A Little Thing Called Magic - 3

A Little Thing Called Magic

3

 

            Lee Seungyub, mengusap-usap kameranya dengan tisu. Hari ini ia akan hunting berbagai tempat yang ada di Seoul.

            Seungyub mengerjap.

            “Tunggu sebentar. Apa aku yakin akan hunting? Sendirian?” ujarnya pada diri sendiri.

            Seungyub meletakkan kameranya di meja dekat tempat tidur. Ia meraih ponselnya, menekan nama Sulli di phonebooknya ragu. Ia menatap ponselnya. Lama. Kalau saja tatapannya itu bisa membakar sesuatu, mungkin ponselnya kini sudah menjadi abu.

            Ia baru kenal dengan gadis itu beberapa hari ini, apa ia harus merepotkannya lagi?

            Tapi, gadis itu gadis yang baik, ramah, juga cantik. Ah, aku ini bicara apa, gumam Seungyub.

            “Apa harus meminta pertolongannya... Lagi.” Seungyub memutar-mutar ponselnya.

            Setelah berpikir hampir setengah jam, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi gadis itu lagi. Memang agak merepotkan dirinya, namun kalau ia tidak meminta bantuan gadis itu, ia bisa tersasar.

 

            Seungyub berdeham sebelum membuka pembicaraan lewat telepon.”Benar ini Sulli-ssi?”

            “Ne. Ini Lee Seungyub?”

            Seungyub menghela napas.”Bolehkah meminta bantuanmu?”

            “Apa yang bisa kubantu?”

            “Bisakah temani aku berkeliling Seoul hari ini?”

            Hening.

            “Hari ini? Tapi ada jadwal kerja nanti siang, jadi aku hanya bisa menemanimu hingga jam makan selesai saja. Bagaimana?”

            Seungyub tersenyum—walaupun tentu saja tidak terlihat oleh Sulli. “Kau mau? Tentu saja, setengah hari pun tak apa.”

            “Bertemu di kedai kemarin?” Terdengar suara tawa kecil dari seberang.

            “Ah, baiklah. Terimakasih sekali lagi, sampai jumpa.”

 

            Seungyub bersandar di dinding, lega. Rasanya seperti hendak memberi tahu pada gadis yang disukainya, lalu cemas atas jawaban yang akan di berikan. Agak berlebihan memang, tapi itulah yang dirasakan lelaki bermaga Lee tersebut.

 

***

 

            Choi Sulli baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk lalu duduk di depan meja rias. Ia mendesah, sampai pagi ini kakaknya belum kembali.

            “Sudahlah terserah dia.” Gumam Sulli sembari menggunakan liptintnya.

            Suara panggilan masuk terdengar dari ponselnya, Sulli meraih ponselnya yang masih ada di kasur. Tanpa melihat siapa nama yang tertera disana.

           

            “Benar ini Sulli-ssi?” suara yang tidak asing terdengar di telinganya.

            Ah, Lee Seungyub, gumam Sulli mengingat-ingat.

            Sulli kemudian menjawab. “Ne, Ini Lee Seungyub?”

            “Bolehkan meminta bantuanmu?” tanyanya dengan nada sedikit gugup, begitu menurut Sulli.

            “Apa yang bisa kubantu?” ujar Sulli.

            “Bisakah temani aku berkeliling Seoul hari ini?”

            Sulli hanya terdiam. Agak lama. Kemudian ia menjawab.

            “Hari ini? Tapi ada jadwal kerja nanti siang, jadi aku hanya bisa menemanimu hingga jam makan selesai saja. Bagaimana?”

            “Kau mau? Tentu saja, setengah hari pun tak apa.”

            “Bertemu di kedai kemarin?”tanya Sulli geli.

            “Ah, baiklah. Terimakasih sekali lagi, sampai jumpa.”

 

            Sulli terdiam, ada semburat senyum di wajahnya. Sudah lama ia tak merasakan perasaan seperti itu. Dan kini akhirnya ia merasakannya lagi, ia sendiri pun bingung mengapa ia bisa merasakan itu kembali—dengan orang asing yang baru ia kenal.

           

****

 

             Lee Seungyub menepuk pelan bahu gadis yang mengenakan sweater rajut yang terlihat tebal, lalu ia tersenyum.

            “Oh, hai.” Sulli menoleh, lalu berdiri menghadap Seungyub.

            “Hai juga.”

            Sulli melirik ke samping bahu Seungyub,”Kau bawa mobil?”

            Seungyub mengangguk mengikuti arah pandangan Sulli.”Entahlah bagaimana caranya, mobil itu sudah ada di depan apartemenku dengan secarik kertas yang menuliskan mobil itu ditujukan untukku, dari Ibuku.”

            Sulli terkekeh. “Wuah, hebat sekali.”

            Seungyub tersenyum masam. “Ya, sangat. ”

            “Jadi? Kau mau kemana?”

            “Menurutmu?”

            “Seoul Tower?” usul Sulli mengetuk bibirnya.

            Seungyub memutar bola matanya.”Gembok cinta?”

            Sulli berbinar. “Kau tahu?”

            “Siapa sih yang tidak tahu, di Amerika, teman-temanku yang baru bertunangan selalu membicarakannya.”

            “Oh-oh, benarkah? Kalau begitu....”

            “Baiklah! Ayo ke Seoul Tower saja.”

            Seungyub membuka pintu mobil untuk Sulli. “Oh, terimakasih, bahkan kau tidak perlu melakukannya untukku.” Sulli tersenyum canggung.

            “Ibuku bilang, itu sebagai tanda hormat pada wanita.” Sahut Seungyub mengusap tengkuknya. Sulli mengangguk lalu masuk ke dalam mobil.

 

            “Kau sering jalan-jalan keliling Seoul?”

            “Tidak terlalu, mungkin saat libur kerja, aku berbelanja di Lotte Mart dan melakukan wisata kuliner hingga karaoke hingga larut malam. Bahkan minum soju.”

            Seungyub menoleh gadis itu sekilas. “Menyenangkan juga, kapan-kapan apa aku boleh ikut?”

            Sulli menoleh. Ia agak terkejut. “Kau yakin? Ngg, maksudku teman-temanku itu sangat gila minum, mereka tidak akan pulang sampai mereka mabuk.”

            Seungyub tertawa. “Woah, that’s unbelievable!”

            “Ya begitulah...”

            Beberapa saat hanya keheningan yang memenuhi mobil bernuansa krem dan cokelat kayu yang membuat kesan klasik yang elegan, membuat siapapun berada di dalamnya merasa nyaman bila berlama-lama di dalam mobil tersebut—ditambah aroma kayu-kayuan, kopi, dan sedikit menthol yang lembut—dari parfum mobil.

            “Nah, sudah sampai.” Ucap Sulli melepas seatbelt dari tubuhnya.

            Mereka berdua turun dari mobil, tak lupa Seungyub membawa kameranya.

            “Kita mau kemana dulu?” tanya Sulli sembari merapikan rambutnya dengan jari.

            “Gembok-gembok itu dulu saja, bagaimana?”

            Sulli mengangguk. “Baiklah,”

 

 

 

            “Kau mau beli gembok?” tanya Seungyub saat berada di tempat dijualnya gembok-gembok dengan berbagai bentuk, corak, warna, dan ukuran yang beragam.

            Sulli terkekeh. “Aku sudah pernah membelinya.”

            “Dengan kekasihmu?” Seungyub masih sibuk memilih warna gembok yang tidak terlihat feminim untuknya.

            Sulli terdiam. Seperti klise. Bayangan-bayangan itu muncul lagi. Membuat kepalanya terasa berputar, dan mual. Ia benar-benar ingin menghapus bayangan itu dari pikirannya.

            Seungyub menoleh, baru sadar bahwa teman bicaranya cukup lama terdiam, tidak menjawab pertanyaan sederhananya itu. “Sulli-ssi? Kau baik-baik saja?”

            Sulli menggeleng.

            “Oh, astaga. Maaf, pertanyaanku tadi bukan bermaksud ingin mengetahui privasimu.” Seungyub mengibas-ibaskan tangannya.

            “Aku tidak apa-apa. Baiklah, aku mau juga, menurutmu yang mana yang bagus?”

            Seungyub menghela napas lega. “Ini. Bagaimana?” Ia menyodorkan gembok berbentuk kubus berwarna biru muda.

            “Bagus, terimakasih. Ayo tuliskan permohonanmu atau apa saja yang ingin kau tulis.”

            Sulli mengambil spidol untuk di tulis, lalu ia menuliskan sesuatu yang ingin ia tulis.

            “Sudah menulisnya?” tanya Seungyub melirik gembok milik Sulli.

            “Sudah. Ayo kita gantung disana.”

            Mereka berdua menggantung gembok lalu menguncinya.

            Seungyub bingung menatap kunci gembok miliknya. “Lalu ini untuk apa? Disimpan?”

            Sulli terkekeh pelan. “Tentu saja tidak, ini dilempar ke bawah sana.”

            “Kau yakin? Memang orang-orang di bawah tidak kejatuhan kunci ini?”

            Sulli memutar bola matanya. “Ah, sudahlah kau buang saja kuncinya. Kau ini aneh sekali,”

            Seungyub hanya mengangkat bahu. Ia tidak membuang kuncinya, ia mulai menggunakan kameranya untuk memotret gadis di depannya saat ini yang sedang bersandar dengan rambut highlight colorfulnya yang panjang—tertiup angin musim dingin yang sejuk, di antara gembok-gembok yang menggantung saling bertumpuk satu sama lain, dengan warna yang berbeda bentuk yang berbeda membuat kesan apik, indah, nan unik bila dilihat.

            Sulli menoleh, ia baru sadar bahwa ia dijadikan objek oleh Seungyub.

            “Yah, apa yang kau lakukan?”

            “Hanya memotret,” sahut Seungyub mengatur bidik untuk mengambil gambar di sekitar Seoul Tower. Memotret keramaian tempat tersebut di musim dingin.

            Sulli mencibir. “Kau memotretku, lalu mana bayaranku?”

            “Oh, astaga. Aku baru saja memotret seorang model tersembunyi.”

            Sulli terkekeh memukul pelan lengan Seungyub.

            “Lalu kita mau kemana? Sudah jam 11, bagaimana makan siang?”

            “Tapi ini belum jam makan siang,” ujar Sulli melirik jam yang melilit di pergelangan tangan kirinya.

            “Memangnya kenapa?” Seungyub berhasil memotret, seorang gadis kecil dengan dress bunga-bunga mungil—gadis kecil itu sedang berjalan memegangi boneka Unicorn.

            “Yaaa.. neomu kyeopta!” seru Sulli yang juga melihat gadis kecil itu.

            Seungyub tersenyum. “Oh, ayolah. Aku lapar,”

            “Baiklah, makan di dekat kantorku? Bagaimana?” tawar Sulli.

            Seungyub mengangguk. Dimana saja asal perutnya segera diisi.

 

 

****

 

            Seoul, 20 Desember.

 

            Sudah dua minggu ini Seungyub tinggal di Seoul, rasa nyaman sudah terasa. Ia sudah tidak terlalu memikirkan keluarganya di San Fransisco. Kini ia sudah punya kehidupan baru yang lebih baik di Seoul. Ia punya teman baru, dan rekan kerja baru. Ya, ia sudah memperoleh pekerjaan sebagai fotografer freelance, di agensi majalah remaja. Pekerjaan yang menuntut dirinya untuk memotret model gadis remaja yang menurutnya lucu-lucu, imut, hingga terkadang menyebalkan—susah diatur. Pekerjaan yang lumayan mengisi waktunya, dompetnya, selain itu ia tetap melakoni street-photography-nya. Ditemani gadis itu, Choi Sulli.

            Seungyub yang sedang menyantap kimbap kiriman dari Yunjo—tetangga sebelah apartemennya, harus terganggu dengan panggilan dari ponselnya.

            “Ne,  Hyungjun hyung? Ada apa? Bukankah ini hari Minggu?” sahut Seungyub malas, sembari mengunyah kimbapnya.

            “Yah! Kau lupa? Baru saja kemarin aku bilang bahwa hari ini ada model dari Amerika yang akan berkolaborasi dengan pemenang model remaja sampul bulan ini.”  Seungyub memijat keningnya. Pening. Salju mulai sering turun, sebentar lagi Natal. Tapi ia masih saja sibuk bekerja.

            “Ne..ne, baiklah.

            “Jangan lupa, berpakaian yang rapi, supaya ketampananmu meningkat!”

            Kemudian sambungan diputus.

            Seungyub mencibir. “Dia pikir ketampanan bisa diukur?” Lalu membuang bungkusan kimbapnya.

 

****

           

            “Jadi, mana model itu? Sebegitu pentingnya kah—”

            Kim Hyungjun, seorang pria yang sangat mengerti fashion. Dandanan sehari-hari yang maskulin, berwibawa. Tapi, agak bawel dengan urusan fashion anak buahnya. Contohnya Lee Seungyub yang sering dikomentari. “Kau ini tampan, tubuhmu itu sangat mendukung untuk memakai baju apa saja. Tapi mengapa kau hanya mengenakan pakaian ala kadarnya?”

            “Jangan kau pikir kau ini fotografer andal di San Fransisco, kau jadi acuh begini...”

            Seungyub hanya mengangkat bahu, sambil melinting sweater panjangnya. “Bukan begitu... aku hanya. Yah, aku saja tidak terlambat, mengapa model itu malah terlambat?”

            Hyungjun hanya menghela napas. Lalu bersandar ke kursi hangatnya.

            Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pintu.

            “Pasti itu dia!”

            “Oh, astaga.” Gumam Seungyub tidak antusias, karena panggilan inilah yang menganggu hari liburnya.

            “Annyeonghaseyo...” ucap seorang gadis, ya, model itu.

            Hyungjun membungkuk, lalu berjabat tangan dengan gadis itu.

            “Welcome!”

            Seungyub masih enggan menoleh, tapi ia mendengar suara familiar di telinganya. Tapi setelah berseteru hebat dengan pikiran dan kemauannya, akhirnya ia berdiri, dan membalikkan tubuhnya ke arah pintu yang kini terbuka lebar.

 

            Mata Seungyub melebar saat melihat gadis berambut cokelat kayu, dengan dress selutut, mantel krem berbulu itu tengah tersenyum.

            “Kau..., sedang apa disini?”

 

TO BE CONTINUE

credit poster by http://cafeposterart.wordpress.com/

           

            

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sapphiref
#1
Chapter 5: agak kurang greget jiz~_~ tapi keren kok wkwk jadi inget sama supird /?
Sapphiref
#2
Chapter 2: cool keep writing ne^-^)9