Engagement
Marquee Reflection“It hurts to let go, but sometimes it hurts more to hold on.”
-
Sudah sebulan sejak aku menerima undangan pertunangan Sehun dan Junhee. Sudah sebulan sejak aku memutuskan untuk melepaskannya pergi. Sudah sebulan sejak aku menata hatiku kembali menjadi lebih utuh. Sudah sebulan sejak masa lalu dan masa kini seolah tercampur dan terjadi dalam waktu bersamaan dengan membingungkan. Dan sudah sebulan sejak beban di hatiku rasanya lebih ringan, karena membuka hati tidaklah seburuk yang kubayangkan.
Mungkin benar kalau cintaku pada Sehun akan tetap bertahan di dalam hati ini, bagaimanapun juga ia pernah singgah di hatiku dalam waktu yang tidak sebentar. Aku bisa mengatakan kalau aku hampir gila karena terlalu cinta padanya, sampai melakukan hal-hal nekat yang tidak habis pikir pernah kulakukan. Tapi kita tahu, semua yang terlalu, semua yang berlebihan, itu tidak baik. Aku dalam perjalanan untuk menerima kenyataan dan menjalani hidupku dengan benar, di jalan yang seharusnya kulalui tanpa hal-hal nekat yang perlu kulakukan. Cintaku dengan Sehun, biarkan saja menjadi kenangan di hidup dan hati kami, seperti bagaimana masa lalu tertinggal. Mereka hanya perlu di kenang dan dijadikan sebagai pelajaran hidup.
Tepat seperti apa yang Sehun ajarkan padaku setelah hubungan kami berakhir. Bahwa cinta tak pernah salah, cinta memiliki jalannya sendiri-sendiri. Kita tak bisa memaksakan kehendak cinta karena keegoisan semata. Cinta tak pernah salah, terkadang waktulah yang mempertemukan cinta itu di saat yang kurang tepat. Dan cinta selalu berbalas, walau entah di saat yang tidak kita ketahui kapan tepatnya itu akan berbalas.
Aku hidup seperti manusia seutuhnya lagi. Bekerja di toko, berkunjung ke kafe Minseok, pergi ke salon Yoomi, berhubungan dengan Sejin dan... nongkrong dengan Jongin.
Kurasa setelah melepaskan Sehun pergi , banyak sekali yang berubah, dalam artian yang baik tentu saja. Seberapapun besarnya rasa cintaku pada Sehun, toh seiring berjalannya waktu akan memudar juga, dan seberapapun besarnya rasa benciku pada Jongin, ternyata juga luntur karena waktu terus berlalu untuk menyembuhkan.
Aku tidak mengatakan rasa benciku pada Jongin pudar seutuhnya, atau karena aku mengesampingkan hal itu demi menjalani hidup yang lebih baik. Tapi menerima Jongin kembali di hidupku tidaklah begitu buruk, aku bisa memafkan diriku sendiri mengingat apa yang terjadi antara aku dan Jongin di masa dulu.
Dengan semua yang terjadi, aku memutuskan bahwa masa lalu perlu untuk di tutup dan masa kini harus berlanjut dengan lancar.
Tapi ketika Jongin terus hadir di masa kini, keraguan menyelimutiku untuk menutup masa lalu seperti yang kuinginkan. Dan aku tidak menyangkal kenyataan bahwa Jongin kembali membuatku nyaman karena perlakuannya yang hangat, hanya karena Jongin yang sekarang, bukan Jongin yang dulu.
Aku baru berangkat dari apartemenku. Kubaca pesan yang baru masuk ke dalam ponselku dan tersenyum tipis. Kupasang lipstik pink di bibirku lagi untuk yang terakhir kalinya, menyelipkan rambut yang berantakan ke belakang telinga. Aku tersenyum di depan cermin setelah bertahan di sana hampir satu jam lamanya, memoles diri sesempurna mungkin. Walau ini bukan pestaku, tapi siapapun pasti ingin terlihat sempurna, kan? Terlebih saat mendatangi acara pertunangan orang yang pernah kita cintai. Aku tidak berniat jahat sebenarnya, tapi kecil di dalam hati aku ingin menunjukan padanya diriku yang lain, membuatnya merasa beruntung karena pernah memilikiku dan pernah mencintaiku, seberuntung diriku yang telah mengizinkannya melangkah ke dalam hidupku. Aku harus menunjukan pada Sehun bahwa ketika dulu ia memutuskan untuk memilihku, ia tak salah.
Setelah memakai heels dan menenteng tas tanganku, bel berbunyi dan aku segera menuju ke pintu, hanya untuk menemukan seseorang yang sangat menawan dalam balutan baju tuksedonya berdiri di ambang pintu, ditambah lagi dengan rambutnya yang ia sisir ke atas, menampilkan dahinya yang membuatnya lebih tampan dari biasanya. Ia nyengir melihat ekspresiku dan aku menguasai diri untuk tidak terlihat seperti orang bodoh karena pipiku mulai terbakar.
“Wow, kau sangat cantik, Eunjoo.” Katanya terang-terangan, menelusuriku dari kaki hingga kepala, membuat rasa terbakar tidak hanya bertahan di pipiku, tapi juga ke seluruh wajahku.
“Kau juga, Jongin.” Kataku malu-malu. Tapi aku menyesal setelah mengucapkannya. Harusnya aku tidak perlu mengucapkan itu pada Jongin, harusnya aku cukup bilang ‘Terima kasih’ atau ‘Ah, tidak’. Kini kekhawatiran mengalir ke tubuhku, takut kalau ucapanku barusan melambungkan harapannya yang tidak kuterima. Aku menggigit bibir untuk meredakan kekhawatiranku.
Setelah selesai saling lihat, Jongin maju selangkah padaku, meraih lenganku dan membuatku mundur selangkah karena sentuhannya. Satu tangannya yang bebas, merogoh ke saku tuksedonya, mengeluarkan sebuah kotak. Ia membuka kotak itu dengan satu tangan tanpa kesulitan dan menyodorkannya padaku.
Kulihat sebuah gelang perak gelap melingkar di kotak itu, membuatku melongo karena terlihat sangat cantik. “Kuharap kau mau menerimanya.” Jongin berkata, membuatku mendongak dari gelang itu dan melihat senyum hangat terpasang di wajahnya, mengalirkan kehangatan dari senyumannya yang tersalur ke hatiku.
“Kau tak perlu melakukannya, Jongin.” Aku menanggapi, tidak ingin membuatnya kerepotan karena harus memberiku gelang secantik itu, walau sebenarnya aku sangat ingin memilikinya.
“Tapi aku sudah melakukannya. Please...” Jongin memohon. Dan yah, aku tak bisa menolaknya juga, kan? Karena Jongin juga tak akan membiarkanku untuk menolaknya, sangat tipikal Jongin yang segala sesuatunya harus dituruti.
“O-oke.” Ucapku mengiyakan. Lagi pula untuk hal ini, aku tidak keberatan untuk tidak menolaknya.
Jongin berteriak kecil, “Boleh aku memakaikannya?”
“Silahkan.”
Jongin memakaikan gelang yang sekelilingnya terdapat lumba-lumba perak itu ke pergelangan tanganku. Kuangkat tanganku untuk melihat gelang yang terpasang lebih dekat, benar-benar sangat cantik. Serasi dengan gaun berwarna peach yang kukenakan.
“Sangat cantik.” Aku memuji pilihannya yang sangat sesuai dengan seleraku. “Terima kasih.” Ucapku tulus.
“Aku tahu kau akan menyukainya.” Jongin kembali nyengir padaku, memamerkan giginya yang rapi. “Siap untuk berpesta?” Aku mengangguk mantap.
-
Kami sampai di tempat acara setengah jam berikutnya. Teman-teman sudah hadir di sana lebih awal, dan sepertinya aku dan Jongin yang paling terakhir datang. Aku berpelukan dengan Yoomi dan bergabung dengan para wanita. Aku melongo saat melihat perut buncit Haeun yang terbalut gaun berwarna biru langit.
“Haeun! Ya ampun...” aku berteriak histeris dan memeluknya hati-hati. Ia nyengir melihat reaksiku, “Jadi ini hasilnya kau pergi ke Cina berbulan-bulan.” Ledekku.
“Hati-hati nona muda, kau mungkin akan membangunkan pengeran kecilku.” Luhan datang merengkuh pinggang Haeun dan membuatku semakin melongo. Ia mencium puncak kepala Haeun penuh sayang, membuatku iri karena mereka sangat romantis.
“Jadi dia laki-laki? Kuharap saat besar nanti, dia tak akan menuruni kegombalan ayahnya. Ew!” celaku, Luhan meninju lenganku cukup keras membuatku merintih kesakitan, kuusap lenganku untuk menghilangkan rasa sakit dan tertawa bersama.
“Kau juga harus hati-hati ayah muda.” Jongin berdiri di antara aku dan Luhan membawa dua gelas air, memberiku salah satunya dan aku menerimanya.
Luhan tergelak melihat kedatangan Jongin yang tiba-tiba, “Menyingkirlah kalian berdua.” Ucap Luhan mengibaskan tangannya untuk mengusir kami, aku melambaikan tangan singkat pada Haeun dan berjalan dengan Jongin mencari pasangan yang sedang di berkati.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Aku menautkan alis, “Tentu saja, itu tidak sakit, Jongin.”
“Bukan itu,” ia berhenti, membuatku menolehkan kepalaku padanya. “Ah, sudahlah.” Ia mengerang dan tidak melanjutkan pembicaraannya. Aku juga tidak terlalu ingin tahu a
Comments