Revealed

Villain

 

Dara menatap pintu masuk kepolisian dengan takut. Pandangannya lalu beralih pada Dongwook yang menggenggam sebuah kotak hitam dengan erat. Wajah Dongwook tak santai seperti biasanya, rahangnya mengeras dan berkali-kali dia mengetuk dashboard keras-keras.

“Mau tak mau kita harus melapor ke Inspektur Yang, oppa.”

“Dan bisa kujamin dengan pasti kalau kita kena marah. Bom adalah anggota kesayangannya. Sudahlah, kita hadapi saja.” Dongwook membuka pintu mobil dengan sekali hentak lalu berjalan memasuki gedung. Dara mengikuti di belakang. Inspektur Yang sudah menunggu dengan cemas di resepsionis. Wajahnya jadi sedikit cerah melihat kedatangan Dongwook.

“Dongwook! Bagaimana? Misinya berhasil?”

“Penjudi itu memberikan ini untuk Anda, Inspektur.” Dongwook memberikan kotak hitam yang sedari tadi digenggamnya erat. Inspektur Yang terlihat sedikit bingung. Dibukanya kotak itu, isinya hanya sebuah CD.

“CD? Lebih baik kita putar untuk tahu apa maksud si penjudi itu.” Inspektur Yang mendekati CD player yang tersambung ke plasma di ruang tunggu. Awalnya hanya tampilan layar kosong, namun seketika berubah. Latarnya ruang keluarga dengan furnitur mewah dimana-mana. Seseorang berjalan dan duduk di depan kamera.

Annyeonghaseyo. Namaku Choi Seunghyun. Penjudi nomor satu Korea Selatan.”

Lelaki itu terdiam menatap kamera, seolah sedang bertatapan dengan Inspektur Yang yang berkacak pinggang di depan plasma.

“Terimakasih untuk menghancurkan pestaku dan mengirimkan anggota cantikmu kemari.” kamera bergerak, lalu menyorot seseorang yang duduk lemas di sofa. Awalnya gambar itu buram, namun lama-lama menjadi jelas. Park Bom sedang bersandar lemas di sofa, seperti terbius. Inspektur Yang mengepalkan tangannya.

“Dia jadi sanderaku sekarang. Jangan berani menyerangku, atau gadis ini takkan selamat. Arraseo?” layar plasma tiba-tiba menjadi gelap. Inspektur Yang membalikkan badannya dan melihat ke arah Dara yang sembunyi dibalik punggung Dongwook.

“Apa yang kukatakan pada kalian sebelum mengantar Park Bom?”

“Menjaganya dengan baik.”

“Dan sekarang, jawab dengan jelas, dimana dia?!”

“Tersandera.”

“Kenapa kalian bisa begitu bodoh, hah?!” Inspektur Yang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha mengendalikan emosinya. “Dia adalah aset kepolisian, aku bahkan terpaksa mengumpankannya agar dia tetap menjadi seorang polisi!”

Dara memegangi lengan Dongwook sementara Dongwook menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Kalian lebih baik pulang sekarang. Besok, kumpulkan semua anggota dan susun rencana untuk membebaskan Park Bom. Aku tahu penjudi sialan itu hanya berani gertak saja.”

 

***

 

Bom menghela nafas tanda bosan. Sudah hampir seminggu Bom tinggal, lebih tepatnya menjadi tahanan di dalam rumah Seunghyun yang besar. Seunghyun sendiri sedang pergi entah kemana. Bom diawasi dengan ketat oleh pekerja di rumah Seunghyun. Bom melirik kertas berisi tulisan yang ditempel asal oleh Seunghyun sebelum dia pergi enam hari yang lalu.

Peraturan Rumah Khusus Bagi Park Bom-ssi.

  1. Harus tersenyum dan ramah terutama padaku.
  2. Tidak boleh memegang senjata apapun.
  3. Tidak ada alat komunikasi dan internet.

Have fun! Jangan merindukan aku, ya.

Choi Seunghyun

“Memangnya siapa yang mau merindukan orang macam dia? Dasar menyebalkan.” Bom menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk di depannya. Ditatapnya langit-langit kamar yang berukuran tiga kali kamarnya di rumah. Dekorasinya mewah, ada karpet beludru tebal dan tirai satin lembut membingkai jendela besar yang memberikan sinar matahari di pagi hari. Lemarinya, secara misterius berisi dress dan jewelry haute couture desainer terkenal.

“Membayangkan wajahku, ya?” tiba-tiba suara berat terdengar begitu saja. Ternyata Seunghyun sudah duduk di sebelah Bom. Bom terperanjat kaget dan refleks menjauh.

“S-sudah pulang?” Bom tergagap dan dijawab oleh tawa renyah Seunghyun.

“Sudah. Kau merindukanku, kan? Rasanya seperti ditunggui istri saja, ternyata menyenangkan juga. Kau harus sering-sering menanyaiku seperti itu.” Seunghyun membaringkan badannya di sebelah Bom. Bom terus menjauh sampai mencapai ujung kasur.

“Enak saja. Aku hanya menjamin kalau kau tak mengingkari janjimu. Aku mati bosan di sini, tahu.” Bom mengerucutkan bibirnya secara spontan sambil memeluk guling.”

“Heh, mati bosan?”

“Peraturanmu menyulitkanku, dan semua pekerjamu sangat menyebalkan. Seharian aku hanya bisa diam di kamar.”

“Kau mau keluar?” Seunghyun menghadapkan wajahnya ke arah Bom dan mencubit pipinya. Bom menjengit dan langsung menyingkirkan tangan Seunghyun dari wajahnya.

“Yak! Jangan mencubitku seperti itu! Memangnya kalau iya, mau kemana?”

“Ganti bajumu. Kau tak mungkin pergi dengan piyama begitu, kan? Kutunggu di bawah.” Seunghyun turun dari kasur dan berjalan keluar kamar.

“Dasar laki-laki aneh.”

 

***

 

Bom turun perlahan dari mobil dan menatap bangunan di depannya dengan heran. Kenapa Seunghyun mengajaknya ke tempat seperti ini? Sebuah bangunan di daerah pinggiran kota dengan cat kusam dan halaman luas.

“Ayo masuk.” Seunghyun menggamit lengan Bom kasar dan berjalan memasuki bangunan itu. Lorong dengan dek kayu tradisional menyambut mereka. Kosong. Sunyi.

“Sebenarnya ini tempat apa, sih?” Bom menatap Seunghyun dan dinding bangunan itu bergantian. Seunghyun tak sempat menjawab karena tiba-tiba seorang ahjumma berambut keriting dan memakai celemek kotor menyambut mereka. Dia tersenyum riang melihat Seunghyun.

“Ah, sajangnim! Senang sekali melihat Anda!” wanita itu membungkukkan badannya dalam-dalam lalu mengernyitkan keningnya saat melihat Bom. “Maaf, sajangnim. D-dia siapa?”

Sammonim. Bungkukkan badanmu, seenaknya saja.” Seunghyun mendecakkan lidahnya sambil menggelengkan kepala sementara wanita itu kembali membungkukkan badannya. “Dimana mereka?”

“Ini masih waktu istirahat mereka. Nap time.”

Arraseo. Aku akan menunggu di taman belakang. Jika mereka sudah bangun suruh mereka menemuiku.” Wanita itu mengangguk dan Seunghyun menarik lengan Bom dan menyeretnya menuju taman belakang bangunan itu.

“Sakit! Aku bisa berjalan sendiri!” Bom menggerutu saat Seunghyun melepaskan tangannya. Taman bangunan itu sangat indah, banyak patung warna-warni dan tak jauh dari sana ada rumah kaca. Bom bisa melihat beberapa bunga mekar.

“Jaga-jaga saja.” Seunghyun melengos dan duduk di bangku panjang yang juga warna-warni. “Duduklah, kau mau berdiri sampai kapan?”

Bom berjalan mendekati Seunghyun dan duduk di sampingnya. Bagian bawah mantelnya terasa basah karena salju merembes ke dalamnya.

“Sebetulnya ini tempat apa? Kau pemilik tempat ini?”

“Bisa dibilang begitu. Tempat ini bisa dibilang tempat persembunyianku dari dunia ramai. Aku biasa ke sini kalau bosan ke kasino.” Seunghyun menyangga kepalanya lalu melihat ke arah langit yang kelabu.

“Penjudi bisa bosan berjudi juga ternyata.” Bom tertawa pelan dan ikut melihat langit. “Aku benci langit musim dingin.”

“Aku juga benci langit musim dingin. Seperti tak ada gairah hidup. Mati. Kalau kau?”

“Dingin, tak berperasaan, membuatku teringat masa lalu.”

“Memangnya dulu kau kenapa?”

Tiba-tiba terdengar suara derap langkah menuju taman. Pandangan Bom dan Seunghyun beralih ke jalan dari dalam rumah ke taman. Terlihat seorang anak perempuan yang memakai piyama putih. Rambutnya berantakan, namun wajahnya senang sekali.

Appa!”

Seunghyun berlari menghampiri anak itu dan menggendongnya tinggi-tinggi. “Haru-ya! Mana yang lain?” anak yang bernama Haru itu tertawa senang dalam gendongan Seunghyun sementara Bom menatapnya kebingungan.

“Mereka masih tidur, appa. Itu siapa?” Haru menunjuk Bom yang masih menatapnya dengan heran.

“Ah, itu.” Seunghyun berjalan menghampiri Bom kembali dan membisikkan sesuatu ke telinga Haru. Haru terlonjak dan senyumnya makin lebar.

Jinjjayo?!” Seunghyun mengangguk dan menurunkan Haru dari pangkuannya. Haru berlari dan memeluk kaki Bom.

“Hei, dia kenapa? Apa yang kau katakan padanya?” Bom menatap Haru yang memeluk kakinya erat. “Dia bahkan tak pakai alas kaki!” Bom menggendong Haru dan membersihkan kakinya dari butiran tanah yang menempel.

“Aku bilang kau eomma-nya.”

Bom menatap Seunghyun kesal sementara Haru memeluk pundaknya erat. Seunghyun tersenyum jahil dan mendekati Haru.

“Dia anak asuhku. Panti asuhan ini kubiayai sepenuhnya. Sebetulnya yang lain juga anak asuhku, tapi yang satu ini kesayanganku. Dia lucu sekali. Bagaimana menurutmu?” Bom mengangguk pelan dan mengusap rambut Haru yang berpotongan pendek.

Eomma wanginya seperti vanila.” Haru menarik kerah jas Seunghyun.

“Ya, appa tahu. Haru mau jalan-jalan bersama appa dan eomma?”

 

***

 

“Yak! Yak! Ah, sayang sekali...”

Bom, Seunghyun dan Haru menatap claw machine di depan mereka dengan pandangan lesu. Di dalamnya ada boneka ikan besar dan Haru menginginkannya. Seunghyun sudah berhasil mengangkat boneka itu, namun jatuh tepat sebelum capitannya membuka di atas kotak hadiah.

“Nanti kita ke toko boneka saja ya Haru? Appa memang payah, jangan dimasukkan ke dalam hati.” Bom menepuk-nepuk punggung Haru yang mulai menangis sementara Seunghyun menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Kita makan saja, bagaimana? Aku lapar.” Seunghyun berbisik kepada Bom, namun tak ada jawaban. Pandangan Bom lurus ke depan, lalu berlari keluar.

“Kau ini kenapa? Kau ikut marah karena aku tak bisa mengambil boneka itu atau bagaimana?! Kenapa kau ini kekanakan sekali?! Baru sehari sa....” Bom menutup mulut Seunghyun dan menaruh telunjuk di depan bibirnya.

“Tadi ada temanku dari kepolisian. Kau mau kita tertangkap?”

Seunghyun tertegun sementara Bom mulai panik kembali karena orang yang dia maksud berjalan ke arahnya. Bom berlari tak tentu arah sementara Seunghyun membalikkan badannya. Sepasang polisi menghampiri Seunghyun sambil menggandeng Haru.

“Permisi, apakah ini anakmu? Dia menangis di dalam.” Haru langsung berlari ke pelukan Seunghyun.

“Ya, kamsahamnida.” Seunghyun membungkuk pelan dan berjalan menjauh bersama Haru. Matanya menangkap dua nama yang tertempel di kemeja sepasang polisi itu.

Lee Dongwook dan Park Sandara.

 

***

 

“Aku beru pertama kali bertemu orang seketus itu. Untung kita menemukan anaknya. Tapi anaknya manis sekali, lho.” Dara mengencangkan sabuk pengaman sementara Dongwook sedang men-starter mobil.

“Aku malah lebih curiga dengan wanita yang langsung berlari ketika melihat kita. Memangnya kita semenakutkan itu kalau pakai seragam ke departement store?” Dongwook terkekeh dan mulai menjalankan mobil keluar dari departement store.

“Tapi sepertinya aku pernah bertemu pria tadi, dimana ya?” Dara mulai memakan manisan apel yang dibelinya. “Suara dan mukanya familiar.”

“Aku juga berpikiran begitu. Aku malah berpikir kalau itu penjudi yang waktu itu, siapa namanya?”

“Ah, ya ampun! Kau benar! Itu memang dia, oppa! Itu Choi Seunghyun!”

 

***

 

Seunghyun mengancingkan kancing terakhir piyama satinnya. Dia mematut dirinya sendiri di depan kaca, lalu untuk kesekian kalinya menyisir rambutnya.

“Waktunya tidur.” Seunghyun berjalan ke kasur empuknya, namun sudut matanya menangkap seseorang sedang duduk terdiam di taman. Bom. Seunghyun mendecak dan menyambar mantelnya, lalu berjalan menuju taman.

“Sudah malam, kau seharusnya tidur. Kau bisa sakit dengan pakaian seperti itu.” Seunghyun menutup bahu Bom yang terbuka dengan mantel yang dibawanya.

Gomawo.” Bom merapatkan mantel itu ke tubuhnya dan menunduk lagi. Seunghyun menatapnya bingung dan duduk di sampingnya.

“Kau kenapa? Dua polisi tadi temanmu, kan? Kalau tak salah namanya Sandara dan...”

“Dongwook oppa. Ya, mereka temanku. Bagaimana kalau mereka melihat kita? Kedok penyanderaanmu akan ketahuan. Aku bisa melihat mobil kepolisian berjaga di sekitar sini. Padahal jelas-jelas aku baik-baik di sini. Video payahmu itu cuma sandiwara.” Bom menggigit bibirnya.

“Kenapa kau mau jadi bagian dari mereka?”

“Eh? Apa maksudmu?”

“Kenapa kau mau jadi polisi? Ya, maksudku, bukan aku merendahkan pekerjaanmu, ya. Kau lebih cocok jadi model atau jadi sekertaris perusahaan besar, ya kau pasti mengerti, kan.” Seunghyun menatap Bom yang tersenyum mendengar pertanyaan Seunghyun.

“Kau adalah satu dari banyak orang yang mengatakan hal yang sama.” Bom tertawa pelan dan balas menatap Seunghyun. “Semuanya berkaitan dengan masa laluku.”

“E-eh, kalau kau tak mau cerita, tidak masalah. Itu urusan pribadimu.” Seunghyun tergagap melihat sikap Bom yang tiba-tiba melankolis dengan senyum samar dan tatapan menerawang.

“Tak apa, aku juga sesekali perlu berbagi sesuatu denganmu. Betul, kan?”

“Oke, kau bisa mulai cerita kalau begitu.”

“Dulu aku anak seorang tuan tanah di pinggiran Seoul. Mungkin tak jauh dari panti asuhan milikmu. Aku hidup bahagia bersama orangtua dan kakak perempuanku. Tapi, ayahku punya musuh, seorang tuan tanah juga.”

“Lalu? Musuh ayahmu mengambil tanahmu atau bagaimana?”

“Mengambil tanah jauh lebih baik daripada apa yang telah terjadi,” Bom menghela nafas sejenak. “Aku masih ingat dengan jelas. Umurku masih 15 tahun, aku sedang bercanda bersama kakakku di kamar, lalu kudengar ibu berteriak, keras sekali. Aku dan kakak membuka pintu, dan kulihat darah berceceran dimana-mana. Musuh ayahku datang dan menyerang keluargaku. Ayah sudah terkapar, dia ditembak tepat di celah antara kedua bola matanya, sementara ibu ditebas pinggangnya. Kakakku mencoba melawan untuk melindungiku, namun dia juga bernasib sama, dia mati ditembak tepat di depanku. Nyawaku selamat karena tepat sebelum manusia biadab itu menarik pelatuk senapannya untuk membunuhku, polisi datang.”

Seunghyun tertegun mendengar cerita Bom. “Lalu?”

“Inspektur Yang membawaku ke kepolisian untuk dirawat sebelum dimasukkan ke panti asuhan. Aku melihat para polisi menangkapi para penjahat, dan akhirnya aku bilang kalau aku mau jadi polisi juga. Inspektur Yang memasukkanku ke akademi kepolisian, aku belajar dengan baik dan akhirnya jadilah aku sniper dan pelacak terbaik, kata mereka. Harapanku cuma satu, bisa bertemu musuh ayahku dan membunuhnya juga. Aku mau balas dendam.”

“Wow. Punggungku merinding.” Seunghyun mengusap punggung dan tengkuknya sendiri. “Aku belum pernah menemukan wanita dengan obsesi menyeramkan sepertimu.”

“Terserah apa katamu, tapi memang itu yang mau kulakukan.” Bom mengedikkan bahu dan terkekeh pelan melihat Seunghyun yang masih bergidik. “Kau sendiri? Kenapa jadi penjudi?”

“Sebenarnya ini karena kesalahan ayahku. Kalau aku hidup di keluarga yang lain, mungkin aku bisa jadi lelaki muda yang bersih dari hal macam judi.”

“Memangnya kenapa? Kau sudah ditakdirkan begini mau bagaimana?” Bom mencoba berkelakar, namun malah dibalas dengan tatapan serius.

“Aku dulu hidup miskin, karena ayahku terbelit hutang dengan seorang rentenir. Hyeyoon noona bahkan harus berhenti sekolah karena tak ada biaya.”

“Hyeyoon noona?”

“Kakakku. Ketika masuk SMU, aku diajak main taruhan kecil-kecilan. Hadiahnya hanya seperangkat walkman bekas milik temanku. Aku menang dan sejak saat itu aku ketagihan ikut taruhan berhadiah. Aku mulai berjudi di tingkat akhir, saat diajak temanku untuk mencoba judi kelas payah di Gangnam. Sama seperti biasanya, aku menang. Akhirnya aku berhenti sekolah dan memutuskan untuk bergaul dengan hal seperti itu. Keluargaku bisa bebas dari belitan hutang karena hasilku berjudi.”

“Lalu, dimana mereka sekarang?”

“Ayah dan ibuku tinggal di Amerika, mereka bilang malu punya anak sepertiku, dasar tak tahu diri.” Seunghyun menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Sementara Hyeyoon noona sedang bersekolah mode di Paris. Kamar yang kau pakai saat ini adalah kamarnya.”

“S-semua, maksudku biaya hidup orangtuamu di Amerika, lalu sekolah kakakmu, dari hasil berjudi?” Bom bertanya dengan suara pelan. Seunghyun menganggukkan kepalanya.

“Kita dibesarkan menjadi seperti ini karena ada penjahat yang masuk ke dalam kehidupan kita,” Seunghyun menatap Bom dalam, membuat Bom salah tingkah. “Masalahnya, kita berdua berusaha melawannya, atau justru jadi penjahat itu sendiri?”

“Kurasa kita jadi penjahat itu sendiri. Karakter kita ini sebenarnya bengis juga, ya.” Bom tertawa dan tersenyum tulus pada Seunghyun.

“Mau lihat Jade of Hearts?” Bom langsung mengangguk mendengar tawaran Seunghyun. Mereka bangkit dari duduknya dan berjalan berdampingan menuju kamar Seunghyun. Bom terperangah melihat kamar Seunghyun yang jauh lebih besar daripada kamarnya sekarang. Banyak potret Seunghyun tertempel di dinding.

“Kalau kau mau tidur bersamaku, kuizinkan mulai malam ini kok.” Seunghyun tertawa pelan saat melihat Bom yang duduk di pinggiran kasurnya. Bom mengerucutkan bibirnya sementara Seunghyun membuka buffet kaca. Dia mengambil sebuah kotak beludru berwarna hijau dan menyodorkannya pada Bom.

“Jade of Hearts.” Bom membuka kotak itu perlahan. Sebuah batu giok di tengah sebuah gelang emas ada di dalamnya. Bom memperhatikan gelang itu dengan seksama. Mengetuknya dengan jari, lalu mengarahkannya ke lampu meja. Bom mengernyitkan keningnya.

“Hei, ada masalah? Itu bukan Jade of Hearts yang kau cari? Kelakuanmu selalu membuatku bingung.” Seunghyun mendekati Bom yang masih menerawang Jade of Hearts dengan lampu meja.

“Punya korek api dan kain pembersih lensa kacamata?” Seunghyun mengangguk dan memberikan dua benda itu pada Bom.

“Untuk apa, sih? Sudahlah, kita tidur saja. Kepalaku mulai pusing.”

“Jangan banyak bicara.” Bom menggosok Jade of Hearts dengan kain dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Dinyalakannya pematik korek dan mendekatkannya ke Jade of Hearts. Seketika  tetesan hijau mengalir ke lantai dan mengeras kembali. Seunghyun terperangah dan melihat batu giok berharga itu tinggal setengahnya.

“H-hei apa yang kau lakukan?! Kenapa Jade of Hearts-ku meleleh begini?!”

“Katanya kau penjudi nomor satu Korea Selatan, tapi kenapa sebodoh ini? Ini palsu, imitasi. Gioknya plastik. Bagian gelangnya  emas sepuhan. Lihat saja sendiri.” Bom menunjukkan kain pembersih lensa yang penuh dengan noda berwarna emas.

“Dasar lelaki sialan.”

“Darimana kau mendapatkan Jade of Hearts palsu ini?”

“Kwon Jiyong.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
immafans #1
Chapter 1: Ini bagus. Tapi kok ya masa tbtb nembak terus minta jade of heart agak gak logis sih menutku hehe. Aku pikir si bom bakal nyolong itu berlian terus ketauan.