3

Monochrome

Eunra langsung membanting tasnya di pinggir lapangan ketika ia sampai. Sebagian anggota klub basket sudah berada di sana dan mereka bermain bersama, entah cuma latihan passing atau one-on-one, bahkan ada yang bertanding kecil-kecilan.

“Ikutan dong!” teriak Eunra pada Myungsoo. Myungsoo langsung melemparkan bola itu padanya, dan Eunra langsung bermain bersama yang lain.

Permainan sudah berjalan sekitar lima menit ketika Yifan datang. Tanpa banyak bicara, Yifan langsung masuk ke tengah lapangan dan menguasai bola. Ia melakukan lay-up, dan bola masuk dengan mulus.

Ketika bola jatuh, Luhan langsung melompat dan mengambilnya. Tapi ketika Luhan men-dribblenya ke tengah lapangan untuk melakukan shoot, Yifan men-steal bola itu dan dibawanya pergi.

Tak mau kalah, Eunra berusaha melakukan defense. Ia merentangkan kedua tangannya di depan Yifan, berusaha menjaga Yifan agar tidak berhasil mengoper ataupun men-shoot. Yifan masih men-dribble dan sesekali berusaha keluar dari penjagaan Eunra, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Akhirnya Yifan berusaha melakukan pass. Ia mengangkat kedua tangannya, begitu juga dengan Eunra (Eunra kan memang harus menjaga agar bolanya tidak masuk) dan Yifan melempar bolanya. Eunra melompat untuk menghalangi jalur bola dan ia menampar bolanya, tapi karena sedikit terlalu emosi ia malah menampar bolanya ke kiri dan tulang pergelangannya berderak. Tubuhnya terputar dan ia jatuh menindih Yifan dengan posisi sama-sama telentang.

“Argh!” Eunra mencengkeram tangannya, dan ia langsung berguling untuk menghindari kesalahpahaman. Tangannya benar-benar sakit seperti keseleo, dan parahnya itu tangan kanan. Bagaimana caranya menulis nanti?

“Eunra!” teriak Donghae, ia langsung meninggalkan bolanya dan berlari menuju Eunra yang sedang terkapar. Yang lain melihat Donghae dan mengikutinya berlari.  Seluruh tim langsung mengerumuni Eunra dan Yifan, tapi hanya cewek-cewek fansnya yang mengerumuni Yifan. “Oppa nggak apa-apa?”

Yifan tidak menjawab mereka, ia langsung bangkit berdiri dan menyibak kerumunan yang mengerumuni Eunra. “Lu nggak apa-apa kan?” tanyanya.

“Tangan gua sakit, bodoh!!” teriak Eunra, ia sedang meringis kesakitan dan sibuk mengumpat. Beberapa anak langsung memanggil guru kesehatan, dan sebagian berusaha menenangkan serta mengecek luka Eunra. Yifan terus terang merasa bersalah, karena Eunra kelihatannya kesakitan banget. Ia berjongkok di tengah kerumunan itu dan mengambil tangan Eunra yang keseleo.

Eunra tentu saja kaget. Yifan sekarang memegang tangannya itu dan ia langsung berteriak, “Sakit! Udah tahu sakit malah dipegang-pegang!” tapi Yifan cuek. Ia memutarnya dan melihat tangan bagian bawahnya. “Ini keseleo. Mungkin baru bisa sembuh kalau udah dua minggu,” katanya.

Eunra terduduk, dan menarik tangannya dari Yifan. “Tadi kata lu dua minggu? Terus kompetisi- argh, sakit!!”

Dokter sekolah sudah datang dan sekarang ia mengecek keadaan Eunra. Yifan sendiri memutuskan untuk keluar dari kerumunan karena kalau kebanyakan orang, mungkin itu akan menyusahkan pemeriksaan.

“Benar ini keseleo,” kata dokter itu, dan Eunra mengerang. “Terus, emang sembuhnya perlu dua minggu, dok?”

Dokter itu mengangguk, “Bahkan kadang ada yang sebulan baru sembuh,” dan Eunra mengerang kesal. “Lah, saya nanti nulis sama main basketnya gimana, dok?!”

“Ya itu sih terserah kamu,” jawab si dokter, sama sekali nggak ngasih solusi. Sekarang Eunra, dokter, dan beberapa temannya sedang menuju UKS. Yifan sendiri memutuskan untuk tetap berada di lapangan, ia mengambil bola basket dan men-dribblenya.

“Hayolo, Yifan! Anak orang tuh,” goda Zitao. Yifan hanya meliriknya. “Siapa suruh dia ngeblock gua.”

“Sana, ikut ke UKS. Nggak tanggung jawab banget sih,” kata Sunyoung sekilas, ia berhenti sejenak lalu ia langsung berlari menuju kerumunan yang ke UKS. Yifan meneriakkan jawaban, “Bukannya nggak tanggung jawab, cuman jangan semuanya ikut juga! Lu kira UKS segede apa?”

Sunyoung masih mendengar jawaban Yifan, namun dia memutuskan untuk cuek dan tidak membujuk Yifan untuk ikut lagi. Diam-diam dia bijak, batinnya.

“Eunra udah nggak apa-apa, tuh.”

Sunyoung mendatangi Yifan yang sedang duduk di pinggir lapangan, namun Yifan hanya menengadah dan menatapnya. Sunyoung membalasnya sebal, “Paling enggak kunjungin dia, kek!”

Yifan mengangguk, ia bangkit berdiri dan berlari mengikuti Sunyoung yang sudah duluan berlari. Sesampainya di UKS, suasana sudah tidak serame tadi, hanya ada Eunra di dalamnya. Eunra sedang berusaha makan ttokboki pakai tangan kiri, dan harus diakui itu susah.

“Gimana tangan lu?” tanya Yifan. Ia duduk di kasur UKS, tepat di samping Eunra. Eunra yang baru sadar kalau Yifan datang langsung kaget. “Nih, dibalut. Nggak bisa gerak.”

Yifan mengangguk-angguk saja. “Kayaknya susah banget ya, makan pake tangan kiri.”

“Apa? Lu kode mau nyuapin? Nggak, gua nggak mau! Udah sana, gua bisa makan sendiri!” bentak Eunra, dan Yifan langsung menatapnya datar. “Siapa juga sih yang mau nyuapi lu.”

Suasana menjadi sedikit canggung, namun tiba-tiba Eunra bergumam dan ia memberikan piring plastik ttokbokinya pada Yifan. Yifan bingung, mungkin Eunra titip sebentar. Eunra merogoh-rogoh sakunya, dan ia memberikan Yifan sesuatu. “Ini apaan?” tanya Yifan.

Sampulnya pink, dan itu kelihatan seperti surat cinta. Ketika Eunra sudah menelan makanannya, ia baru berbicara. “Itu titipan dari seseorang.”

Yifan bergumam, ia membolak-balik surat itu, berusaha menemukan petunjuk siapa pengirimnya. Hanya ada petunjuk inisial SAR, dan ia tidak tahu itu siapa. Mungkin di dalam suratnya ada petunjuk lain, tapi ia memutuskan untuk membuka suratnya di kelas saja. Tapi Eunra langsung menegurnya ketika Yifan mau menyimpannya di saku. “Bacain di sini dong! Sebagai permintaan maaf karena lu udah nyelakain tangan gua.”

“Kok gitu, sih?” Yifan protes, tapi ia tetap menurut. Dibukanya amplop itu, dan diambilnya selembar kertas binder berwarna soft pink di dalamnya. Dibukanya lipatan itu, dan dibacanya pelan-pelan.

“Buat Wu Yifan.

Halo, mungkin kamu nggak kenal aku siapa. Aku cuma seseorang yang bisa ngelihat kamu dari belakang. Aku cuma seseorang yang bisa suka kamu dalam diam. Aku cuma seseorang yang bisa menyukai tanpa tahu bakal dapet balasan atau enggak.

Udah lama aku memendam rasa suka. Aku tahu kamu idola sekolah. Banyak cewek ngajak kencan kamu, baik adik kelas, kakak kelas maupun yang sebaya, karena kamu cakep, kamu tinggi, kamu berbakat, kamu keren, kamu baik. Aku salah satu dari mereka yang nggak punya kejelasan tentang cinta. Orang yang aku sukai terlalu sempurna, dan mungkin aku hanya setitik noda bagi kamu.

Tapi, pake surat ini aku pengen kasih tahu kamu. Aku suka kamu, aku cinta kamu. Mungkin aku nggak secantik, seramah, sepintar dan sebaik cewek lain yang deket sama kamu. Tapi aku pengen kamu bales perasaan aku.

Sincerely, Song Ahri
The One Who Waits For You.”

“Eunra!!!”

Dengan suara tinggi, Ahri memanggilnya dan langsung duduk di sebelahnya. “Tangan kamu kenapaaa?”

Eunra melengos. Sudah seharian ini semua orang menanyainya tentang tangannya, dan jelas dia malas banget menjawab! Ia hanya menjawab sekenanya pada Ahri, “Keseleo.”

Ahri mengamatinya dengan tatapan kasihan sejenak, namun langsung berkicau senang lagi. “Oh iya, surat titipan dari aku gimana?” tanyanya, dan itu mengingatkan Eunra tentang kemarin. Entah kenapa, ada perasaan tidak rela dan nggak nyaman ketika ia membaca itu. Mungkin ia suka Yifan? Entah, Eunra sendiri nggak mau memikirkannya. Yang penting dia merasa sebel sendiri sama surat itu. Eunra hanya tersenyum kecil, “Udah gua kasih.”

“Beneran?! Terus respon dia gimana?” balas Ahri semangat, lalu Eunra hanya menjawab sekenanya. “Reaksinya kayak cowok yang dikasih surat cinta.”

Ahri melengos. “Ya iyalah,” gumamnya. Tapi ia langsung menjabat tangan kiri Eunra yang sehat. “Omong-omong, makasih banyak ya! Oh iya, sini deh!” Eunra mendekatkan kupingnya ke Ahri, dan Ahri berbisik, “Aku mau nyatain cinta ke dia, di gazebo, dua hari lagi waktu istirahat pertama! Menurut kamu itu romantis nggak?” tanya Ahri, dan Eunra mengangguk. “Iya, berjuang ya!”

Sebenarnya… Eunra kurang rela.

Yifan membuka lokernya dan mengambil bola basket miliknya yang disembunyikannya dari para guru. Ia memutarnya dengan satu tangan, bermaksud mau menutup lokernya lagi. Namun memo berwarna merah muda mencolok di dinding loker mengganggu matanya. “Apaan nih?” ia menghentikan bola basketnya yang masih berputar, mengambil memo itu dan membacanya.

“S.A.R. Gazebo, 26 Juni 2013
I’m Waiting For You.”

Yifan yakin itu pasti pemberian Song Ahri (ngomong-ngomong dia udah tahu SAR itu apa), tapi ia ragu untuk datang. Bukannya ia takut dengan cewek, tapi dia hanya nggak mau nyakitin cewek lagi. Dia merasa hatinya sudah beku karena terlalu banyaknya wanita yang datang dengan sendirinya padanya. Dia udah nggak bisa cinta denga tulus pada satu orang. Dan dia nggak mau memaksakan diri pacaran sama orang yang nggak dicintainya.

Yifan meremas note itu, lalu melemparkannya ke keranjang sampah.

Hari yang ditunggu Ahri dan hari yang terus dipikirkan Yifan tiba. Tepat saat bel istirahat pertama, Ahri langsung melesat keluar dari kelasnya dan duduk manis di gazebo. Yang tahu rencananya hari ini hanyalah Eunra dan Yifan, dan Ahri harap Yifan akan menerimanya.

Ahri memfantasikan beberapa hal manis, dan pipinya memerah sendiri. Setelah menunggu beberapa menit, sosok Yifan yang memakai jaket dan headphone yang digantung di lehernya muncul dari sudut tangga. Ahri langsung tersenyum senang dan melambai, sedangkan Yifan cuma menatapnya datar dan duduk di sebelah Ahri.

“Mau ngomong apa?” gumam Yifan.

“Kamu udah baca surat titipan aku?” tanya Ahri malu, dan Yifan mengangguk. Matanya sama sekali tidak menatap Ahri, ia hanya menatap kosong ke bola basket yang terbuang di pinggir rumput. Ahri tahu Yifan kurang memperhatikannya, namun ia tetap berusaha. “Dan kamu tahu apa yang mau aku lakukan sekarang?”

Yifan mengangguk.

“Yifan… aku cinta kamu. Boleh nggak kita coba pacaran?”

Yifan bergeming, ia masih menatap kosong. Ahripun melanjutkan ucapannya. “Paling enggak, coba aja dulu seminggu. Kalo kamu memang nggak pengen bales perasaanku, nggak apa-apa kok… Mau, ya?” pinta Ahri.

“Ahri,” dan ini pertama kalinya Yifan menatap lurus ke matanya. “Aku… udah sekian kali ditembak gini, dan alasan aku nolak terus adalah karena aku nggak cinta orang itu.”

Ahri langsung terdiam, matanya memanas.

“Frontalnya, mereka suka gua nggak karena gua adalah gua. Mereka suka karena gua pinter, tinggi, jago main basket, ganteng, kaya, dan sebagainya. Gua nggak yakin mereka bakal tetep cinta gua kalo gua kecelakaan, lumpuh, uangnya habis, jadi gila, jadi idiot…”

“Jadi maaf banget… gua kayaknya nggak bisa nerima. Ahri, kamu cantik. Pasti nanti ada someone better than me yang cinta sama kamu,” Yifan tersenyum tipis, namun dengan perasaan bersalah sekaligus lega.

Ahri berusaha mengerti, jadi ia mengangguk. Namun airmatanya langsung menetes, jadi spontan Yifan memeluk Ahri. Ahri langsung menangis di bahu Yifan, dan Yifan mengelus punggungnya.

Setelah menangis beberapa menit, Ahri menarik dirinya dari pelukan Yifan. “Yifan, aku nggak mau maafin kamu,” lalu ia mendengus pelan, berusaha tertawa tapi masih sedikit menangis. “Cewek yang nantinya kamu cintai dengan tulus, dia akan jadi cewek yang beruntung. Aku bisa ngertiin keputusan kamu ke aku,” kata Ahri.

Yifan tersenyum, lalu menepuk punggung Ahri. Yifan bangkit berdiri, dan berjalan keluar dari gazebo itu. Meninggalkan Ahri yang kemudian menangis lagi, sendirian tanpa ditemani siapapun.

Yonghwa menatapnya dari balik pilar. Melihat orang yang disukainya menangis sungguh membuat perasaannya nggak enak, apalagi air mata itu disebabkan oleh cowok yang diharapkan si cewek.

Ia melangkah maju, dan memasuki gazebo itu. Yonghwa duduk tepat di sebelah Ahri, dan membiarkan air mata itu membasahi bahunya.

“Gimana si Ahri?” Eunra iseng bertanya saat Yifan duduk di sebelahnya. Yifan menggigit kebab yang tadi dibelinya, dan menjawab sekenanya. “Kenapa emang?”

“Gua nanya doang, kok jawabnya nggak enak gitu?” protes Eunra. “Ya kan gua juga merasa harus tahu sebagai pihak perantara…” kata Eunra, dan Yifan menatapnya datar. “Gua tolak.”

“Hah, lu tolak?!” Eunra menatapnya tidak percaya. “Dia kan manis, cantik, baik, ramah…”

“Lu ngepromosiin dia nih ceritanya?” jawab Yifan, ia melirik ke Eunra dan Eunra menjawab, “Yaah… nggak gitu juga sih, tapi jahat aja, masa lu tolak dia!”

“Kalo emang nggak cinta kenapa harus diterima? Daripada pacarannya maksa… kan nggak enak juga kalo pacaran tapi saling pura-pura,” jawab Yifan. Diam-diam Eunra merenungi perkataan Yifan. Bener juga sih, meskipun kesannya jahat, bakal lebih jahat lagi kalo pacaran cuma karena kasihan. Tiba-tiba tanpa disuruh, Yifan curhat semuanya kepada Eunra. “Udah sering gua ditembak cewek kayak gitu. Ada yang blak-blakan banget di koridor sampe gua malu banget, ada juga yang pake surat bersambung yang lamaaaa banget. Tapi semuanya gua tolak, karena ketika gua tanya kenapa mereka suka gua, mereka selalu bilang ‘karena kamu cakep, karena kamu baik, karena kamu tinggi, karena kamu jago main basket…’ gitu. Gua nggak nerima mereka karena mereka nggak cinta gua sebagai gua. Emang mereka bakal cinta gua kalo gua kecelakaan terus jadi cacat, jelek, idiot dan nggak bisa main basket?”

“Bahkan kayaknya hati gua udah… beku. Nggak pernah lagi ngerasain yang namanya cinta…”

“Gua nunggu seseorang yang bisa bikin gua ngerasain lagi yang namanya cinta…”

Eunra menepuk punggung Yifan dengan simpatik.

D-DAY sudah tiba! Sekarang adalah hari pertama pentas seni Monochrome Gangnam High School. Tim dance menari sebagai pembuka acara, dan terus terang tariannya keren banget. Mulai jam delapan pagi nanti semua pertandingan akan resmi diadakan. Basket di lapangan kanan, dan futsal di lapangan kiri.

Semua peserta lomba sudah menyiapkan diri masing-masing, di ruang ganti anak-anak tim basket 10-A sedang bersiap-siap. Eunra sudah sangat siap dengan bajunya (untung tangan kanannya sudah cukup sembuh), sedangkan yang lain sedang berlatih kecil-kecilan. Tiba-tiba Donghae mengopernya bola, dan Eunra segera menangkapnya.

“Yakin lu bisa dribble?” tanyanya, dan Eunra mengangguk. Ia langsung mencoba dribble dengan tangan kanannya. Hasilnya agak aneh, tapi sudah lumayan. “Tuh kan, bisa!”

Donghae tersenyum, lalu menangkap bola yang dilemparkan kembali padanya. Ia mendribble bolanya dan berjalan menuju kerumunan cowok-cowok.

Priiiit!!!

Peluit tanda mulainya pertandingan sudah ditiup, dan sisanya sudah tergantung pada kerja keras mereka di lapangan dan keberuntungan.

Jump Ball akan dilakukan. Dari tim 10-A ada Junhong (yang cukup tinggi dan baru disadari kalau ia jago basket), dan dari 11-C ada Minho yang memang jago sekali bermain basket. Saat bola dilontarkan, beruntung sekali Junhong berhasil men-block bolanya dan langsung diambil Donghae. Donghae membawanya ke bawah ring, dan ketika Yonghwa nyaris men-blocknya, Donghae langsung melakukan passing ke Eunra. Eunra melakukan lay-up, dan gol pertama tercipta untuk 10-A.

Kerumunan penonton bersorak, dan pertandingan berlanjut lagi.

Sudah satu quarter pertandingan dilangsungkan, dan skor sekarang 10-8 untuk 10-A. Perbedaan tipis karena di 10-A ada Eunra, Donghae dan Sunyoung, sedangkan di 11-C ada Yonghwa, Minho, dan Sooyoung. Karena pertandingan ini hanya terdiri dari dua quarter yang masing-masing cuma sepuluh menit, jadi sekarang mereka harus bertukar tempat dan diberi kesempatan istirahat satu menit.

Setelah satu menit mengatur ulang strategi, pertandingan dimumai lagi. Formasi tetap sama, hanya saja tim 10-A harus meningkatkan attack agar perbedaan skor lumayan.

Pertandingan terus berjalan. Sesekali Eunra berusaha shoot tapi kadang bola hanya membentur pinggiran ring. Pelanggaran sempat terjadi pada menit ke-19 oleh tim kelas 11, dan karena itu sekarang tim kelas 10 diberi kesempatan untuk free throw. Eunra yang disuruh melakukannya, dan bagusnya lemparannya sukses.

Skor akhir adalah 18-17, dan perbedaan tipis itu terjadi karena free throw. Kalau saja Eunra gagal, mungkin skor mereka tetap sama. Tetapi mereka mengakhiri pertandingan dengan sportif, tidak ada yang marah (meskipun Eunra ingin menertawakan Yonghwa), dan tidak ada yang bertengkar.

Masih kira-kira tiga pertandingan lagi sampai mereka harus masuk ke lapangan. Semuanya beristirahat di ruang ganti, dan anak-anak kelas sepuluh saling tos dan berpelukan senang. Eunra dan Donghae berpelukan dengan bangga, mereka saling menepuk punggung satu sama lain.

Selama waktu kosong itu mereka berhamburan, benar-benar nggak tahu harus ngapain. Ada yang main basket di ring kecil yang ada di pinggir lapangan, ada yang jalan-jalan, ada yang baca buku, ada yang main HP, dan macam-macam.

Eunra sibuk berdebat dengan Donghae, kenapa melambungkan bola namanya dribble (mereka memang seperti itu, memperdebatkan hal yang nggak penting). Beberapa teman juga ikut nimbrung pembicaraan mereka, dan itu menambah keramaian ruang ganti.

Sunyoung menatap Donghae dan Eunra dari jauh. Mereka akrab banget, ya… Coba gua ada di posisi Eunra.

Tim kelas 10-A terus menjadi juara bertahan di kompetisi ini, hingga pada akhirnya mereka masuk final. Mereka saling berhigh-five di tengah lapangan ketika akan bertanding untuk final. Saat berjalan ke bench mereka, Eunra bertanya kepada Donghae, “Lawan kita siapa?”

“Kelas 10-D,” jawab Donghae ringan. Donghae meneguk air minumnya untuk yang kesekian kali, dan langsung berjalan menuju bench. Eunra cuma mengangguk-angguk, dan ia melihat ke tim lawan mereka.

Dan disanalah Yifan berdiri.

Eunra langsung melotot, dan berlari ke kerumunan timnya. “Woi, beneran nih lawannya 10-D?!” dan Sunyoung mengangguk. “Iya, emang kenapa?”

Eunra tidak bisa menjawab, dia meringis gugup sambil melirik tim lawan. Tiba-tiba Yifan sekilas menatapnya, jadilah Eunra langsung pura-pura melihat tiang listrik yang berdiri di dekat pohon.

“Tes, tes,” terdengar suara dari mic di dekat papan skor, dan itu adalah suara Jiyong, wakil ketua OSIS yang menjabat sebagai seksi acara olahraga. “Halo, micnya gua ambil alih bentar buat jadi komentator, ya.”

“Pertandingan basket di Monochrome sudah mencapai finalnya, dan dua kelas yang mencapai final adalah kelas 10-A dan 10-D! Kayaknya bakal panas nih, pertandingannya, soalnya kelas A punya seorang MVP yang namanya Kim Eunra, dan D juga punya MVP yang namanya Wu Yifan!”

Kerumunan penonton bertepuk tangan. Yifan masih bersikap biasa saja seperti nggak ada yang menyebut namanya, tapi Eunra sudah salah tingkah ketika Jiyong menyebut namanya dan teman-temannya langsung menyorakinya. “Pertandingan bakal dimulai dari… sekarang!”

Untuk jumpball, entah kenapa yang dikerahkan langsung Eunra dan Yifan (memang gila karena tinggi badan mereka kan beda jauh, dan alasan teman-teman langsung menyuruh mereka itu karena ‘MVP lawan MVP!’) dan jelas Yifan yang mendapatkan bola. Ia langsung membawa bola ke ring, berputar sekali untuk menghindar dari penjagaan Donghae, dan bola masuk.

“Shoot pertama dari Yifan! Sekarang bola ada di tangan Junhong. Junhong pass ke Zitao, tapi di-intercept oleh Junsu! Junsu mendribble ke tengah lapangan dan dioper ke Siwon. Siwon berlari ke bawah ring, ups, Donghae berusaha mem-block… gagal! Siwon melakukan crossover… menembus pertahanan Donghae! Siwon lay-up, dan… masuk!! Dua poin lagi untuk 10-D!”

“Bola berada di tangan Donghae. Donghae mendribble sejenak, dan langsung dijaga Eunhyuk dan Wooyoung sekaligus! Bola dilempaarrr.. dan sekarang ada di tangan Eunra. Eunra langsung berlari menuju ring, shoot, aaaah… sayang sekali bola hanya membentur ring. Eunra berusaha melakukan rebounce, dan sayangnya gagal lagi! Bola langsung diambil Yifan, di-dribble menuju tengah lapangan, dan wow, block dari Junhong nggak berefek baginya! Bola masuk dengan mulus!”

Begitu seterusnya sampai akhirnya quarter pertama selesai. Skor masih 16-2 untuk kelas 10-D, dan hanya Eunra yang dari tadi berhasil memasukkan bola. Tim kelas A sudah benar-benar lemas, mendengar kalau suporter juga mayoritas berpihak pada tim kelas D (iyalah, apalagi yang cewek-cewek). Donghae menepuk punggung Eunra yang udah lemes banget, dan Eunra hanya meliriknya sekilas.

“Kalo kita kalah juga nggak apa-apa, kok. Masih juara dua juga, kan?” gumam Donghae, dan Eunra memikirkannya. “Bener juga, ya.”

“Lu ini jago main basket tapi ternyata bego ya,” gumam Donghae, dan Donghae menjitak Eunra. Eunra mengaduh dan balas memukulnya.

“Eh, eh, Donghae sama Eunra! Kalian ini masih ada satu quarter lagi, nggak usah pacaran!” canda Jiyong, namun itu membuat kerumunan penonton langsung meneriakkan nama mereka. Eunra dan Donghae sekarang salah tingkah, meringis malu dan membiarkan mereka. Setelah keributan mereda, Jiyong melanjutkan ucapannya. “Sekarang quarter kedua akan dimulai…”

Permainan terus berlanjut sampai akhirnya peluit ditiup. Skor akhir adalah 24-15 bagi 10-D, dan bagusnya ketertinggalan nggak separah quarter pertama (tapi tetep aja 10-A kalah), tapi saat mereka melakukan group hug, Donghae membuat mereka senang lagi dengan cara berkata ‘kita dapet juara kedua!’

“Yifaaaan!!” cewek-cewek berteriak kayak koor, dan Yifan cuma tersenyum sekilas. Ia berjalan ke kantin sekolah dan langsung duduk seenak jidat di bangku kantin.

Meanwhile, Eunra dan Donghae berpelukan dengan bangga, dan Donghae menarik tangan Eunra. “Temenin ke kantin dong, gua haus.”

Eunra mengangguk, dan dengan senang berjalan keluar dari ruang ganti ke kantin. Selama di koridor ada beberapa teman yang mengucapkan selamat padanya, dan Eunra selalu merespon dengan baik. Saat di kantin juga ada beberapa teman yang menanyakan skor, dan mengucapkan selamat padanya.

Eunra menoleh ke meja tempat ia dan Donghae biasa duduk, dan ia menemukan Yifan dengan semena-mena main duduk di meja. Eunra sedikit kesal, lalu melepaskan tangan Donghae dan menegurnya. “Woi, jangan duduk seenaknya dong!”

“Emang ini meja lu? Meja kantin gini,” balas Yifan santai. Yifan terlihat sangat berkeringat dan lelah setelah pertandingan tadi, dan Eunra hanya meliriknya tajam.

Donghae berjalan dari vending machine mendekatinya. Eunra langsung menggandengnya, “Balik aja yuk ke ruang ganti.”

Eunra memimpin jalan ke ruang ganti, namun Donghae langsung menarik tangannya ke arah yang berlawanan. Donghae dan Eunra menaiki tangga, dan Eunra bingung. “Woi, kita kemana?”

“Pernah ke rooftop?” tanya Donghae sambil melirik Eunra, dan Eunra mengangguk. Donghae semakin cepat berlari, dan Eunra semakin bingung –tapi ia tetap mengikuti Donghae. “Woi, lu ngapain sih?!”

Sesampainya di rooftop lantai enam, Eunra langsung terengah-engah dan melepaskan gandengan Donghae. “Lu ngapain ngajak gua ke sini? Mau nerjunin gua?” candanya.

“Enggak, bodoh,” Donghae sempat terengah-engah, lalu ia tertawa pelan. “Gua ngajak lu ke sini buat nembak lu.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
huskylover #1
ini setting seoklahnya ... sekolah kita banget je =.=
kok ga tambahin guru dwarfism?
xx_Kiss
#2
“Kalo emang cinta kenapa nggak dinyatakan aja?"
Karena aku malu /uhuk uhuk/ .//_//.
exofriend_INA #3
Chapter 1: ini lucu yah, indonesia bangeeeeett hmm~ kangen ff school life gini yaampun >< walau bahasanya gaol gewla *alay* tp bikin penasaran, salam kenal author-nim^^
exofriend_INA #4
sang penulis ini namanya sangat unik ><
laura_kims #5
Chapter 4: lololol, keren bgt dan pastinya kocak abis. Suka bgt!
amusuk
#6
Chapter 1: saya heran kenapa nggak ada yang komen di sini. gaya berceritanya berbeda dari kebanyakan yang saya baca di sini. dan walau agak terkesan kayak orang ibu kota, tapi juga rasanya friendly gitu, lebih kerasa aura pertemanannya.

mungkin yang agak mengganggu cuma pergantian dialog di beberapa tempat. Di saat yang ngomong ganti orang, paragrafnya nyambung, jadi harus baca ulang ke atas untuk memastikan siapa yang ngomong.

dan karena udah malem, saya baca next chap lain waktu :)

keep up the spirit to write!