final

You in My Eyes

Kau begitu sempurna

Dimataku, kau begitu indah

Kau membuat diriku akan selalu memujamu

 

Chanyeol tersenyum saat ia menuliskan beberapa kata pada selembar kertas, uraian kata-kata indah yang ia tulis hanya untuk seorang yang sangat ia sukai. Chanyeol memang suka menulis puisi dan lirik lagu. Ia mempunyai bakat dibidang seni. Tentu tidak mengagetkan bila Chanyeol sering sibuk sendiri menggambar atau menulis, itu memang hobinya.

Yixing sering meminta bantuan Chanyeol untuk menuliskan lirik lagu, dan hasilnya cukup memuaskan. Tapi, bagi Chanyeol itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Itu hanya sekadar aktivitas yang ia sukai, tidak lebih.

Karena sedang asik menulis, Chanyeol tidak sadar jika ada seseorang yang berdiri dibelakangnya sambil mengintip sesuatu yang ditulis Chanyeol. “Ternyata kau romantis juga,” ucap laki-laki itu.

Chanyeol menoleh kebelakangnya, dan menatap Baekhyun yang tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya yang membawa plastik berisi makanan ringan dan minuman kaleng, menawarkan kepada Chanyeol apakah ia mau atau tidak. Chanyeol tersenyum, “Untukku?”

Baekhyun hanya mengangguk, lalu mengambil kursi dan duduk didekat Chanyeol. Mereka berdua memang terkenal akrab. Dan mereka sangat menyukai pelajaran musik. Entah mengapa, Baekhyun sangat suka melihat Chanyeol menulis. Biasanya, Chanyeol akan memberikannya kepada Baekhyun untuk dibaca, dan Baekhyun akan memberitahu bagian-bagian yang salah. Itu juga salah satu dari kebiasaan mereka.

Kali ini pun, Baekhyun membelikan makanan ringan untuk mereka berdua. Suasana di kelas itu sangat sepi, hanya ada empat orang. Mereka berdua, Junmyeon yang sedang asyik mendengarkan musik lewat headphonenya, dan Jongin yang sedang membuka dan menutup pintu kelas dengan wajah bosan.

Mereka bolos.

Seharusnya, mereka pindah kelas dan mengikuti pelajaran biologi, mungkin karena memang tidak betah atau apa, mereka kompak tidak ikut pelajaran. Gurunya memang galak, sih. Tiga anak pemalas yang tukang bolos itu –Chanyeol, Baekhyun dan Jongin – sudah terlalu sering dicantumkan namanya di buku kasus. Tapi mereka tetap santai.

Tentu saja Junmyeon bukan orang seperti mereka, mungkin. Dia Ketua Osis yang rajin dan pintar, tetapi sangat lemah di bidang olahraga. Dia bahkan tidak bisa memegang tongkat baseball dengan benar. Dan kali ini, yang paling mengagetkan adalah Junmyeon yang dihukum tidak boleh ikut pelajaran karena tidak mengerjakan PR.

Walaupun mengagetkan, semua tidak peduli sebenarnya. Junmyeon juga manusia. Dan saat inilah mereka baru menganggap kalau Junmyeon adalah orang ‘normal’.

“Kali ini kau menulis apa?” Jongin yang tampaknya sudah tak betah memainkan pintu berjalan mendekat ke arah dua orang itu dan dengan santainya menyambat satu potong kue kering ditangan Baekhyun, yang dibalas dengan pukulan yang cukup keras ke lengannya.

“Tidak tahu. Aku hanya menulis saja,” jawab Chanyeol singkat.

Jongin hanya terdiam. Dia menyandarkan punggungnya ke tembok dan mengambil satu permen karet, lalu mengunyahnya, dan membuat balon. Baekhyun agak merasa sedikit terganggu dengan hal itu, “Kau menjijikkan.”

“Oh ya? Katakan itu didepanku saat kau membawa pacar wanitamu.”

Baekhyun menggigit bibir bawahnya. Saat ini Jongin sedang meledeknya. Tentu saja ia mengerti apa yang Jongin maksudkan dengan kata ‘pacar wanitamu’. Tapi ia juga merasa kalau Jongin tidak benar-benar merasa seperti itu. Marah? Sedikit.

Itu bukan salahnya jika ia suka pada laki-laki. Itu juga bukan keinginannya. Awalnya, tentu ia merasa tidak terima. Apa yang membuatnya begitu berbeda dengan teman-temannya, menjadi suatu aib baginya. Ia selalu menyembunyikan fakta itu dan berlari dari kenyataan. Bertindak layaknya orang yang suka mempermainkan hati perempuan adalah suatu bentuk pelariannya. Ia tidak mau dikatai menjijikkan, atau apalah, dan dijauhi teman-temannya.

Sampai ia bertemu dengan Jongin.

Jongin benar – benar memperlakukan orang-orang disekitarnya dengan sama. Semua mempunyai derajat yang sama. Dia juga tidak menghakimi kaum gay, dan memperlalukan Baekhyun seperti manusia. Dia tidak pernah merasa jijik jika dekat dengan Baekhyun seperti teman-teman Baekhyun dulu saat mengetahui aibnya. Ia justru menjabat tangan Baekhyun, memukul punggungnya pelan dan berkata, “Kau hebat.”

Baekhyun tidak mengerti perkataan Jongin waktu itu.

Dan tidak akan pernah.

 

///

 

Angin di atap sekolah memang kencang, dan Baekhyun suka itu. Baginya dimana-mana selalu panas, tentu saja, musim panas telah tiba. Untung saja sekolahnya cukup luas dan banyak terdapat pepohonan hijau yang menyejukkan mata. SM High, sekolah internasional yang terletak ‘menyendiri’ dari kota.

Baekhyun menutup pintu atap and berjalan sambil tersenyum. Ia sama sekali tak menyadari bahwa disana juga ada seseorang yang terbaring di lantai dan menutup wajahnya dengan buku, mungkin supaya tidak terkena sinar matahari.

“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya orang itu, Baekhyun pun langsung menoleh. Kini telah berdiri seseorang yang berbadan tinggi dan mempunyai kulit yang agak gelap. Tentu bukan kejutan bagi Baekhyun. Orang itu adalah Jongin.

Baekhyun berjalan ke pinggir atap, dan tetap berdiri disitu. Hanya satu dorongan pelan saja, ia akan terjatuh dari gedung sekolah setinggi empat lantai. Matanya kosong, melihat jalan yang jauh dibawah dan tidak takut jika ia terjatuh. Dunia memang kejam, tapi juga indah di waktu yang bersamaan. Mungkin saat ini sedang ada orang yang menggantungkan dirinya, tapi mungkin saat ini juga ada orang yang sedang berpesta ria bersama kawan-kawan.

Menyedihkan.

Sebenarnya untuk apa kita dilahirkan di dunia ini? Untuk menjalani kenyataan pahit yang permanen?

“Apa aku egois?” kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya.

Tapi Jongin tidak menjawabnya, ia hanya berdiam diri dan menyipitkan matanya yang terus terkena angin.

“Jawab aku, Jong-“

“Tidak ada yang bisa menjawab hal seperti itu,” Jongin berkata dengan cepat.

“Kau tahu, Baek. Kau mungkin merasa egois karena kau merasa orang-orang dengan mudahnya menurutimu atau apapun itu, tapi belum tentu orang lain menganggapmu egois. Orang-orang mungkin menganggapmu egois, tetapi belum tentu kau menganggap dirimu sendiri egois. Mungkin setiap orang punya alasan tertentu, dan kau boleh berbicara sesuka hatimu mengenai itu. Dan pada akhirnya, tetap kembali ke diri kita masing-masing,” entah mengapa, suara Jongin terdengar lebih lembut, tetapi tetap dingin.

Baekhyun tertawa pelan. Bukan itu jawaban yang ia inginkan, Jongin seharusnya bilang saja kalau ia egois. Ia sudah tidak peduli lagi. Tapi Jongin selalu adil dalam menjawab pertanyaan seperti ini, Jongin tidak pernah menghakimi satu pihak dan mendukung yang lain.

“Jongin,” Baekhyun kini membalikkan badannya dan menatap Jongin yang masih berdiri ditempatnya, tidak bergeser sama sekali. “Dunia ini sungguh tidak adil.”

“Memang. Kau gila kalau mengharapkan keadilan.”

“Aku gay, Jongin-“

Tatapan Jongin kali ini berubah drastis, sedingin es dan setajam silet yang siap melukai Baekhyun kapanpun. Dan Baekhyun tau kalau Jongin sedang serius. Lebih serius dari sebelumnya. “Hanya orang bodoh yang mengharapkan keadilan, karena yang lebih kuatlah yang akan menang,” Jongin mendecakkan lidahnya. “Singa dan kancil, bagimu yang mana yang menang?”

Baekhyun tidak menjawabnya.

“Yang lebih kuat. Yang mana yang lebih kuat?”

“Singa.”

“Salah,” Jongin kini tersenyum. Baekhyun berani bertaruh kalau itu senyum paling mengerikan yang pernah Jongin berikan padanya. Dia mengacungkan jarinya dan menunjukkan ke kepalanya, “Orang pintar akan menang dari orang bodoh. Dan orang kuat akan menang dari orang lemah. Orang lemah bisa menang dari orang kuat karena sebetulnya ialah yang lebih kuat, tetapi orang bodoh tidak akan bisa mengalahkan yang pintar karena mereka bodoh.

“Aku tidak pernah mengerti kata-katamu, Jongin.”

“Aku tidak berbicara tentang kekuatan atau otak, aku berbicara bagaimana orang cerdas menghadapi hidup. Kalau akalmu masih sehat, kau bisa mengalahkan yang terkuat, dan kau akan menjadi terkuat dari yang terkuat.”

Baekhyun menyipitkan matanya, “Jangan berbelit-belit.”

Jongin berjalan mendekati pintu atap, dan untuk terakhir kalinya ia melirik Baekhyun. “Sama seperti halnya kau dan orang-orang disekitarmu. Mereka menganggapmu rendah dan menjijikkan, bahkan sampai menghina dan melecehkan harga dirimu. Tapi jika kau buktikan bahwa kau bisa menjalani hidupmu tanpa terpengaruh oleh hal semacam itu, kau menang.”

Dan setelahnya, Jongin menutup pintu atap dan meninggalkan Baekhyun sendirian.

 

Kedua belah pihak yang saling berkompetisi tidak bisa sama-sama menang.

 

///

 

Yixing berjalan di koridor sekolah, menuju ke kelas untuk mengambil tas dan pulang. Sekolah sudah sepi, hanya klub manga yang masih berada disekolah (setidaknya itu yang Yixing ketahui), tapi anggota OSIS juga masih disekolah, sih.

Yixing sering mengeluh jika berjalan dari perpustakaan menuju kelasnya, karena sangat jauh. Untung saja ia harus melewati ruang musik, biasanya terdengar alunan piano yang indah dari situ. Murid-murid yang berlatih untuk lomba biasanya ada disana setiap hari, dan Yixing suka mengintip mereka.

Anak perempuan yang berparas cantik, berbadan tinggi dan berkulit putih. Ia adalah Jung Soojung. Yixing menyukainya. Dan kali ini pun Yixing ingin melihatnya. Ia berjalan mendekati ruang kelas itu dan membuka pintunya sedikit. Terdengar alunan lagu klasik yang begitu lembut, River Flows in You.

Benar saja. Gadis itu sedang memainkan pianonya, tapi Yixing juga mendengar suara instrument lain. Gitar. Ia tak pernah mendengar kolaborasi antara gitar dan piano yang sebegini indah. Mungkin ia sedikit berlebihan, tapi begitulah yang ia pikirkan.

Dan ketika ia melirik ke sisi lain dari ruang musik itu…

Park Chanyeol sedang memainkan gitarnya.

 

--

 

“Aku tahu kau disana, Yixing,” Chanyeol tertawa kecil saat ia dan Soojung selesai memainkan beberapa lagu. Soojung juga tertawa kecil saat Yixing mulai menggeser pintu perlahan dan menampakkan batang hidungnya. Jelas saja, semua pintu disekolah mempunyai jendela kecil dan siapapun yang mengintip bisa ketahuan, tapi tentu saja, pintu toilet adalah pengecualian.

“Apa yang kau lakukan disitu?”

“T-tidak apa-apa. Aku hanya kebetulan lewat,” jawab Yixing. Melihat tangan yixng yang sedikit bergetar, tawa Chanyeol menjadi makin keras. “Kau gila, yeol.”

“Jangan salah paham, Yixing. Kami hanya berlatih untuk kontes minggu depan. Kami ingin mencoba sesuatu yang baru, bukankah piano yang diiringi gitar terdengar lebih cocok?”

“Yah, sepertinya begitu,” jawab Yixing. Memang benar juga, sih. Karena jika dipadukan dengan biola akan menjadi musik klasik, dan tidak semua murid adalah penikmat musik klasik  seperti Lu Han atau Minseok.

“Oh iya, untung kau ada disini,” Chanyeol memberikan senyumannya yang Yixing selalu anggap sebagai senyuman yang hanya ia berikan jika ingin membunuh seseorang.

“Hah?”

 

///

 

Baek, datanglah ke aula pada saat pulang sekolah

-Chanyeol-

 

Baekhyun menatap kertas yang dipegangnya dari tadi dengan curiga, Chanyeol tidak pernah menuliskan surat jika menginginkan sesuatu. Dan ia hanya merasa bahwa ini hanyalah jebakan yang teman-teman sekelasnya sering lakukan. Juga, tulisan ini bukan tulisan Chanyeol, ia tahu betul. Walaupun Chanyeol suka menulis, tapi tulisannya bukan seperti tulisan kaligrafi atau semacamnya, melainkan tulisan dokter yang tidak bisa dibaca oleh orang lain.

Ini sudah jam pulang sekolah, dan Baekhyun pun bergegas meninggalkan kelas dan membuang kertas tersebut. Ia semakin yakin itu hanya jebakan saat ia melewati tangga menuju aula. Suasana sangat hening, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan dari situ.

/”Hey! Kau ini memang-“/

/”Shhh!”/

Baekhyun mengubah pikirannya saat ia mendengar suara Chanyeol, matanya bersinar dan kakinya melangkah naik ke tangga dengan lebar, bibirnya yang tipis membentuk sebuah senyuman yang mungkin sangat indah dimata semua orang.

Saat ia sampai di depan pintu aula, dan tangannya sudah siap untuk menggeser pintu. Ia tertawa kecil saat mendengar suara langkah kaki dan bisikan-bisikan kecil temannya.

Krek.

Ia tertegun ketika ia membuka pintu dan melihat apa yang ada di aula. Chanyeol yang sedang memetik senar gitarnya dan Soojung yang sedang bernyanyi, walau tanpa menggunakan mikrofon. Mungkin bagi orang-orang mereka adalah pasangan yang serasi, dan Baekhyun tahu itu. Tak mungkin ada kesempatan baginya karena Chanyeol bukanlah orang gay. Tapi Chanyeol yang melihatnya justru tersenyum hangat, Baekhyun juga tahu itu bukanlah arti yang sebenarnya.

Tiba-tiba saja, Soojung mendekatkan mikrofonnya kepada Chanyeol.

“Lagu yang akan kami bawakan pada kali ini, dipersembahkan kepada Baekhyun, orang yang sangat lucu sekaligus lembut, orang yang tak pernah menyerah dan selalu berusaha dengan giat.”

Baekhyun tersenyum.

 

Kau begitu sempurna

Dimataku, kau begitu indah

Kau membuat diriku akan slalu memujamu

 

Disetiap langkahku, ku kan slalu memikirkan dirimu

Tak bisa kubayangkan hidupmu tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku

Tak’kan mampu menhadapi semua

Hanya bersamamu ku akan bisa

 

Kau adalah darahku

Kau adalah jantungku

Kau adalah hidupku lengkapi diriku

Oh sayangku kau begitu, ‘sempurna’

 

Suara Soojung begitu indah, dan petikan senar gitar Chanyeol juga sama. Baekhyun tertegun saat mendengar liriknya, apakah itu benar-benar untuknya? Atau Chanyeol hanya ingin menunjukkan kemampuannya padanya? Tapi itu tidak penting lagi sekarang, ia sudah merasa sangat bahagia.

“Baekhyun, kau adalah teman terbaik dalam hidupku. Tahun ini kita akan lulus, dan aku tak mau kehilanganmu. Aku tidak mau persahabatan yang sudah kita jalin selama ini, putus hanya karena kita berpisah. Baekhyun, bisakah kau berjanji, untuk tidak mening-“ omongan Chanyeol yang sedikit dilebih-lebihkan itu dipotong oleh Jongin yang menarik mikrofonnya secara kasar.

“Kau sadar sekarang?” pertanyaan Jongin membuat seisi aula diam dan tidak berani mengeluarkan kata-kata.

“Baek, kau tidak pernah sendiri. Disekelilingmu ini, selalu ada orang-orang yang menyayangimu dan menerimamu sebagai dirimu, bukan orang lain. Ingat itu.”

Baekhyun menggigit bibir bawahnya, jarinya mengusap air matanya yang ia tak bisa tahan sejak tadi, “Terima kasih.”

Soojung yang sedari tadi terdiam kini mendekati Baekhyun dan memeluknya, “Kami semua tahu keadanmu Baek. Dan kami semua menerimamu, sebagai dirimu, Byun Baekhyun yang rajin dan giat, juga humoris. Dan jangan pernah merasa kecil, karena kita semua sama. Posisi lah yang membedakan kita. Jangan takut Baek, kami semua mendukungmu.”

Soojung merasa tetesan air membasahi kemejanya, dan ia tersenyum. Chanyeol menaruh gitarnya dan mendekati Baekhyun, lalu juga memeluknya, “Kau itu indah dimataku, kau juga indah dimata teman-temanmu. Dan yang terpenting lagi, kami semua temanmu.”

Jongin dan Yixing hanya berdiam diri dan tertawa. Tentu saja mereka juga mendukung Baekhyun, tapi mungkin Baekhyun akan merasa kepanasan karena dipeluk oleh empat orang sekaligus. Baekhyun yang sedari tadi menangis kini menatap mereka dan sibuk menghapus air matanya.

“Terima kasih.”

 

“Karena mungkin, pihak yang kalah  sebenarnya tidak kalah, melainkan menang.

Karena dukungan setiap oranglah yang menemaninya, menyemangatinya, dan mengantarnya ke kemenangan.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Cbhhkscm #1
Chapter 1: Aww, sweet
baekhyunlove599 #2
Chapter 1: Y ampun ceritanya bnr2 menyentuh, persahabatan mereka bnr2 kuat, saling menerima dan mendukung satu sama lain. Dan ku suka karakter dan juga semua perkataan Jongin d sini dan ku jg ketawa ngebayangin muka bosan jongin saat mainin pintu.