Enam

TIME TRIAL

(ada tambahan pada bagian Lima, silakan dibaca ulang^^)

 

I’m gonna be a badboy, I gotta be a badboy~”

            Kris menyernyit sedalam yang ia bisa. Suara milik Chorong melesak, memukuli gendang telinganya secara kasar. Melirik sekotak tisu pada meja di hadapannya, Kris berniat untuk menyumpal telinganya dengan benda tersebut.

            “I make it rainizm, the rainizm~ Nae momeul neukkyeobeoryeosseo~”

            Masih dalam pikiran yang sama, Kris tak bisa menghentikan diri untuk terus bertanya: apakah di ruangan khusus bernyanyi yang dindingnya dilapisi oleh karpet seperti ini seseorang bisa kehilangan kendali?

            “Huaaa! Rain Bi! Ji Hoon Oppa! Haaaaa!”

            Satu lagi suara berisik Chorong keluarkan, maka Kris bersumpah akan—

            “YA TUHAN AAAAA! RAIN OPPA!”

            —merebut microphone yang digunakan gadis tersebut.

            Dan Kris melakukannya. Sebelum mendengar lebih banyak pekikan tak keruan yang bisa membuat gila seketika, Kris akhirnya mengambil microphone abu-abu yang semula ada di genggaman Chorong.

            “I’m go—HEY! Apa yang kau lakukan?!” Chorong yang hendak menyanyikan satu larik lagu Rainizm milik Rain secara impuls berteriak begitu jemarinya kehilangan piranti elektronik yang tengah digunakannya.

            “Kau mau membuatku tuli seketika?” Kris mengarahkan ujung bulat microphone tepat ke wajah Chorong. Membuat Si Perempuan memundurkan wajahnya beberapa inci. “Kau menyanyi seperti orang kesetanan, kau tahu? Ayo kita pulang dan istirahat. Apa kau tidak lelah menyanyi di sini tiga jam tanpa henti?”

            “Kalau begitu kenapa kau mengiyakan ajakanku untuk datang ke tempat karaoke ini? Dan, oh, kau seharusnya tahu kalau tempat ini memang tempat orang-orang untuk bernyanyi dengan bebas, sesuai dengan keinginan mereka. Termasuk juga sesuai dengan keinginanku.” Berusaha meraih microphone yang kini teracung, Chorong sampai harus berjinjit demi menyentuh ujung benda itu—dan tentunya dengan sukses tak berhasil dilakukan. “Ayolah, Kris. Aku tidak bisa membiarkan Rain-ku menyanyi seorang diri.”

            “Dan siapa orang gila yang kau sebut Rain itu? Siapa—AW!”

            Tumit sneaker biru tua Chorong mendarat tanpa kesulitan pada alas kaki legam milik Kris. “Apa kau bilang? Orang gila? Apa maksudmu?”

            “Ya siapa memangnya Rain itu?” Kris mengusap pelan sepatunya, seakan sentuhannya itu akan mampu mencapai kulit kakinya yang sekarang berdenyut. “Injakanmu lumayan juga.” Tambah Kris, tidak berbasa-basi.

Dengan delikan tajam, Chorong—masih—mencoba menggapai microphone­ yang diinvasi Kris. “Dia pacarku. Puas?”

“Tidak puas, karena aku tidak percaya. Mana ada yang mau denganmu?”

“Aish, kasar sekali. Mau aku tinju kau sampai remuk?” Kebengisan tak bisa dihindari dari irama suara Chorong. “Oke, Rain itu penyanyi tampan yang sangat terkenal. Sudah jelas, bukan? Nah, kalau begitu berikan mic itu padaku. Ayolah, Kris, beberapa lagu lagi saja, dan setelah itu kita akan pulang.” Kontras dengan ekspresi pertamanya, kini Chorong mengatupkan kedua tangannya seraya menyorotkan tatapan mengiba, seolah berdoa.

Dan melalui sorot haus akan belas kasihan itu, Kris pun kalah. Ia akhirnya menyerahkan benda yang sebenarnya sangat ingin ia injak pada Chorong. Dan subjek kedua menerimanya dengan sangat sumringah.

“Kau mau ikut bernyanyi—“

“Tidak. Perlu.” Penekanan diberikan Kris pada setiap kata yang diucapkannya. “Yang aku inginkan sekarang hanyalah pulang, dan memikirkan cara terbaik untuk menghancurkan Lee Sooman.”

Tak terlalu ambil pusing dengan apa yang Kris katakan, Chorong memutar ulang lagu Rainism dan kembali menyanyikannya seolah tak akan ada hari esok. Ia membuat gerakan-gerakan aneh seperti menggerakan kaki dan tangan, mengajak Kris untuk bersama mengikuti alunan lagu, bahkan sampai menaikan satu kaki ke atas sofa, dan berlagak bagaikan seorang penyanyi yang sedang menghibur penontonnya dalam konser tunggal. Singkatnya, Chorong seperti sedang berada dalam tingkat kesadaran di bawah rendah.

Dalam frontalisnya, Kris mencatatkan salah satu cara yang kira-kira dapat ia gunakan untuk menghancurkan usaha Lee Sooman—Lee Sooman incarannya, sekaligus Lee Sooman rektor di kampus guest-house-nya.

Cara pertama yang ia runut, dan mungkin, akan dijadikan opsi paling terakhir saat semua metoda yang dicobanya mengalami kegagalan:

mengajak Lee Sooman untuk datang ke tempat karaoke, bersama dengan Park Chorong.

Yeah, siapa tahu suara Chorong akan mampu membuat seluruh saraf milik Lee Sooman rusak dan tidak bisa berfungsi lagi, sehingga Kris dapat dengan mudah menghancurkan usaha lelaki tua itu.

Seandainya bisa semudah itu. Kris membatin lagi, untuk kemudian menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

***

“Kurasa suaraku tidak terlalu buruk.” Chorong berujar, begitu ia dan Kris—akhirnya—keluar dari tempat karaoke. Seorang penjaga perempuan yang bertugas memberikan salam ‘selamat datang’ dan ‘sampai jumpa’ menyuarakan terima kasih dalam bisikan, dan tak bisa untuk tidak melirik Kris dua kali begitu ia melewatinya.

“Memang,” Jawab Kris. Ia memasukan tangannya ke dalam saku celana dalam-dalam.. Kini punggung Kris makin mengecil di pandangan penjaga karaoke—menandakan mereka sudah melangkah semakin jauh. “tapi kau bernyanyi seperti orang yang baru pertama kali menemukan microphone. Mengerikan, tahu?”

“Tentu saja, memangnya siapa yang akan bernyanyi dalam keadaan santai begitu lagu milik Rain mengalun?” Si Gadis mengatupkan kedua tangan dan meletakannya di bawah pipi. Ekspresi tengah-mengidam-idamkan-sesuatu pun ia tunjukan. “Hah, benar-benar keren.”

“Terserah kau.”

Masih mengulum senyum, Chorong menurunkan tangannya. “Ah, karena mood-ku sudah membaik setelah bernyanyi dengan Rain, aku akan menawarkanmu makan malam spesial hari ini.”

“Makan malam spesial?” Kris mengerutkan kening, namun tak tertangkap iris Chorong. “Maksudmu, kita tidak akan makan ramen?”

“Betul!” Senyum Chorong makin lebar. “Dan sebagai gantinya, aku akan menraktir makan malam untukmu. Aku tahu kalau kau sekarang sedang dalam keadaan stress karena telah menemukan targetmu, dan kau pasti membutuhkan makanan yang bisa membuatmu berpikir lebih tenang.” Ia mengusap-usap lengan Kris dengan rasa simpati yang dibuat-buat.

Menjauhkan bagian atas tangannya secara perlahan, Kris mendengus kecil. “Tidak seburuk yang kau kira, Nona.”

Chorong mendelik, tetapi kembali tersenyum. Dan Kris melihatnya. Lelaki ini pun bertanya-tanya: sehebat apakah Rain itu sampai bisa membuat Chorong sebegini bahagianya? Ingin bertanya, tapi tentu Kris memilih untuk mengubur lagi kata-katanya.

Mungkin nanti aku bisa menanyakannya—kalau tidak ada pekerjaan yang lebih penting lagi tentunya. Pikir Kris. “Mau memasak apa? Memang kau punya uang?”

“Hei, kau mau mengatakan kalau aku ini miskin?” Jawab Chorong tak terima. “Biasanya, setelah rapat bulanan khusus mahasiswa/i penerima beasiswa, maka akan ada uang bulanan mengalir ke kantongku. Selain itu, aku juga masih punya sisa gajiku bulan kemarin.”

Tanpa sadar Kris mengangguk dan melayangkan lirikan ke atas. Langit yang kelam tanpa tak ada satupun kerlip bintang mengintip menyambutnya. “Kau bekerja?”

Yeah.”

“Kenapa selama beberapa hari aku berada di rumahmu, belum pernah kulihat kau pergi ke tempat kerja?”

“Dua minggu sejak minggu kemarin, pemilik rumah makan tempatku bekerja memintaku untuk tidak bekerja dulu. Entah karena apa.” Gadis di sebelah Kris mengendikkan bahunya. “Ah, kebetulan sekali kau bertanya. Makan malam spesial kali ini akan dipersembahkan oleh rumah makan tempatku bekerja paruh waktu.” Ia menoleh pada Kris. Dan Kris dapat menemukan kerlingan tawa tercermin pada sudut mata Chorong.

“Maksudmu? Kita akan makan di tempat itu?”

Tiada sahutan, namun beberapa detik setelahnya Kris dapat merasakan telapak tangannya terhentak ke depan. Membuat tubuhnya ikut tertarik, dan terbawa oleh Chorong. Terlalu terkejut dengan gerakan tiba-tiba ini, Kris tidak mampu menolak atau bereaksi. Ia membiarkan perempuan yang jauh lebih kecil itu memimpin setiap langkah yang dirauknya.

Biarkanlah untuk sekarang gadis ini melakukan apa yang diinginkannya, meski hanya beberapa detik.

***

“Ayam?”

Kelopak mata Kris terbuka dengan sangat lebar, sesaat setelah Chorong menyebutkan makanan pesanannya kepada seorang wanita tua yang teridentifikasi sebagai pemilik rumah makan tempat mereka berada.

“Terima kasih, Bibi Lee. Aku jadi merasa tidak enak.” Chorong yang tidak mendengar desisan Kris masih berbincang dengan wanita tua tersebut.

“Ah, jangan begitu,” Bibi Lee yang kerap disapa Nyonya Kim—yang juga adalah atasan Chorong—tersenyum menenangkan. Wajahnya mungkin sudah tak muda lagi. Namun senyumnya mampu menyegarkan siapa saja yang melihatnya. “Bagaimana kabarmu? Senang rasanya kalau mengingat minggu depan kau sudah bisa bekerja lagi. Aku dan anakku merindukanmu.” Masih dengan senyum, Nyonya Kim mengedipkan sebelah mata. “Ah, apakah ini...” Pandangannya kini beralih pada Kris, yang duduk berhadapan dengan Chorong.

Sementara subjek yang ditatap tak sadar, karena kedua matanya masih terpaku pada daftar menu yang ada di genggaman.

“Ah, benar. Kris,” Dengan satu tendangan kecil pada tulang kering Kris, Chorong menyentak konsentrasi lelaki itu.

Refleks, Kris meringis. Ia mendongak dan siap membanjiri Si Pelaku dengan rentetan kata. Tetapi pandangan Chorong yang mengisyaratkan dirinya untuk sedikit memberi perhatian pada wanita di samping mereka membuat Kris membatalkan niatnya. Ia berdiri, dan membungkuk pada wanita itu. “Halo, aku Kris. Senang bertemu dengan Anda.”

“Ah, Kris ternyata,” Nyonya Kim tertawa kecil. “Kau dan Chorong...apakah kalian sepasang kekasih?”

“Bukan!” Dengan kecepatan yang melampaui normal, keduanya menjawab serempak.

“Dia...kakak tiriku.” Sebelum didahului seperti saat mendeklarasikan hubungan mereka pada Bomi, Chorong buru-buru menyahut lagi.

“Kakak...tiri?” Kelihatan bingung, Nyonya Kim mengarahkan ujung telunjuknya secara bergantian pada Chorong dan Kris. “Uh, baiklah. Senang bertemu denganmu, Kris. Kau pemuda yang sangat tampan.” Namun ia memilih tak bertanya lebih lanjut.

“Oh, tentu saja.” Tanpa alasan jelas Chorong tertawa terpatah-patah. Terdengar sangat dipaksakan sehingga membuat Kris mendelik ke arahnya. “Kakakku ini memang lelaki paling tampan.” Chorong mengangkat tangan dan menepuk-nepukkan telapaknya ke pipi kanan Kris beberapa kali. Awalnya memang lembut, tapi kelamaan berubah menjadi sentuhan yang keras.

“Bisa saja,” Kris meraih pergelangan tangan Chorong dengan senyum jenis aku-bisa-mengikuti-permainanmu terukir di bibirnya. Ia menekan keras ujung tulang hasta dan pengumpil Chorong di antara jemarinya. “Adikku juga adalah perempuan paling imut yang pernah ada.”

“Benar-benar manis,” Gumaman Nyonya Kim yang masih mampu terdengar oleh dua orang pemain watak di depannya membuat Kris dan Chorong nyaris kejang-kejang di tempat. “Kalian tunggu, ya. Pesanan kalian sebentar lagi akan datang.”

Setelah sebelumnya mempertunjukan senyum kecil, Nyonya Kim meninggalkan Kris dan Chorong. Kedua ‘adik-kakak’ itu kemudian menyudahi kontak berupa sentuhan yang masing-masing buat, dan kembali duduk.

“Terima kasih sudah menyebutku lucu, Kakak.” Chorong melafalkan kata terakhirnya dengan nada mendayu. Seketika Kris ingin ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya.

“Sama-sama, Adikku. Terima kasih juga sudah menyebutku tampan. Walaupun tanpa pengakuanmu sebenarnya aku memang sudah tampan.”

Chorong tersenyum manis—tapi tentu saja masih dibuat-buat—dan berujar, “Lebih baik kau bicara saja dengan ceker ayam yang kupesan tadi.”

Air muka Kris seketika berubah. Ia bersandar pada kursi kayu yang didudukinya, dan melipat tangan di dada. Pandangannya menelusuri setiap sudut rumah makan yang kental dengan warna cokelat dan peralatan berbahan kayu. Memang tidak mewah, tapi mampu membuat dirinya merasa nyaman. “Kau pesan kaki ayam?”

Yang ditanya mengangguk dua kali, dengan penuh semangat. “Memangnya kenapa?”

“Aku tidak makan ayam.”

Sorot tatap ganjil dipancarkan iris Chorong. “Kenapa? Kau alergi terhadap ayam?”

Kris hanya menggeleng. Ekspresinya tetap sama.

“Lalu?”

“Aku tidak suka ayam.”

Mendengar jawaban Kris, Chorong memajukan wajahnya beberapa inci. Ditatapnya Kris dengan mata menyipit, seolah mempertanyakan kesungguhan. “Kau...tidak suka ayam?”

“Ayam bukan sesuatu yang kusukai.” Jelas Kris.

“Tidak perlu repot-repot menyukai ayam. Lagipula, ayam pun kelihatannya tidak menyukaimu.”

Jika sedang meneguk minuman, sudah dipastikan Kris akan langsung tersedak. Ayam tidak menyukaiku? “Yah, siapa memangnya yang ingin disukai ayam?”

“Aku suka ayam.” Chorong menjawab, meski apa yang dikatakannya tidak ada sangkut-paut dengan apa yang Kris tanyakan.

“Aku tidak tanya.”

“Ayam itu enak.”

“Ayam itu berminyak.”

“Itu kalau ayam goreng.”

“Ayam itu berkokok.”

“Kalau mengembik namanya kambing.”

“Ayam itu punya banyak lemak.”

“Kalau begitu makan ceker ayam!”

Entah untuk kali keberapa dalam beberapa jam terakhir, Kris lagi-lagi menyernyit menanggapi ucapan Chorong. “Ceker ayam itu jorok.”

“Ceker ayam sehat. Mengandung banyak kolagen yang baik untuk kulit.”

“Kulitku sudah bagus.”

“Enyahlah kau dari sini.”

“Nanti, kalau misiku sudah selesai."

Memasang ekspresi frustasi, Chorong menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan. “Bisa gila lama-lama.”

“Park Chorong, aku serius. Aku tidak makan ayam.”

“Kalau begitu tidak perlu makan.”

“Aku lapar.”

“Jangan banyak protes. Oh, Kris. Aku tidak tahu kalau ternyata kau sesulit ini. Percaya padaku, setelah kau makan kaki ayam ini, seluruh pemikiranmu tentang ayam akan berubah.”

            “Apa tidak ada jenis makanan selain ayam di sini? Kulihat di menu, ada daftar makanan dengan bahan daging sapi dan ham.” Kris melepaskan lipatan tangannya dan menunjuk daftar menu yang tergeletak di meja dengan dagu.

            “Memang. Tapi sekarang aku ingin makan ceker ayam, dan itu berarti kau juga harus makan makanan yang sama denganku.” Helaan napas menyambung perkataan Chorong. “Dan juga, daging sapi itu mahal. Sedangkan ham lebih punya banyak lemak dibanding ayam. Jadi lebih baik kupesan ayam.”

            “Menyedihkan. Nanti kita makan di sini lagi, dan kutraktir kau daging sapi.” Kris berujar dengan nada serampangan.

            “Punya uang dari mana memangnya? Bekerja saja tidak.”

            “Lihat saja nanti. Pegang janjiku. Kalau misiku sudah selesai dan berhasil, maka hal pertama yang kulakukan sebelum kembali adalah menraktirmu daging sapi di sini. Pesan sesukamu, dan kau tidak perlu membayar.”

            “Sungguh?” Chorong mengerjap beberapa kali. “Tapi kau tidak menraktirku dengan uang panas, bukan?”

            “Tentu tidak.” Yang ditanya memutar maniknya. “Pegang janjiku. Lelaki dewasa—“

            “Tidak pernah mengingkari janjinya.” Selayaknya satu baris dari puisi terbaik sepanjang masa yang dihapal semua orang, Chorong menyelesaikan apa yang Kris katakan dengan nada bosan. Padahal ia baru mendengar kalimat itu dua kali. “Baiklah, Lelaki Dewasa.”

            Tiada lagi yang bersuara. Kris memilih untuk menyibukan diri dengan membaca satu-persatu daftar menu dan memerhatikan para pengunjung, sedangkan Chorong sedang dengan asyik membayangkan ceker ayam yang sebentar lagi akan masuk ke dalam abdomennya.

Keheningan yang tak canggung itu masih nyaman melingkupi keduanya. Seakan dalam diam mereka melakukan komunikasi, dan seolah pikiran masing-masing mampu menyuarakan apa yang ingin diungkapkan.

“Umh, Kris.” Tapi ternyata tidak bertahan lama.

“Hm?” Kris bergumam, namun tidak melepaskan pandangannya dari sebuah objek yang baru memasuki rumah makan: seorang wanita yang tengah berjalan menuju sebuah kursi yang sudah diduduki seorang pria tua. Dan arah pandang Kris lebih banyak jatuh pada kaki wanita yang dilapisi tights itu.

“Hey, Mesum.” Menyadari arah pandang Kris, Chorong menjentikkan jarinya pada punggung tangan Kris.

“Hei, Nona. Berhentilah melakukan kekerasan padaku.”

“Aku baru akan berhenti kalau kau juga berhenti memandangi wanita itu. Kau mau kena damprat kakek-kakek yang jadi teman kencannya?”

“Teman kencan? Dari mana kau tahu?”

“Insting.” Si Gadis mengangkat bahu, asal. “Oh ya, Kris. Apakah sulit beradaptasi di tahun 2013? Maksudku, kau kan datang—setidaknya menurutmu—dari tahun 2306 dan selang waktu antara tahunmu dan tahunku berbeda jauh. Kulihat, kau tidak menemukan banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri.”

“Apakah ini wawancara?”

Chorong mengangkat kedua alisnya, dan sedikit memiringkan kepala. “Bisa jadi.”

Memajukan kursinya, Kris kemudian menatap Chorong penuh. Ia berdeham sekali. Menandakan bahwa penjelasannya akan jadi cerita pengantar makan malam yang cukup panjang. “Setelah mendapat misi, pihak TOTP langsung memberiku pelatihan ini-itu. Dari mulai latihan fisik, hingga mental. Kebudayaan dan tata krama pun diajarkan. Namun untuk dua hal terakhir, aku tidak terlalu ambil pusing karena kurasa tata krama masa kini dan masa depan akan sama. Intinya, aku diharuskan menjaga kata-kataku dan tidak diperbolehkan membunuh. Tentunya target adalah pengecualian.

“Aku terus diberi pengarahan, bahkan sampai sehari sebelum aku pergi. Sebenarnya aku juga diberi buku panduan mengenai segala sesuatu tentang tahun 2013; umumnya tentang apa yang sudah terjadi di tahun ini. Tapi sampai sekarang, aku baru membaca sampai halaman dua dan belum melanjutkannya lagi. Tidak terlalu penting. Aku bukan ke sini untuk wisata, dan selama guest-house­ menerimaku, aku bisa menanyakan segala hal tentang tahun ini padanya—padamu, maksudku.”

“Wow.” Terkesima adalah satu kata yang mampu mendeskripsikan reaksi pertama Chorong. Kedua matanya membulat, dan begitupun dengan bibirnya. “Tapi kau tidak pernah bertanya tentang apa-apa padaku.”

“Setelah melihat keadaan guest-house­-ku, aku sendiri jadi tidak yakin apa aku bisa memercayai kata-katanya. Atau apakah aku akan bisa mengandalkannya untuk mendapat informasi.”

“Heh, enak saja.” Bukan sekadar membulat, kini kedua mata Chorong melotot bak seorang guru yang menemukan anak didiknya tidak mengerjakan pekerjaan rumah. “Aku ‘kan sudah memberitahumu soal Sooman. Dan ternyata, Soomanku benar Soomanmu. Aku sudah mempermudah proses pencarianmu, bukan?”

Yeah,” Mau tak mau Kris mengakui. “terima kasih untuk itu.”

“Bukan masalah besar.” Chorong menjawab seraya mengibaskan rambut. Membuat Kris mendengus dengan jenaka, dan kemudian tersenyum tipis—sangat-amat tipis. “Lalu kau sudah menemukan cara untuk...uh, menghancurkan orang itu?”

“Belum. Lagipula kalaupun sudah, aku tidak yakin akan membicarakannya di sini.”

“Ah, benar juga.” Chorong meringis begitu menyadari kebodohannya. Memangnya membicarakan penghancuran—atau lebih buruknya lagi, pembunuhan—di muka umum akan senormal membicarakan soal Rain Bi? Seandainya ada orang yang mendengarkan pembicaraan itu, bisa-bisa mereka langsung digiring ke kantor polisi untuk diamankan.

Tepat sesudah itu, Nyonya Kim datang membawa pesanan Kris dan Chorong—lebih tepatnya milik Chorong. Setelah berbincang sebentar, Nyonya Kim kemudian undur diri dan meminta kedua tamunya untuk menikmati makan malam mereka.

‘Akan lebih senang jika Suho ada di sini. Pasti kau akan banyak berbincang dengannya’ adalah kalimat terakhir Nyonya Kim. Kontan perkataan tersebut membuat pipi Chorong bersemu. Akan tetapi, belum sempat menjawab Nyonya Kim sudah beranjak meninggalkan mejanya.

“Suho? Siapa dia?” Pandangan Kris yang semula menempel pada sosok Nyonya Kim yang sudah menjauh kini berpindah pada milik Chorong. “Pacarmu?”

“B-bukan.” Terlalu terburu-buru Chorong menjawab. Hal ini malah menumbuhkan kecurigaan di benak Kris. Kenapa harus salah tingkah kalau tidak ada sesuatu yang terjadi di antara dirinya dan Suho-Suho itu?

“Lalu?” Ternyata Kris masih ingin tahu.

“Bukan siapa-siapa. Ayo makan, kau harus mencoba ceker ayam yang super lezat ini. Kali lain, kalau aku sudah mulai kembali bekerja, kita akan datang ke sini lagi dan aku akan memasak ceker ayam buatanku untukmu. Oh, ya. Kau ‘kan sudah janji akan menraktirku daging sapi,” Pembelokan topik pembicaraan yang sangat curam dilakukan Chorong.

“Aku harus tahu tentang Suho setelah kita tiba di rumah.” Dengan itu, Kris memungkas rasa ingin tahunya yang masih meluap-luap. Sekarang pandangannya memindai dua piring besar berisikan ceker ayam berwarna cokelat. Satu miliknya, dan satu milik Chorong. “Sudah kubilang, aku tidak makan ayam.”

“Aish, Kris. Kau harus mencobanya dulu.” Chorong mengeluarkan antiseptik khusus tangan dari dalam tasnya. “Gunakan ini dulu, lalu kemudian kau mulai makan.”

Ragu, masih belum ada satu gerakan pun diciptakan Kris. Oh, yang benar saja. Apakah aku harus benar-benar memakannya? Dengan menggunakan tangan?

“Akan lebih terasa sensasinya jika kau makan dengan tangan.” Bagaikan mengetahui apa yang tengah bergumul dalam pikiran lelaki di hadapannya, Chorong menjelaskan dengan mata berbinar.

“Pantas saja di rumahmu banyak terdapat barang dengan gambar ayam.” Akhirnya digunakan jugalah antiseptik yang diberikan pada Kris. “Kalau pulang dari sini aku mati, aku harap hukuman untukmu tidak terlalu berat.”

“Terserah kau. Ayo makan. Selamat makan.”

Chorong mengambil antiseptik tangan dari Kris dan ikut memakainya.

            “Kau ambil satu seperti ini, kemudian makan jarinya satu-persatu,” Gadis tersebut menjadikan diri sebagai instruktur dengan memberikan latihan secara langsung. Ia mengambil satu ceker ayam, dan mulai menjelaskan bagaimana cara menikmati alat gerak ayam itu. “Kemudian kau mulai makan tengahnya, dan bawahnya—“

            “Demi Tuhan,” Kris mengaut sebuah ceker dengan ibu jari dan telunjuknya. “Aku tahu cara memakannya. Yang tidak kuketahui apakah aku bisa menikmatinya atau tidak.”

            “Tentu saja bisa.” Chorong menjilat ujung bibirnya yang tersapu bumbu berwarna cokelat tua. “Pertama, karena ini ayam. Kedua, karena ini gratis. Dan ketiga, karena ini ayam.”

            “Oh, Park Chorong.” Kini giliran Kris yang frustasi. “Baiklah, aku coba.”

            Chorong tak bisa untuk tidak tersenyum kecil begitu makanan di genggaman Kris mulai ia dekatkan pada mulutnya. Sebentar lagi ia akan merasakan kehebatan ceker ayam! Kikik Chorong dalam pikirannya.

            Satu gigitan pada bagian telapak kaki ayam diambil Kris. Bagian yang menyembul dan merupakan bagian favorit Chorong.

            Menunggu reaksi yang akan diberikan, tanpa disadari Chorong menghentikan kegiatan konsumsinya. Ia menatap Kris seolah Kris adalah makhluk luar angkasa yang baru turun ke bumi dan mendapat undangan untuk makan ceker ayam.

            Telan.

            Kedua mata Kris tidak melakukan pergerakan selain berkedip. Bibirnya tidak menunjukan akan muntah. Dan wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi jijik.

            “Bagaimana?” Ini adalah pertaruhan kredibilitasnya sebagai pecinta ayam—terutama kaki ayam.

            Di luar dugaan, Kris ternyata mengangguk-angguk. “Lumayan.” Satu senyum kecil terkulum. “Rasanya...lumayan.”

            Tidak berlebihan bukan kalau Chorong senang hanya karena Kris menyebut rasa kaki ayam yang dimakannya lumayan? “Aku senang kalau kau menyukainya.”

****

(Akhir Cerita Enam)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
avrilcheonsa #1
update donk thor...
keren nih ceritanya...

unik...
trus juga jarang nih pairing kris chorong, pdhl aku suka banget...

update soon ya :)
eternalspring
#2
Chapter 6: Woah akhirnya update~~ huhuhu setelah menunggu sekian lama kekekeke
mereka tetap ga akur tapi dalam fase nyaman sekarang... addduuuuuuuuhhhh aku suka dengan hubungan love-hate mereka~~~
semoga updatean selanjutnya segera author-nim kekekeke XD
Sehooney
#3
Chapter 6: akhirnya update juga ;--; kalo bahas ayam aku jadi inget kris waktu di exo showtime ^^ ditunggu cerita selanjutnya ya~
adellakrs
#4
Chapter 6: Yuhuuuu tambahan updatenya saaaangat membantu setelah kemarin ditinggalkan menggantung, terimakasih author!
amusuk
#5
Chapter 1: baru sempet baca chapter 1, bagus author-nim, sukses bikin penasaran~~~
Sehooney
#6
Chapter 5: Makin seru ceritanya ^^ apalagi pas tau ternyata krystal itu adiknya kris, jadi makin penasaran sama ceritanya :)
Update soon ya min~
eternalspring
#7
Chapter 5: Haaaaaa aku juga bertanya2 sebenarnya kenapa kris harus tinggal di flat chorong... apa hubungan chorong dengan kris ?? ugh~ beneran deh aku penasaran... semoga kamu menjelaskan nantinya hehehehe :D
Aku juga berharap krystal dan soojung 2 orang yang berbeda... kasian kris kalo sampai apa yang dia pikirin bener :(
waaa chapter selanjutnya kita bakal tau~ sooman itu apakah bener orang yang dicari kris~~~ yeyy I felt excited XD
tomatoki #8
Chapter 4: jangan2 krystal itu sebenernya dari masa depan juga ya? atau di masa depan ada orang mirip krystal?

penasaraaaan, please update author-nim, your story is interesting :)
Zalukhuhj #9
Chapter 2: Chinguya...
masih ingat aku? huhuhu
baru berkelana di asianfanfics ini
hehehehehehe
aku komen disini aja yah soalnya disini partnya udah byk hehehehehe
oya, makasih udah mau melnjutkan ff itu di ifk yah^^
senang kamu bikin komen kayak gitu

hem, seperti biasa sih
aku sama kayak chorong penasaran dengan misi itu
maksudnya kloning itu bagaimana caranya si kris menghentikannya?
dengan menikah lalu bua anak bareng chorong? kekekekeke
ahhh
mo baca next part dulu yah^^
Sehooney
#10
Chapter 4: huwaa ceritanya bagus ^^ cepet update ya min biar tau lanjutannya~