Orang tua bilang hidup ini mudah, dan jika berubah menjadi sulit, maka dirimu sendirilah yang membuatnya sulit. Tapi tidak bagi Park Chorong. Baginya, hidup ini mudah, dan jika berubah sulit, maka dosenmulah yang membuatnya menjadi seperti itu.

Chorong rasa dosennya tidak bisa lebih menyebalkan lagi. Oke, mungkin semua mahasiswa akan merasa dosennya adalah dosen paling menyebalkan yang pernah ada—apalagi kalau dia tidak pernah masuk tapi memberikan tugas seolah membuat tugas itu semudah mencapai lantai 20 menggunakan elevator—tapi serius deh, dosennya ini memang benar-benar menyiksa anak didiknya.

Gadis itu melirik jam dinding yang masih dengan setia menemaninya terjaga. 00:14. Bagus sekali. Lima jam sudah Chorong menghabiskan waktu untuk duduk di depan laptop untuk mengerjakan tugas. Tapi nyatanya belum ada satu kata juga yang ia ketik.

“Dosen sialan! Kalau sampai besok seluruh wajahku penuh dengan lingkaran hitam, maka dia orang pertama yang akan aku lempar ke sungai!” Chorong mengutuk habis-habisan Sir Clerks—dosen kebudayaan Inggrisnya.

Merebahkan diri barang sebentar mungkin bukan masalah?

Untuk pertama kalinya, bisa ia rasakan setiap otot-otot tubuhnya melenguh lega begitu Chorong merebahkan diri ke karpet bergambar chicken little di belakangnya.

Bisakah seseorang menghentikan waktu dan membiarkan aku seperti ini selama beberapa hari? Atau beberapa minggu? Bahkan tahun, kalau bisa? Yang jelas aku tidak ingin kembali ke kehidupanku yang benar-benar membosankan dan monoton. Chorong memejamkan matanya, dan bisa dirasakan semilir angin malam meniup permukaan kulitnya.

Tok…tok…tok.

Chorong terkesiap begitu mendengar ketukan pintu tiba-tiba menginterupsi suasana tenang yang sedang melingkupinya. Ia sedikit memiringkan tubuhnya ke arah pintu.

Oh, jangan bercanda. Siapa yang berani bertamu pada jam semalam ini?

Tok…tok…tok. Kini suara ketukan di pintu flat gadis itu menguat.

                  Si pemilik flat masih bergeming.

Buka pintu? Jangan? Buka pintu? Jangan? Bu—

Tok…tok…tok…tok. Kini Chorong yakin tetangganya bisa mendengar suara ketukan pintu itu.

“Siapa orang gila yang bertamu tengah malam seperti ini?” Chorong bangun dan merapikan pakaiannya.

Tok…tok. Frekuensi ketukan mulai berkurang, tapi tidak dengan suara yang ditimbulkannya.

Dengan langkah tersendat, Chorong berjalan menuju pintu. Pikiran dalam otaknya masih bergumul; mengira-ngira siapa yang mengetuk pintunya di tengah malam seperti ini. Apakah manusia biasa? Petugas flat? Satpam? Atau makhluk dari dimensi lain? Untuk opsi terakhir, Chorong berusaha mengenyahkannya jauh-jauh.

“Aku bisa hapkido. Aku bisa hapkido. Jika yang datang adalah orang jahat, aku bisa menendangnya sampai remuk.” Berulang kali bibir Chorong membisikkan kalimat itu.

Apa aku perlu mengambil teflon untuk berjaga-jaga? Ah jangan konyol, Park Chorong. Bagaimana kalau dia membawa pistol dan sebelum kamu sempat memukul kepalanya, dia sudah berhasil meledakan isi kepalamu terlebih dahulu?

Chorong bersembunyi di bagian belakang pintu. Tangannya sedikit bergetar, namun perlahan bergerak merayapi daun pintu. Mau tidak mau ia harus membuka pintu sebelum para tetangga mendatanginya dan mengusir ia keluar dari flat karena dianggap membuat keributan.

Cklerk.

Dipejamkannya mata kanan gadis berperawakan sedang itu, dan ia mengintip sedikit, menyembulkan kepalanya ke luar sehingga ia bisa melihat siapa ‘tamu’-nya.

Seorang pemuda—dengan tangan dilipat di dada dan tatapan tajam—berdiri di depan pintu flat Chorong. Postur tubuhnya tinggi—terlalu tinggi untuk Chorong, sampai Chorong menghilangkan kemungkinan bahwa ia akan mampu menendang siapapun yang mengetuk pintu flatnya sampai remuk—dan sebuah earring tertindik jelas di telinganya.

Demi Tuhan! Jangan bilang kalau dia anggota gangster yang datang untuk melakukan hal buruk!

Pemuda itu maju satu langkah. “Astaga!” Dia kini hanya berjarak dua langkah dari Chorong. “Apakah kamu keturunan siput atau semacamnya? Sebegitu sulitnya kah membuka pintu? Atau kamu berjalan dengan menggunakan tangan? Tidakkah kamu tahu di luar sini dingin?” Tiba-tiba dia merangsek masuk dan menutup pintu dengan menggunakan kakinya.

Jemari Chorong masih memegang daun pintu. Malah sekarang pegangannya sedikit menguat. Badannya terdorong mengikuti gerakan pintu yang dengan kasar ditutup pemuda itu. Pikiran Chorong kini terbagi; antara ingin menendang pemuda tidak tahu sopan santun yang tiba-tiba masuk ke rumahnya ini atau berlari ke luar dan meminta pertolongan pada bagian keamanan.

“Ah, Bodoh. Bagaimana mungkin aku lupa memerkenalkan diri!” Pemuda tadi berdecak dan berbalik menghadap Chorong. Refleks, Chorong mundur beberapa langkah dan menatap sosok di hadapannya dengan waspada. “Aku Kris.” Dia menganggukan kepalanya sedikit.

Kening Chorong berkerut. “Aku bahkan tidak bertanya siapa kamu.”

Kris tertawa kecil—terdengar menyeramkan di telinga Chorong. “Bukankah tidak sopan jika aku akan tinggal di sini tapi tidak memerkenalkan bahkan nama sekalipun padamu, Park Chorong?”

Pegangan Chorong pada daun pintu terlepas. Apa ia tidak salah dengar? Tinggal di sini? Di sini? Di flatnya? “Apa maksudmu kamu akan tinggal di sini? Dan bagaimana bisa kamu tahu namaku? Aku tidak mengenalmu, jadi tolong jangan sok kenal. Sekarang aku hitung sampai tiga, kalau kamu belum ke luar dari flatku, aku akan berteriak sehingga tetanggaku terbangun dan mereka akan mengusirmu dari sini. Satu, du—”

Sekarang giliran kening Kris yang berkerut. “Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.” Kris menyela cepat hitungan Chorong sebelum gadis itu berteriak. “Aku tahu namamu karena Dewan Keamanan memberi tahuku kalau aku akan tinggal di sini, di tempat ini. Tempat milik seorang mahasiswi bernama Park Chorong. Dan aku yakin kamulah Park Chorong.”

“Dewan Keamanan? Dewan Keamanan apa? PBB? Oh astaga, aku yakin sekarang aku sedang bermimpi.” Dengan konyol Chorong memejamkan matanya. “dan aku tinggal memejamkan mataku sehingga aku bisa bangun dan menertawakan semua omong kosong ini.”

Kerutan di kening Kris semakin dalam. Apa gadis di depannya ini mengalami gangguan?

Setelah beberapa detik, Chorong membuka matanya.

Tidak. Masih sama.

Ia pun memejamkan matanya lagi. Kemudian membukanya. Memejamkan lagi. Membukanya lagi. Memejamkannya lagi dan lagi. Membukanya lagi dan lagi.

Melihat tingkah Chorong, Kris tidak bisa untuk tidak tertawa. “Ini bukan mimpi, Nona Park.”

Chorong mengepalkan tangan dan menyentuh keningnya. Ia menepukan kepalan tangannya ke kening beberapa kali. Ia yakin ada yang salah dengan sistem kerja otaknya.

“Baiklah, biar kujelaskan. Aku tahu kamu belum mengerti siapa aku dan untuk apa aku datang ke sini,” Kris berjalan mendekati Chorong. “tapi akan lebih baik kalau kita duduk. Kakiku pegal menunggu kamu membukakan pintu untukku tadi.”

****

                  Chorong masih menatap pemuda yang mengenalkan diri dengan nama Kris itu dengan pandangan kalau-kau-berani-macam-macam-aku-akan-mengirimmu-ke-neraka. Kini ia duduk berhadapan dengan Kris. Kursi tempat mereka duduk terhalang sebuah meja kecil berbentuk oval dengan taplak kemerahan.

“Jadi begini,” Kris menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Seolah apa yang akan diucapkannya nanti tidak akan memberi dia izin untuk bernapas. “aku Kris. Aku datang dari tahun 2306 dan aku diberikan sebuah misi oleh Dewan Keamanan—“

“Apa?!” Chorong tanpa sadar memotong penjelasan Kris. “misi? Dewan Keamanan? Apakah kamu gila?! Tidak, tidak. Tolong katakan sejujurnya padaku, Kris. Sudah berapa lama kamu mengalami gangguan kejiwaan? Di mana tempat rehabilitasmu? Rumah Sakit Jiwa di jalan Exopink? Atau Panti Rehabilitas Jiwa di jalan Super Generation? Biarkan aku mengantarmu pulang ke sana.” Chorong bersiap untuk berdiri, namun tatapan super tajam Kris membuatnya mengurungkan niat itu.

“Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Chorong.” Kris melipat tangannya. “Dan yang perlu kamu ingat, aku tidak gila. Apa yang akan aku jelaskan atau yang sudah aku katakan padamu, semuanya nyata.”

“Tapi bagaimana mungkin kamu—“

“Oh Demi Shakespeare yang sudah tenang di alam sana, kenapa Dewan Keamanan harus mengirimkanku ke sini. Ke tempat dengan gadis yang keras kepala.” Kris memejamkan matanya dan desahan kesal meluncur dari mulutnya.

“Ba-baiklah. Aku mendengarkan.” Chorong membenarkan posisi duduk, dan meremas kuat-kuat ujung piyama chicken little-nya.

“Aku bingung aku harus mulai dari mana. Aku rasa kapasitas otakmu tidak akan bisa menampung penjelasan intiku.” Kris terlihat berpikir keras. “Begini. Dengarkan dan pahami baik-baik. Zaman sudah semakin menggila. Orang-orang di masa depan—termasuk aku—semakin banyak yang tidak puas dengan apa yang mereka miliki, dan kami berpikir kalau masa lalu—atau masa yang sudah lewat—memengaruhi masa depan. Termasuk, apa yang orang-orang masa lalu lakukan akan memengaruhi kehidupan kami di masa depan.” Kris menelan ludah, dan melanjutkan. “dan karena dasar pemikiran itu, akhirnya orang-orang masa depan membentuk sebuah organisasi untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu. Kami menyebutnya TOTP—To Overcome The Past. Aku adalah anggota keamanan yang baru diangkat minggu lalu. Dan sialnya aku langsung mendapat misi besar.”

Chorong menggigit bibir bawahnya. Jujur, ia tidak sepenuhnya paham apa yang Kris katakan. Anggota keamanan? Apa Kris satpam? Sebegitu pentingnya kah masa lalu di masa depan hingga dibentuk organisasi macam itu? Kenapa dia bisa datang ke masa lalu—jika dia benar datang dari tahun2306—? Misi apa? Kenapa dia mendapat misi? Siapa yang memberinya misi? Dan yang terpenting,

kenapa Kris diharuskan tinggal di flat-ku?

****

(Akhir cerita satu)