Chapter 3; Memories of You

^Want You Back^

 

Hazusenai ringu no naka ni kizamareta kimi to boku no namae ga

(The name of you and I carved among the ring can not be removed)

Ano hi no futari no yakusoku wo noko suyo

(legacy promise of the two human on that day)

Machi tsuzukeru koto ga kore hodo kurushii to ta toki kara

(I knew from the time that the waiting is so much painful)

Yamanai koukai no naka ni

(In the regret that will not stop)

2PM-Want You Back

*

Chansung menatap tangan kirinya dengan pandangan miris. Di jari tengahnya melingkar cincin berwarna perak berukirkankan nama Lee Junho, tercetak dalam huruf Hangeul. Lalu pandangannya beralih pada jari manisnya, terpasang cincin yang sama bertuliskan nama Hwang Chansung. Kedua cincin itu berada di tangannya sekarang. Ya, harusnya cincin berukirkan nama Hwang Chansung itu masih melingkar di jemari Junho, jika saja Chansung tidak ceroboh dalam mengambil tindakan waktu itu.

Aku memang bodoh. Dan sekarang aku hanya bisa menyesali kebodohanku itu. Hanya bisa menyesalinya tanpa bisa berbuat apapun. Hanya bisa menunggu waktu itu tiba. 24 hari lagi. Waktu yang mempunyai dua arti yang berbeda, untuk bersama kembali dengan Junho, atau untuk kehilangan Junho selamanya. Yang tersisa sekarang hanya penyesalan dan penantian yang mungkin takkan pernah berakhir.

*

*

Pintu kamar rumah sakit yang ditempati Junho terbuka perlahan. Memunculkan sosok Minjun dan Taecyeon dengan kotak berukuran sedang yang mereka bawa.

“Oppa..” seru Soeun tersenyum lalu memberi salam pada Minjun dan Taecyeon.

“Minjun-hyuung..” kata Junho tersenyum riang menampilkan eyes smile-nya yang manis. Reaksi Junho memang selalu seperti itu saat bertemu hyung-nya. Junho selalu bersikap  manja terhadap Minjun.

“Huhh. Hanya Minjun saja yang kau sapa. Kami kan datang bersama.” Protes Taecyeon pada Junho. “Aku ini juga calon kakak iparmu, jadi bersikaplah sopan sedikit padaku. Ck, calon adik ipar macam apa kau ini?” cibir Taecyeon dengan nada bergurau.

“Siapa juga yang mau jadi adik iparmu, hyung? Percaya diri sekali kau. Bagaimana jika aku tidak menyetujui pernikahanmu dengan hyung-ku nantinya?” canda Junho.

“Hmm.. begitu ya,?” Taecyeon mengangkat kotak yang tergeletak di lantai –yang tadi ia bawa- ke atas ranjang Junho. “Bagaimana dengan ini?” kata Taecyeon menyodorkan kotak itu pada Junho dengan alis yang dinaik-turunkan, seperti pengusaha yang sedang menyogok partner bisnisnya.

“Wah.. PS terbaru..” kata Junho senang saat membuka plastik yang membungkus kotak itu.

“Aku membawakanmu ini supaya kau tidak bosan di sini.” Jelas Taecyeon.

“Tapi sepertinya kau tidak membutuhkan ini. Kau bisa memainkan PS yang ada di kamarmu.” Sahut Minjun dengan wajah bahagia.

Junho yang belum bisa mengerti arti ucapan Minjun, hanya menautkan alisnya, bingung.

“Maksud oppa, Junho sudah boleh pulang?” timpal Soeun dengan ekspresi wajah yang.. hmmm.. tidak bisa diartikan.

“Aku merindukan kamarku.. dan juga PS-ku. Jadi, ayo kita pulang hyung!” kata Junho semangat sambil memeluk manja pinggang Minjun yang sedang berdiri di sisi ranjang Junho.

“Kau baru boleh pulang besok.” Jawab Minjun sambil membelai rambut Junho yang masih memeluk pinggangnya. Perban di kepala Junho sudah di lepas dan digantikan oleh kain kasa serta plester yang hanya menutupi luka di keningnya.

“Kalau begitu PS ini kuambil kembali. Kau kan sudah punya PS di kamarmu.” Taecyeon hendak mengambil kotak PS yang masih berada di pangkuan Junho, tangannya sudah menyentuh kotak kardus berwarna hitam mengkilap itu. Tapi dengan sigap Junho menahannya.

“Barang yang sudah kau berikan mana boleh kau ambil kembali?!” protes Junho masih sambil mempertahankan PS keluaran terbaru itu.

Sementara Junho dan Taecyeon sibuk memperebutkan PS, Soeun mengajak Minjun keluar dari ruangan tersebut tanpa disadari oleh Junho.

*

*

Junho sedang asyik bermain PS terbarunya bersama Taecyeon di kamarnya saat Wooyoung dan Nichkhun datang menjenguknya dengan membawa sekeranjang buah-buahan.

“Junho-yah..!!” sapa Wooyoung sambil tersenyum lebar yang terlihat sangat kekanakan di mata Junho. Ani. Bukan hanya di mata Junho, tapi di mata semua orang yang melihatnya.

“Wooyoungie.!!” Balas Junho sambil merem –karena terlalu lebar tersenyum- tak kalah hebohnya dengan Wooyoung. Junho senang Wooyoung datang menjenguknya, setidaknya teman sebangkunya itu bisa menghibur Junho dengan berbagai macam ekspresi dan tingkahnya yang lucu, menurut Junho. Padahal sebenarnya mereka berdua itu sama saja, ya sebelas-duabelas lah. Bedanya Junho tidak cepat ngambek, dan tidak cengeng seperti Wooyoung.

“Hai Khun, bagaimana bisnis restaurant ayam-mu?” Insting pengusaha Taecyeon mulai keluar. Maklum saja, mahasiswa semester 4 jurusan bisnis internasional itu merupakan anak tunggal dari pengusaha furniture ternama di Seoul. Dan perusahaan ayahnya Taecyeon adalah penyedia furniture untuk restaurant ayam milik Nichkhun yang dibukanya sebulan yang lalu.

“Perkembangannya cukup baik. Dan aku sudah punya pelanggan tetap sekarang.” Kata Nichkhun sambil melirik ke arah Wooyoung yang sedang memberikan pelukan kecil untuk  Junho.

“Ah, syukurlah kalau begitu.” Balas Taecyeon yang tak menyadari maksud dari perkataan dan lirikan Nichkhun barusan. Mereka lalu duduk di ranjang Junho, karena di sana tidak ada tempat duduk lain. Wooyoung dan Junho mulai memainkan PS bersama.

 “Kasurnya jadi sempit sekali.” Keluh Wooyoung saat permainan PS-nya sedang break sejenak.

“Yach bocah! Kau menyindirku?” protes Taecyeon merasa tersinggung karena badannya yang paling besar di antara mereka ber-empat. Wooyoung hanya nyengir menanggapi reaksi Taecyeon, hampir sama dengan Junho. Sementara Nichkhun hanya geleng-geleng kepala karena tingkah namjachingu-nya itu.

Taecyeon  akhirnya berdiri. “Geser!” kata Wooyoung yang berada di pinggiran ranjang, menyuruh Junho untuk bergeser ke tempat Taecyeon semula di sisi ranjang yang berlawanan. Wooyoung lalu beringsut ke tengah ranjang menggantikan tempat Junho semula. “Nah kalau begini kan enak.” Wooyoung nyengir innocent sambil mulai berkonsentrasi pada permainan PS-nya yang kembali dimulai.

“Seenaknya sendiri saja!” keluh Taecyeon. “Baiklah kalau begitu aku akan ke dapur saja membantu Minjunie dan Soeun menyiapkan makan siang.” Kata Taecyeon pada akhirnya.

“Aku ikut. Mungkin aku bisa memasak beberapa hidangan untuk kalian.” Timpal Nichkhun yang langsung mendapat anggukan dari ketiga orang lainnya, mengingat di antara Minjun dan Soeun tidak ada yang bisa memasak dengan baik. Junho masih ingat betul bagaimana ia harus bolak-balik ke kamar mandi sepanjang malam akibat bekal makan malam buatan Soeun.

Taecyeon dan Nichkhun pun berlalu meninggalkan seorang anak SD dan seorang anak TK –Junho dan Wooyoung- yang sedang bermain di taman bermain –kamar Junho- dengan asyiknya.

“Kau kalah Woo..” seru Junho saat permainan PS mereka akhirnya selesai, dengan Junho sebagai pemenangnya.

“Aku tidak kalah, aku hanya mengalah padamu.” Sahut Wooyoung tidak terima dibilang kalah.

“Ya, terserah kau sajalah.” Jawab Junho tak mau ambil pusing. “Bagaimana keadaan sekolah kita?” lanjut Junho.

“Masih tetap sama. Hanya saja aku selalu duduk sendiri sekarang. Dan makan sendirian pada saat jam istirahat.” Jawab Wooyoung dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

“Kau ini jahat sekali padaku. Kau jarang sekali menjengukku dan mengajakku bermain.” Junho yang menyadari perubahan ekspresi wajah Wooyoung langsung mengalihkan topic pembicaraan mereka.

“Ah, itu karena aku sibuk mengikuti kompetisi dance. Oya, kau dapat salam dari Min, salah satu temanku di club dance, yang naksir padamu itu. Kau ingat kan?” Junho hanya mengangguk sekilas tanpa rasa tertarik untuk berkomentar lebih lanjut. Sementara Wooyoung memandang sekeliling mengamati kamar Junho. “Kamarmu rapi sekali, tumben.” Komentarnya.

“Soeun-noona yang merapikannya sebelum aku pulang dari rumah sakit.” Jawab Junho datar yang ditanggapi oleh cibiran dari Wooyoung, Junho tidak tahu apa yang Wooyoung katakan karena ia berbicara dengan tidak jelas. Junho lalu mengamati leher putih Wooyoung yang tertutup sebagian oleh kerah jaketnya yang setinggi leher. Namun ada sedikit celah di mana kerah jaket itu tidak menutupi leher Wooyoung dengan sempurna.

“Apa itu?” Junho menunjuk-nunjuk pada tanda kemerahan di leher bagian bawah telinga Wooyoung yang sedikit terbuka dari kerah jaketnya.

Wooyoung langsung saja menegang mendapatkan pertanyaan itu dari Junho. “I-ini.. ini bekas kerokan. Ya, b-bekas kerokan. Aku sedang.. sedang masuk angin Junho-yah.” Jawab Wooyoung gugup.

“Benarkah? Tapi itu tidak terlihat seperti bekas kerokan.” Itu terlihat lebih seperti kiss mark bagi Junho. Wooyoung hanya membuka bibir mungilnya, lalu mengatupkannya kembali. Seperti ikan yang kekurangan air. Melihat reaksi Wooyoung yang aneh, Junho jadi semakin curiga. Dia mendekatkan wajahnya, lalu menyipitkan mata sipitnya dan melirik tajam pada Wooyoung.

“A-apa?” Wooyoung mencondongkan badannya ke belakang untuk menjaga jarak dengan Junho. Wooyoung lalu menelan saliva-nya, semakin gugup karena merasa terintimidasi oleh tatapan yang diberikan Junho.

Junho lalu menarik dirinya ke posisi semula dan merubah ekspresi wajahnya. “Jujur sajalah padaku, Woo. Bukankah kita ini sahabat? Sahabat!” kata Junho dengan nada yang santai.

Wooyoung lalu terlihat berpikir sejenak. Sedetik kemudian rona merah muncul di pipi chubby-nya. Dia lalu senyum-senyum dan tersipu-sipu sendiri. Melihat gelagat Wooyoung, Junho tahu bahwa tebakannya tepat.

“Astaga, Woo.. jadi kau sibuk membuat tanda kemerahan itu bersama Khun-hyung sampai-sampai kau tak sempat menjengukku, huh? Tak kusangka kau senakal itu..” ucap Junho dengan nada kecewa yang di buat-buat.

“Y-yach kau. Itu tak seperti yang kau pikirkan. Lagipula, kau jangan sok polos begitu. Aku yakin kau juga pernah melakukannya dengan Chanana kan?” protes Wooyoung merasa disudutkan.

“Nana? Chan? Nuguya?” Tanya Junho bingung.

O’ow. Wooyoung yang baru menyadarinya langsung menutup bibir mungilnya dengan telapak tangannya. Pabboya Udong. Umpat Wooyoung dalam hati. “Bukan siapa-siapa.”

“Tapi tadi kau bilang—”

“Junho-yah.. Wooyoung-ah.. Makanannya sudah siap!” terdengar teriakan suara merdu Minjun dari arah dapur.

“Neee.. Hyuuunggg~” jawab Junho dan Wooyoung serempak. Wooyoung lalu bergegas bangun dan melangkah keluar kamar diikuti oleh Junho.

“Chan, Chan siapa Wooyoung-ah?” Junho terus mendesak Wooyoung. Namun Wooyoung hanya terus melangkah ke arah dapur.

“Dakochan.” Jawab Wooyoung sekenanya..

*

*

Suasana pantry di apartemen Junho dan Minjun riuh oleh suara tawa dan obrolan enam orang yang berada di sana, menikmati santap siang mereka. Ya, Minjun dan Junho tinggal di apartemen di Seoul karena aktivitas mereka, Junho yang duduk di kelas 3 SMA, dan Minjun yang berkuliah semester 4 di jurusan music. Mereka memilih untuk bersekolah di Seoul agar lebih mudah mengembangkan bakat mereka di bidang music. Ada banyak peluang di Seoul dari pada di Ilsan, daerah asal mereka. Sementara ibu mereka mengikuti ayah mereka yang bekerja di perusahaan ternama di Jepang. Karena itu mereka sangat dekat dan saling menyayangi satu sama lain.

“Kau benar-benar pintar dalam hal memasak, Khunnie-hyung..” puji Wooyoung pada namjachingu-nya itu sambil menikmati ayam goreng buatan Nichkhun. Nichkhun tersenyum senang menerima pujian dari Wooyoung. Itulah alasan Nichkhun memberanikan diri membuka bisnis restaurant ayam di samping kesibukannya kuliah di jurusan kuliner, selain karena kebiasaan Wooyoung yang hampir setiap hari mengajaknya membeli ayam goreng. “Kalau kau yang punya restaurant kan aku jadi tidak perlu membayar.” Kata Wooyoung waktu itu.

“Kau mau satu?” kata Soeun mengambilkan ayam goreng untuk Junho, menggunakan bantuan sumpit. Namun sebelum mendarat di piring Junho, ayam goreng beserta sumpit yang menjepitnya itu terlepas dari tangan Soeun, dan menimbulkan bunyi berisik. Sontak kejadian itu menjadi perhatian lima pasang mata yang berada di sana.

“M-mianhae.” Kata Soeun masih dalam keadaan kaget. Dia lalu memungut ayam goreng  yang terjatuh di atas meja.

“Kuperingatkan kau jangan mendekati namjachingu-ku lagi, Kim Soeun!” kata Chansung memperingatkan, walau suaranya tak dapat didengar oleh siapapun. Kali ini Chansung sudah benar-benar tidak bisa mentolerir apa yang dilakukan yeoja cantik itu pada namjachingu-nya. Ini sudah terlalu jauh, Kim Soeun. Kau ingin menggantikan tempatku dan merebut Nuneo dariku.

Kau melanggar peraturan, Hwang Chansung. Waktumu berkurang 3 hari. Suara itu menggema di telinga Chansung, peringatan dari langit.

Tinggal 18 hari lagi. ! Peraturan itu membuat Nuneo semakin jauh dariku. Umpat Chansung kesal. Dia merasa tidak bisa berbuat banyak untuk merubah keadaan ini. Hanya bisa menunggu dan terus menunggu.

“Kalian tega sekali padaku. Kalian tertawa di atas penderitaanku. Kau jahat sekali padaku, Udong. Kau menghilangkanku dari kehidupan orang yang kucintai. Kau juga Minjun-hyung, kau tega membohongi adik tersayangmu. Dan kalian, Taecyeon-hyung dan Nichkhun-hyung. Kalian bukannya mengingatkan, malah membantu namjachingu kalian untuk berbohong! Andaikan kalian berada di posisi-ku..” nada bicara Chansung meninggi seiring emosinya yang semakin memuncak. Aku tidak bisa diam saja melihat semua ini, aku harus melakukan sesuatu.

*

*

“Nuneo..” namja tinggi itu menghampiri Junho dengan senyum sumringah di wajah tampannya, datang ke kelas Junho yang berjarak dua kelas dari kelasnya sendiri.

“Mana Woo? Tadi katanya dia mau ke kelasmu menagih eskrim yang kau janjikan waktu itu.” Tanya Junho sambil menulis sesuatu di buku catatannya.

Namja tinggi itu tersenyum geli membayangkan kejadian tempo hari, aksi membolosnya bersama Junho.“Dia di kedai eskrim depan sekolah.” Jawab namja tinggi itu enteng.

“Yach.. kenapa kau meninggalkannya di sana?” omel Junho berhenti sejenak dari kegiatan menulisnya, menatap tak percaya pada namja itu yang telah meninggalkan teman sebangkunya sendirian di kedai eskrim.

“Biar saja, yang penting kan aku sudah mentraktirnya. Dia itu akan menghabiskan banyak eskrim di sana. Dan itu akan menyita waktu istirahatku. Aku kan juga ingin menghabiskan waktu istirahat ini bersamamu.” Kata Namja tinggi itu yang sekarang duduk di sebelah Junho –di bangku Wooyoung- sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya bertumpu pada meja, dan matanya menatap Junho dengan penuh cinta.

“Ck, gombal sekali.” Kata Junho sambil menyenggol lengan namja tinggi itu. Dia tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya.

“Aku serius.” Namja tinggi itu lalu melirik buku catatan Junho yang masih terbuka lebar di atas meja. Di dalamnya terlihat tulisan tangan Junho yang tidak begitu rapi, juga ada beberapa not balok tertulis di sana. Menyadari arah pandangan namja itu, Junho buru-buru menarik buku catatannya dan menyembunyikannya dalam laci meja. “kau sedang menulis lagu? Apakah itu untukku?” Tanya namja tinggi itu dengan mata berbinar.

“B-bukan. Percaya diri sekali kau.” Elak Junho dengan ekspresi seperti orang yang sedang kepergok. Aiishh.. Dia selalu saja berhasil membuat pipiku merona. Umpat Junho dalam hati menyadari pipinya mulai memanas.

“Baiklah kalau begitu.” Namja tinggi itu lalu mengeluarkan ponselnya dan terlihat mengetik sesuatu. Tak lama kemudian ponsel Junho bergetar. Junho mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ada pesan masuk, Junho segera membukanya.

Saranghaeyo, Nuneo :) Apakah kau juga mencintaiku?

Junho tersenyum membaca pesan itu, membuat rona merah di pipinya bertambah pekat. Tanpa mengatakan apapun, Junho membalas pesan singkat dari namja di sampingnya itu.

Ne. Aieru my bear. Kkk~

Tak lama kemudian ponsel Junho bergetar lagi.

Kalau begitu maukah kau menulis sebuah lagu untukku? Sebelum kau jadi pencipta lagu dan penyanyi terkenal nantinya, akan sangat mahal memintamu melakukan ini jika kau sudah terkenal. Aku sungguh sangat ingin mendengarnya.. >,<

Junho membalas lagi pesan itu lagi, kali ini wajahnya sedikit cemberut.

Aku ingin, tapi aku tak yakin bisa. T.T

Junho mendapatkan balasan lagi.

Kau pasti bisa. Percayalah. :D

Junho menghela nafas sebentar sebelum membalasnya.

Baiklah akan ku coba. Tapi mungkin akan sangat lama.

“Aku akan menunggu. Selama apapun itu, aku akan tetap menunggu.” Kata namja itu tersenyum pada Junho. Senyum yang tulus. Sangat tulus. Junho hanya terdiam di tempat mendapatkan perlakuan yang terlampau manis dari kekasihnya itu.

Teeeeeeettttttt.. bel masuk pun berbunyi. Membuyarkan ke-speechless-an Junho.

“Baiklah aku kembali ke kelas dulu.” Namja itu mengubah sedikit posisi duduknya, mencuri ciuman di pipi Junho, lalu berlari secepat mungkin. Tapi sesampainya di depan pintu kelas Junho, dia mendadak menghentikan larinya. Lalu berbalik ke arah Junho. “Aku mencintaimu, Nuneooo..!!” teriaknya dengan lantang. Lalu kembali berlari secepat mungkin meninggalkan kelas Junho.

Akibat kelakuan namja tadi, pipi Junho kembali merona hebat. Kali ini rona merah itu juga menjalar sampai ke telinganya. Ditambah lagi dengan tatapan beberapa pasang mata teman-teman sekelasnya yang terus memandangi Junho, membuat Junho menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya untuk menyembunyikan rasa malunya. Lagi-lagi dia berhasil membuat wajahku memerah. Saat mengatakan itu, ada rasa bahagia yang membuncah di hati Junho.

..............

“Sudah kuduga, hahh..” desah Junho sebangun dari tidurnya. Mimpi ini semakin sering saja menghantuiku. Tidak hanya setiap malam, terkadang di siang hari pun mimpi itu datang. Sepertinya mimpi itu ingin menunjukkan sesuatu padaku.

“Kau memimpikannya lagi?” Tanya Minjun yang tiba-tiba sudah duduk di pinggir ranjang Junho. Terlalu sibuk berpikir membuat Junho tak menyadari kehadiran hyung-nya itu. “Soeun berpamitan padaku, dia ada kelas sore ini.” Lanjut Minjun.

“Ne.” jawab Junho singkat. Junho lalu teringat sesuatu, yang sejak beberapa hari lalu sempat terlintas di pikirannya. “Mana ponselku, hyung?”

“Ah, ada di kamarku. Tunggu sebentar.” Minjun lalu beranjak ke kamarnya untuk mengambil ponsel Junho.

Mimpi itu terasa sangat nyata. Jika benar mimpi itu ingin menunjukkan sesuatu, pasti ada sesuatu dalam ponselku.. setidaknya harus ada foto dan pesan itu..

*

*

Dengan langkah tegap dan cepat, namja tinggi bernama Hwang Chansung menerobos pintu gerbang tinggi dan besar untuk memasuki sebuah ruangan luas dengan nuansa serba putih dan cahaya yang menyilaukan. Terlihat barisan panjang orang-orang yang mengenakan pakaian serba putih, hanya Chansung yang terlihat mencolok dengan setelan jas hitam, hanya kaosnya yang berwarna putih.

“Woo Seung Yoon!” panggil pria besar berwajah garang dengan suara lantang. Dia duduk di depan barisan orang-orang itu, di balik meja yang besar dan tinggi, dengan buku catatan besar dan tebal yang terbuka lebar, dan bolpoin rasaksa di tangan kanannya, masih dengan nuansa serba putih. Pemilik nama yang dipanggil itu hendak maju menghadap sang pria garang, tapi Chansung mendahuluinya.

“Kau?” tatap pria garang itu dengan pandangan tajam. “Apa namamu Woo Seung Yoon?!” tanyanya dengan ekspresi marah.

“Aku ingin bicara denganmu ssebentar!” Kata Chansung tegas, mengacuhkan pertanyaan dari pria garang tadi. Setelah pria itu terlihat siap mendengarkan, Chansung melanjutkan lagi. “Tidak bisakah kau memberiku sedikit keringanan?” tuntut Chansung.

“Bukankah kita sudah membuat kesepakatan?” pria itu malah balik bertanya.

“Tapi hal ini menyulitkanku!” protes Chansung dengan nada tinggi.

“Kau memiliki waktu 40 hari. Kau bisa masuk ke mimpinya setiap kali kau memikirkannya, tetapi secara otomatis namamu tidak akan muncul di mimpinya. Kau tidak diperbolehkan mengganggu kehidupannya dengan menyentuhnya, menyentuh orang di sekitarnya, atau apapun itu. Jika kau melanggarnya maka waktumu akan berkurang 3hari. Bukankah itu kesepakatan kita?” Tanya pria itu lagi.

“Tapi orang disekitarnya menghambatku, dan mengacaukan segalanya.” Sahut Chansung lagi.

“Itu bukan urusanku.” Jawab namja itu tak peduli.

“Tapi—”

“Atau kau mau aku menulis namamu di buku catatanku ini sekarang juga?” ancam pria garang itu.

“Andwae!” tolak Chansung mentah-mentah.

“Kalau begitu pergilah dari sini. Kau menghambat pekerjaanku!” usir pria itu.

Dengan langkah lesu dan kepala tertunduk –kebalikan dengan saat datang- Chansung melangkah keluar ruangan itu. Hal ini benar-benar sulit baginya. Rasanya sulit untuk mewujudkan keinginannya kembali bersama Junho.

Chansung kembali ke kamarnya, bukan di rumahnya, melainkan di ruang ICU yang sudah 19 hari ini ditempatinya, lebih tepatnya ditempati tubuhnya. Harusnya ia masih punya waktu 21 hari lagi, tapi karena pelanggarannya tadi, waktu yang tersisa hanya tinggal 18 hari lagi.

Chansung menatap tubuhnya yang terbaring lemah dengan selang di sana-sini. Andai bisa, Chansung ingin sekali masuk ke dalam tubuhnya itu dan berlari ke arah Junho. Memeluknya dengan erat dan takkan pernah ia lepaskan lagi. Lepaskan dalam arti yang berbeda.

Saat ini Chansung tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu dan berpikir, berpikir tentang Junho. Memikirkan Junho dan masuk ke dalam mimpinya. Setiap tengah malam Chansung akan memikirkan kenangan mereka bersama –secara urut- agar bisa masuk dalam mimpi Junho. Sekarang setiap Junho tidur siang pun Chansung akan dengan sengaja memikirkannya dan masuk ke dalam mimpinya, berharap akan ada kesempatan untuk mereka bersama lagi, di waktu yang semakin sempit ini.

Namun kali ini Chansung hanya ingin memutar kembali kenangan mereka, walau Chansung tahu bahwa Junho baru saja bangun dari tidurnya beberapa jam yang lalu. Chansung hanya merindukan Junho.

……

Chansung dan Wooyoung sedang menyantap makan siang mereka di kantin sambil membicarakan hal-hal yang sudah lama tidak mereka bicarakan. Maklum mereka adalah teman lama yang terpisah cukup lama, sebenarnya sih hanya beberapa bulan. Hanya 4 bulan.

“Hah, aku bosan bersamamu terus Chanana, sejak TK, SD, SMP. Aku sempat bersyukur karena masuk SMA yang berbeda denganmu, walaupun letaknya bersebrangan. Setidaknya aku tidak perlu melihatmu saat jam istirahat seperti ini. Tapi mengapa kau menyusulku ke sini?” keluh Wooyoung panjang sebelum mulai menggigit ayam gorengnya.

“Jangan salah sangka dulu Udong. Aku pindah ke sini bukan untuk menyusulmu.” Jawab  Chansung dengan senyum lebar.

“Lawlu untwuk awpwa?” Wooyoung berbicara sambil mengunyah ayam goreng di mulutnya.

“Aku.. hmmm..” Chansung mengusap tengkuknya gugup. “Aku ingin mengenal namja sipit yang sering bersamamu itu. Aku tertarik padanya.” Jawab Chansung blak-blakan.

“M-Mwo?? Uhuuk.. uhukk..” Wooyoung keselek ayam gorengnya sendiri mendengar perkataan Chansung itu. Chansung lalu menyodorkan air minum ke Wooyoung. “J-junho?” Tanya Wooyoung pada Chansung setelah meminum beberapa teguk air mineral.

“Apa itu namanya,? namanya Junho?” Tanya Chansung dengan mata berbinar lalu memasukkan buah pisang kesayangannya ke dalam mulutnya sendiri.

Wooyoung hanya melirik Chansung dengan pandangan aneh. Apa Chanana sedang jatuh cinta? Pada Junho? Oh God! Wooyoung menepuk jidatnya sendiri. Dia tahu betul hari-harinya ke depan akan menjadi sangat merepotkan, karena Chansung tentunya. Dan ia tidak mau hal itu terjadi.

“Ngomong-ngomong, mana dia? Bukankah biasanya dia selalu bersamamu?” Chansung memanjangkan lehernya untuk mengedarkan pandangannya ke segala arah, tetapi tidak tampak batang hidung Junho di kantin itu.

Sudah sejauh mana Chanana memperhatikan Junho? Tanya Wooyoung dalam hati. Menurut perkiraan Wooyoung, Chansung pasti sudah memperhatikan mereka dari jauh-jauh hari, sampai-sampai Chansung tahu kalau Junho itu selalu bersamanya. “Dia ada di kelas.” Jawab Wooyoung singkat.

“Kenapa dia tidak ikut ke kantin? Apakah dia tidak lapar? Atau dia membawa bekal makanan sendiri?”

“Kau ini berisik sekali. Dia hanya sedang menghindari seseorang.” Jawab Wooyoung sambil melirik yeoja cantik yang ada di seberang meja mereka.

“Siapa? Aku?” Chansung menunjuk dirinya sendiri.

“Mana mungkin kau, Dia kan belum mengenalmu!” Wooyoung lama-lama kesal dengan tingkah Chansung yang menurutnya terlihat lebih bodoh dari biasanya. Apa jatuh cinta akan membuat orang menjadi lebih bodoh?

“Ooh.. iya juga ya..” Chansung nyengir bego. “Lalu kapan aku bisa menemuinya?” Tanya Chansung antusias.

“Sesaat setelah bel pulang berbunyi, kau cepat-cepatlah menunggunya di halaman belakang sekolah. Kau harus cermat karena dia akan berlari cepat saat itu.” Kata Wooyoung memberi arahan.

“Apa dia  selalu melakukan hal itu?”

Wooyoung mengangguk mantap.

“Ah, dia itu lucu sekali.” Chansung menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya sambil tersenyum senang.

Wooyoung menatap aneh pada Chansung. Menurut Wooyoung, Chansung sama sekali tidak cocok bersikap centil seperti itu, mengingat bahwa Chansung mempunyai postur yang tinggi dan besar. Saat ini Chanana terlihat seperti… Bayangan Wooyoung menampilkan sosok Chansung yang sedang memakai baju ballerina dan berputar-putar menari balet dengan gemulainya. “Bwahahahahaha…” tawa Wooyoung meledak seketika itu juga. Dan bodohnya, Chansung ikut-ikutan tertawa terbahak-bahak bersama Wooyoung, tanpa mengetahui apa yang dibayangkan Wooyoung.

*

*

Siang harinya –menuruti saran Wooyoung- Chansung menunggu Junho di halaman belakang sekolah. Tak lama kemudian terlihat Junho berlari kencang sambil sesekali menengok ke belakang. Melihat hal itu, Chansung segera menempatkan posisi di jalan yang akan dilalui Junho dengan harapan agar Junho menabraknya.

Brukk.. benar saja, Junho menabrak Chansung. Namun Chansung yang sudah merencanakan hal itu, menangkap pinggang Junho dengan sigap, mencegah agar Junho tak terpental ke belakang.

“M-mianhae..” ucap Junho merasa bersalah karena telah menabrak Chansung. Tampang Junho terlihat sangat gugup.

“Kau kenapa?” Tanya Chansung heran melihat Junho yang gugup.

“Aku harus cepat-cepat bersembunyi!” jawab Junho panic. “Itu dia datang!” tunjuk Junho ke sebuah arah. Chansung mengikuti arah yang ditunjukkan Junho. Ia melihat seorang yeoja cantik sedang celingukan seperti mencari sesuatu, atau seseorang lebih tepatnya. Chansung yang mengetahui maksud Junho langsung menarik Junho ke sebuah pohon berukuran sedang untuk bersembunyi di balik pohon.

“Tapi pohon ini terlalu kecil. Dia akan melihatku.” Keluh Junho.

Chansung lalu menyandarkan tubuhnya pada pohon itu untuk menutupi sebagian tubuh Junho yang masih terlihat. “Kalau begini tidak terlihat kan?” setelah memastikan tidak ada protes dari Junho. Chansung memulai aktingnya.

“Apa kau melihat namja sipit lewat sini?” Tanya yeoja itu pada Chansung saat akhirnya ia tiba dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.

“Ani. Aku tidak melihat siapapun.” Jawab Chansung santai. Kemudian ia bersiul-siul.

Yeoja itu menatapnya dengan aneh sekilas lalu berlari lagi meninggalkan Chansung, dan Junho yang bersembunyi di belakangnya.

“Huuft.. gomawo telah menolongku.” kata Junho sambil membasuh keringat yang sedikit membasahi pelipisnya dengan lengan kemejanya, akibat berlari tadi.

“Nee~” jawab Chansung menatap penuh minat pada Junho.

“Biklah. Aku harus segera pergi. Sampai jumpa.” Junho lalu berlari ke arah semula ia datang. Chansung hanya terdiam menatap punggung Junho yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya. Chansung lalu teringat sesuatu.

“Kita belum berkenalan, Junho-yah..”

………….

Lamunan Chansung pun berakhir saat seorang perawat datang ke kamarnya untuk memeriksa keadaan tubuhnya. Tapi hal itu tidak dipedulikan oleh Chansung. Chansung tidak peduli dengan keadaan tubuhnya itu, toh saat ini tubuh itu sama sekali tidak berguna. Yang ada di pikiran Chansung saat ini hanya Junho dan kenangan tentangnya. Chansung kembali memikirkan Junho.

Masih jelas teringat oleh Chansung ketika hari berikutnya Junho terkunci di gudang belakang sekolah karena menghindari Kim Soeun. Junho terus saja menghindari yeoja cantik yang selalu mengejarnya itu, dan Chansung selalu saja membantu Junho untuk bersembunyi, menyiapkan tempat persembunyian yang seaman mungkin untuk Junho. Chansung harus bekerja keras sendirian untuk mendapatkan Junho, karena Wooyoung tidak mau membantunya. “Junho dan kau itu sahabatku, aku tidak mau menjadi orang yang harus bertanggung jawab atas hubungan kalian. Karena jika kalian bertengkar aku tidak akan bisa membela salah satu dari kalian.” Kata Wooyoung waktu itu. Chansung terus berusaha mendekati Junho, walau tanpa bantuan dari Wooyoung.

Sampai suatu hari..

………..

Seperti biasa hari ini Chansung membantu Junho bersembunyi dari Kim Soeun. Kali ini mereka bersembunyi di balik tembok. Setelah Kim Soeun berlalu, mereka pun keluar dari persembunyian mereka.

“Gomawo.” Junho berterima kasih pada Chansung sambil menampilkan smiling eyes miliknya yang begitu cute. Chansung hanya tersenyum dan menatap Junho terpesona. “Hmm.. kau selalu saja membantuku. Tapi sampai saat ini aku tidak tahu siapa namamu. Bahkan saat di gudang, dan hari-hari berikutnya kita belum sempat berkenalan.” Kata Junho memulai percakapan.

“Namaku Chansung, Hwang Chansung.” Kata Chansung sambil tersenyum, senyum yang manis di mata Junho.

“Namaku—”

“Lee Junho. Kau sudah menyebutkannya saat di gudang.” Kata Chansung mendahului.

“Oh, ne..” Junho lalu mengeluarkan ponselnya. “Boleh aku meminta nomormu? Mungkin kapan-kapan aku akan mengajakmu makan eskrim sebagai ucapan terima kasihku.” Kata Junho sambil tersenyum. “Di luar jam sekolah tentunya.” Tambahnya lagi.

Makan eskrim? Oh ayolah, aku bukan Udong. Aku ingin lebih dari eskrim Junho-yah, bagaimana kalau kencan saja? Chansung sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.

“Kau keberatan?” Tanya Junho karena tidak mendapat respon dari Chansung.

“Ani. Aku sama sekali tidak keberatan.” Kata Chansung cepat, takut Junho salah paham. Chansung lalu menyebutkan beberapa digit nomor yang langsung diketik Junho di ponselnya.

“Baiklah. Aku harus segera pergi. Hyung-ku akan mengomeliku kalau aku pulang terlambat. Annyeong..” Junho melambaikan tangannya lalu bergegas pergi meninggalkan Chansung yang masih memandangnya sambil melambaikan tangan. Namun sedetik kemudian Chansung meloncat-loncat kegirangan saking senangnya.

Tak lama kemudian Chansung merasakan ponselnya bergetar. Ada pesan masuk. Chansung lau membukanya.

Haii Chansung. Ini aku Nuneo.

Chansung lalu tertawa beberapa saat. Junho pasti salah mengetik namanya karena terlalu terburu-buru, pikir Chansung.  “Sudah kusimpan, Nuneo.” Katanya kemudian.

……..

Ingatan Chansung lalu melayang di hari ia menyatakan perasaanya pada Junho. Moment yang tidak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya.

………..

Siang itu hujan mengguyur kota Seoul, termasuk sekolah Chansung. Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, namun masih banyak siswa yang belum pulang. Mereka memilih untuk tetap berada di sekolah, menunggu hujan reda.

Chansung terduduk lemas di kursinya, hujan yang turun secara tiba-tiba di tengah musim panas ini benar-benar sudah merusak mood-nya.

“Kenapa hujannya tak juga berhenti?” keluh Chansung tak bersemangat. Hujan benar-benar akan merusak rencana-ku.

Chansung berpikir beberapa saat. Sampai satu ide cemerlang muncul di otaknya. Chansung langsung berdiri dari duduknya, mengambil tasnya dengan asal dan berjalan cepat keluar kelasnya. Chansung mendatangi kelas Junho, mereka berdua sudah menjadi sangat dekat sejak dua bulan yang lalu, saat Junho meminta nomor Chansung.

Chansung menghentikan langkahnya sesampainya di depan pintu kelas Junho. Chansung mengatur napasnya sesaat lalu berjalan masuk ke kelas Junho dengan tenang. Saat itu juga, Chansung bisa melihat Junho yang sedang cemberut karena Kim Soeun saat ini sedang berada di depannya. Hujan yang turun membuat Junho sulit melarikan diri. Kim Soeun duduk di kursi depan Junho dengan wajah yang terus menerus menatap Junho, dan rengekan-rengekan yang -Chansung yakin- akan membuat kepala Junho pusing. Sementara Wooyoung duduk di sebelah Junho, sedang cemberut sambil membalik-balikkan ponselnya, bosan.

“Ayolah Junho-yah.. sekali ini saja.” Terdengar rengekan Kim Soeun sambil memegang tangan Junho yang berada di atas meja. Junho buru-buru menarik tangannya tak suka.

“Hai Chansung-ah..” kata Junho tersenyum sumringah melihat kedatangan Chansung.

Tanpa membalas sapaan dari Junho, Chansung langsung menarik tangan Junho dan membawanya keluar kelas. Wooyoung dan Soeun hanya bisa melongo melihat kejadian itu. Namun kemudian keduanya mengikuti arah perginya Chansung dan Junho.

Tak lama kemudian Chansung berhenti, diikuti Junho yang pergelangan tangannya masih digenggam erat oleh Chansung. Mereka berada di tengah-tengah lapangan basket depan kelas mereka. Dengan air hujan yang mulai membasahi seragam sekolah mereka. Seketika itu juga mereka langsung menjadi pusat perhatian siswa-siswa di sekitar mereka yang sedang berteduh di depan kelas.

“C-Chan? Apa yang kau lakukan?” Tanya Junho tak mengerti. Apa dia ingin membuatku demam dengan mengajakku hujan-hujanan begini?

“Diamlah di tempatmu, Nuneo.” Perintah Chansung. Chansung lalu mengeluarkan kotak dengan warna merah hati, berlutut di depan Junho, membuka kotak itu dan menyodorkannya di depan Junho.

Junho membelalakkan matanya, terkejut dengan sikap Chansung. “A-apa yang kau lakukan? Cepat bangunlah. Ini sama sekali tidak lucu, Chan!” gertak Junho dengan nada kesal, mencoba menutupi rasa malu yang mendadak menyerangnya. Namun Chansung tetap berlutut di tempatnya. “Baiklah kalau kau tidak mau bangun. Aku yang akan pergi.” Junho hendak membalikkan badannya meninggalkan Chansung, namun langkahnya terhenti saat tangan besar Chansung menahan lengannya, sudah dalam posisi berdiri.

“Nuneoo, kumohon..” panggil Chansung, meminta agar Junho jangan pergi dulu. “Aku mencintaimu, Nuneo.. bahkan sejak aku belum mengenalmu.” Mata Junho semakin melebar mendengar pernyataan dari Chansung. Setelah memastikan Junho tidak melawan, Chansung melanjutkan lagi. “Would you be my boyfriend, Lee Junho?” Chansung menyodorkan kotak merah yang sekarang sudah basah oleh air hujan itu.

Junho diam beberapa saat, menatap kotak merah basah itu dengan cincin berwarna perak di dalamnya, bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Chansung terus menunggu jawaban dari Junho, tapi Junho tetap saja diam.

“A-apa kau bermaksud menolakku, Nuneo?” Tanya Chansung akhirnya, dengan pancaran mata yang terluka.

Junho menggeleng pelan. “Aku harus mengambil cincin yang mana? Aku bingung.” Kata Junho jujur. Adegan ini memang seperti di film-film romantic yang pernah Junho tonton, tapi di film-film itu hanya ada satu cincin. Sedangkan di kotak itu ada dua cincin, yang satu bertuliskan Hwang Chansung dan yang satunya lagi bertuliskan Lee Junho. Junho bingung apakah jika ia mengambil cincin bertuliskan Lee Junho itu berarti Junho menerimanya? Atau sebaliknya?

Chansung lalu memukul ringan kepalanya, menyesali kebodohannya. “Mian. Aku lupa. Jika kau menerimaku, maka kau harus mengambil cincin yang bertuliskan namaku.” Jelas Chansung.

“Oooh.” Junho mengangguk mengerti. Tangannya lalu bergerak mendekati kotak cincin itu. Chansung menahan napas ketika tangan Junho mulai mendekati salah satu cincin, dan Junho mengambil cincin bertuliskan nama…… Lee Junho!

Apa? Nuneo benar-benar menolakku? Ani. Dia pasti hanya salah ambil. Chansung berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski hatinya sempat mencelos saat Junho mengambil cincin itu.

“Nuneo.. kau mengambil cincin yang salah.” Chansung mencoba memperingatkan. Junho lalu meneliti cincin yang ia pegang itu.

“Ani.” Junho menggeleng. “Aku mengambil cincin yang benar. Ini cincin dengan namaku.” Jawab Junho mantap.

Hati Chansung pun hancur seketika. Rasanya seperti ada petir yang menyambar di tengah hujan siang itu. Apa selama ini aku salah mengartikan kedekatan kita? Jadi kau hanya menganggapku sebagai teman? Kalimat itu tersimpan dalam hati Chansung, karena tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya tertunduk diam.

Junho lalu mengambil tangan kiri Chansung yang tidak memegang kotak cincin. “Chansung-ah..” kata Junho lirih.

Chansung tahu Junho pasti ingin minta maaf karena telah menolaknya. Namun sesaat kemudian Chansung merasakan tangan lembut Junho sedang memegang jemarinya dan dengan perlahan memasukkan cincin itu ke jari tengahnya. “Saranghae.. C-Channie..” kata Junho sedikit ragu menyebut kata ‘Channie’, panggilan sayangnya untuk Chansung mulai saat ini.

Chansung lalu memasangkan cincin yang satunya lagi –yang bertuliskan nama Hwang Chansung- di jari tengah Junho. Para penonton yang dari tadi menegang menyaksikan adegan penolakan –palsu- itu kini bersorak-sorak  gembira. Tanpa Chansung duga, Junho tiba-tiba memeluknya dan membenamkan wajahnya di dada bidang Chansung. “Aku malu, Channie..” kata Junho manja.

“Hahahaa..” Chansung tertawa bahagia. Ia lalu membalas pelukan Junho. “Jangan pernah lepaskan cincin ini selama kita masih saling mencintai, atau kita akan kehilangan satu sama lain. Mengerti?” Chansung dapat merasakan kepala Junho mengangguk di dadanya. “Janji?” Chansung menyodorkan jari kelingkingnya pada Junho.

Junho lalu mendongakkan wajah merahnya sebentar hanya untuk menautkan jari kelingking mereka. Kemudian kembali membenamkan wajahnya pada dada Chansung. Mereka kembali berpelukan di bawah hujan siang itu, menyatukan rasa bahagia yang membuncah dalam hati keduanya.

……………..

Chansung kembali memandangi tangan kirinya yang dilingkari dua buah cincin perak. Air mata menetes lagi di pipinya. Ia buru-buru menyekanya dengan tangannya sendiri. “Aiish..  mengapa sekarang aku lebih cengeng dari Udong?” tanyanya pada dirinya sendiri. Chansung lalu mencium kedua cincin itu penuh arti, “Nuneoo…” ucapnya lirih.

*

*

*

^To Be Continued^

 

From Me :

Chap. 3 ini cukup panjang yaaa.. sampe capek nulisnya.. Chap ini banyak menceritakan kenangan Chan tentang Junho, sesuai judulnya.. jd jangan bosen ya,? Hehehe.. *maksa* n' maaf ya klo adegan romantis'a kurang romantis, oz author'a gag pnter bkin adegan romantis, hehe.. :)

Makasih reader2 semuanya yang udah comment. :D Well, selamat membaca. Dan jangan lupa comment lg.. :D

Gomawo J

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
eyessmile14
#1
Chapter 5: Hahh *sigh..
Kalau gini gatau dah thor happy ending atau sad ending dah ini.
Di sisi lain senang karena Junho akhirnya bersama Chansung lagi tapi di sisi lain sedih juga mereka meninggaaaaal. Huweeee *mewek
Ini sedih banget gilaaak:(
ayudaantariksa #2
Chapter 5: Dan ff ini sukses buat aku nangis . Terimakasih thor ^_^ . Ff nya bagus .
channelca #3
Chapter 5: Sebenarnya sih udh lama baca ff ini
Heheh tapi gk pernah comment #dijitak author
Mianhe authorr...
Daeebbakk ... keren cerita
Kemarin baca yg chapter 4 ,, sempat mikir klu Junho akan puli ingatannya dan mereka akan bersatu kembali... tapii malah dia juga ikutan nyusul Chansung.. tapi gpp dech yg penting mereka bersatu....
Dintunggu FF yg lain ya eonnie author
hwaiting93 #4
Chapter 5: Enaknya jadi channuneo , tak terpisahkan dunia akherat (≥ ⌣ ≤)
Untung nuneo bisa inget lagi sama changsung , tadinya bayangin kalo nuneo mati trus tetep ga bisa inget chansung juga haha
*ditendang chansung*

Minjun pasti nyesel banget , udah kehasut omongan soeun ckckck
Woo kasian ditinggal 2 sahabat sekaligus , kasian woo kan lemah lembut hatinya (╥﹏╥)​
*peluk uyong*
Sequel dong author-nim , ceritain kehidupan khunyoung & taecmin setelah channuneo meninggal hehe ^^v
jangwooyoung0730
#5
Chapter 5: daebaaaak.,. Tak terprediksiiii... Daebaaak... Pdhal bkan chanuneo shiper, tp nngs bca crta akhrnya... Daebaaak.... Yg khunyoung lnjut doong thooor... :)
XanDC09 #6
Chapter 5: annyeong unnie.. xan imnida... bangapseumnida...
omo.. T_T chanuneo akhir'a bisa bersama lagi.. sayang ga bisa bersama2 teman dan keluarganya mereka juga...
poor WooKay.. smoga taeckhun bisa terus nemenin mereka...
cerita lainnya ditunggu unnie.. ^^
ah, q request yg happy ending version dari cerita ini kalo ga sequel'a cerita ini bisa ga unn? hehehe... gomawo b4... ^^
UnunJang
#7
Chapter 5: Hiks...Hiks...
speechless...T^T
Dibilang sad ending,
py... akhirnya Channie n Nuneo bersatu lagu...
*Nangis dipojokan
My Baby Woo n Minjun oppa yang sabar yah,,,
Keren Thor, sukses bikin aq berderai air mata...

ditunggu ff selanjutnya...^0^
teru_neko
#8
Chapter 5: udah end?tp kok blm ada tanda complete ya? apa author mau bikin sequelnya? kkkk~
yeeeyyy!! Khunyoung shipper nambah! XD *terima kasih buat tetangganya (?) author ituu~~~ X)*
ini endingnya mengharukan..bittersweet gitu lah..
ditunggu ff selanjunya :D
lurvejunho #9
Chapter 5: Aww bittersweet ending.seriously i dont expect it will be turn like this.good job authornim.i hope u can write more chanho after this :D
syahroh1212alhalim
#10
Chapter 5: oawalah ini mah sad ending.... Nangis berderai air mata.... Kirain bersamanya didunia nyata z.... #nangisdipojokan
Seharusnya kan happy ending #maksa
Bagus c.... Tp kan jd g tega ma woo n' junk
Nuneo jd tega gt c.....