A Little Thing Called Magic - 2

A Little Thing Called Magic

 

            Sinar matahari di musim dingin menembus jendela apartemen Seungyub, membuat si penghuni agak terganggu yang masih bergumul di dalam selimutnya yang nyaman.

            “Jam berapa ini?” gumamnya sambil meraih ponselnya, 07.00. “Sudah jam tujuh.”

            Seungyub memutuskan untuk menjauhi diri dari tempat tidurnya, ia ingin membereskan pakaian dalam koper dan belanjaannya tadi malam. Kemudian ponselnya berdering untuk pertama kalinya di hari ini.

            “Hallo?”

            “Apa benar ini Lee Seungyub?” tanya seorang gadis dari seberang.

            “Benar. Ini dengan siapa?” sahut Seungyub kembali bertanya. Ia tidak habis pikir, ini masih pagi mengapa sudah ada yang meneleponnya.

            “Hm, dompetmu, aku hanya ingin mengembalikan dompetmu, kemarin tertinggal di kedai Jajangmyun, ingat?”

            Seungyub mengingat-ingat, “Benarkah? Lalu aku harus mengambilnya dimana?”

            “Di kedai Jajangmyun kemarin tentu saja. Baiklah, maaf menganggu.” Kemudian sambungan telepon pun ditutup.

            Seungyub memijat keningnya,”Bodoh, ini sama saja merepotkan orang lain.”

            Cepat-cepat ia membenahi apartemennya, setelah itu ia akan mengambil dompetnya ke kedai kemarin.

 

****

           

            Sulli menyapu pandangannya di luar kedai, menunggu lelaki yang meninggalkan dompetnya kemarin. Untung saja hari ini Sulli sedang tidak ada siaran, jadi ia bisa menemui lelaki kemarin.

            “Permisi.”

            Sulli menoleh, mendapati seseorang lelaki bertubuh jangkung di hadapannya. Lelaki itu tersenyum, kemudian  dibalas senyuman canggung darinya.

            “Ah, Hei. Kau Lee Seungyub kan?” tanya Sulli basa-basi.

            “Ya, benar. Terimakasih mau mengamankan dompetku.” Sahut Seungyub menaikkan alisnya. Menyadari dengan warna rambut Sulli yang agak colorful.

            Sulli menyerahkan dompet milik Seungyub.”Ini, lain kali hati-hati. Jangan sampai tertinggal seperti itu lagi.”

            Seungyub mengangguk.”Iya, terimakasih. Rambutmu unik, dan mudah diingat.”

            Sulli meringis.”Unik? Kukira kau akan bilang rambutku aneh. Oh iya, namaku Sulli.”

            “Ah, Sulli... terimakasih banyak, aku berhutang budi padamu.”

            Sulli hanya nyengir seraya menyisir rambut lurusnya dengan jari.”Itu bukan apa-apa, aku senang membantu orang lain.”

            “Sebagai rasa terimakasihku, apa kau mau makan siang denganku? Akan kutraktir, bagaimana?”

            Sulli memandang lelaki tampan di depannya saat ini. “Ah, tidak usah...”

            “Apa kau ada acara?

            “Sebenarnya tidak ada, hari ini aku libur kerja....” ucapan Sulli terputus.

            “Nah, ayolah... aku jadi merasa tidak enak kalau kau menolak ajakanku.”

            Sulli tersenyum simpul. “Baiklah, kau mau mentraktirku dimana?”

            Seungyub menggaruk kepalanya yang tidak gatal.”Sebenarnya aku baru datang dari San Fransisco kemarin, dan aku tidak tahu jalan, apalagi tempat makan seperti itu.”

            Sulli tertawa pelan. “Oh.. tentu, aku akan menunjukkan tempat makan yang enak.”

            “Benarkah?”

            “Tentu, ayo!”

 

****

    

            “Nah! Ini dia tempatnya,” seru Sulli menunjuk tempat makan yang terlihat sederhana, namun apik dari luar.

            “Boleh kita masuk? Aku sudah lapar...” ujar Seungyub meringis.

            “Ayo!”

            Mereka berdua menduduki tempat yang masih kosong di dekat jendela transparan, yang dapat melihat keadaan jalanan di luar.

            Sulli memulai pembicaraan dari keheningan mereka berdua. “Kau bilang kau datang dari San Fransisco?”

            Seungyub mengangguk.”Ya, tapi aku memutuskan untuk tinggal di sini.”

            “Waeyo? Bukankah di sana menyenangkan—sepertinya.” Kata Sulli agak sangsi.

            “Not really. Aku bosan hidup di sana.” Seungyub menatap kosong meja.

            “Oh begitu kah...”

            Kemudian pelayan membawakan makanan untuk mereka berdua. Sepiring besar irisan daging sapi yang sudah diberi bumbu, sayur-sayuran, dan makanan pelengkap lainnya.

            “Ini.. bagaimana cara makannya?”

            Sulli membelalakkan matanya. “Kau hidup berapa tahun sih di San Fransisco?”

            “20 tahun.”

            “Jinjjayo? Kau serius, yaampun. Tapi, bahasa Korea-mu fasih, ya.. mungkin dengan aksen yang agak berbeda.”

            “Ya begitulah, jadi bagaimana caranya. Ini kelihatan sangat enak.”

            “Dagingnya di panggang dulu sampai matang. Kalau sudah bisa langsung dimakan, atau pakai sayuran ini, selada, jamur, lalu dagingnya, bisa pakai makanan pelengkap seperti ini lalu tutup seladanya. Kemudian... Nomnomnom!” ucap Sulli mengunyah penuh makanannya.

            Seungyub mencoba apa yang dikatakan oleh Sulli, lalu  memakannya.”Really delicious!”

            Tiba-tiba ponsel Seungyub berdering.

            “Ya, hallo?”

            “Seungyub, kau sudah makan siang?”

            “Sudah.”

            Terdengar helaan napas lega dari seberang.

            “Aku rindu padamu, Seungyub.” Hati Seungyub perih mendengar kalimat itu.

            Seungyub terdiam memandang gadis di depannya yang makan dengan lahapnya.

            “Kryssie, aku sedang sibuk. Nanti kau bisa telepon lagi. Bye!”

            Sambungan telepon ditutup.

            “Sulli-ssi, maaf mengganggumu.”

            Sulli menggeleng-gelengkan kepalanya.”Tidak sama sekali tidak. Yeojachingu, maksudku your girlfriend?”

            “Teman dan sekaligus calon-mantan-kekasih.”

            “Istilah macam apa itu?” Sulli terkekeh pelan.

            “Sudahlah, tidak penting.”

            “Baiklah, mianhae.”

            Seungyub menatap ke luar jendela. Salju mulai turun, sebentar lagi Natal akan datang. Tapi, hatinya masih saja dingin. Gadis itu... belum bisa hilang dari otak, pikiran, dan di dalam hatinya.

            Sulli mengikuti arah pandangan Seungyub.”Salju mulai turun.”

            “Kau suka salju?”

            “Ne. Aku suka semua musim.”

 

****

           

            Sulli melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Menatap tajam ke rak sepatu, ada sepasang sepatu pria—lagi.

            “Astaga...”

            Gadis itu masuk ke rumahnya.

”Kau sudah pulang?”

            “Menurutmu?” Sulli menoleh, menatap tajam gadis yang lebih tua 2 tahun darinya, Ara, kakak tirinya.

            Ara hanya tersenyum sinis, merangkul kekasihnya yang menurut Sulli wajahnya terlihat menjijikkan dan mesum.

            “Bisakah sehari saja kau bersikap manis padaku?” ujar Ara dengan nada memelas—minta ditinju—menggelikan.

            Sulli tersenyum sinis.”Cih. Jangan mimpi! Kalau mau melakukan itu, jangan di rumah ini. Sana di hotel saja, lebih nyaman bukan?!”

            “Kau mengusir kami?”

            “Iya! Jangan menodai rumah ini, dengan kelakuan kalian yang menjijikan.”

            Ara berjalan mendekati Sulli, yang tubuhnya lebih tinggi darinya. “Okay, anak manis. Selamat bersuram ria di rumah.”

            “Sialan.” Umpat Sulli dalam hati, lalu berjalan kesal masuk ke kamarnya.

           

            Sulli membanting tasnya ke kasur, mengacak-acak rambutnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin pergi dari rumahnya itu dan membeli atau menempati apartemen. Namun, apa daya rumah itu adalah peninggalan orang tuanya, dan ia tidak tega untuk meninggalkannya demi egonya sendiri. Sulli menatap pantulan dirinya di cermin. Ia lelah, kantung di bawah matanya terlihat makin jelas, ia butuh istirahat.

            “Lebih baik aku mandi dulu.” Gumamnya sambil meraih handuk di gantungan lemari.

           Hari ini memang tidak selelah hari hari bekerja, hari ini bahkan ia merasakan hatinya cukup senang. Tentu saja, bertemu orang baru. Orang Korea, namun lahir di San Fransisco dan tinggal disana selama—hingga ia dewasa—lalu kembali lagi ke Korea, entahlah suatu alasan yang kurang dimengerti oleh Sulli, yang penting hari ini ia sudah berbuat kebaikan, dan mendapatkan balasan—walaupun ia tidak menginginkannya.

            “Yah! Sulli-ah.” Ucapnya sambil menatap lurus bayangannya di cermin.

            Sulli menghela napasnya berat.”Kau tahu? Hari ini aku senang. Um, sangat senang. Lelaki tampan itu, tak sedingin yang kukira.”

            Ia menghentikan gerakan menyisir rambutnya.”Tapi, aku tidak boleh terlalu berharap.”

            “Sulli-ah. Besok kau harus bekerja lagi, fighting!” serunya pelan, kemudian ia mengenakan eye mask sebelum tidur.

            “Good night.” Gumamnya pelan, tanpa mematikan lampu tidurnya.

 

****

 

            “Apa tidak ada acara yang lebih menarik?” ucap Seungyub datar, menatap televisi yang menayangkan tayangan iklan produk pelangsing yang tidak penting. Siang tadi, ia menghabiskan makan siangnya bersama gadis berambut unik—warna-warni—begitu juga sifat luarnya. Ia lupa kalau seusai makan siang tadi, ia tidak mampir ke minimarket untuk membeli beberapa makanan ringan atau mie instan untuk menyambung hidup.

            Terdengar suara aneh dari dalam tubuhnya.”Astaga.”

            Seungyub membuka kain gorden, melihat keadaan di luar.”Pantas saja, sudah malam begini.”

            Kemudian ia mematikan televisinya, ya, malam ini ia akan keluar lagi untuk membeli kebutuhannya di minimarket. Ia memakai mantel cukup tebal, sarung tangan, dan topi rajut—dari Krystal—yang terpaksa ia pakai.

 

            “Annyeong oppa, mau kemana?” sapa seorang gadis berwajah manis yang tinggal di sebelah apartemennya, bersama Ibu dan Kakaknya.

            Seungyub mengunci pintu apartemennya, lalu tersenyum.”Membeli sesuatu di minimarket. Habis dari mana, Yunjo?”

            Gadis bernama Yunjo itu menunjuk-nunjuk tasnya.”Tugas kelompok, jadi pulangnya agak malam begini. Oppa, aku masuk dulu ya. Sampai jumpa.” Ujar Yunjo seraya melambaikan tangannya, lalu masuk ke apartemennya.

            “Sampai jumpa.”

 

            “Selamat malam, Sunshine Minimarket!” ujar seorang wanita yang menjaga kassa dengan nada yang masih ceria.

            “Ne...” ujar Seungyub tersenyum tipis kemudian mengambil kebutuhan sehari-hari. Setelah beberapa menit, memasukkan barang-barang ke dalam keranjang belanja, ia menuju tempat kasir. Lalu mengantri sebentar, karena ada seseorang yang sedang membeli rokok dan sesuatu yang pengaman berbagai rasa untuk kepentingan pribadi—di dekat meja kasir.

            Seungyub berusaha melihat hal itu biasa-biasa saja.”Berapa semuanya?” tanya pemuda berambut cokelat terang di depan Seungyub.

            “5000 won.”

            Pemuda itu mengeluarkan dompetnya, tanpa sengaja—karena memang terlihat—ada selembar foto sang pemilik dengan seorang gadis, yang terlihat tidak asing.

            “Mirip siapa ya...” gumam Seungyub berusaha mengingat-ingat.

            Tanpa diduga Seungyub, pemuda tersebut menatapnya dengan tatapan aneh—atau tidak suka—pada dirinya. Seungyub hanya balik menatapnya datar, menunjukkan bahwa dirinya tidak memperhatikan pemuda itu. Kemudian pemuda itu pergi, dan hilang dari penglihatannya.

            “Silahkan..” ujar sang kasir.

            “Ah, ne.. ne..”

            “Semuanya, 75000 won.”

            “Ini uangnya, kembaliannya aku ambil soft drink ini. Terimakasih.”

            Seungyub keluar dari minimarket.”Ah, hujan turun lagi. Aku harus cepat sampai apartemen.”

 

            Ponsel berdering tanda pesan masuk. Krystal Jung.

            Seungyub berhenti di depan pintu lift, kemudian membaca pesan itu.

 

            “Seungyub! Kau sudah makan malam? Apa hari ini kau lelah? Kau makan apa hari ini? Dengan siapa? Kuharap kau bisa beradaptasi disana. Aku sangat mengkhawatirkanmu.”

           

            Seungyub tersenyum simpul. Sahabat yang baik, gumamnya dalam hati. Kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam lift, yang membuat beban di hati dan pikirannya semakin berat.

            “Bisakah berhenti memedulikanku?” batin Seungyub frustasi.

To Be Continued

credit poster : http://cafeposterart.wordpress.com/

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sapphiref
#1
Chapter 5: agak kurang greget jiz~_~ tapi keren kok wkwk jadi inget sama supird /?
Sapphiref
#2
Chapter 2: cool keep writing ne^-^)9