You're My Friend

Our Story
Please Subscribe to read the full chapter

Melelahkan. Itu kesan pertama yang aku dapatkan ketika memulai hariku sebagai siswa sekolah menengah atas. Pagi hari ini aku harus rela berdesak-desakkan dengan puluhan murid lain di depan papan pengumuman. Ya, ini pengorbanan yang harus aku keluarkan untuk sekedar mencari tahu info pembagian kelas.

“Hei, kau menghalangi jalanku.”

Sebuah tangan mencengkram bahuku dan mendorongku ke samping. Beberapa saat kemudian aku menyadari diriku sudah dalam posisi memeluk lantai. Aku mendongak ke atas, menemukan seorang namja dengan tubuh tambun mencoba menerobos ke barisan depan. Aku kesal. Kesal sekali. Tak hanya membuatku jatuh, namja itu sepertinya juga tidak berniat untuk meminta maaf kepadaku.

“Arrgghh, menyebalkan.”

Sepertinya aku akan menunggu hingga kerumunan ini telah lenyap. Mustahil untuk melihat info pembagian kelas jika puluhan siswa masih meyesaki area ini. Apalagi mencoba menerobos kerumunan dengan badanku yang kecil dan pendek ini. Benar-benar mustahil.

“Ahhh, aku terlambat. Tempat ini sudah penuh dengan lautan manusia.” aku mendengar keluh kesah seorang namja yang sepertinya berdiri di sampingku.

“Seharusnya aku bangun lebih pagi.”

“. . . . . . . . .”

“Mungkin hari ini aku memang sedang sial, jam alarmku tiba-tiba saja rusak.”

“. . . . . . . . .”

“Tapi untunglah aku akhirnya bisa bangun, walaupun kesiangan. Hahaha.”

Namja di sampingku terus saja bersuara. Mungkin dia sedang berbicara dengan salah satu temannya. Sepertinya temannya tidak menanggapi ocehan namja ribut tersebut. Mungkin temannya sudah lelah mendengarkan, dan tak punya tenaga untuk membalas.

“Hei, apa kau sudah melihat info pembagian kelas? Kau dapat kelas apa?”

“. . . . . . . . .”

“Hei, apa kau mendengarkanku?”

“. . . . . . . . .”

“Hei, kau pura-pura tidak mendengarku ya? Aku bertanya padamu.”

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan mendarat di bahuku. Mengingat kejadian tadi, aku refleks menepis dan mundur beberapa langkah dari tempatku berdiri. Aku menatap seorang namja yang melongo dengan tangan yang masih terulur. Sepertinya namja tinggi itu yang tadi menyentuh bahuku. Sepertinya itu namja yang sedari tadi mengoceh di sampingku.

“Ahh, mianhe, mianhe, aku kira kau berniat buruk padaku.” Ucapku terburu-buru. Gawat jika namja itu mengira aku ini anak sombong dan tak tahu sopan santun.

“Hahaha, kau ini kenapa? Berniat buruk kepadamu? Aku benar-benar tak ada niat untuk berbuat buruk padamu, setidaknya tidak di tempat ini.” Kata-kata itu sukses membuatku bergidik ngeri.

“Hei, tenanglah, aku hanya bercanda.” Dia memamerkan cengiran lebar hingga deretan giginya yang putih jelas terlihat.

“Sekali lagi aku minta maaf.” aku bungkukkan tubuhku berkali-kali.

“Sudahlah, aku juga salah telah membuatmu terkejut. Mianhe.”

“Eh, iii-yaa.”

“Apa kau membenciku? Atau mungkin kita pernah bertemu dan berbuat salah padamu?”

“Ehh?” namja ini sangat aneh. Aku yakin jika ini baru kali pertama aku bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengenal namja di depanku ini. Kenapa dia bertanya seperti itu.

“Ah, aku kira aku pernah berbuat salah kepadamu. Aku hanya heran, kau dari tadi mengacuhkanku. Bahkan kau tidak menjawab pertanyaanku.”

Mata bulat milik namja itu mengarah langsung ke mataku. Entah mengapa aku menjadi sangat gugup. Lebih baik aku menundukkan kepalaku.

“Mianhe. Aku tidak tahu jika kau berbicara padaku. Aku kira kau berbicara dengan temanmu.”

“Oh begitu. Berarti ini hanya salah paham, hehehe.”

“Sepertinya begitu.”

“Em, apa kau sudah melihat pembagian kelasnya?”

“Belum.” Aku mendesah kecil. Kecewa pada diriku sendiri yang gagal menerobos kerumunan.

“Aku kira kau sudah melihatnya info pembagian kelasnya. Yah, dilihat dari baju seragammu yang sudah tidak berbentuk lagi.”

Aku melirik sekilas s

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet