Mr. Promisor
All of The StarsPagi itu cerah. Lee Minwoo sedang duduk di beranda depan sambil membaca koran edisi hari ini. Cangkir berisi kopi hitam yang sudah tinggal setengah dan piring bekas sarapan tergeletak di meja kaca disampingnya.
Minwoo merasa tenang, sampai suara tangisan bayi mulai terdengar. Pria berumur awal tiga puluhan itu menghela napas. Solji yang baru berusia tujuh bulan pasti baru bangun tidur.
“Solbi!” Minwoo berseru pada istrinya dari luar, sebagai arti lain dari menyuruhnya untuk menenangkan putri mereka.
Namun, tiba-tiba Minwoo merasa sesuatu menarik-narik ujung celananya. Minwoo menoleh, lantas mengerutkan kening. Solji dalam posisi merangkak dibawah, tangan mungilnya memegangi celana Minwoo, bibirnya melengkungkan senyuman tanpa dosa, sementara tangisan itu masih terdengar. Lalu, bayi siapa yang menangis? Minwoo sama sekali tidak ingat punya tetangga yang juga memiliki bayi.
“Ada apa?” Solbi muncul di ambang pintu.
“Kamu dengar itu?” tanya Minwoo.
Solbi menyerngit. “Dengar apa?”
Sedetik kemudian, terdengar suara tangisan itu lagi, menjawab pertanyaan Solbi. Solbi yang sama bingungnya memilih untuk mencari tahu. Dia berjalan ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari kotak sampah didepan rumah mereka. Solbi membuka tutupnya, langsung terkejut sekali sampai dia melompat ke belakang.
“Apa itu?” Minwoo berdiri dengan Solji di gendongan.
Solbi tidak menjawab, terlalu kaget dengan penemuannya. Minwoo yang penasaran mendatangi Solbi. Karena sampah kemarin sudah diangkut truk sampah, aneh jika Solbi menemukan apa-apa lagi. Apa jangan-jangan sampah itu masih ada disana sampai Solbi terkaget?
Namun, bukan sampah yang ada di dalam sana, melainkan seorang bayi.
Seorang bayi laki-laki yang kira-kira seumuran Solji. Bayi itu menangis sambil menendang-nendang selimut kecilnya. Solbi, yang sudah mengatasi kekagetannya, mengangkat bayi itu ke dalam pelukan dan menimangnya agar dia tidak tambah menangis.
Saat tangisannya mulai reda, barulah Minwoo berbisik. “Bagaimana bisa dia ada disana?”
“Entahlah. Kurasa seseorang membuangnya,” jawab Solbi sambil menatap si bayi kasihan. “Apa perlu kita lapor polisi?”
“Menurutku, itu tidak akan membantu. Jika orang tuanya membuangnya, tidak mungkin mereka menginginkannya kembali. Walaupun kita lapor polisi untuk mencari mereka pun akan percuma jika mereka tidak mengharapkan anak ini lagi.”
“Tapi, aku juga tidak sanggup meninggalkannya sendirian,” Bisik Solbi lirih.
“Kita akan membesarkannya,” kata Minwoo mantap. “Kita akan membesarkannya bersama Solji.”
“Kamu yakin?”
“Solbi, aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya,” Kata Minwoo lembut.
“Baiklah. Pertama-tama, anak ini butuh nama.”
Minwoo berpikir keras. Dia adalah ahli bahasa. Jadi, dia memikirkan untuk memilih nama anak ini dari bahasa lain.
“Kai,” kata Minwoo setelah beberapa saat. “Dalam bahasa Myanmar, Kai berarti kuat dan tidak gampang dihancurkan, dan kuharap Kai akan tumbuh seperti arti namanya.”
“Kai,” gumam Solbi.
--
“Solji! Tunggu aku!”
Seorang perempuan meluncur cepat di atas jalanan bersalju dengan sepatu rodanya. Sementara itu, seorang anak laki-laki bersusah payah mengejar dengan berlari. Anak laki-laki itu meneriakkan nama temannya lagi dengan terengah-engah. Anak perempuan itu hanya tertawa.
“Tangkap aku jika kamu bisa, Kai!” teriaknya ditengah-tengah tawa cerianya.
Walaupun sudah disemangati, Kai memilih untuk menyerah. Dia duduk di atas trotoar, serta-merta meluruskan kedua kaki, membuat celana sekolahnya dikotori salju. Solji berhenti, tersenyum geli melihat Kai seperti itu begitu menoleh. Gadis itu segera meluncur menuju temannya.
Solji berjongkok di depan Kai. “Baru mengejarku saja sudah menyerah, bagaimana jika nanti kamu harus menangkap bola di permainan t-ball agar tim mu berubah menjadi yang memukul?”
“Jangan
Comments