A Little Thing Called Magic - 5

A Little Thing Called Magic

5

          Suara alarm mobil sport berwarna hitam mengkilap pertanda pintunya sudah dipastikan terkunci semua. Pemiliknya berjalan masuk ke gedung apartemen yang agak besar namun bergaya minimalis, nyaman dan damai langsung terasa saat baru saja menginjakkan kaki di kawasan apartemen tersebut. Seungyub memasukkan kedua tangannya ke saku mantel, udara dingin yang menusuk tulang terasa meskipun ia sudah mengenakan kaus rangkap dua di dalam mantelnya yang tebal.

            Seungyub berjalan menuju apartemennya. Lelaki itu menghela napas, ia tidak lagi terkejut. Seorang gadis sudah menunggu di depan apartemennya.

            “Kau sedang apa disini?” desah Seungyub seraya membuka pintu.

            “Aku hanya ingin tahu tempat tinggalmu,” Krystal hanya tersenyum lalu ikut melangkah masuk ke dalam apartemen.

            Seungyub melepas mantelnya. “Duduklah, kau mau minum apa?”

            Sebelum Krystal menjawab, Seungyub melanjutkan, “Ah, aku lupa, disini hanya ada cokelat panas instan. Maaf, tunggu sebentar.”

            Krystal tersenyum geli. Gadis itu melihat-lihat sekeliling ruang tamu dari apartemen itu—yang terlihat kosong karena yang dominan terlihat hanya sofa panjang dan televisi disana. Kemudian Krystal beranjak dari sofa, menuju dapur dimana Seungyub menyiapkan cokelat panas instan disana.

            “Kubilang duduk saja,”

            Krystal menyapu pandangan ke seluruh penjuru dapur yang terlihat bersih dan simpel itu. “Kau bisa masak sendiri disini?”

            Seungyub menggaruk rambutnya yang tidak gatal. “Tentu saja, tidak. Kadang aku makan di luar atau ada tetangga sebelah apartemen yang memberiku makanan.”

            “Ini, cokelat panasnya.”

            “Thank you,” sahut Krystal lalu kembali menuju ruang tamu.

            Mereka berdua duduk berhadap-hadapan, hanya terdiam. Krystal menyesap cokelat panasnya lalu meletakkannya kembali ke meja.

            “Siapa gadis tadi?”

            Seungyub yang sedang terpaku memandang sesuatu, terkejut karena pertanyaan gadis di depannya saat ini.

            “Sulli. Choi Sulli,” sahut Seungyub datar.

            Krystal mengangguk.

            “Bagaimana pertunanganmu dengan Wu Yi Fan?” tanya Seungyub. Ia pun bingung sendiri mengapa ia menanyakan hal itu—lagi , dan kali ini hatinya tidak pedih seperti waktu pertama kali Krystal mengatakan bahwa ia akan bertunangan dengan pria keturunan Cina-Kanada tersebut.

            “Namanya Kris,”

            “Entahlah, nama asli Cinanya lebih mudah diucapkan,”

           Krystal terdiam, ia menundukkan kepalanya. Agak lama menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya.           

            “Krystal, kau baik-baik saja kan?” Seungyub menatap baik-baik gadis itu.

            Seungyub hanya melihat jelas, bulir air yang jatuh membasahi celana jeans gadis tersebut.

            “Are you crying, Krystal Jung? Yah, are you okay?” desak Seungyub yang kini sudah duduk di sebelah gadis itu. Menyisihkan rambut panjang gadis itu yang menutupi wajahnya.

            “Semuanya batal, semuanya—semuanya sudah tamat.”

            Mata Seungyub terbelalak, ia terkejut—merasa iba dan tak percaya. “Bagaimana bisa?”

           

 

****

 

            “Sulli-ya! Bagaimana keadaannya?”

            “Sulli.., bagaimana keadaan Ara? Sulli? Jawab Ayah,”

            Sulli berusaha mengatur napasnya—yang sesenggukan akibat menangis.

            “Ibu... Ayah... Sebenarnya Ara eonni.....”

            “Apa? Katakan pada kami!” Suara kedua orang tua Sulli yang terdengar ribut dan cemas terdengar jelas di ponselnya.

            “Ara eonni... Dia hamil.” Kata Sulli, ia tidak tahu harus bilang apa pada kedua orang tuanya.

            “Mwo?! Jangan membuat lelucon tentang Ara! Ibu tahu kau membencinya, tapi jangan membuat kebohongan seperti itu!” suara Ibu Im, Ibu Sulli.

            Sulli menghela napasnya, “Aku tidak berbohong, Bu. Aku sedang tidak bercanda,”

            “Kau tenanglah.” Ujar Ayah Choi berbicara pada Ibu Im. “Sulli, jaga kakakmu. Ayah dan Ibu segera ke Seoul, kau tidak usah ke Busan. Tunggu kami disana,”

            Sulli mengangguk, “Baik, Ayah. Kalian hati-hati. Sampai jumpa,”

            Sulli kembali bersandar di kursi besi yang dingin di koridor rumah sakit. Ia bersandar—ia lelah, ia butuh istirahat. Baru saja ia merasakan sesuatu yang membuatnya bahagia, dan harus berakhir dengan masalah seperti itu.

            “Sulli...”

            Sulli tak bergeming—walaupun ia bisa mendengar panggilan yang tertuju padanya—sekarang ia sudah memejamkan matanya.

            “Sulli, sebenarnya tadi—“

            “Apa? Apa yang bisa kau katakan? Apa yang ingin kau jelaskan, huh? Nappeun saramieyo...”

            “Tadi aku hanya ingin melihat keadaan Ara, tapi saat aku mengetuk pintu tidak ada jawaban, dan pintu tidak terkunci. Jadi aku masuk, dan melihat kakakmu sedang meminum sesuatu entah itu apa. Sebelum akhirnya dia melukai pergelangan tangannya dengan pisau.”

            Sulli hanya terdiam mendengar penjelasan Jongin.

            “Maafkan aku.”

            “Bodoh. Bagaimanapun juga ini salahmu, janin yang dikandungnya adalah anakmu.” Ujar Sulli, ”Ini tetap salahmu, aku bersumpah ini salahmu.”

            Kemudian Dokter dan Suster keluar dari ruang gawat darurat. Sulli langsung berdiri menghampiri mereka. “Bagaimana keadaannya?”

            “Kondisi nona Yoo Ara sudah mulai stabil, namun obat yang diminum olehnya membuat janinnya harus kami ambil, karena sudah mati di dalam rahimnya, kami mohon maaf akan hal ini. Nona Yoo Ara akan dipindahkan ke ruang perawatan. Permisi,”

            “Terimakasih, Dokter. Boleh saya melihat keadaannya?”

            Dokter itu mengangguk dan tersenyum ramah.

            Sulli tersenyum—ia senang kakaknya selamat, walaupun janinnya harus digugurkan. “Jongin, kau pulang saja. Kau dengar bukan, Ara sudah tidak apa-apa.”

            “Boleh aku kesini besok?”

            “Terserah kau, asal jangan macam-macam padanya lagi,”

            Senyum Jongin sumringah mendengar perijinan dari Sulli.

            “Sulli, kau tahu? Aku baru sadar kau gadis yang baik, maafkan aku lelaki brengsek yang telah menyakitimu.”

            Sulli tersenyum tipis, sampai tidak terlihat bahwa sebenarnya ia tersenyum—ia masih sakit hati—sedikit. “Omong kosong,” Kemudian ia berjalan menuju ruang perawatan dimana Ara ditempatkan.

            Sulli membuka pintu ruang perawatan, dan langsung disuguhi pemandangan rumah sakit yang kental dengan warna putih bersih—lebih pada berwarna pucat.

            “Unnie....,”

            Sulli berjalan mendekati tempat dimana Ara berbaring. Lalu ia menatap kakak tirinya itu dari kepala hingga kaki, dia masih pingsan dan juga pengaruh obat bius.

            “Kau memang bodoh, gadis bodoh,” Sulli mengusap air matanya, yang sejak tadi sudah membasahi pipinya.

            Seperti merespon perkataan Sulli, gadis yang sedang berbaring itu menggerakkan bola mata, namun masih tertutup kelopak matanya.

            “Unnie... Kau sudah sadar?”

            Sulli kembali menghela napasnya berat. “Bagaimana tanggapan Ayah dan Ibu nanti... Ya Tuhan, kau ini benar-benar bodoh.”

            Sulli merogoh saku mantelnya, mengambil ponsel, lalu menatap layar ponsel datar. Ia ingin sekali menceritakan ini pada pemuda itu, tak lain adalah Lee Seungyub. Namun, ia berpikir-pikir kembali, apakah hal ini penting dan merupakan urusan yang harus Seungyub ketahui. Sulli meletakkan ponselnya di sebelah lengan Ara, mengurungkan niatnya untuk menghubungi pemuda tersebut. Ia menatap nanar kakaknya yang terbaring lemah dengan infus yang menempel di punggung tangannya yang terlihat rapuh itu.

            “Bangunlah unnie...” gumam Sulli, mengusap-usap lengan Ara, hingga dirinya tertidur di samping kakaknya.

 

****

            “Aku tidak habis pikir!”

            Krystal masih tertunduk dengan mata yang penuh air mata. Kemudian gadis itu mendongak menatap Seungyub yang semakin berang setelah mendengar cerita yang mengalir dari bibirnya.

            “Enough, please... Itu sudah berlalu,” gumam Krystal mengusap pipinya yang basah.

            “Berlalu katamu? Seenaknya saja meninggalkanmu, menikah dengan gadis lain, yang tengah mengandung anaknya? Brengsek!” seru Seungyub. Matanya yang biasanya teduh, kini terlihat berkilat-kilat. Bagaimanapun juga Krystal adalah sahabat baiknya, gadis yang pernah singgah lama di dalam hatinya. Karena baginya Krystal adalah salah satu orang yang penting dalam hidupnya.

            Krystal menarik pelan lengan Seungyub yang tegang karena amarahnya. Menuntunnya duduk kembali di sofa. “Cukup, Lee Seungyub. Mom and Dad already forgive him,” tukas Krystal berusaha tersenyum, sesekali air mata masih keluar mengalir di pipinya.

            Seungyub melirik sekilas Krystal, menatap dengan tatapan kesal, kasihan, dan menganggap gadis di depannya saat ini bodoh. Sangat.

            “Okay then, kau akan tetap tinggal disini untuk selamanya?”

            Krystal menggeleng tegas. “No. Aku harus kembali ke Amerika, mungkin beberapa minggu lagi.”

            Seungyub mendesah. “Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa melarangmu apa-apa,”

            “Kau disini tidak pernah terluka bukan?” Krystal mulai mengalihkan pembicaraan.

            “Apa maksudmu?”

            “Luka. Ya apa saja, tersayat atau benturan yang membuat tubuhmu mengeluarkan darah?”

            Seungyub menggeleng. “Tidak, kau tenang saja.”

            Krystal beranjak dari sofa. “Syukurlah kalau begitu, Ibumu menyuruhku untuk menanyakan hal itu padamu. Okay, aku pergi dulu,”

            “Kau yakin?” Seungyub ikut berdiri. “Kau baru saja mengeluarkan rasa penatmu hingga menangis deras seperti itu, dan langsung ingin pulang?”

            “Dan kau berubah menjadi menyeramkan seperti tadi,” sahut Krystal meringis. “Memangnya aku harus bagaimana lagi?”

            “Kau bisa menginap disini. Kau tidur di kamarku, aku bisa tidur di sofa,”

            Krystal tersenyum. “Aku baik-baik saja.” Ia menepuk bahu Seungyub yang jauh lebih tinggi darinya. “Jangan terlalu baik padaku, aku ini gadis jahat untukmu, bukan?”

            Seungyub mengangkat alisnya, bingung. “Maksudmu?”

            Krystal tersenyum simpul. “Sudahlah, aku pulang dulu. Selamat beristirahat, tidak perlu mengantarku ke tempat parkir. Bye!

            Seungyub hanya terdiam, masih terhanyut dalam pikirannya. Aku ini gadis jahat untukmu, bukan?, begitu kata Krystal beberapa saat yang lalu.

            “Meskipun dulu memang menyakitkan, aku tidak pernah sekalipun menganggapnya jahat. Entahlah, siapa orang yang penting dan istimewa untukku saat ini,” gumam Seungyub sembari mengusap rambutnya ke belakang.

            Pemuda itu meraih ponselnya yang berbunyi pertanda panggilan masuk.

            “Halo, Ibu?”

            “Oh, Seungyub! Ya Tuhan, Ibu rindu padamu. Kau baik-baik saja bukan? Apa Krystal mengunjungimu? Aku berpesan sesuatu padanya...”

            Seungyub bersandar di sofanya. “Iya Bu, aku baik-baik saja. Ya gadis itu baru saja kesini. Ya, katanya Ibu menanyakan keadaanku, bukan?”

            “Tentu saja, Ibu takut. Salah satu hal yang paling ibu takutkan di dunia ini adalah jika kau terluka dan mengeluarkan darah,”

            Seungyub menghela napas. “Aku bisa menjaga diriku, Bu. Ibu tenang saja, kalau terjadi apa-apa padaku, ibu bisa memarahiku,”

            “Baiklah, putraku sudah dewasa. Ibu percaya kau bisa menjaga diri, selamat malam, Lee Seungyub,”

            “Tentu, Bu. Ibu dan Ayah harus selalu menjaga kesehatan. Selamat malam, Ibu,”

            Kemudian sambungan terputus. Seungyub menatap layar ponselnya, berniat untuk mengirim pesan pada gadis yang tadi siang bersamanya. Sulli.

 

            Sudah tidur?

            Terkirim.

            Namun, tak ada balasan.

            “Baiklah, lebih baik aku tidur saja. Lelah sekali hari ini, berhadapan dengan dua gadis yang menangisi masalah masing-masing,” gumam Seungyub, kemudian masuk ke kamarnya.

           

 

****

           

            “Sudah tidur?” gumam Ara. Hari sudah pagi, sinar matahari masuk dari celah-celah jendela. Ara yang sudah siuman membaca pesan yang masuk di ponsel Sulli.

            Sulli pun terbangun karena mendengar suara yang bersumber dari pasien di sebelahnya. “Unnie, kau sudah sadar?” Terlihat senyum lega terlukis di wajahnya.

            Ara menatap Sulli lekat. “Mianhae, betapa jahatnya aku—“

            Sulli meremas jari-jari Ara, “Aku tidak apa-apa, yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan pelajaran di kehidupan selanjutnya,”

            “Aku yang menyuruhnya meninggalkanmu, karena aku menyukainya juga...”

            Sulli memejamkan matanya. “Cukup. Itu tidaklah penting, saat ini yang penting adalah reaksi Ibu dan Ayah,”

            “Kau memberi tahu mereka?” tanya Ara tak terlihat takut atau cemas.

            “Tentu saja. Ini fatal, mereka harus tahu. Tidak masalah, bukan?”

            Ara mengangguk, “Aku memang salah. Maafkan aku, Sulli,”

            Sulli tersenyum, “Aku juga. Aku minta maaf, unnie,” Kemudian memeluk tubuh Ara  yang masih terbaring di ranjang.

            “Oh, ini ada pesan untukmu, maaf aku membacanya,” Ara sembari menyerahkan ponsel Sulli pada pemiliknya.

            Kening Sulli berkerut. “Pesan untukku?”

            Ara mengangguk. “Sepertinya kekasihmu?”

            Sulli membaca kalimat di dalam pesan tersebut. Sudah tidur? Kalimat singkat, jelas, tertuju pada satu tujuan. Tak sadar Sulli menyunggingkan senyuman di bibirnya, setelah melihat siapa nama pengirimnya.

            “Oh-oh, kau tersenyum! Seberapa pentingnya kah sang pengirim pesan tersebut?” goda Ara tersenyum tipis. “Ayo, balas! Sepertinya sudah dikirim sejak tadi malam, tapi kau sudah tidur lebih dulu,”

            “Unnie...,” protes Sulli menahan agar wajahnya tidak merona karena malu.

            Beberapa saat kemudian, suster masuk untuk memeriksa keadaan Ara. Lalu seorang pria dan wanita berumur 50 tahunan masuk. Keduanya sama-sama terlihat khawatir dan juga kecewa disaat yang bersamaan.

            “Bagaimana keadaanmu?”

            “Baik-baik saja bukan?”

            “Lebih baik kau ikut kami ke Busan,”

            Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar ditujukan pada Ara.

            “Aku baik-baik saja,”

            Tak lama kemudian, isak tangis terdengar oleh gadis berambut cokelat panjang tersebut. “Mianhae, Ayah.. Ibu, Aku memang anak memalukan, tidak berguna,”

            Ibu segera memeluk, mengusap-usap rambut dan punggung Ara menenangkannya. Sulli hanya bisa melihat adegan itu tanpa berkata apa-apa.

            “Kau memang sudah mengecewakan kami, tapi kau tetaplah anak kami, Yoo Ara,” ujar Ayah.

            “Ya, benar apa kata ayahmu, Ara.”

            “Menurut ayah, lebih baik kau ikut kami saja tinggal di Busan, bagaimana?”

            Ara hanya mengangguk, dengan begitu ia bisa tenang dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi. Dan Sulli pun tidak terbebani oleh masalah yang ditimbulkan oleh kakak tirinya tersebut.

 

( still to be continue... sorry for really late post. and sorry if hthis chapter unsatisfying :( )

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sapphiref
#1
Chapter 5: agak kurang greget jiz~_~ tapi keren kok wkwk jadi inget sama supird /?
Sapphiref
#2
Chapter 2: cool keep writing ne^-^)9