Junho POV

“Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi pada hidup mereka.”

Bisa dikatakan kalimat itu benar-benar berlaku di hidupku. Sudah 6 bulan sejak Appa mengatakan berita mengejutkan bahwa aku sudah memiliki tunangan. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Bisa-bisanya ia mengatakan kata ‘tunangan’ dengan mudahnya.

Memang benar kata Appa bahwa aku sedang single, tapi hey, itu tidak berarti aku bisa bertunangan dengan siapapun itu. Aku memang jarang keluar rumah, bahkan hampir tidak mempunyai seorang teman apalagi pacar. Bukan salahku, sungguh. Appa lah yang melarangku keluar rumah sendirian tanpa bodyguard. Appa juga yang memaksaku untuk homeschooling dengan alasan demi kesehatanku.

Sejak kecil aku tidak pernah membantah kedua orang-tuaku. Aku selalu membiarkan mereka mengurus kehidupanku karena aku tahu mereka selalu memberikan yang terbaik bagiku, tapi kurasa tidak untuk kali ini.

‘Aku tidak akan membiarkan mereka memutuskan kehidupanku seperti ini.’ Tekadku.

Alarm pagi berdering keras di kamarku. Aku membuka mataku perlahan.

“Sial, aku bermimpi buruk lagi.” Umpatku pada diriku sendiri.

Sudah 6 bulan ini aku selalu saja bermimpi buruk. Mimpi tentang Appa dan juga tunangan yang Appa katakan.

Setelah merasa nyawaku sudah terkumpul kembali, aku bergegas untuk bersiap-siap.

“Nuneo, apa kau benar-benar akan pergi ke sekolah itu? Eomma sedikit khawatir.” Tanya Eomma saat kami sedang sarapan pagi bersama.

“Tentu saja,” Jawabku sambil mengunyah roti panggang isi selai strawberry.

“Selama ini kamu selalu homeschooling, dan sekarang tiba-tiba saja kamu masuk ke sekolah umum. Jika kamu tidak merasa nyaman atau merasa tidak sehat, kamu harus bergegas pulang.” Ucap Eomma.

“Eomma, aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir.” Ucapku menenangkan.

“Benar Junho, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi ke sekolah umum.” Kata Appa sambil menatap lurus padaku.

“Ini salah siapa Appa??” Tanyaku sakartis.

“Tapi, kalau Appa membatalkan pertunangan ini. Aku akan kembali homeschooling seperti yang Appa mau.” Tambahku sambil tersenyum manis.

“Tidak! Itu, Appa tidak bisa melakukannya.”

“Eomma, aku sudah selesai.” Ucapku.

Aku berdiri dari meja makan, mengambil ranselku yang ada di sofa dan berjalan keluar sambil berkata, “Aku tahu situasi Appa tidak memungkinkan untuk menolak pertunangan itu. Tapi aku rasa ini juga tidak adil untukku. Meski begitu, aku mengerti keadaan Appa.”

Appa terlihat senang, “Benarkah? Kalau begitu—“

“Oleh karena itu, aku akan masuk sekolah umum itu. Aku akan bicara dengan tunanganku itu untuk membatalkan pertunangan ini. Dia juga pasti tidak suka dengan pertunangan ini. Aku yakin ia akan mengerti jika aku berbicara dengannya. Karena itu aku akan berusaha keras.” Ucapku tegas.

Appa terlihat ragu, namun ia berkata pelan, “Tidak, kalaupun ia mau, ia tidak mungkin bisa membatalkan pertunangan ini—“

Aku memilih untuk mengabaikan Appa untuk sementara. Berdebat dengannya tidak akan pernah ada habisnya.

“Aku pergi.” Pamitku

“Hati-hati,” Ucap Eomma.

Maaf Appa, sebenarnya aku tidak membencimu. Mungkin hanya sedikit. Aku mengerti betul situasi yang Appa hadapi. Aku juga tahu tidak ada cara bagi kita untuk membatalkan pertunangan ini. Appa juga pasti merasa tidak enak karena ini kan? Karena itulah, aku sudah memutuskan. Aku akan bernegosiasi langsung dengannya!

#ToBeContinued