Miracles In December

Miracles In December

“Sepertinya ini awal bulan yang baik, tapi tidak sama sekali menarik,” aku membuka pembicaraan, menghancurkan keheningan antara aku dan Sehun. Pria dihadapanku sama sekali tak merespon, pandangannya masih tetap fokus melihat ke luar karena meja café yang kami tempati bersebelahan dengan kaca sebagai pembatas daerah luar yang terasa begitu dingin.

“Hmh..” Sehun hanya bergumam lalu melirik dan menggenggam segelas coklat panas, sekedar membuat tangan pucatnya kembali hangat. Anak ini, bahkan aku tak bisa menebak wataknya setelah setahun mengenalnya. Semakin jauh aku bersamanya, maka semakin sulit untuk menebak jalan pikirannya. Yang aku tahu ia hanya sekedar pria tampan dan kepintarannya melebihi usahaku berjuang mendapatkan nilai sempurna.

Aku menatap tingkahnya tak terlewat sedetik pun. Entah bagaimana aku merasakan ada kehangatan dibalik sikap dinginnya pada semua orang. Tapi apakah mengetahui jalan pikiran orang dingin yang sama sepertinya tidak cukup dengan waktu satu tahun saja? Pertanyaan itu, salah satu yang masih mengitari otakku, karena akhir-akhir ini pria tampan itu memenuhi kepalaku.

“Hyung,” Lirihnya tanpa melihatku. Aku tahu karena dari tadi aku memperhatikan gelagatnya. Meskipun kami satu kelas, tapi ia berada setahun di bawahku.

“Mhh..” responku.

“Bisa kau antarkan aku pulang?” pintanya masih memperhatikan gelas yang mungkin sudah mulai dingin karena genggaman tangannya yang begitu beku.

“Baik, ayo.” Aku berdiri mendahuluinya. Pandanganku masih terus melihat tingkah Sehun yang lemas sekarang. Ada apa dengan anak ini, mata indahnya itu seperti tertutup rapat agar tak ikut berbicara seperti hati dan mulutnya.

Ia berdiri gontai, entahlah mungkin ia sedikit pusing karena cuaca memang tidak mendukung untuk keluar rumah. Atau bahkan sakit.

“Kau baik-baik saja kan?”

Tawaran rangkulanku disambutnya dengan senang hati, tak menolak seperti biasanya. Baru kali ini aku melihatnya pasrah. Biasanya memang Sehun sangat dingin dan tak ingin menerima sentuhan dari siapapun.

Ia tak menjawab lagi.

“Lebih baik kau pentingkan tubuhmu dan lupakan sikap dinginmu padaku.”

Aku mengetahui bahwa Sehun melihatku. Melihatku dengan tatapan dalam. Tapi aku sengaja mengalihkan pandanganku pada sepatu yang dikenakan Sehun, ia tidak melangkah sama sekali. Dan aku tahu ia demam, suhu tubuhnya pun berbeda jauh sepertiku bagaikan nilai mata pelajaranku berbanding dengannya.

“Aku akan membantumu dengan senang hati,” ucapanku begitu saja keluar dan refleks menggendongnya di punggungku. Hangat dan tenang rasanya. Belum pernah aku sebahagia ini menggendong seseorang di belakangku, apalagi ini pria, bukan wanita yang biasanya aku tolong jika pingsan. Aku bisa mengetahui mana orang sehat dan sakit. Jangan ragukan itu karena aku, ketua Palang Merah Remaja di sekolahku.

Aku terus mengangkat tubuhnya menuju parkiran motor. Jujur saja, aku sangat merasa bersalah karena telah mengajaknya keluar rumah dan tidak bisa mengendarai mobil. Ini pasti sangat berpengaruh pada kesehatan Sehun, karena aku membawanya pulang dengan motor matic ku pasti angin siang ini akan menusuk kulit bahkan sampai ke tulangnya.

“Sehun,” aku memanggilnya dan dengan respon seperti sebelumnya. Deru napas Sehun menggelitik leherku, ya mungkin ia tertidur. Apa yang ia lakukan seharian ini? Tapi menurutku tidak terlalu berat.

Aku berusaha menjangkau kunci motorku di saku celana yang sulit untuk diambil, tentu saja Sehun masih mendekap di belakangku. Aku meliriknya sedikit, wajah lelahnya sangat terlihat. Kemudian aku ingat, bagian belakang motorku terdapat bagasi kecil yang sengaja aku isi dengan mantel dan kain tebal seperti shall antisipasi jika tiba-tiba dingin. Segera saja aku memanfaatkan itu untuk dikenakan Sehun.

Ku dudukkan Sehun dengan perlahan sambil mengenakan mantel itu padanya. Setelah itu aku bersiap, mengingat aku hanya membawa satu helm, aku kembali pada posisi Sehun memakaikan kupluk coklat yang aku kenakan sebelumnya.

“Nah, dan ini untuk mengikat pinggangmu padaku agar kau tidak jatuh.” Ucapku sedikit memecah dinginnya udara yang begitu menusuk kulit dan mengikatkan dengan kuat.

*

“Terimakasih banyak telah mengantarnya pulang.” Ucap pria paruh baya itu yang tak lain keluarga dari Sehun, tapi pria itu bukan ayahnya.

“Ah tidak masalah, paman.” Benar, Lee Yi Kyung, sudah ku anggap seperti paman kandungku.

“Sebaiknya kau jangan pulang dulu, di luar cukup dingin. Aku akan membuatkanmu teh hangat. Kau santai saja, kalau perlu kau nyalakan saja tv nya.” Ujar paman Yi Kyung menahanku. Kenyataannya diluar sangat dingin, aku memutuskan untuk sekedar berteduh sambil menunggu Sehun bangun.

“Baiklah paman, tapi bolehkah aku menunggu Sehun di kamarnya?” pintaku.

“Tentu,”

Mendengar jawaban dari paman, sesegera mungkin aku memasuki kamar Sehun. Hmm, aroma kamar ini sudah sangat familiar bagiku. Hiasan kamarnya juga tak jauh beda dengan style yang ku pilih untuk dekorasi kamarku juga. Ya, kami Soccer mania.

Terbaring seorang pria berkulit putih susu dan rambut blonde nya yang sedikit membuka sehingga terkesan manly. Aku hanya selalu tersenyum jika melihat pria yang paling dibenci oleh teman sekelas kami karena terlalu dingin dan cuek dan diam-diam menjatuhkan lawan akademik nya termasuk aku.

“Apa yang salah denganmu? Kenapa kau itu tak mempedulikan sekitarmu? Tidakkah kau sadar, banyak orang yang peduli padamu, tapi dengan caramu seperti ini kau jadi merasa teracuhkan bukan?” aku memancingnya agar bangun, namun usahaku percuma. Ini juga termasuk salahku membuatnya ia terlalu lelah sampai-sampai ia belum sadar. Suhu tubuhnya belum juga menurun, wajahnya tetap seperti sebelumnya. Aku menaruh kompresan yang sudah aku peras ke dahinya. Kemudian menggenggam tangan kirinya yang dingin.

“Aku akan menunggu, semoga itu termasuk tanggung jawabku.”

***

 

“Oh kau datang, nak. Bagaimana hari mu?” sapa ibuku yang setia menungguku datang di ruang tamu.

“Ah, ibu. Hmm menurutku biasa saja.” Jawabku sambil melepaskan sepatu dan kaus kaki.

“Terjadi sesuatu?”

“Aku rasa, ya.”

“Ada apa? Apa kau terluka? Apa nilai harianmu jelek?” Tanya ibuku lebih seperti mengintrogasi.

“Sehun hari ini tidak masuk, ini semua karena salahku.”

Aku tak bisa membayangkan, aku kira Sehun hanya terlalu lelah sehingga hanya cukup istirahat. Tapi kehendak berkata lain, ia tidak masuk tanpa memberi kabar pada guru apalagi aku. Sehun pasti sedang menggigil sekarang. Sungguh ini salahku.

“Lagi-lagi kau menyebutkan nama itu. Seberapa berartinya Sehun itu bagimu, huh?”

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Dia sahabatku! Dia anak baik-baik.” aku sedikit menyentak meskipun nada bicara ibu itu halus. Dan kenapa pertanyaan itu terlontar enak, aku tidak tahu.

“Sudah, ibu hanya bercanda. Dan tidak baik kau merutuki dirimu karena itu bukan sepenuhnya salahmu. Sekarang, cepat ganti baju dan makan. Ibu sudah menyiapkan ikan bakar kesukaanmu.”

Aku berjalan menuju kamarku yang tak jauh dari ruang tamu. Aku menaruh tas di kasur dan segera mengganti baju dengan baju santai.

 

Siulan dan langkah kakiku menggema di rumah yang begitu sepi. Karena hanya aku, ibu, Jongin anak dari pamanku, dan Choi Sami yang tinggal di istana sederhana rancangan almarhum ayahku. Jongin belum pulang karena jadwal basketnya hari ini dan kebetulan Sami tidak bekerja karena rindu pada orangtuanya di Incheon. Sami adalah salah satu pekerja yang membantu ibuku di rumah jika ibu pergi bekerja mengurus toko kue di pusat kota, maka dari itu hari ini ibu yang mengurus rumah. Mungkin besok Sami juga sudah ada disini.

Langkahku terhenti ketika sudut mataku menangkap sosok ibu di balik celah pintu yang terbuka, tengah duduk di ranjang kamarnya, menangis sambil melihat selembar foto yang akupun semakin penasaran melihat tingkah ibu seperti itu. Seperti ada yang hilang dari ibu, terlihat begitu sedih. Apa sebenarnya gambar itu? Siapa orang yang membuat ibu menangis? Tanpa pikir panjang aku mencoba masuk.

“Ibu kenapa?” tanyaku sedikit mengulur to the point.

Ia terperanjat. Tangisannya terhenti dan seketika menggusap pipinya yang basah oleh air mata. Dengan cepat ibu menyembunyikan selembar kertas foto itu di bawah bantal. Untuk kali ini ibu gagal menyembunyikannya dariku.

“Eh Luhan, kau sudah makan?”

“Belum. Apa itu tadi?” aku tahu ibu mencoba mengalihkan pembicaraan tapi aku masih penasaran dengan kertas foto itu.

“Bukan apa-apa, itu hanya daftar belanjaan untuk membuat kue baru hasil eksperimen ibu. Oh iya, jaga rumah ya, ibu akan pergi membeli bahan. Jika Jongin sudah tiba suruh ia makan. Apa kau perlu menitip sesuatu?” Ibu sukses berbohong.

“Hmm, baik. Boleh aku titip satu pot bunga segar? Jika keberatan aku bisa mengganti uangnya nanti.” Apa boleh buat, aku tak seharusnya ikut campur urusan ibu. Lebih baik aku memikirkan Sehun yang demam karena perbuatanku.

“Baiklah, dan tak usah kau ganti uangnya. Anggap saja ini hadiah awal bulan.”

Ibu terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum membalasnya dan langsung menghampiri piring kosong yang sudah tersedia. Menyambar 3 sendok nasi dan ikan tersebut dengan sumpit. Sungguh nikmat dunia yang tak bisa aku tinggalkan. Menakjubkan.

Di tengah lahapnya aku menyuap makan siangku, aku kembali ingat kejadian beberapa menit sebelumnya. Ya, foto itu. Aku tak bisa menahan diri untuk menyelesaikan makananku. Mungkin aku bukan tipe orang penyabar dan berpikir panjang dalam melakukan segala hal. Segera saja aku masuk ke kamar ibu, tentunya beliau sudah pergi.

“Maaf ibu, tapi aku tak bisa membiarkanmu sedih seperti tadi.” gumamku memasuki kamar.

Betapa terkejutnya diriku, ternyata gambar itu memuat foto ketika umurku 4 tahun, dan hey, siapa orang di sebelahku? Kenapa aku tak mengingat apapun tentang foto ini? Mungkinkah ini Jongin? Mungkin iya jika Saudaraku dan mungkin tidak, ini teman saat aku taman kanak-kanak.

Ibu menangis karena aku? Benarkah? Apa mungkin aku tadi sedikit menyentak dan membuatnya sakit hati? Anak macam apa aku ini sampai membuat ibu menangis? Berbagai pertanyaaan berputar di otakku. Mungkinkah karena aku?

Tak lama, aku mendengar seperti ada yang mengutak-atik meja makan. Kucing? Ah, kucing jalanan itu benar-benar membuatku frustasi.

“Hell yeah,The Black Cat caught on my eyes!” teriakku memekakkan seluruh penjuru rumah memergoki yang aku maksud ‘Kucing Hitam’ tersebut.

“Terlalu lapar aku untuk meladenimu, sayang.”

“Cih, menjijikan. Manusia macam apa kau ini Jongin! Tak ada sopannya kau terhadapku!” Jongin, si ‘Kucing Hitam’ itu sedang menghabiskan sisa makanan yang aku tinggal hanya sebentar. Seperti hantu. Mengerikan.

“Maaf hyung, tapi aku sungguh lapar,” keluhnya dengan wajah aneh dan posisi tangan memegang perut. Kasihan.

“Lupakan. Setidaknya aku puas melihat masa kecilmu yang imut hari ini.”

“A..apa maksudmu?” Sungguh, ini pemandangan langka. Jongin berkeringat berlebihan? Haha.

“Kenapa wajahmu begitu? Tuhan, ada apa dengan Jongin hari ini,” ucapku sedikit meledek.

“YA! KAU PASTI MELIHAT FOTOKU WAKTU KECIL, IYA KAN?! KEMBALIKAAAAN!” Teriak Jongin frustasi. Tapi aku semankin tidak mengerti dengan sikapnya yang hmm, 90 derajat berubah.

“Kau ini kenapa sih?!” balasku tak mau kalah.

“Hyung, jangan coba main-main!”

“You can choose, Crazy or Stupid?!” balasku lagi dengan sedikit penekanan dan mengangkat tangan memperlihatkan selembar foto yang sebelumnya aku ambil dari kamar Ibu.

Sontak Jongin berdiri mengambil foto di tanganku cepat. Gila. Jongin mempunyai kekuatan teleportasi sepertinya.

Ia memfokuskan pengelihatan pada foto itu. Aku hanya berdiri santai dan mengatakan bahwa ia semasa kecil sangat imut. Aku bahkan melupakan wajahnya, ingatanku sempat hilang karena kecelakaan seminggu setelah aku menginjak sekolah dasar. Namun beberapa saat kemudian ia hanya tersenyum tenang.

“Ya.. itu benar dirimu kan?” tanyaku bingung melihat Jongin kembali seperti sedia kala.

“Hmm.. begini Hyung. Kalau aku boleh jujur, ini foto masa umurku setahun di bawahmu.” Ia sama mempertunjukan foto yang ia keluarkan dari dompetnya. Sedikit ragu bagi Jongin mengeluarkan foto tersebut karena foto itu menjelaskan bahwa semasa kecil Jongin berkulit hitam berbeda jauh dengan orang di sampingnya, Kyungsoo hyung. Aku hampir meledak.

“Ya Tuhan. Kau hitam! Tak ada bedanya seperti sekarang.” Sungguh aku ingin menghancurkan mentalnya.

“Jadi siapa yang dimaksud anak yang kau rangkul itu?” pertanyaannya menyadarkan aku dari kejahilanku.

“Dan, perlu kau ingat. Aku belum pernah bertemu denganmu sampai kepindahanku ke rumahmu. Dulu Appa tidak mengijinkanku menjengukmu saat kau kecelakaan karena aku masih terlalu kecil sehingga aku hanya dirumah bersama Kyungsoo Hyung. Padahal aku sangat ingin bertemu saudaraku yang kata Appa sangat baik ini. Beruntung saat itu Kyung Hyung sedang libur sekolah memperingati datangnya natal sewaktu SMP. Jadi bisa menemaniku di rumah. So, I don’t know anymore about you.”

Benarkah? Aku belum pernah bertemu Jongin sebelumnya?  Hatiku tersentak. Aku membulatkan mataku, aku semakin bingung. Pikiranku juga semakin kalut. Apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pria yang aku rangkul di foto ini. Menurutku ini tidak mungkin teman TK, karena aku dan pria kecil ini tidak jauh berbeda. Wajar saja jika tidak ingat sama sekali karena hilang ingatan.

“Sudah. Kau lanjutkan saja makanan mu.”

Aku sengaja memutuskan pembicaraan karena aku yakin pasti semakin kepikiran.

***

 

Sudah hari keempat Sehun belum masuk sekolah. Dan bodohnya juga diriku belum bisa menjenguknya. Apa yang aku lakukan hingga empat hari ini Sehun tak sekolah? Jujur saja aku rindu melihat wajah dan tingkah dinginnya. Akupun merasa bersalah. Setidaknya aku melihat batang hidungnya, tapi aku juga disibukkan dengan toko kue ibu yang ternyata hasil eksperimennya laris keras. Jongin dan Sami pun ikut membantu.

Aku selalu membawa bunga yang aku pesan pada ibu tiga hari kebelakang. Entah kenapa, ibu membeli mawar putih dan mawar pink, hasil persilangan mawar putih dan merah dicampur dalam satu pot. Menakjubkan, itu memang favorit Sehun. Meskipun Sehun besikap dingin, tetapi dibalik sifat menyebalkan itu terdapat hati yang lembut seperti bunga tersebut. Anehnya, ternyata ada juga bunga yang mekar pada musim dingin. Sisa dari musim sebelumnya? Haha entahlah.

Jika aku sedang tak diberi tugas oleh ibu, aku pasti memandangi bunga dan menyiraminya jika sore tiba. Yang biasanya aku menghabiskan waktu  di halaman belakang toko dengan Jongin, kini aku hanya duduk memikirkan pria itu. Jongin pun merasa ada yang aneh dariku. Tapi ia masih melanjutkan basketnya.

“Hai aneh.”

Di saat aku terenyuh dalam lamunan, orang gila itu menhentakan jantung sekaligus tubuhku. Benar saja, dia melempar bola basketnya ke arahku. Untung saja tidak menyentuhku apalagi pot bunga untuk Sehun.

“GILA!”

Sepertinya sudah biasa aku dan Jongin seperti ini, ia sudah ku anggap sebagai adik kandungku. Seperti kucing dan anjing.  Jika di pikir lagi, kasihan dia, orangtuanya sekarang tinggal menyusul  Kyungsoo Hyung di Amerika. Tentu saja, Kyungsoo Hyung sangat cerdas dan pintar sehingga ia menjadi mahasiswa di Harvard dan hidup bahagia dengan istri dan anaknya. Suatu hari akupun bisa mengikuti jejaknya.

Dan Jongin kenapa ia tinggal di rumahku, ia ingin menamatkan pendidikannya di Korea. Ia belum siap jika harus ke luar negeri mengingat kemampuan Jongin juga yang terbatas. Jadi sejak masuk SMA ia tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Meskipun sekolah kami berbeda, aku akan menjemput dan hangout bersama setelah pelajaran berakhir jika sempat.

“Kau akhir-akhir ini aneh, Hyung.” Jelasnya tanpa babibu.

“Akhirnya kau pun merasakan juga.”

“Memangnya kenapa?” Jongin pun sekarang duduk disampingku yang juga ikut menatap bunga tersebut.

“Sudah empat hari ini Sehun tidak sekolah.” Aku menatapnya, memperhatikan keringat yang mengucur di pelipisnya membuatku geli.

“Sehun lagi?” Tanya nya dengan nada sedikit berbeda.

“Hmh,” aku menundukan pandanganku, “Ini termasuk salahku.”

“Sudahlah kau jangan merutuki dirimu. Kenapa kau tidak jenguk saja?”

“Kau tahu? Kita disibukkan dengan toko usai pelajaran. Kita juga jarang sekali menghabiskan waktu bukan? Dan jika aku menjenguknya di malam hari, aku takut mengganggu ketenangan keluarganya.”

“Kalau aku antar bagaimana? Aku akan coba meminta izin pada ibumu.”

“Jika permintaanmu ditolak?”

“Serahkan saja padaku, aku tak mungkin ditolak!” ia menjawab dengan percaya diri.

“Benarkah? Baik, aku percaya padamu. Terimakasih baby.” Hihihi sungguh tidak kuat melihat ekspresinya setelah aku mempertunjukkan wink ku padanya. Kkamjong kkamjong..

*

“Berhasil bukan? Hitam, tapi bisa diandalkan!” ujarnya sambil menyetir motor membanggakan diri.

“Terserah. By the way terimakasih!” balasku dengan tepukan pada helm yang ia kenakan.

“AHH SAKIT!” ia berteriak tanpa melihat jalan sehingga motorku sedikit oleng.

“Eh eh lihat jalannya!!! Aduh kau ini bisa menyetir tidak?!”

“Kau juga, kalau mengajakku bergulat jangan disini apalagi seperti ini!” balasnya menggeram.

“Sudah! Setelah ini kau belok kiri.” Ucapku tak menanggapi pembicaraan sebelumnya dan memberi arah rumah Sehun.

*

“Busan?”

“Ya, baru tadi pagi ia berangkat.” Jawab paman Yi Kyung.

“Ya Tuhan, apa yang ia lakukan disana? Sehun baru saja sembuh dan pergi sejauh itu.” Ekspresiku mungkin sudah berubah sekarang, Jongin yang duduk di sebelahku hanya diam memperhatikan pembicaraan aku dan paman.

“Maafkan paman, Luhan. Paman tak bisa memberitahu apapun tentang hal ini. Ini urusan dia, paman pun tak berani ikut campur,” jelasnya.

“Aku harus segera menyusul.” Aku bangkit, menyimpan pot bunga tersebut di meja dan segera keluar.

“Hyung jangan!” “Luhan jangan!” Mereka serentak mencegahku.

“Kenapa?” tanyaku membalik badan frustasi.

“Biarkan dia, ia sudah besar. Ia sudah bisa mengurus urusannya sendiri bukan?”

“Benar hyung, kau sama saja ikut campur urusannya. Lagipula kita belum ijin pada bibi.” Sambung Jongin membenarkan ucapan Paman.

Ada benarnya apa yang dikatakan mereka. Aku tak mau terkesan seperti orang yang datang tiba-tiba dan mencampuri urusan hidupnya. Lebih baik aku pikirkan matang-matang untuk membawa Sehun kembali ke Seoul. Ini aneh, aku khawatir sangat berlebihan.

“Baik kalau begitu, kami izin pulang dulu paman, hari sudah mau malam. Aku titip bunga ini pada Sehun jika sudah pulang. Tolong rawat dengan baik. Aku akan menyampaikan izin pada pihak sekolah besok.”

“Hati-hati, hari semakin dingin.” Kemudian kami membungkukkan badan pada paman.

***

 

Malam itu malam yang paling dingin dari biasanya. Menggunakan jaket berlapis seperti ini juga nihil. Kami, aku dan Jongin menyalakan api pada tungku yang telah terhias oleh suasana natal. Kami saling menghangatkan satu sama lain, berbagi selimut, dan makan ramen panas juga pedas pun terlaksana.

Kabar baik pekan ini, rencananya keluarga Jongin akan datang ke rumahku. Sungguh tak sabar menanti datangnya hari natal karena pasti akan sangat ramai. Kita bisa berbagi kado natal, berbagi pengalaman dan tentunya aku bertemu dengan keponakanku yang sudah aku nantikan sejak setahun lalu.

“Aku tak sabar melihat Kyungsan!” ujarku girang.

“Hmh aku juga ingin melihat wajahnya, apakah seperti Kyungsoo hyung atau Soo Ryeon eonni, hihi.” Ia mengangguk semangat.

“By the way, you will make a surprice for them? Because it’s all about your family so I just can help you.” Tanyaku dengan aksen seadanya.

“Actually, aku juga berpikir seperti itu, tapi aku tak punya banyak modal. Uangku habis karena kemarin aku membeli kaos yang sama seperti pemain basket favoritku.”

“You don’t say! It must be Kris. Hell yeah, kau terlalu berlebihan,” Sungguh tak disangka ternyata sebegitu fanatiknya saudaraku tercinta ini dengan Kris. Salah satu atlit basket ternama di Korea. “Mending juga kita pesan baju yang sama, dan menjadi Couple of Saturday.”

“Menjijikan.” Tutupnya dan berlari ke kamar.

Akhir malam ini ditutup dengan keisenganku lagi. Sepertinya diriku ini memang ‘Trouble Maker only for Kim Jongin’ haha.

Aku segera menyusul Jongin ke kamarnya. Malam ini aku ingin sekali tidur disamping Jongin. Entahlah aku rindu memeluk seseorang, mungkin karena aku hanya anak satu-satunya atau aku sudah jarang memeluk tubuh hangat seorang ayah.

"Jonginie.. Baby, can i hug you just tonight?"

Oke Jongin sudah mendekur, cih.

Dengan cepat aku menghampiri kasur yang menyisakan sedikit wilayah untukku, sepertinya Jongin tahu perasaanku, kkk.

Akupun menarik selimut kemudian menyelimuti tubuh Jongin dengan posisi menelungkup, dari reaksinya ia terlihat sangat kelelahan, yah aku maklumi ia sangat sibuk hari ini. Setelah itu aku menyelimuti diriku sendiri dan merebahkan tubuhku sembari menatap langit-langit kamar Jongin.

Menerawang sebentar sebelum tidur, dan bayangan yang muncul adalah Sehun. Aku jadi ingat, belum ada kabar sampai hari ini tentang Sehun. Apa kabar ia di Busan? Aku jadi khawatir kenapa sampai hari ini ia belum pulang. Aku harus mengunjungi paman besok dan semoga Sehun sudah di rumah.

***

 

"YA JONGIN-AH PPALI!"

Aku sudah bersiap di depan rumah menaiki motor sementara Jongin entah melakukan apa di dalam sampai aku berbicara dengan nada tinggi seperti ini. Perasaanku tak enak. Aku terus meremas stang motor dan sesekali memutar tungkai gas pada genggaman tangan kananku. Suara geraman gas motorku, walaupun hanya motor matic biasa, seperti melambangkan hatiku yang tercambuk. Perih, panas, dan sesak.

"YA JINJJA PABO PPALIWAA!!"

Aku masih berteriak terus sampai akhirnya Jongin keluar dengan penampilan setengah jadi. Maksudnya, pakaian dan alas kakinya masih belum ia kenakan sepenuhnya. Malah ia masih mengenakan seragam sekolahnya.  Rambutnya pun masih sedikit teracak. Seketika aku menurunkan kadar emosiku. Aku jadi merasa kasihan, ia telah banyak membantu Ibu sementara aku pergi kesana-kemari semauku. Dan faktanya pasang mata Jongin tidak beraturan karena ia aku paksa agar bangun dari tidur siangnya.

-

"Luhan, ibu ingin berbicara denganmu."

Ibu sedikit berteriak memanggilku dari meja makan.

"Ada apa bu, sebentar."

"Ini makan siangmu sudah siap."

Aku menghentikan game sementara dan mengajak Jongin makan siang, tapi ternyata Jongin sudah melakukannya ketika aku belum pulang sekolah. Hatiku sangat gembira karena hari ini terakhir aku sekolah menyambut natal, dan Keluarga Jongin sedang dalam perjalanan ke Korea. Aku langsung menghampiri ibu dan meninggalkan Jongin yang tidur pulas di kamarku.

"Makan ya nak, sambil kau makan ibu mau berbicara agar tak sedikit tegang."

Maksud ibu apa.

"Memangnya ada yang salah? Jika ini serius aku akan menunda makananku dulu."

Dengan gugup ibu memulai pembicaraan, "Mm begini,"

Aku memperhatikan ibu dengan bahasa tubuh yang aneh seakan tak nyaman dengan posisinya saat ini.

"Sekitar 11 tahun lalu...

.

"Hyung ayo aku ingin bubble tea!" serunya sambil menarik-narik bajuku.

"Sebentar, aku sedang mengerjakan tugas pertamaku, Hunnie" jawabku masih terus melanjutkan pr ku di meja belajar.

Sehun kecil berujar lagi, "Ah hyung! kajja! Aku sudah mengumpulkan uangnya. Aku juga akan membayar milikmu!" ia masih menarik-narik bajuku seperti tadi. Lalu aku menoleh padanya sedikit menunduk. Sehun terlihat sedikit memelas. Wajahnya sangat imut. Adikku sungguh lucu.

"Baiklah, aku izin pada ibu dulu ya.."

"Hyung," Sehun menahanku. Aku kembali menoleh padanya. "Aku mohon jangan bilang pada ibu. Ibu tadi tidak mengizinkanku. Hyung aku mohon hanya sekali saja.."

Aku tak kuasa melihat ekspresi wajah adik kecilku satu-satunya ini. Aku turuti saja permintaannya lagipula sudah lama ibu tak memberi bubble tea seperti biasa. Malah sudah tidak diperbolehkan.

"Geurae kajja!" balasku semangat.

.

"Enak?" tanyanya.

Aku hanya menggerakan kepalaku.

Kemudian kami bercengkrama sambil menyusuri jalan pulang.

Saat kami melewati sebuah toko mainan, pandangan kami tertuju pada tempat tersebut. Sejenak kami berhenti karena tertegun dengan mainan yang sudah lama aku inginkan. Tapi aku sadar, kami tak sepeserpun membawa uang. Bahkan tak ada uang sisa dari membeli bubble tea.

"Ayo pulang, hunnie." ajakku meninggalkan tempat tersebut yang malah semakin membuatku ingin membelinya.

Aku menggandeng tangan Sehun, dengan berat hati ia mengekorku. Aku tahu. Pasti Sehun ingin membeli robot mainan tersebut.

"Tunggu hyung. Tapi bisakah kau membelikanku Bumblebee?"

Oh, benar saja. Robot Transformers itu berhasil memikat hati Sehun.

"Aku ingin membelinya untukmu. Tapi aku tak bawa uang." jawabku polos.

Sungguh di luar dugaan, ternyata Sehun tak berhenti sampai situ. Ia terus memaksaku bahkan sekarang menangis. Aku mencoba menenangkannya sebisa mungkin. Tetapi lama kelamaan aku menjadi kesal.

"Geumanhae Sehun-ah!"

"Aniyo! Aku mau Bumblebee!" ia menyeretku ke toko mainan tadi.

Lepas kontrol, aku langsung menggendongnya paksa di punggungku. Tentu badan Sehun jauh lebih kecil dibanding dengan tubuhku walaupun hanya berbeda satu tahun. "Kita pulang dulu, aku tak membawa uang. Tolong mengertilah Sehun!"

Aku berjalan. Sehun masih memukul punggungku seperti sebelumnya. “Luhan hyung jahat!”

“Sehun, kau ini jangan seperti anak kecil!”

Tanpa disangka Sehun melompat dari punggungku dan melempar bubble tea miliknya yang masih tersisa padaku. Tak lain kemeja yang aku kenakan menjadi basah dan lengket.

Sehun berubah drastis. Sehun yang biasanya sering membuatku tersenyum sekarang menjadi brutal karena robot mainan itu. Aku tak mengerti.

“AKU BENCI PADAMU!”

Ia berbicara layaknya sebuah drama romantis saat adegan dimana salah satu pihak tak mengerti keadaan lawan mainnya.

 Dan ini, hal yang juga sangat dramatis.

Sehun mendorongku sekuat tenaga. Sehun brutal, itu benar.

Aku tersungkur ke jalan raya yang ramai saat itu.

Sorot lampu mobil membuyarkan pandanganku.

Mataku terpejam. Tubuhku terasa terhempas.

Kecelakaan maut tak terhindarkan.

.

 

… Saat itu ibu melihat tubuhmu terhempas oleh hantaman truk besar,”

Kepalaku sedikit pening mengingat kejadian bertahun-tahun lalu yang kronologisnya telah diceritakan ibu. Ya, aku ingat! Saat itu aku bersama SEHUN! Adik kecilku..

Aku masih memijat ringan kepalaku, “Sa-sayang kau tidak papa?” tanya ibu kemudian.

“Nan gwenchana, eomma. Lanjutkan saja..” pintaku.

“Eung.. Ibu menangis melihatmu bersimbah banyak darah dari kepalamu karena terbentur trotoar. Saat itu ibu sangat panik, tak tahu harus meminta bantuan pada siapa karena tempat itu cukup sepi, namun akhirnya seseorang datang melihat kemudian ia menghubungi rumah sakit agar segera mengirim ambulan ke tempat kejadian.”

Mataku berkaca-kaca, pandanganku kabur melihat ibu yang juga telah menitikan air mata. Sebegitu paniknya ibu karena aku telah merepotkannya. Dan beruntungnya ada orang yang berbaik hati membantu ibu. Suatu saat jika aku bertemu dengan orang itu, aku akan sangat berterimakasih padanya.

“Dan sebenarnya ketika ambulan sudah datang, Sehun yang sebelumnya hanya diam melihatmu tak sadarkan diri di jalan mengikutimu masuk ke dalam ambulan. Tapi ibu memaksanya keluar..”

.

“Luhan hyung maafkan Sehun.. hiks hiks.”

“Lihat apa yang kau lakukan Sehun! Tak bisakah kau mengikuti sikap kakakmu yang baik, huh? Kau tak pantas menjadi adik dari Oh Luhan! Kau terlalu jahat untuk ukuran kakakmu dan tak bisa mengerti keadaan! Sesali hidupmu! Kau jangan mengikuti kakak dan ibu!”

“Eomma mianhae..” teriak Sehun kecil lemas pada ambulan yang membawaku semakin menjauh dari Sehun.

.

 

Aku menangis sejadi-jadinya.

“Luhan, ibu minta satu hal. Tolong cari dan bawa Sehun pulang. Ibu sangat menyesal saat itu meninggalkan Sehun sendirian di jalan. Ibu terlalu berlebihan pada Sehun. Tolong Luhan, ibu rindu padanya.”

“Dan makanya kenapa jika kau menyebutkan nama sahabatmu, Sehun, ibu selalu mengeluarkan kata yang tak seharusnya. Karena jika mendengar namanya, ibu pasti menangis, menyesal atas kejadian yang telah lama. Secara tidak langsung ibu mengusirnya, Luhan.” Tangis ibu semakin menjadi pada kalimat terakhir.

Aku menjadi ingat pada Sehun. Apakah mungkin Sehun, sahabatku, teman kelasku, tim club sepakbola, sekretaris osis sekolahku, pria berkulit putih susu yang aku kenal setahun lalu sebagai murid pindahan, yang berhasil mengalahkan akademikku, itu adik tercintaku?

“Tenang ibu, tenang. Aku pasti mencari Sehun. Tapi, apakah mungkin Sehun yang sering aku ceritakan pada ibu, adikku?” pertanyaanku seketika direspon dengan mata terbelalak milik ibu. Jelas terlihat ibu kaget juga bahagia.

“B-bagaimana ciri-ciri Sehun? Putih? Bibirnya mungil? Dia sangat senang berkebun dengan ayah dulu. Ia suka bunga mawar.”

“K-kenapa? Kenapa harus Sehun? Lee Sehun. Adikku. Kau Oh Sehun bukan Lee Sehun!”

Tak lama ponselku berdering. Kulihat deretan nomor tak dikenal menghubungiku. Segera saja ku angkat, sedikit aneh karena panggilan itu terkesan seperti tak sabar untuk dijawab.

“Yeobose-“ pembicaraanku terpotong oleh suara tak jelas di sebrang.

“…………………………………….”

“Se-sehun? SEHUN-AH?!”

“……………………………………”

“YA! Sehun! Kau kenapa? Kau dimana?”

Tut tut tut

aku segera berlari ke kamar, meninggalkan ibu yang melihatku bingung. Aku segera mengambil jaket, dompet dan kunci motor, tentunya aku segera membangunkan Jongin agar ikut padaku. Jujur saja aku takut jika harus ke Busan sendirian.

-

Bodoh.

Seharusnya aku tenang, tidak seperti ini.

Mementingkan diri sendiri. Aku egois.

“Kau masih punya jaket?” tanya Jongin sambil memelukku kedinginan.

“Maaf Jongin telah membuatmu kedinginan..,” aku menyesal. “ Ini kau pake saja jaketku.”

*

Hari semakin gelap, tapi Sehun belum kunjung kami temukan. Ini sudah satu jam dari saat kami sampai Busan. Kami menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam. Itupun dengan kecepatan yang kurang wajar.

Tentu, semakin gelap semakin panik. Malah semakin dingin dan juga semakin susah untuk mencari sinyal. Aku sudah mencoba melacak tempat Sehun berada dengan nomor telepon tak dikenal tersebut, mencari ke daerah terpencil di Busan maupun di pusat kota sekalipun tetap hasilnya sama.

“INI GILA! SEHUN DIMANA KAU!?”

Aku berteriak frustasi. Aku yakin pasti terjadi sesuatu pada Sehun.

“KENAPA KAU NEKAT SEKALI DATANG KE SINI? KENAPA?!”

Lelah setelah mencari Sehun kemana-mana, aku duduk lemas di pinggir sebuah café yang bahkan sebentar lagi sudah mau tutup. Jongin mencegah seorang pelayan yang hendak menutup rolling door café tersebut, kemudian ia masuk. Entahlah apa yang ia lakukan aku tak peduli.

“Ini minum dulu, kau belum makan apapun sejak tadi siang. Setidaknya perutmu terisi.” Jongin menyodorkan Vanilla Latte panas favoritku. Tapi sungguh aku tak sama sekali mempunyai mood untuk meminumnya.

“Percuma Jongin. Perut kosong diisi Vanilla Latte itu tidak baik. Sama saja dengan perut kosong. Sama-sama perih.” Ujarku.

“Ikuti saja apa kataku. Lagipula ini panas kan? Semua menu makanan disini sudah habis. Makanya café ini akan tutup.” Ia tersenyum santai, lebih tepatnya menghiburku. Aku terpaksa menerima Vanilla latte dari Jongin dan menyeruput sedikit.

“Ngomong-ngomong kau santai sekali sih.” Tanyaku merasa aneh pada Jongin yang tak panik sama sekali.

“Kita tenang dulu, hyung. Kalau kita tidak tenang, cari jalan keluar pun jadi susah.”

Ada hening yang cukup panjang.

“Hyung, sudah saatnya kau tahu ini. Sebenarnya,” Jongin terlihat ragu untuk mengatakan.

“Kenapa? Cepat katakan padaku.” Pintaku tak sabar.

“Jadi saat kita ke rumah Sehun, dan paman bilang ia pergi ke Busan. Sebenarnya aku tak percaya begitu saja karena gerak-gerik paman Yi kyung benar-benar mencurigakan. Itu menurutku, sih.”

“Lalu?”

“Dan sehari setelah kita mengunjungi rumah Sehun, saat tengah pelajaran Sastra, aku jadi kepikiran tentang kejadian itu. Dimana kau menunjukan foto masa kecilmu dengan seseorang, dan mendapatkan kejanggalan pada paman.”

“Apa hubungannya?”

“Awalnya akupun berpikir seperti itu, memikirkan dua hal yang sama sekali tak ada hubungannya. Tapi setelah itu, setelah pelajaran usai, aku sangat haus dan mampir sebentar pada mini market dekat terminal bus. Betapa terkejutnya saat itu aku melihat Sehun. Lalu aku memergokinya di kassa. Tapi sehun memintaku untuk diam dan malah membawaku ke rumahnya.”

“Kenapa kau tak mengatakan itu padaku sejak awal?”

“Biar aku lanjutkan dulu ceritaku. Saat sampai ke rumahnya, Sehun menceritakan yang sebenarnya..

.

“Jadi kalian menipu kami?”

“Maafkan aku Jongin-ah. Sebenarnya aku tak mau jika harus merepotkan Luhan hyung. Aku sudah terlalu banyak merepotkan bahkan aku telah melakukan kejadian fatal padanya.”

“Maksudmu? Fatal? Apa yang kau lakukan padanya? Berani sekali kau mencelakai kakakku!”

“Kumohon jangan marah dulu, aku akan jelaskan.”

Kemudian Sehun menjelaskan kronologis seperti yang sama ibu ceritakan padaku.

“..Aku hanya bisa diam saat melihat Luhan hyung. Kepolosanku membuat ibu benar-benar marah saat itu.”

“J-jadi kau sepupuku? Dan foto itu..”

“Hmm, saat itu ibu meninggalkanku sendiri di jalan. Sepertinya ibu sangat tidak bahagia memiliki anak sepertiku, jujur saja aku memang sangat nakal beda sekali dengan Luhan hyung yang sangat baik.”

“Beruntung sekali saat itu, seorang paman yang menelpon ambulan itu dengan senang hati menampung seorang Oh Sehun di rumahnya. Mengganti margaku sebagai Lee Sehun dan menganggap seperti anaknya sendiri.” Sehun melihat paman Yikyung yang sedari tadi duduk di sebelah Sehun.

“Aku masih takut untuk pulang selama beberapa tahun. Paman pun sudah sering mengajakku untuk pulang ke rumah. Tapi aku tahu, yang ada ibu pasti mengusirku lagi setelah apa yang aku perbuat. Lalu aku hanya meminta paman agar aku diantar menuju rumah sakit dimana Luhan hyung di rawat. Ya, ia koma selama 4 bulan.” Wajah Sehun memerah, matanya berkaca-kaca.

“Paman saat itu merasa bahwa aku stress. Aku jarang sekolah. Aku hanya bisa diam di kamar. Dan sampai saat itu paman membawaku ke dunia baru. Aku pindah ke Seoul. Aku berusaha merubah kepribadianku seceria mungkin. Tapi apa daya, Tuhan memertemukan aku dengan Luhan hyung pada kelas yang sama sampai sekarang. Itulah mengapa aku bersikap dingin, karena aku takut jika aku menyentuhnya, ia akan celaka lagi seperti sebelumnya.”

Jongin hendak angkat kaki dari rumah tersebut.

“Jongin-ah,” Langkah Jongin tertahan.

“Tolong rahasiakan ini. Jangan beritahu siapapun apalagi Luhan hyung. Maafkan aku karena aku yang meminta agar paman juga merahasiakan keberadaanku. Mungkin beberapa hari ke depan aku akan berangkat ke Busan. Mengunjungi tempat kejadian tersebut. Ini sudah rutin aku lakukan setiap tahunnya.”

.

“Kau ingat dimana tepatnya kau kecelakaan waktu lalu?”

Aku coba mengingat dan berusaha menjawab pertanyaan Jongin. Kepalaku terasa sakit, namun aku menahannya demi menemukan Sehun. Oh Sehun kau benar-benar adikku. Maafkan aku.

“Aku ingat! Tak jauh dari sini. Kedai Bubble tea dan toko mainan. Kajja!”

Sesegera mmungkin aku menancap gas menuju tempat tersebut. Sayang sekali, kami tak menemukan apapun. Bahkan orang berlalu lalang saja tidak ada.

“Sial, kota apa ini. Busan sepi sekali.”

Jongin dan aku masih mengedarkan pandangan pada sekitar kami. Siapa tahu kami menemukan petunjuk dimana Sehun sekarang.

Tak lama Jongin mendapat sebuah pesan dari rentetan nomor yang familiar.

“Tunggu. Itu mungkin nomor orang yang bersama Sehun!” ujarku sedikit tenang karena ada pesan dari nomor tersebut.

Kemudian Jongin membuka pesan tersebut.

“Eoh, hyung. Kita disuruh maju tiga langkah oleh sebuah pesan!” aku yang kemudian melihat pesan itu takjub sekaligus takut.

“Apa-apaan ini? Mystery kah? Aduh aku takut Jongin.”

“Kau ini penakut sekali hyung, sudah ikuti saja. Ini kan petunjuk.”

Kami mengikuti petunjuk tersebut. Satu, dua, tiga. Ini sudah tiga langkah dan apa hasilnya?

“Komplotan penipu? Hah so funny!” ucapku seenaknya.

Kembali, kami mengedarkan pandangan. Dan.. ya Jongin menemukan pot bunga Sehun yang aku berikan padanya. Mungkin ini hasil dari tiga kali melangkah. Lelucon.

“Mungkin tempat itu petunjuknya hyung! Ayo kita kesana!”

Setelah sekitar sepuluh menit, kami menemukan sebuah pabrik yang sepertinya tak terpakai. Pada pintu besi itu terdapat papan menggantung bertuliskan ‘Pabrik pindah ke Vietnam’. Dan anehnya pintu tersebut sedikit mengeluarkan cahaya dari dalam ruangan. Aku menghampirinya, benar saja ada kehidupan di dalam pabrik kosong itu.

Aku dan Jongin mencoba mendengar atau kasarnya ‘menguping’ pembicaraan dari dalam. Betapa terkejutnya kami ternyata benar di dalam ada Sehun. Aku langsung masuk disusul Jongin dan mendapatkan banyak anggota geng Busan.

“Cepat lepaskan adikku!” teriakku menggema ke seluruh ruangan.

“Oh anak muda, jadi ini kakak tercintamu itu?” Tanya salah seorang dari mereka pada Sehun. Aku sama sekali tak tega melihat Sehun disekap di kursi seperti di film-film penculikan. Wajahnya sedikit merah mungkin beberapa tamparan mereka mendarat sukses di pipinya.

Merasa tidak enak mendengar ucapan penjahat itu, aku dan Jongin sepakat untuk menyerang dan segera melepaskan Sehun dari tawanan penjahat tersebut. Sebelumnya, kami telah mengatur strategi dan menghubungi polisi.

Pukulan pertama dari penjahat itu, kami sukses menghindarinya. Kemudian mulai muncul beberapa orang lagi.

1 orang

4 orang

7 orang

Oh sial! Tak disangka ternyata banyak sekali penjahat yang ternyata bersembunyi dibalik ruangan lainnya. Cukup lama aku menghabisi satu per satu penjahat itu, aku mulai lengah. Aku melihat Jongin masih memukul pria dengan prawakan kekar itu. Aku lelah, capek. Apa yang mereka mau dariku sebenarnya?

Aku masih berusaha mengerahkan seluruh tenagaku sebisa mungkin.

Duk

Duk

BUAK!

“HYUNG!”

Tiga kali pukulan itu membuatku tersungkur, bersamaan dengan pria kekar yang dilawan Jongin juga jatuh. Jongin berlari menghampiriku. Sehun berteriak memanggil namaku juga suara sirine mobil polisi memekakkan telingaku. Seketika semua menjadi gelap.

***

 

Terik matahari pagi menembus kelopak mataku yang memaksa untuk bangun. Tangan kiriku terasa berat ketika aku menggerakan tubuhku.

“Sehun-ah,” aku memanggilnya pelan karena aku mulai sadar dan mendapati Sehun sedang tidur menindih tangan kiriku.

“M-mm hyung kau sudah bangun.”

“Kau tak apa-apa kan?”

“Jangan menghawatirkanku, yang penting kau harus segera sembuh.”

“Siapa yang menghawatirkanmu? Aku hanya bertanya.” Aku membalasnya sedikit sewot.

Sehun menundukkan kepalanya. Dan hampir melepaskan genggaman tanganku.

“Eh Sehun, aku hanya bercanda. Hahaha.” Aku menggenggam erat tangannya kembali. Namun wajah Sehun masih menghadap ke lantai.

“Luhan hyung, aku mau minta maaf atas kejadian yang telah aku perbuat. Aku sudah banyak merepotkanmu. Kau teman terbaik yang bisa mengerti aku.” Sehun mengatakan dengan wajah yang masih tertunduk. Dan apa? Teman?

“Tidak, Sehun dengarkan aku. Aku bukan temanmu! Kau tak bisa menyebutku sebagai ‘teman terbaik’. Dan sekarang ayo kita pulang dan temui ibu!”

“A-apa maksudmu hyung?” Sehun terlihat kaget. Mungkin aku terburu-buru tanpa memberi penjelasan. Hmm bukan, pasti Sehun mengerti apa maksudku. Ia hanya berpura-pura agar aku tak mengetahui siapa Sehun sebenarnya.

Aku mengubah posisi tubuhku dari berbaring menjadi duduk, menghadap Sehun dan memegang pundaknya.

“Aku sudah tahu. Kau itu Oh Sehun. Bukan Lee Sehun. Anak dari keluarga tuan Oh Hanbyul dan nyonya Oh Nara. Kajja kita pulang, Hunnie.”

Aku turun dari ranjang dengan perlahan sambil menahan rasa sakit akibat pukulan para pria bajingan itu. Syukurlah Sehun selamat. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya aku bisa ada di klinik dekat rumah paman Yikyung. Tentunya kami sudah di Seoul.

Sehun sudah lama sekali, aku tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Hunnie’, panggilan sayangku padanya. Berhasil turun dari ranjang itu, aku membalikan badan hendak keluar ruangan, tapi tiba-tiba Sehun menarik lenganku dan menghanyutkanku ke dalam pelukannya.

“Hyung jeongmal mianhae.. hiks hiks. Aku benar-bernar minta maaf atas kejadian dulu dan sekarang. Seharusnya aku tak melakukan ini semua. Dan ini, hari dimana kau kecelakaan hebat karenaku, dan sekarang kau celaka lagi karena aku. Maafkan aku, aku bukanlah adik terbaikmu sampai kapanpun.” Ia menangis tanda menyesal. Akupun tak kalah menangis dalam pelukan hangat seorang adik yang rindu pada kakaknya. Segera aku membantah pernyataannya yang bodoh.

“Tidak kau tetap adikku sampai kapanpun. Oh ayolah, Oh Sehun. Aku baik-baik saja. Kau lihat kan aku sehat? Semua sudah berakhir. Kau tak seharusnya mengunjungi tempat dimana aku kecelakaan. Yang lalu biarlah berlalu. Aku tak mau kehilanganmu lagi, jadi ayo sekarang kita pulang.”

“Terimakasih Luhan hyung, harus dengan apa aku membalas kebaikanmu..”

“Tak perlu. Aku juga tak menuntut apapun darimu selain kau pulang sekarang bersamaku.”

“Baik, baik aku sangat ingin pulang. Tapi jika ibu tidak menerimaku, apa yang harus kulakukan? Aku takut.”

“Tenang saja, aku selalu disampingmu.” Ujarku meyakinkan Sehun agar mau ikut bersamaku.

Kami tersenyum satu sama lain. Cukup lama kami larut dalam tangisan rindu juga bahagia. Pantas saja aku merasa ada yang hilang selama ini, akhirnya Sehun, Oh Sehun telah kembali.

*

“Memangnya Jongin kemana? Kenapa motor ini sampai ia tinggal disini? Tega sekali ia tak menungguku sampai aku bangun.” Ujarku pada Sehun yang tengah menyetir motor matic ku.

“Sekitar pukul 4 pagi ia pamit padaku untuk menjemput keluarganya di bandara Incheon. Dia setia menunggumu disini, kok.”

“Ini saat yang tepat! Kita akan berkumpul di hari natal besok bersama keluarga besar. Kau tahu? Kau sudah punya keponakan!”

*

“Ibu, Luhan pulang! Kesini sebentar!” teriakku dari arah ruang tamu.

“Hyung aku tak yakin,”

“Sshh, tenanglah.” Sehun semakin erat menggenggam tanganku.

Tak lama ibu datang membawa seorang bayi, yang tak lain itu pasti Kyungsan.

“Aaaaa, Kyungsanie! Sini biar aku gendong!”

Ibu memberikan Kyungsan padaku.

“Dari mana saja kau tak pulang semalaman, nak? Dan ini..,” ibu memandang pria dibelakangku.

“Ini Oh Sehun. Aku berhasil membawanya pulang.” Sehun yang berdiri kaku masih menundukan wajahnya. Ia sepetinya tak berani memandang wajah ibu.

Ibu mengahampiri Sehun. Mangangkat wajahnya dan menatap matanya. Mata yang sangat familiar bagi ibu. “Sehun-ssi, kau benar Sehun? Oh Sehun? Hunnie yang nakal?” tanya ibu yang hampir menjatuhkan butiran bening dari kelopak matanya.

Sehun kemudian melirik ke arahku. Wajah takutnya aku balas dengan anggukan kepala dan senyuman agar Sehun menjawab ‘Ya’.

“Mmm, i-iya, eomma.” Jawabnya gugup.

“Oh Sehun! Maafkan ibu, nak!” tangisan ibu pecah seraya memeluk Sehun.

“Tidak eomma, aku yang salah. Maafkan aku..”

Pemandangan langka yang pernah aku lihat. sungguh aku rindu suasana hangat seperti ini. Seandainya ayah masih disini, kami pasti sangat bahagia. Juga terimakasih pada paman Yikyung karena telah merawat dan mendidiknya jadi anak yang baik, tinggi juga tampan.

***

 

Hari demi hari kami lalui bersama dengan gembira. Kami berbagi kado natal dan bersiap menyambut tahun baru 2014. Selamat tinggal kenangan 2013. Kami akan selalu merindukan kenangan di tahunmu, kami akan berusaha sekuat kami agar selalu bersama, membangun tujuan untuk masa depan kami. Aku sayang kalian semua. Happy new year! Hopefully you’re enjoy your new year!

 

EPILOG

“Sehun-ah, kau tak meminta hadiah tahun baru?” tanyaku.

“Jadi aku tak kau hiraukan? Oh baiklah, aku sudah terlupakan.” Ucapnya disertai gerakan yang cukup alay.

“Tentu aku pasti memberimu hadiah. Aku tahu kau pasti ingin bola basket baru kan? Aku sudah tau, jadi aku tak perlu bertanya, bukan?”

Jongin hanya memasang wajah memble.

“Jadi kau ingin apa?” tanyaku kembali pada Sehun.

Cukup lama Sehun berpikir.

“Apa?” tanyaku lagi.

..

“Bubble Tea?”

 

THE END

Hiyaa, gimana ceritanya, Absurd ya? Hahaha jelas aja absurd. Bikinnya aja dadakan. Tapi entahlah respon kalian gimana. Bahasanya juga masih belum bagus. Jangan lupa komen ya, komentar kalian sangat berarti untuk tulisanku kedepannya.

Happy New Year EXO also BIG BRO EXOSTAN DAEBAK!

 

Sincerely,

Haofanfan

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
atik_han #1
Chapter 1: Suka, suja bnget ditunggu next karyanya ya brothership lagi ya..
sitinurkh #2
Good story....jgn bosen nulis ff ya teman mksh dah mau.ngesher ff nya