolonel Jung untuk memanggil Soonyoung. Pada kenyataannya Ia tidak terdengar bangga sedikit pun ketika mengucapkan panggilan itu.

"Katakan padaku apa yang sebenarnya sedang direncanakan Tanah Air saat ini?"

Tanpa mengindahkan basa-basi Kolonel Jung, Soonyoung dengan cepat mengarahkan topik pembicaraan to the point. Apa yang Kolonel Jung—Tanah Air—inginkan darinya?

"Aku akan menjelaskan padamu. Tapi bersumpahlah atas nama Tanah Air kau akan melakukan ini dengan sebaik mungkin"

Paksaan. Sesuatu yang mengikat dan memaksa bahkan sebelum Soonyoung tahu apa yang harus Ia lakukan. Hidup selama bertahun-tahun dalam keadaan seperti ini membuat Soonyoung tidak pernah ambil pusing dalam menentukan pilihan. Tidak pernah ada kata "TIDAK" dalam urusan bela negara, hanya ada kata "YA."

"Ya, aku bersumpah atas nama Tanah Air."

 

...........................................

 

Kemiliteran merupakan sosok yang nampak seragam. Kerap kali orang awam mengartikannya sebagai "orang-orang haus darah"—maksudnya adalah orang-orang yang berela-rela mengorbankan diri bahkan nyawa atas nama bela Tanah Air. Ya, secara umum semua akan menganggap orang-orang dalam kemiliteran demikian, namun nyatanya lingkup militer sesungguhnya seakan terbagi-bagi dalam beberapa fraksi.

Fraksi-fraksi itu tidak terlihat nyata dan tidak nampak dalam bentuk suatu kubu. Semua tetap terlihat sama, bernaung dalam satu nama—Pejuang Tanah Air. Hanya saja bila terjun langsung ke dalamnya akan dengan mudah mengenali adanya perbedaan-perbedaan fraksi itu. Sebesar apapun usaha dalam mendoktrin ideologi bela Tanah Air, dan sekuat apapun prinsip diktaktor diterapkan pada setiap individu, nyatanya perbedaan akan tetap muncul. Entah itu dari latar belakang setiap individu, sifat, tujuan bergabung dengan militer dan sebagainya.

Fraksi garis keras, dikenal sebagai golongan prajurit dan petinggi militer yang sangat menjunjung tinggi nilai bela Tanah Air. Mereka menyebut diri mereka Pejuang Tanah Air Hakiki. Rela mengorbankan segalanya, tidak peduli pada urusan lain selain tanah air, dan biasanya berhati keras. Fraksi ini menjadi sorotan karena sebagian besar penguasa militer berada pada golongan ini. Fraksi ini tidak pernah dideklarasikan namun nyatanya ada.

Fraksi peralihan, diperuntukan bagi segelintir tentara dan petinggi militer yang rela menjunjung tinggi bela Tanah Air tanpa memperdulikan hal-hal lain namun tetap sering mempertanyakan kebijakan militer. Fraksi ini berusaha melebur pemikiran garis keras dengan ideologi yang lebih relevan. Sama seperti fraksi garis keras, tidak pernah dideklarasikan kehadirannya namun banyak yang bersifat demikian.

Terakhir, fraksi toleransi. Fraksi yang biasa melingkupi orang-orang "manja" sebut saja begitu. Terlalu banyak meragu, mempermasalahkan bela Tanah Air sebagai sebuah pemaksaan yang merengut hak. Biasanya terlihat paling menderita dan hanya ditempatkan pada posisi-posisi general yang tidak terlalu penting seperti penjaga barak dan sebagainya. Fraksi ini juga tidak pernah dilegalkan dalam lingkungan kemiliteran, tapi jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit.

Hal ini selalu lucu bagi Kwon Soonyoung. Lucu karena identitas Pejuang Tanah Air yang dielu-elukan ke dunia luar nyatanya adalah sesuatu yang justru tabu. Ideologi itu ada dimana-mana, tersebar dan mengakar sejak dulu. Lantas hasil yang didapat adalah sebuah lingkup kemiliteran (yang dengan adanya ideologi berusaha menyeragamkan haluan) namun kenyataannya sama sekali tidak seragam. Ini lucu karena Kwon Soonyoung ada dalam lingkungan itu, melihat dan mengamati dengan jelas dalam setiap hembus nafas yang Ia keluarkan. Menjadi bagian dari itu.

Semuanya adalah sampah

Seragam ini

Lencana ini

Almamater dan konspirasi politik

Kenapa mencintai Tanah Air harus membual dengan politik

Kebodohan.

Ini semua kebodohan

 

...........................................

 

[Biodata Prajurit Pasukan Pejuang Tanah air]

Distrik Pyongcho

Pyongyang, Korea Utara

Nama: Kwon Soonyoung

Usia: 24 tahun

Kelahiran: 15 Juni 1989

Unit/Pasukan: Pasukan Sakura Pejuang Tanah Air [003]

Jabatan Umum: Perwira Menengah

Jabatan Khusus: Komrad Mayor Pasukan Sakura Pejuang Tanah Air [003]

Julukan: "Kebanggaan"

.

.

To Be Continued on Chapter 2


TADA! Itu dia chapter 01 yang juga sekalian prolog buat pengantar cerita ini.

sesungguhnya cerita ini akan jadi epic karena yang nulisnya lagi denger epikHigh(?)

kritik yang membangun, masukan, request, dan sebagainya sangat diharapkan kehadirannya karena akan membantu author dalam mengembangkan cerita ini jadi feel free to comment on this story!

let me know your oppinion about this story karena kalo cerita ini jelek mending dihapus saja(?)

Thank you bby readers jangan lupa tinggalkan jejak! ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
wuyijun #1
Chapter 1: GLAD TO FIND AN INDONESIAN SOONSEOK FICT HERE! Yo man, salam setanah air/? Wkwkwkwkwk
Secreatly greatly ya? Aku juga udh nonton,tapi lupa lupa ingat nih wkwkwkw ditunggu update-annya!