A LOT OF CONSPIRATION

COMA (THE FACT THAT WE ONLY HAVE ONE CHANCE)

I want to hold your hand

Junhong mengikuti rangkaian acara study tour dengan malas-malasan, kemudian saat mereka mengunjungi sebuah rumah kaca super besar di atas bukit karang, Junhong memilih untuk terus naik ke tingkat keduanya dan memiilih duduk disebuah ruangan yang berisi dua bangku panjang mengelilingi meja panjang besar dengan puluhan pot bunga daisy.

Junhong tersenyum, dia tahu ibunya sangat menyukai bunga jenis itu, bunga inilah yang dijadikan ibunya saat menikah dengan ayahnya. Junhong duduk dan memandangi salah satu pot, tangannya terlipat diatas meja dan kemudian dia merebahkan kepalanya lalu dia tertidur pulas.

Yang tidak diketahui Junhong adalah, tak jauh dari dia berada disana. Song Jihye tengah menjalani tidurnya yang pulas sebelum kehadiran Junhong.

.......

 

Jihye mengerjapkan matanya saat menyadari ada aliran nafas yang menyapu kulit wajahnya. Jihye membelalakkan matanya saat menyadari siapa yang berada tepat didepan wajahnya. “Choi Junhong???” teriaknya sambil otomatis mendorong tubuh Junhong.

“Awww…” Junhong mengeluh kesakitan. Tapi kemudian bangkit berdiri dan menghadapi Jihye.

“Kenapa kau disini?” tanya Jihye. Junhong mengernyitkan dahinya, “Bukannya kau yang menyusulku kesini?” tanya Junhong.  Jihye membelalakkan matanya kemudian dia beranjak berdiri dan hendak meninggalkan junhong.

Tapi Junhong lebih cepat dibanding Jihye. Junhong sudah lebih dulu menggapai pergelangan tangan Jihye. Jihye mendadak membeku karena perlakuan Junhong. Jihye menoleh terutama karena genggaman Junhong telah berubah menjadi cengkeraman yang terasa menyakitkan.

“Lepaskan.” Hanya sekali Jihye berkata seperti itu Junhong sudah melepaskan tangannya. Membuat Jihye mengerutkan dahi. Kenapa? Bukankah kau tak pernah menurut padaku?

“Kenapa kau begitu membenciku, Jihye?” tanya Junhong dengan suara dan pertanyaan yang tajam. Jihye menatap muridnya yang begitu tinggi, “Aku gurumu. Jangan berbicara informal seolah-olah kita sebaya.” Ujar Jihye tegas. Junhong menyeringai dan tertawa kecil, membuat segenap keberanian Jihye perlahan menghilang.

“Kenapa jika aku tak menurutinya? Akankah kau memberikanku hukuman lagi, Jihye?” Jihye mengigit bibirnya. “Kalau hukuman yang kau inginkan Junhong, aku akan memberikannya. Jadi berhentilah menyapaku dengan gaya casualmu.” Jihye berbalik meninggalkan Junhong.

Dengan cepat Junhong kembali menahan Jihye, kali ini dia menekan jemarinya dilengan kanan Jihye, “Kalau kau mencari jalan keluar, terlambat. Kita terkurung semalaman disini.” Ujar Junhong membuat Jihye berbalik menatapnya dengan tidak percaya. Junhong tersenyum kecil.

“Aku tertidur disini, aku tak tahu kau juga disini, trust me. Lalu saat aku terbangun sepuluh menit yang lalu aku mendapati semua sudut rumah kaca nampak sepi. Aku sudah mengecek beberapa pintu yang ada. Semua terkunci dengan rapat. Lalu aku menemukanmu tertidur disudut yang tak terlihat dariku sebelumnya. Maaf jika aku membangunkanmu.”

Jihye menahan nafasnya. Junhong memang berkata lebih formal padanya namun tetap memperlakukannya seolah mereka sebaya dan tidak ada hierarki guru-murid diantara mereka. Jihye mengibaskan lengannya kemudian menuruni tangga dan mencapai pintu utama rumah kaca dan seketika wajahnya memucat, karena benar seperti yang Junhong bilang pintu yang terbuat dari kaca tebal itu tergembok dari luar. Jihye mencoba mengecek beberapa pintu lain dan memang semuanya terkunci dari luar dengan lilitan rantai hitam besar. Jihye bergidik.

Lalu terdengar suara langkah kaki menuruni tangga, Jihye menoleh dan menemukan Junhong memandangnya dengan tanpa ekspresi. Hati Jihye mencelos. Entah kenapa lebih baik menghadapi kau yang berkata kasar padaku dan tersenyum jahil dibanding harus berekspresi dingin seperti itu.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Jihye pasrah dengan kondisi mereka berdua saat ini. Junhong menoleh, sejujurnya dia juga bingung. Ponselnya sudah mati dan saat mengunjungi rumah kaca ini dia tak membawanya. Dan sepertinya Jihye juga tak membawanya. “Menunggu. Kau kembalilah tidur diatas. Aku akan duduk disini.”

Jihye mengernyitkan dahinya. Tidak percaya akan kalimat junhong tapi toh tetap saja dia mengikuti anjuran Junhong. Jihye berjalan keatas. Begitu dia tak melihat Junhong lagi hatinya bergemuruh. I don’t know why, I just want to hold your hands right now.

……

 

Junhong tidur beralaskan jaketnya dengan kedua tangannya yang terlipat menjadi bantalnya. Matanya menatap langit malam yang mendung. Kemudian tampak hujan turun pelan namun makin lama makin deras. Junhong menatap itu semua. Hatinya seperti lebih teduh. Apakah aku benar-benar sudah kelewatan padanya? Karena itulah dia membenciku? Ah Choi Junhong tentu saja kau kelewatan, dia kan gurumu. Batin junhong bergejolak.

Mata Junhong mulai terpejam saat tiba-tiba hujan makin deras dan terdengar suara gemuruh ombak dikejauhan yang memcah karang. Ditambah suara gemuruh tanda petir. Dan Darrr!!!!

“Akkkkkkk eommmaaaaa!!!!” sebuah suara petir yang sangat keras diiringi  sebuah teriakan yang membuat Junhong kembali membuka matanya. Junhong mengetahui suara siapa itu dan dari mana dia berada. Junhong bergegas dan segera mencapai tingkap dua rumah kaca hanya untuk menemukan Jihye yang meringkuk dibalik kedua lututnya yang terlipat. Bahu Jihye naik turun karena dia menangis.

Kening Junhong berkerut tapi dia tetap berjalan menghampiri Jihye dengan langkah yang lebih mantap. “Hei… Jihye..” panggil Junhong. Tapi Jihye sama sekali tidak bersuara. Darr!! Terdengar suara petir sekali lagi. Jihye terlonjak dan kembali berteriak, membuat Junhong dengan spontan memeluknya. “Tenanglah Jihye. Tenanglah.” Ujar Junhong sambil menepuk-nepuk punggung Jihye.

DARRRRR!!! Petir besar menyambar disertai warna cahaya putih yang begitu terang tanda kalau itu adalah petir yang paling besar dan kemungkinan setelah petir besar biasanya hujan akan mereda. Junhong dapat merasakan kemeja putihnya yang basah karena air mata gadis yang dipeluknya. Gadis yang tak lain adalah guru sastranya.

Junhong tercengang saat Jihye mencengeram kemejanya erat dan menangis didadanya yang bidang. Ada rasa hangat yang Junhong rasakan. Dan dia tau dengan pasti perasaan itu. Menurut Himchan itu tanda dia menyukai gadis yang sedang dia peluk. Beberapa kali Junhong bertanya pada Himchan dan Himchan dapat menjawab pertanyaannya dengan tepat. Sudah pasti Junhong kali ini merasakan cinta untuk pertama kalinya. Dan menurut Himchan pula, karena itulah Junhong terus menjahili gurunya.

Perlahan Junhong dapat merasakan gerakan tubuh Jihye yang melepaskan diri. Junhong ikut melepaskan pelukannya. Mata Jihye masih sembab dan bengkak. Kepala Jihye masih menunduk enggan menatapnya. Junhong menghela nafasnya, dia ingat kalimat Daehyun “Kalau kau mencintai seseorang harusnya kau lebih sabar, bukannya membuatnya makin kesusahan. Bersabarlah, tunggu dia sampai menyadari kebaikanmu.”

“Jihye Saem?” panggil Junhong untuk yang pertama kalinya menggunakan titel formal pada Jihye. Jihye mengangkat kepalanya, kedua matanya menatap Junhong. “Kenapa rasanya lebih menyakitkan saat kau memanggilku ‘saem’?” tanya Jihye. Junhong tersenyum kemudian dua lengan panjangnya kembali meraih Jihye dalam pelukannya. Mereka saling memeluk dan tertidur sepanjang sisa malam.

……

 

Are we?

Jieun menemukan jihye berdiri didepan pintunya dengan kepala menunduk. “Jihye-ya..” panggil Jieun. Jihye mengangkat kepalanya, “Onnie…. Eottoke? Nan eottoke?” (Kakak, bagaimana ini? Aku harus bagaimana?)

Dahi Jieun mengernyit saat Jihye malah memeluknya dengan erat dan menangis. “Ya…. Katakan padaku dengan jelas. Apa yang terjadi?” tanya Jieun, tapi Jihye tetap terisak dan terus mengalirkan air matanya. Jieun yang mengenal saudari kembarnya seumur hidupnya memilih menunggu dan diam. Menunggu saat jihye lebih tenang. Hampir satu jam lamanya Jihye menangis dan baru berhenti setelah dia kelelahan. Mata Jihye serta merta membengkak seperti telur.

“Kau mau menjelaskannya padaku, Jihye?” tanya Jieun. Jihye mengangkat kepalanya. Lalu sedetik kemudian dia mengangguk, perlahan Jihye menarik nafasnya dan menghembuskannya, matanya yang sembab masih tersisa air mata namun kembali berbinar dan menatap Jieun saudari kembarnya. “Aku jatuh cinta onnie. Aku jatuh cinta pada orang yang sangat tidak tepat. Awalnya aku mengira dia mirip dengan yang lainnya, hanya seorang murid nakal yang mencari perhatian. Namun perlahan perasaan peduliku padanya berubah. Tidak bukan perlahan bahkan sangat cepat terjadi.

Aku menyadarinya. Karena itulah aku menghindarinya. Namun dia sepertinya tidak menyukainya, dia justru mengejarku dan takdir membawa kepada kami. Mempertemukan kami dikeadaan yang tak terduga. Sederhana namun membekas. Demi Tuhan onnie, aku tidak ingin melanjutkan perasaan ini. Dia muridku dan dia seseorang yang tidak pantas aku cintai. Aku harus bagaimana onnie? Apa yang harus aku lakukan?” JIhye mengakhiri kalimatnya. Serta merta Jieun memeluk adik kembarnya, mempererat dengan terus membelai lembut punggung Jihye.

“Jihye-ya… kalau dia muridmu berati kau baru menemuinya belakangan ini kan?” tanya Jieun. Jihye mengangguk, “Terlalu cepat kan Onnie. Aku ragu aku benar-benar merasakannya. Tapi ini kenyataan. Aku selalu ingin terus berada disampingnya, merasakan hangat tubuhnya dan degub jantung yang terus berpacu saat berhadapan dengannya. Dan bagaimana rasanya lututku melepas hanya melihat tatapannya yang dingin.”

Jieun terus memeluk dan kemudian dia menyentuh kedua pipi Jihye, “Jika kau mencintainya namun merasa bersalah maka mungkin satu-satunya jalan adalah kau kembali ke Jepang.” Saran Jieun. Mata Jihye lantas membelalak. “Onnie!!”

Jieun tersenyum, “Ini yang terbaik untukmu dan anak itu, Jihye. Kalian mungkin tidak diperkenankan bertemu saat ini. Mungkin suatu saat nanti.” Jawab Jieun. Mungkin sekalian supaya kau kuat agar tak bertemu dengan Himchan oppa Jihye sayang, aku yakin kau belum kuat untuk bertemu dengannya.

“Bagaimana?” tanya Jieun setelah Jihye tak kunjung menjawab sarannya. Jihye mengangkat kepalanya dan menatap Jieun. Kemudian tangisnya kembali mengalir, “Mungkin aku harus pergi.” Begitu keputusannya. Jieun tersenyum lega. Kemudian mereka saling memeluk.

“Sejak lukamu yang terakhir Jihye, aku merasa sekarang belum waktunya kau terburu-buru memutuskan untuk mencintai anak itu. Aku tak ingin kau kembali terluka.” Ujar Jieun pelan. Jihye mengangguk. Onnie benar, aku belum pantas mencintai saat aku sendiri belum sepenuhnya melupakan dia.

Keeseokan harinya Jihye tak mau menunggu lagi, dia langsung mengurus surat pengunduran dirinya, dengan dalih harus mengurus perusahan peninggalan kedua orang tuanya yang sebenarnya sudah diurus oleh kerabat mereka. Dan kepergian serta pengunduran diri yang mendadak itu ternyata dicuri dengar oleh Junhong yang kebetulan tengah mendapatkan hukuman diruangan guru matematika.

Junhong bergegas keluar dari ruang guru matematika, tak mempedulikan panggilan dan ancaman tugas yang akan bertambah. Dia hanya bertujuan mengejar Jihye. Song Jihye.

“Jihye-saem!!!” suara Junhong terengah namun sempat membuat Jihye berhenti sejenak namun terus melanjutkan langkah kakiknya meninggalkan sekolah. “Aishhhh!!! Keu Yeoja!!!” Aishhh gadis ini.

Junhong mempercepat larinya, dan untunglah dia begitu tinggi sehingga dia dengan cepat data mengejar Jihye tepat sebelum gadis itu mencapai mobil birunya. “Ya!!! Neo!!!” hei kau ini!

Mata Jihye membulat tak mempercayai Junhong berhasil mencapainya. Jihye ingin memeluk anak laki-laki didepannya kalau saja dia bisa. Tapi dia tak akan melakukannya, sebaliknya yang dia lakukan adalah melepaskan cengkeraman Junhong disalah satu bahunya. Membuat kening Junhong mengernyit. Bukankah kemarin itu kita sudah akrab, jihye? Bukankah?? Ataukah aku salah menilai? Batin Junhong, kemudian dia melepaskan tangannya dari bahu Jihye.

“Apa yang terjadi, Saem? Kenapa kau mendadak pergi?” tanya Junhong, berusaha menekan semua nada marah dan egoisnya. Menekan hatinya. Jihye hanya menggeleng, “Aku harus kembali mengurus perusahaan keluargaku. Mendiang kedua orang tuaku tidak meninggalkan itu semua untuk aku telantarkan. Aku yang egois karena ke Seoul sedangkan semua urusan belum selesai.”

Junhong memejamkan matanya, lalu kemudian dia menatap kembali ke manik mata Jihye, “Lalu bagaimana denganku huh?” kalimat Junhong kembali menjadi yang seperti biasanya, informal dan tanpa hierarki. Jihye menahan nafasnya menyuarakan kalimat yang juga menyakiti dirinya sendiri, “Memang kau kenapa? Kita apa?”

Junhong mematung, sebagian hatinya membenarkan kalimat Jihye, lalu sebagian egonya memaksa merutuk. “Kau benar. Kita apa? We aren’t in kind relationship instead a teacher and her pupil, are we?” kemudian Junhong berbalik pergi. Meninggalkan Jihye, pelan Jihye terisak menatap punggung bidang yang pernah merengkuhnya beberapa hari yang lalu. Sepasang lengan yang melindunginya. “Sampai jumpa Junhong. Selamat tinggal.” Bisiknya lirih.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Febbya17
#1
Chapter 4: please update soon :)