Me and the new experience

The Destroyer

Malam harinya, Chorong memutuskan untuk menginap di tempat kosku. Katanya sih sebagai permintaan maaf karena kejadian tadi siang. Chorong tidak bisa pergi hingga sore hari dan ia menyuruhku untuk pulang.

Sebenarnya itu tidak masalah bagiku. Toh, dia juga punya alasan.

Aku sengaja membeli sebuah kasur lipat. Dikarenakan Chorong yang seringkali menginap di tempatku. Malam ini pun ia memakainya kembali. Saat ini ia berada di bawah, di atas kasurnya sambil mengerjakan tugas kuliah bersama sebuah laptop. Sementara itu, aku berada di atas, di sebuah single bed kesayanganku sambil duduk santai bersandar pada dinding.

Kami baru saja selesai makan. Setelah itu Chorong kembali dengan tugasnya, dan aku yang duduk melamun. Tiba-tiba saja aku terbayang wajah Naeun, dan setelahnya aku teringat kejadian tadi siang.

“Hei, Chorong.”

“Hmm?” Chorong menggumam tanpa melepaskan pandangannya pada layar laptop.

“Apa kau pernah membicarakan yang buruk-buruk tentang temanmu?” tanyaku.

Chorong melepaskan pandangannya dari komputer dan menatapku aneh, “Apa maksudmu? Apa aku pernah begitu terhadapmu?” tiba-tiba ia jadi sewot.

“Bukan—bukan begitu,” ucapku cepat-cepat. Aku tak mau dia salah paham. Aku tidak bermaksud seperti itu tadi. “Begini, tadi siang aku bertemu dengan Naeun.

“Oh ya?!”

Aku mengangguk, dan secepat kilat Chorong menekan papan keyboard pada laptopnya—yang sepertinya tombol Ctrl dan S—lalu mencurahkan perhatian sepenuhnya padaku. Sepertinya dia tertarik.

“Lalu bagaimana? Apa ada yang menarik? Apa dia berbicara padamu?”

“Err… sebenarnya…” aku menatap langit-langit kamarku, menerawang kejadian kemarin dimana aku bertemu dengan Chanyeol. “Aku juga bertemu dengannya kemarin malam. Bersama, Kai, Chanyeol, dan senior kita waktu SMA dulu.”

“Apa?!” mata Chorong ikut membulat bersamaan dengan kata terkejut yang ia lontarkan. “Wow, aku melewatkan begitu banyak hal dalam semalam. Ceritakan padaku!”

Aku mengangguk. Kuceritakan semuanya pada Chorong. Mulai dari dia pulang bersama Siwon, pertemuanku dengan Chanyeol, makan malam bersama senior, hingga hadirnya Lee Yoobi dan Baekhyun.

“Ya Tuhan…” Chorong menatapku tidak percaya sambil menutup setengah wajahnya. “Maafkan aku karena tidak berada disana. Kamu tidak apa-apa, kan?” Chorong mendekatiku dan memegang tanganku.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Ya, aku tidak apa-apa. Aku tidak lama disana. Tiba-tiba saja mood Chanyeol berubah. Ya… perasaanku saja mungkin. Dan kami pergi dari tempat itu segera.”

“Ck! Wanita ular itu! Kalau saja aku berada disana!”

“Memangnya apa yang akan kau lakukan jika kamu berada disana?”

“Tentu saja mancakarnya! Aku sudah dua puluh tahunan masa dengan dia saja aku tidak berani? Aku tidak peduli dia artis atau bukan! Lagipula dia bukan apa-apa di dunia hiburan!”

Aku tertawa mendengar penuturan Chorong. Ya, benar. Lee Yoobi bukan apa-apa di dunia hiburan. Dia pandai berakting namun dia tidak sehebat itu dibandingkan dengan artis Song Hyegyo ataupun Jung Ryeowon.

“Lalu? Bagaimana pertemuanmu dengan Naeun tadi?”

“Ya… dia menceritakan hal buruk tentang Yoobi,” jawabku.

“Hmm… aku tidak terkejut jika dia berbicara mengenai hal itu,” ucap Chorong.

Aku mengerutkan keningku, “Kenapa?”

“Waktu SMA dulu, aku perhatikan dia memang tidak suka dengan Lee Yoobi. Naeun memang pendiam, tapi saat ada Lee Yoobi, ia jadi makin diam,” jawab Chorong.

Kutatap Chorong dengan tidak percaya. Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu?

Chorong berdecak, “Kakakku punya karakter yang sama dengan Naeun. Jadi aku paham keadaan mereka.”

“Ohhh…” aku mengangguk. Aku ingat sosok kakak perempuan Chorong yang tadi dibicarakan. Ia benar-benar sosok pendiam, tidak banyak bicara. Aku pernah canggung saat berduaan di ruang keluarga dengannya. Saat itu kupikir ia tidak menyukaiku.

“Lalu? Kenapa tadi kau sangat tertarik?” tanyaku.

“Karena ini Son Naeun! Kita kan tidak pernah dekat denganya. Apalagi tadi kau berkata dia menatapmu tajam kemarin,” jawab Chorong.

Aku mengangguk. “Iya, sih. Aku seperti ditelanjangi oleh tatapannya. Tapi, mungkin ia memang seperti itu. Suka menatap orang dengan tajam. Karena saat tadi kami berbicara, dia berbicara dengan normal.”

“Lalu, dia mengatai Yoobi apa?”

“Katanya sih, dia tidak menyukai Yoobi. Bahkan Kai juga tidak suka. Kelompok mereka juga tidak suka. Dan ia bilang kalau Yoobi yang memaksa bergabung dalam kelompok mereka,” ucaku.

Chorong tampak berpikir. “Lantas, kenapa dulu Chanyeol dan dia berpacaran? Kupikir mereka tidak pernah putus?”

Aku kembali mengingat masa lalu. Benar sekali, dua orang yang aku tidak suka itu pernah berpacaran waktu SMA. Sepertinya mereka sangat lengket seperti pasangan romantis. Aku menatap Chorong dan mengendikkan bahu.

“Cerita Naeun hanya sampai disitu. Kami tidak lama karena ia pergi lagi.”

“Ohh…” ucap Chorong. Kamipun terdiam masing-masing. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa aku terdiam. Tapi aku seperti merasa lega karena menceritakan apa yang aku alami pada sahabat terbaikku.

Namun kebisuan itu tidak bertahan lama. Chorong pun mengalihkan perhatian dengan berbicara mengenai Dosen Kim yang sebenarnya memakai wig.

Ujung-ujungnya ia menceritakan kisahnya dengan Siwon.

Ya, tidak apa-apa juga sih.

 

=OoO=

 

Hari pun berganti. Setelah selesai sarapan bersama, Chorong segera pamit karena ia ada jadwal kuliah pagi. Aku juga ada jadwal kuliah, namun siang nanti.

Aku tidak suka menunggu. Di tempat kos juga sepi karena para penghuni lainnya pergi dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada yang bisa kulakukan dirumah.

Untuk membunuh waktu, aku pergi dengan tas berisi buku-buku kuliah dan pergi ke toko bungaku yang sudah lama tidak aku kunjungi.

Toko bungaku bermana Sweet Charlotte. Letaknya tidak jauh dari tempat kosku maupun tempat kuliah. Hanya dengan bus, perjalanan kesana hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Toko itu berada di pinggir jalan dimana orang-orang biasa lewat, jadi tidak sulit untuk menemukannya.

Pegawainya juga hanya ada dua. Keduanya wanita yang umurnya tidak jauh dariku.

Ada Yumi dan Soo Ae. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir di Universitas yang sama denganku. Mereka baik, jujur, bisa dipercaya, dan profesional. Mereka ada sahabat akrab dari Busan. Katanya gaji dari bekerja disini akan mereka gunakan untuk membayar uang kos mereka.

Ketika aku sampai, kulihat Soo Ae yang bekerja sebagai kasir tengah menghitung uang hasil penjualan bunga selama seminggu. Aku cukup menyukai perempuan ini. Dia terlihat imut dengan kulit putih pucatnya dan postur tubuhnya yang mungil. Dia punya kebiasaan unik. Disaat menghitung uang atau melakukan sesuatu dengan serius, ia akan mengerucutkan bibirnya dan mengerutkan keningnya tanpa sadar.

Kupikir dulu ia sengaja. Namun kata Yumi dia selalu begitu dari kecil.

“Serius sekali,” sapaku.

Soo Ae mengalihkan pandangannya dari tumpukan uang yang tidak banyak itu padaku, lalu ia tersenyum. “Ya Tuhan. Kenapa aku tidak tahu kau datang?”

Aku tertawa. “Lonceng pintunya rusak, kupikir. Waktu bersentuhan dengan pintu, ia tidak berbunyi.”

“Ah… pasti lebah itu bersarang disitu lagi. Nanti akan ku bersihkan.” Soo Ae menyusun uang-uang itu dan menaruhnya di laci kasir.

“Lebah?” tanyaku.

“Iya. Dulu bersarang di luar. Entah mengapa ia masuk kesini.”

“Ohhh…” aku mengangguk sambil melihati kegiatannya. “Sudah selesai menghitungnya?”

“Sudah. Aku hanya menghitung ulang. Rencananya  sebentar lagi aku mau ke bank. Mau ikut?” tawar Soo Ae.

“Tidak ah,” tolakku. “Pasti harus mengantri. Lagipula nanti aku ada jadwal kuliah.” Jika untuk mengantri makanan aku bersedia. Mengantri di bank? It’s a big no!

“Ngomong-ngomong, dimana Yumi?” tanyaku.

“Ada di belakang sedang merangkai pesanan mawar putih. Dua keranjang. Dan sudah dibayar lunas,” jawab Soo Ae.

Tiba-tiba pintu ruangan staff terbuka, menampilkan seorang perempuan bertubuh tinggi, rambut pendek dengan tampilan ala perempuan tomboy, berlari dengan panik ke arah kami.

“Gawat! Gawat! Aku lupa hari ini ada bimbingan karir! Aduh bagaimana ini?!” ucap Yumi panik.

“Duuhh… bagaimana kamu bisa lupa?” balas Soo Ae.

“Habisnya aku pikir itu tidak penting. Tapi kata teman sekelasku, hal ini akan masuk penilaian akhir. Aduh bagaimana ini?! Setengah jam lagi dimulai..” Yumi semakin panik sehingga ia berjalan mondar-mandir di hadapan kami.

“Ya, kalau begitu silahkan pergi mengikuti kuliah,” ucapku. Aku tidak serepot itu jika urusan kuliah. Aku juga sama-sama mahasiswa jadi aku tahu betapa pentingnya itu. Walaupun mereka hanya masuk setengah hari di toko, aku tidak akan memotong gaji mereka.

“Tapi, siapa yang akan mengantarkan bunganya?”

Oh… jadi daritadi dia memikirkan itu juga?

“Biar aku saja, sekalian pergi kuliah juga. Sini, dimana alamatnya?” tawarku.

Akhirnya akupun menggantikan tugas Yumi. Perempuan yang merupakan kebalikan dari Soo Ae itu berlari secepat kilat setelah memberiku alamat pembeli bunga.

Setelah sekitar lima belas menit perjalanan ke Timur dengan bus, aku menapakkan kakiku menaiki daerah jalan yang menanjak, masih dengan membawa dua keranjang bunga putih. Ini tidak berat kok, sumpah.

Kelihatannya, rumah-rumah disini terlhat elegan. Tapi lebih ke arah nyaman dan damai. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Namun sesekali aku berpapasan dengan mobil mewah dan mobil sport. Semakin ke atas, maka pemandangan yang terlihat semakin indah. Dibawah sana. Mobil yang berlalu-lalang tampak seperti mobil mainan anak kecil.

Belum sampai ke puncak, aku pikir sudah menemukan rumah si pembeli. Kulihat angka 18 terpasang di pintu pagar sebuah rumah. Pagarnya terbuat dari batu, dan dibangun begitu tinggi. Yah, tidak terlalu tinggi juga, setidaknya aku bisa melihat atap lantai dua rumah tersebut. Kupikir letak rumah dengan pagar batu ini agak jauh.

Tanpa banyak basi-basi, aku menuju pintu pagar dari kayu yang tertutup itu dan menekan tombol kecil pada intercom. Aku tidak mendengar bunyi ‘ting-tong’ atau ‘kring’ atau bunyi-bunyi khas bel pintu lainnya. Namun beberapa detik setelah aku menekan tombol itu, seseorang di seberang menyahut bel-ku.

“Kediaman Park. Siapa disana?”

Aku menaruh keranjang bunga itu di bawah dan memencet tombol hitam yang ku yakin pasti akan menyambungkan suaraku pada orang di ‘seberang’.

“Saya dari toko bungan Sweet Charlotte. Apa benar ini kediaman Park Jinhee?”

“Iya, benar. Apa anda membawa pesanan Nyonya Jinhee?”

Nyonya Jinhee? Hmm… mungkin ini adalah asisten rumah tanggnya. “Iya. Saya membawa dua keranjang mawar putih,” jawabku.

Setelah itu ku dengar bunyi ‘klik’ pada pintu pagar, mengakibatkan pintu itu sedikit terbuka. Rupanya pintu pagar ini di setting secara otomatis.

“Silahkan masuk kedalam.”

Percakapan kamipun berakhir. Aku juga tidak ingin berlama-lama berbicara melalui intercom. Aku tidak sekampungan itu.

Begitu melewati pintu pagar, aku disuguhkan dengan pemandangan ‘wah’ halaman rumah yang luas ini. Berbagai tanaman dan pohon-pohon seakan ditanam secara sengaja sehingga membentuk kumpulan-kumpulan tersendiri. Taman itu juga asri dan terawat dengan baik.

Benar saja. Rumah itu terletak jauh dari pintu pagar. Dua ratus meter jauhnya. Aku pun berjalan menuju rumah besar itu bergaya Victorian itu melewati jalan yang terbuat dari rangkaian kerikil kecil.

Ternyata, di depan pintu rumah, aku sudah di sambut oleh wanita anggun yang cantik. Rambut pendeknya membawa kesan anggun serta kulit wajahnya yang kencang itu… aku jadi iri. Badannya juga bagus. Membuatku iri dua kali. Nah, pertanyaannya, apakah dia asisten rumah tangga yang berbicara di intercome tadi?

“Permisi, saya Mina. Mengantarkan pesanan dua keranjang mawar putih,” ucapku begitu tiba di depan wanita itu.

“Wah, cantik sekali…” balasnya.

Aku mengangguk dan tertawa kecil. “Benar, mawar-mawar putih ini cantik. Apalagi artinya sebagai lambang kesucian,” timpalku.

Wanita itu menggeleng, “Tidak—tidak, saya membicarakan tentang kamu. Kalau bunga mawar putih, saya sudah tau dari dulu kalau itu cantik,” ucapnya tersenyum.

“Anda bisa saja,” akupun tersipu. Terakhir kali aku dibilang cantik oleh Ibuku. Saat aku berusia lima tahun kalau tidak salah.

“Apa kau punya waktu banyak? Saya ingin meminta bantuan.”

Aku mengecek jam tanganku. “Dua jam lagi saya ada jadwal kuliah. Namun, jika anda meminta bantuan saya bisa membantu semampu saya.”

“Dua jam lagi? Hmm… itu lebih dari cukup. Ayo masuk,” tawarnya. Wanita itu mendekat padaku dan mengambil sebuah keranjang bunga di tangan kiriku. Sembari ia memegangnya, satu tangannya mendorong punggungku untuk memasuki rumah mewah itu.

Aku sudah bisa menduga suasana seperti apa di dalam. Aku tidak kaget lagi. Rumahku yang besar dulu juga mirip-mirip seperti ini. Wanita itu membawaku ke halaman belakang melewati tangga besar utama yang menuju ke lantai dua. Aku tidak sempat melihat-lihat foto-foto keluarga yang terpajang disana. Kami tidak berjalan cepat-cepat sih, hanya saja cahaya dari jendela terpantul oleh keca figura, sehingga foto pada frame tidak terlihat jelas.

Sampailah kami di taman belakang yang tidak kalah ‘wow’ dari halaman depan. Memang sama besar, hanya saja halaman belakang ini terlihat santai. Tidak banyak tanaman disini, justru yang lebih menonjol adalah kolam-kolam ikan yang tersebar dimana-mana. sepertinya si pemilik menyukai ikan.

Kami berdua menuju gazebo yang terletak di tengah taman. Disitu sunyi sekali. Tapi tidak serem kok.

“Silahkan duduk,” ucap wanita itu.

Aku mengangguk dan menaruh keranjang bunga di atas meja. Disana ada banyak vas bunga, juga ada teko dengan beberapa cangkir yang mempunyai corak yang sama.

Wanita itu mengambil teko tersebut dan menuangkannya pada cangkir yang baru. Lalu diletakkan diatas piring kecil dan di taruh dihadapanku. “Silahkan dinikmati tehnya,” ucapnya lagi.

Aku kembali mengangguk sambil menghirup dalam-dalam aroma teh yang cukup menyegarkan hidungku.

“Teh mint,” ucapku.

“Benar. Itu kesukaan saya.” Wanita itu duduk di kursi yang berseberangan di depanku. “Oh, saya belum memperkenalkan diri. Saya Jinhee, yang memesan bunga-bunga ini.”

“Ah, senang bertemu dengan anda, Nyonya Jinhee,” ucapku. Oh, ternyata dialah si Nyonya Jinhee, pemilik rumah.

“Apa kau bisa merangkai bunga?” tanyanya.

“Bisa. Tentu saja. Bagaimana bisa pemilik toko bunga tidak bisa merangkai bunga?” ucapku.

“Ah…. Sudah cantik, bisa merangkai bunga lagi. Andai kau menjadi menantuku,” ucap wanita itu sambil tertawa. Mau tidak mau akupun ikut tertawa.

“Anda terlalu memuji.”

“Saya berkata yang sebenarnya. Nah, kalau begitu kita mulai saja sekarang, bagaimana?”

Aku mengangguk. Kami berdua pun bersama-sama merangkai bunga pada vas yang tersedia.

Kami tidak hanya merangkai bunga namun kami juga banyak berbincang-bincang. Ternyata rangkaian bunga ini untuk dijadikan hiasan makan malam spesial nanti. Anak lelakinya baru pulang dari luar negeri dan dia ingin mengadakan makan malam perdana dengan anaknya dan keluarga lainnya.

Ia meminta bantuanku karena asisten rumah tangganya sedang sibuk dengan menu makan malam nanti, dan anak perempuannya sedang sibuk bekerja.

Jujur saja aku sempat terkejut karena wanita ini sudah punya anak. Dua anak. Dan anak-anak mereka sudah dewasa. Wanita ini tidak terlihat seperti itu.

“Selesai,” ucapku setelah tiga puluh menit merangkai bunga sambil mengobrol.

“Terima kasih, Mina. Apa ini ada biaya tambahan?”

Aku menggeleng. “Tidak perlu. Ini gratis, Nyonya. Saya juga sudah lama tidak merangkai, kupikir ini waktu yang tepat untuk mengasah lagi kemampuanku.”

“Kalau begitu, terima kasih sekali lagi. Ah, apakah kamu bisa kemari nanti malam? makan malam bersama kami?”

“Sepertinya tidak bisa, Nyonya. Lagipula saya tidak enak berada di tengah-tengah anggota keluarga anda. Saya bahkan baru mengenal anda hari ini.”

Wanita itu merengut. “Hmmm.. sayang sekali.”

“Terima kasih atas tawarannya, Nyonya. Saya menghargainya. Tapi saya harus pergi sekarang untuk mempersiapkan kuliah.” Aku berdiri sambil membereskan beberapa barangku agar tidak tertinggal. Satu setengah jam sebelum kuliah, kupikir aku harus mandi lagi.

“Baiklah. Semoga kita bertemu lagi nanti.”

=OoO=

Kupikir, pengalaman hari ini bertemu orang baru dan membantunya membuatku merasa lebih baik. Nyatanya tidak.

Aku ingin menggunakan sehari dari perjanjian kencan kita malam ini

       Park Chanyeol

Materi kuliah yang masuk pun hanya angin lalu bagiku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Ydvvfjkch #1
Chapter 7: APINK ❤️❤️❤️
koala_panda #2
Chapter 7: Yay...Dtunggu yah Thor update story yg lainnya
leenaeun
#3
Chapter 7: Hahahahaha kocaaaakkk, keren banget! Ditunggu ya update selanjutnya! ^^
koala_panda #4
Chapter 6: author...ditunggu update berikutnya yahhhh
leenaeun
#5
Chapter 5: Author-niiiiiiiiiiiiimmmmmmmm kmu kemana aja siiihhhhh???? :') hikkss kangen niihhh, kmu apa kabar? Sehat? Dan yes! Udah apdet lagi hehehe ^^
leenaeun
#6
Chapter 4: Kereeeeeeeennnnnnnnj!!! Ah gila langsung falling in love sama ni cerita! Oh i'm so falling in love~~~ #lohkokjadinyanyi subscribe ah subscribe, keren sih ceritanya ;D
silalagosil #7
Chapter 4: Jeng jeng, baekhyun datang..
tambah menarik banget.
Kai sama naeun perfect!!
mynameisravee #8
Chapter 1: Mina, sadarlah nak. Jauh lebih baik kencan dengan Park Chanyeol pengacau daripada sama om-om -__-
Suka persahabatan Mina-Chorong <3