Preparation

EXOPLANET GAMES

 

.

.

Members of EXO (K and M) are not mine, but Gods and themselves

EXOPLANET GAMES by Eka Kuchiki

Inspiration from movie and novel ‘The Hunger Games’ by Suzanne Collins

Genre: Fantasy, Adventure, Little Sci-fiction, Friendship, Family, Game, Thriller.

Rating: PG 13+

Warning: OOC, OC (hanya sebagai pendukung), alur loncat-loncat, (mungkin) death character, Alternate Universe (sekitar tahun 2066).

Notes: Alur fic ini loncat 5 tahun pada alur prolog.



.

.

.

.

.

[Dua hari sebelum Exoplanet Games]



Siang ini, matahari masih setia menyinari. Ia masih setia menyinari sudut halaman depan rumah mungil dengan dua pohon persik, tempat di mana Tao sedang mengacak-acak rambutnya frustasi. Beruntung kakaknya sedang tidak ada di rumah, dan tidak ada orang yang hilir mudik di depan pagar rumahnya. Jadi tidak ada seorang pun yang melihatnya mengacak rambut seperti orang gila.

Waktu terus berjalan. Sementara Tao hanya mempunyai sisa waktu dua hari sebelum ia dan kakaknya pergi ke Distrik Seoul, tempat Exoplanet Games diadakan. Masalahnya kali ini sangat rumit.

Ia belum mengetahui kekuatannya sendiri.

Bagaimana caranya nanti ia bertahan di sana? Bagaimana cara dia menghadapi tributes yang tidak bisa ditangani oleh kemampuan martial arts-nya? Bagaimanabagaimanabagaimana—

—dan sejumlah bagaimana yang tidak tahu harus dijawab apa.

Tao memandangi seekor burung gereja yang sedang terbang di pekarangan rumahnya. Tangan kanannya yang semula terkepal, kini membuka dan mengarah sejajar dengan pandangan matanya. Ia menggerakkan tangannya berlawanan arah dengan jarum jam, dan—

‘Kenapa semuanya berhenti bergerak?’

Pemuda bersurai hitam itu panik setengah mati melihat semua objek di depan matanya tidak bergerak, termasuk burung gereja yang membatu dengan posisi mengepakkan sayapnya. Ia mencoba menjentikkan jarinya. Sekali, tidak ada perubahan. Dua kali, tetap tidak ada perubahan. Ketiga kalinya, dengan dahi mulai dipenuhi peluh, ia mencoba menjentikkan jarinya lagi.

—dan waktu pun berjalan kembali seperti semula.

“Itu tadi kekuatanmu ya?”

Satu suara bariton membuat Tao terkejut dan menoleh takut-takut ke arah pagar depan rumahnya. Ada kakak angkatnya, Wu Fan, yang tengah menenteng beberapa kantong belanja. Ekspresi wajah Wu Fan sendiri masih digeluti raut tidak percaya.

“Ge-gege sudah pulang?” tanya Tao saat Wu Fan berjalan mendekati dirinya. “Memangnya tadi gege merasakan apa?”

Wu Fan hanya mengangkat bahunya. “Aku merasa aneh saat memasuki pagar. Tiba-tiba tubuhku tidak bisa digerakkan, dan—”

“Jadi aku... punya... kekuatan...?” Suara Tao terdengar bergetar. Wu Fan menangkap ada yang tidak beres saat Tao berjalan mendekatinya dengan mata yang mulai... berkaca-kaca?

“Kenapa?”

Wu Fan mendekap tubuh Tao yang menubruk ke dalam pelukannya. Kantong belanjaan itu pun terlepas dari tangannya. Tangan Wu Fan memilih untuk mengelus punggung adiknya, berusaha untuk memberikan ketenangan. “Ada apa, Tao?” tanyanya khawatir.

Tao seperti tidak menghiraukan pertanyaan Wu Fan. Ia memilih untuk bertanya, entah untuk siapa pertanyaan itu. Yang bisa Wu Fan dengar hanyalah aduan Tao—mungkin untuk Tuhan.

“Kenapa Tuhan tidak memberiku kekuatan ini sejak awal? Kalau saja kekuatan ini diberikan tujuh tahun yang lalu—”

“—Mama dan baba pasti bisa kuselamatkan...”

.

.

.

.

.

Dinginnya malam terasa menggigit kulit putih Joon Myun. Pemuda bertubuh sedang itu mempercepat langkah kakinya. Ia sudah tidak sabar untuk menghangatkan tubuhnya di dalam apartemen.

Kini ia sampai di depan pintu apartemen. Ia pun menekan bel tiga kali berturut-turut, membuat penghuni di dalam apartemen itu buru-buru membuka pintu apartemen.

“Aku pulang!” seru Joon Myun. Kyung Soo menyambut kedatangan Joon Myun dengan senyum hangat, “Selamat datang, Hyung!” sambutnya.

Kyung Soo dan Joon Myun tinggal seapartemen. Orangtua Joon Myun meninggal sejak umurnya menginjak sepuluh tahun karena kecelakaan, disusul dengan kematian kakaknya dua tahun yang lalu, memaksa Joon Myun untuk hidup mandiri. Kyung Soo memilih untuk tinggal di apartemen Joon Myun setahun yang lalu karena universitasnya terlalu jauh dari rumahnya.

Kedua orangtua Kyung Soo tidak keberatan anaknya tunggalnya tinggal dengan Joon Myun yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Malah mereka yang membiayai semua keperluan Kyung Soo dan Joon Myun, termasuk membayar sewa apartemen Joon Myun—ralat, apartemen Joon Myun dan Kyung Soo.

“Kau sudah makan?” tanya Joon Myun, mencoba memecah keheningan.

Kyungsoo menggeleng pelan. “Aku kan menunggu Hyung pulang kerja dulu. Biasanya juga begitu kan?”

“Aigo... Soo! Ini kan sudah jam sembilan malam!” Joonmyun berdecak khawatir. Temannya—ralat, adiknya ini selalu menunggunya untuk makan malam bersama. Padahal ia takut sakit maag Kyung Soo kambuh kalau dia terus-menerus telat makan.

Tangan Joon Myun menarik pemuda bermata bulat itu menuju ruang makan. “Ayo kita makan sama-sama! Aku lapar sekali!”

—dan tidak ada tanggapan lain dari Kyung Soo selain anggukan kepala.

.

.

.

Joon Myun dan Kyung Soo kini duduk berhadap-hadapan. Di atas meja ada dua piring spageti kimchi yang siap untuk disantap. Di sela-sela acara makan mereka, Joon Myun membuka dialog kecil,

“Kyungsoo, apa kau sudah siap?”

Mata Kyung Soo membulat, ada tanda tanya di atas kepalanya. “Siap untuk apa, Hyung?”

Si kakak tersenyum simpul. “Tentu saja untuk mengikuti Exoplanet Games!”

Kyung Soo tersenyum lembut. Mata bulatnya menatap lurus Joon Myun.

“Asalkan aku bisa bersamamu, aku pasti selalu siap.”

.

.

.

Seperti biasa, jika makan malam sudah selesai salah satu di antara mereka harus mencuci piring. Kyung Soo kali ini yang bertugas mencuci piring. Begitu ia menyalakan keran, air tidak mengalir. Sungguh sial. Ia pun berteriak memanggil Joon Myun yang sedang menganggur di dalam kamarnya.

“Hyung, tolong ambilkan air di keran luar. Air di tempat cuci piring mati.”

Joon Myun mengambil ember dari kamar mandi, tetapi ia tidak pergi ke luar apartemen. Ia malah berjalan menuju dapur. Kyung Soo membelalakkan matanya melihat Joonmyun langsung membawakan ember dalam waktu singkat.

“Hyung cepat amat ambil air—“ Kyung Soo melirik isi ember, kemudian mata bulatnya mendelik sebal. “Ya! Kenapa embernya belum diisi air?”

“Untuk apa repot-repot mengambil air,” Joon Myun menyunggingkan senyum tipis. Ia berjongkok, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam ember. Beberapa saat kemudian, air mengalir deras dari telapak tangannya.

“...kalau aku bisa mengalirkannya sendiri dari tanganku.”

Mata Kyung Soo membulat sempurna ketika melihat aliran air tiada henti keluar dari telapak tangan Joon Myun. “Hyung! Kau—“

“Ne, Kyung Soo-ah. Kau orang pertama yang melihat kekuatanku.”

Kyung Soo hanya menyunggingkan senyum miring. Joon Myun mengernyit melihat senyuman ganjil pemuda yang lebih muda dua tahun darinya itu.

“Kalau begitu, aku akan memperlihatkan kekuatanku besok, Hyung,” Senyum miring Kyung Soo semakin jelas terlihat. “...saat kita sampai di Seoul.”

“Hah?”

.

.

.

.

.

Min Seok berjalan menuju minimarket yang tidak begitu jauh dari apartemennya. Mata sipitnya menangkap sosok yang tidak asing baginya saat memasuki minimarket. Sosok bersurai hitam itu pun menoleh dan mereka berdua sama-sama terkejut.

“Jong Dae-ssi?”

“Min Seok-ssi?”

.

.

.

Mereka berdua memasuki minimarket, lalu memilih untuk mengobrol sambil mencari barang yang dibutuhkan. Tempat yang pertama kali dituju adalah rak makanan ringan.

Min Seok membuka pembicaraan, “Kau tinggal di sekitar sini?”

“Ya. Rumahku lima blok dari minimarket ini.”

“Wah! Berarti tidak jauh dari apartemenku dong!” sahut Min Seok semangat. “Apartemenku tujuh blok dari sini! Apa kau ingin berangkat bersamaku ke Seoul?”

Jong Dae menatap Min Seok ragu-ragu. “Aku ingin, Min Seok-ssi. Tapi... apa tidak merepotkan?”

“Tentu saja tidak, Jong Dae-ah! Kita kan sama-sama perwakilan dari Guanzhong,” Mau tidak mau Min Seok balik menatap Jong Dae—meminta kepastian. “jadi bagaimana?”

“Aku ikut, Min Seok-ssi! Aku tidak tahu masih bingung dengan rute perjalanan Guanzhong-Seoul...”

“Jong Dae-ah, kayaknya kita tidak usah terlalu formal deh. Kau bisa memanggilku Hyung kalau kau mau.”

“Memangnya umur Min Seok-ssi berapa?”

“22 tahun.”

Jong Dae tersentak mendengar umur rekan satu distriknya yang berbanding terbalik dengan wajahnya. “Aku kira Min Seok-ssi—maksudku, Min Seok-hyung lebih muda daripada aku!”

Min Seok terkikik mendengar pernyataan polos dari Jong Dae. “Banyak orang yang bilang begitu kok.”

Jong Dae ikut tertawa melihat pipi putih Min Seok yang seperti bakpau itu menggembung karena tertawa. Namun rautnya berubah dengan dahi yang mengernyit.

“Kenapa Min Seok-hyung memintaku untuk memanggilmu Hyung? Apa kau tahu aku lebih muda darimu?”

“Jelas aku tahu usiamu! Aku kan melihatmu keluar dari barisan usia 20 tahun!”

Satu fakta yang Jong Dae lupakan. Sebelum dipilih menjadi tribute Exoplanet Games, para pemuda berbaris sesuai dengan usianya.

“Hyung.”

“Ya?”

“Kita janjian jam berapa? Kita akan bertemu di mana?”

Min Seok geli sendiri mendengar pertanyaan Jong Dae. Pertanyaan Jong Dae mirip dengan pertanyaan seorang pemuda yang akan melakukan kencan perdana dengan gadis pujaannya.

“Lusa jam enam pagi di stasiun kereta kapsul Guanzhong. Jangan sampai terlambat kalau tidak mau kutinggal.”

Dialog ditutup saat mereka berjalan berdua pulang ke rumah masing-masing. Dari pertemuan itu Min Seok tahu bahwa rumah Jong Dae hanya berjarak tiga rumah besar dari apartemennya.

—dan dari pertemuan itulah, ia seperti menemukan sosok sahabat dalam diri Jong Dae.

.

.

.

.

.

[Sehari sebelum Exoplanet Games]



Sehari sebelum dimulainya Exoplanet Games akhirnya datang juga.

Malam sebelum hari-H itu tiba, Se Hun memeluk perempuan paruh baya yang dipanggilnya ‘Umma’ itu dengan erat di dalam kamarnya. Sang ibu terisak, tidak rela melepaskan anak semata wayangnya setelah kakak angkatnya, Lu Han, memilih untuk menetap di Haidian...

—kedua anaknya seperti sepakat untuk meninggalkannya.

“Umma, jangan menangis dong,” Se Hun mengelus punggung ibunya dengan lembut. “Nanti umma tidak cantik lagi.”

“Bisa saja kau, Se Hun-ah!”

“Se Hun-ah, semalam Lu Han menelepon umma dan menanyakanmu,” Se Hun membelalak mendengar nama Lu Han disebutkan. Ia ingin menyanggah, namun ibunya tidak memberinya kesempatan.

“Tapi sayang, ia menelepon jam 12 malam. Umma bilang kau sudah tidur.”

“Kenapa umma tidak membangunkanku?” tanya Se Hun gusar. Ia ingin sekali berbicara dengan kakaknya. Sudah seminggu lebih kakaknya tidak meneleponnya.

“Habis semalam kau tidur pulas sekali, sih... Umma jadi tidak tega,” jawab ibunya dengan nada santai, dan mengabaikan wajah cemberut Se Hun. “Oh, ya. Umma menyampaikan bahwa kau mengikuti Exoplanet Games.”

“Terus?”

“... dan ternyata dia mengikuti permainan itu juga lho, Se Hun-ah...” “...mungkin sudah saatnya kalian berdua dipertemukan kembali.”

“APA?”

.

.

.

.

.

Dua pemuda berbeda tinggi badan sedang menikmati waktu luang mereka di ruang santai di depan layar televisi datar 40 inch 3D. Mata mereka terfokus pada film di layar kaca, tetapi pikiran mereka tidak pada film itu. Pemuda tinggi berambut ikal itu memanggil sahabatnya.

“Baekie...”

“Ya, Yeol?”

“Apa kau punya gambaran khusus mengenai tributes yang akan kita hadapi nanti?”

Baek Hyun menatap Chan Yeol datar. “Memangnya kau sendiri punya bayangan seperti apa?”

Chan Yeol berdecak kesal. Baek Hyun selalu membalikkan pertanyaannya jika menyangkut Exoplanet Games.

“Apa kau serius ingin mengikuti permainan itu?”

“Kenapa kau bertanya begitu? Memangnya aku—”

‘Pet!’

Seluruh lampu energi solar cell di ruang santai maupun ruang apartemen lainnya mendadak mati. Kedua pemuda di dalam ruangan itu pun terkejut.

“Sepertinya ada masalah dari generator solar cell di apartemen,” kata Baek Hyun. Walaupun posisi Baek Hyun tidak bergeser dari sofa, tubuhnya sedikit gemetar. “Kalau begitu—“

“Kalau begitu, kau jangan kemana-mana. Aku mau mengambil lampu darurat dulu.”

Chan Yeol beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju arah dapur dengan tangan meraba-raba tembok. Pemuda bertubuh tinggi itu tidak mendengar bahwa sedari tadi ada yang mengumpat dirinya dengan nada mirip menggumam.

“Kenapa si tiang listrik itu tidak sabaran sih?” dumel Baek Hyun. Ia benci gelap. Namun ia lebih benci sendirian di dalam gelap.

—dan Chan Yeol sialan itu meninggalkannya sendirian.

Sensasi kegelapan selalu membuat Baek Hyun merinding. Pemuda berwajah imut itu membuka kepalan di tangan kanannya. Cahaya putih memendar dari telapak tangannya. Ia menghela napas, mengeluarkan emosi tertahannya.

“...Aku kan bisa jadi lampu darurat untuk sementara.”

.

.

.

Gagal mendapatkan lampu darurat, Chan Yeol pun berinisiatif untuk kembali ke ruang santai. Suara Byun Baek Hyun memanggil namanya dengan suara cempreng membuatnya sakit telinga.

“Byun Baek, kau dimana?”

“Ya! Kau kan yang meninggalkanku! Cepat ke sini!”

Chan Yeol membelalakkan matanya. Sama seperti ekspresi Baek Hyun di depannya. Mata Chan Yeol mengarah ke tangan kanan Baek Hyun yang mengeluarkan cahaya putih. Baek Hyun pun mengarahkan matanya ke tangan kanan Chan Yeol yang tengah membawa api di telapak tangannya—dan api itu sama sekali tidak membakar tangan Chan Yeol. Mereka berdua sama-sama mengekspresikan keterkejutan mereka dengan berkata,

“Kau ternyata...”

.

.

.

.

.

Jong In menghela napas. Ia baru saja mendengarkan curhatan Se Hun mengenai Lu Han yang ternyata juga mengikuti Exoplanet Games lewat telepon rumah sampai-sampai ibunya menyindir tepat di hadapannya—yang sedang menggenggam telepon paralel.

“Ternyata tagihan telepon membengkak karena kamu ya? Pantas saja...”

“Umma, aku tidak menelepon. Barusan yang menelepon itu Sehun, teman sekelasku.”

“Alasan saja kamu,” balas wanita paruh baya itu diselingi dengan cengiran Jong In. “Oh, ya Jong In-ah. Jangan terlalu lama menelepon. Ini sudah jam sebelas malam.”

Jong In menghiraukan kata-kata ibunya ketika wanita paruh baya itu memasuki kamar. Merasa privasinya sedikit terganggu, ia pun memilih untuk masuk ke kamar dan menggunakan ponselnya untuk menghubungi seseorang.

“Yeoboseyo?”

“Ini siapa?”

“Ini Jong In, Min-hyung,”

Suara di seberang telepon berubah menjadi riang. “Oh, Jong In-ah! Aku mau bilang kalau aku akan ke Seoul besok pagi.”

“Jadi... kau akan ke Seoul besok?”

“Tentu saja! Aku akan naik kereta kapsul express. Mungkin akan sampai di Seoul jam sepuluh pagi...”

“Oke. Kalau begitu, annyeong, Hyung!”

“Annyeong, Jong In-ah!”

Jong In memutuskan sambungan teleponnya. Bukan karena masalah pulsa, tetapi karena sebuah benda yang tersimpan di dalam kotak biru tua berukuran sedang. Dan kotak itu seperti memanggilnya untuk mendekat ke arah meja rias.

‘Sudah saatnya aku memakai ini.’

Jong In mengeluarkan sebuah kalung berbandul heksagonal dari dalam kotak biru tua itu. Ia mengalungkannya dan membiarkan bandul heksagonal itu jatuh di bawah lehernya. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Bandul heksagonal itu memantulkan cahaya lampu dan membuat warna pelangi berpendar keluar dari bandul berwarna perak itu.

—ingatannya melayang ke lima tahun yang lalu, saat Min Seok menyatakan dirinya akan pergi jauh negeri seberang.



.


.

[Flashback]

.

.

“Hyung! Tunggu sebentar!”

Min Seok menoleh ke belakang dan menemukan sosok Jong In mendekatinya dengan napas terengah-engah. Tangan kanannya yang terulur di depannya tengah menggenggam sesuatu.

“Apa itu yang di tanganmu?”

“Aku... ingin memberikan ini untuk Hyung,” Jong In membuka genggaman tangannya. “Maaf ya kalau bentuknya tidak menarik.”

Mata Min Seok membulat sempurna ketika ia melihat benda yang berada dalam genggaman tangan Jong In. Mata itu masih tetap membulat saat Jongin memindahkan benda itu ke dalam genggaman tangannya.

—ia tidak bisa menerima kalung itu.

“Kalung ini adalah kalung EXO,” Min Seok mengembalikan kalung itu ke genggaman tangan Jong In. Jong In menatap Min seok bingung dan terselip ekspresi sedih di wajahnya.

—apa Min Seok tidak menyukai kalung pemberiannya?

“...Kau harus memakainya jika kita sama-sama menjadi tributes Exoplanet Games, ya!”

“Kenapa harus aku?”

“Itu bukan kalung biasa. Aku tidak pantas memakainya.”

“Kenapa, Hyung? Padahal menurutku pantas-pantas saja.”

Min Seok tersenyum tipis. Manik hitamnya menatap lurus bandul heksagonal yang memantulkan bayangan wajahnya samar-samar.

“...Karena heksagonal adalah lambang kesempurnaan*.”

.

.

.

.

.

Restoran Zhang kini sepi oleh pelanggan dan sudah tutup setengah jam yang lalu. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Tuan Zhang dan Nyonya Zhang melepas lelah di kamar mereka. Berbeda dengan kedua pemuda yang tengah berkumpul di satu ruang tidur. Pemuda bersurai karamel yang duduk di atas tempat tidur sedang membantu pemuda bersurai hitam untuk mengecek barang bawaannya.

“Alat mandi?”

“Check.”

“Pakaian dalam, kemeja dan celana panjang?”

“Check.”

“Kaos, celana training, jaket?”

“Check.”

“Obat-obatan?”

“Check.”

“Ramen instan dan makanan darurat lainnya?”

“Check.”

“Ponsel, paspor, dompet— “

“Lu Han-ge kan yang menyuruhku menitipkan paspor dan dompetku. Kau takut kalau aku melupakan barang sepenting itu—”

“Oke, oke. Paspor dan dompetmu aman sekarang, Yi Xing,” potong Lu Han dengan nada menyerah. “ada lagi?”

Yi Xing menggeleng yakin. Ia tinggal memasukkan jaket ke dalam travelling bag sebelum akhirnya resleting travelling bag itu ditutup dan diberi kunci kombinasi. Pemuda berlesung pipi itu merapikan beberapa pakaian yang bertebaran di atas kasurnya, sementara Lu Han beranjak pergi dari kamar Yi Xing.

.

.

.

Yi Xing berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Mata kelamnya menangkap sosok pemuda bersurai karamel yang sedang mengupas apel, memotongnya, dan menatanya di atas piring.

“Mau kubantu, Ge?” tawar Yi Xing.

“Tidak usah, tinggal satu apel lagi,” tolak Lu Han halus. Tangannya beralih dari potongan apel ke satu apel yang belum dikupas. “Menurutmu, apa pihak Universitas akan mengizinkan kita untuk cuti selama 36 hari?”

“Tentu saja, Ge,” jawab Yi Xing bersemangat. Mata kelamnya terlihat berbinar. “seharusnya Universitas kita bangga dengan kita! Kita kan calon pemimpin perang masa depan!”

Sementara Yi Xing sibuk berkoar tentang apa yang akan ia lakukan selama di Seoul, Lu Han sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia lebih fokus memikirkan: Apa yang harus ia lakukan jika ia bertemu dengan Se Hun di permainan Exoplanet Games? Apakah ia dan Se Hun akan satu kelompok atau beda kelompok? Bagaimana reaksi Se Hun jika tahu ia akan bermain di Exoplanet Games bukan sebagai kakaknya? Apa—

“...Aku sudah tidak sabar ingin melihat siapa saja tributes yang terpilih! Aku akan—“

“Akh!”

Lu Han memegangi jari telunjuknya yang teriris pisau. Yi Xing berlari mendekati pemuda imut itu, dan mata kelam itu menatap horor ke arah jari Lu Han yang berlumuran darah.

“Lihat jarimu, Ge!” Yi Xing menarik tangan kanan Lu Han, tetapi si pemilik tangan menarik kembali tangannya.

“Tidak usah, Yi Xing. Aku bisa mengobatinya sen—“

“Bagaimana jika aku yang mengobati luka ini?” Yi Xing menarik paksa (lagi) tangan kanan Lu Han untuk melihat luka irisan itu.

“Hei! Kau—“ Lu Han tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena ia hampir tidak bisa mempercayai pendangannya sendiri. Jemari Yi Xing mengelus lembut jarinya yang terluka, dan darah yang sempat merembes perlahan terserap ke dalam kulit. Voila! Kini jarinya kembali seperti semula tanpa bekas luka.

“Yi Xing ... ternyata kau itu—”

“... seorang penyembuh?”

.

.

.

.

.

Gedung pemerintahan Korea Selatan di dalam mulai seperti keadaan di aula luar dan halaman. Semua ruangan hampir ditelan sunyi di waktu dua belas malam.

—kecuali satu ruangan yang semua lampu tenaga solarnya masih menyala.

Ada enam orang yang masih berada di dalam sebuah ruang kontrol. Mereka semua masih dibalut dengan seragam yang dominasi warna metalik, menandakan identitas mereka sebagai tim pengontrolan fasilitas di dalam gedung pemerintahan Korea Selatan. Salah seorang yang memiliki lencana terbanyak di seragamnya mulai menunjukkan satu titik merah di peta layar sentuh.

“Kedua belas tributes kita akan berkumpul di aula gedung Seoul besok pada pukul 8 malam,” Pria berseragam kebanyakan lencana itu menunjuk ke titik koordinat aula gedung. “Apakah semua alat-alat untuk pengontrolan hutan Exoplanet Games sudah siap digunakan besok?”

“Semua peralatan untuk mengontrol hutan Exoplanet Games sudah siap, Jendral.” jawab salah satu bawahannya.

Sang Jendral menyunggingkan senyum miring—yang menurut bawahannya lebih mirip seringai. “Aku tidak sabar untuk bertemu dengan mereka,”

“...dan menyaksikan sendiri kekuatan mereka.”



.

.

[To be Continued]

.

.

 

Eka's note:

Maaf banget baru update sekarang~ (nunduk-nunduk) Saya lupa password-nya soalnya. Oh, ya. Karena saya gak ngerti sistem pengeditan di asianfanfics ini, mianhae kalau tulisannya rada acak-acakan. Kalau mau liat versi rapinya, bisa ke http://archiveofourown.org/works/422906/chapters/705903

Akhir kata, komen? :D

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Nadira12
#1
hunger games versi exo!!!! penasaran... mau langsung di next >>>
clairenoona_887 #2
berasa hunger games..
coba dibaca deh :D
DiarraCha #3
Chapter 1: denger cerita.a dri tmen
coba" cari, dapet
nice story :)
adellakrs
#4
Chapter 4: tadi nemu fic ini di exofanfiction dan langsung nagih baca, well, eksekusi yang pas author-nim~ fic yang menegangkan dan bagus untuk saya subscribe :p
Pinkykitty
#5
Chapter 4: Woah baru nemu fic ini dan langsung baca marathon.

Jadi dibagi menjadi dua kubu. K dan M?
Wah jangan ada yg mati dong author!
Kasian.. :(
Di film Hunger Games nya yg hidup sisa 2 kan? Mudahan versi ficnya semuanya deh! :D

Oh iya td semper jingkrak juga saat baca Yunho jadi mentornya (padahal cuman jd cameo XD). Terus kirain si Changmin juga eh tp sekalinya malah Hangeng.
*jiwa Cassie keluar*

Update soon ya thor!! Jangan kelamaan! :D
Eunki23 #6
Chapter 4: Wahhh bagus kok ^^
Aku cukup penasaran dg metode pertandingan bertahan hidup mereka
Dikarenakan mrka kan punya kekuatan elemen
Menggabungkan kekuatan elemen dg cerita hunger games
Kreatif, ditunggu mext chap nyaa
amusuk
#7
wow, baru smpet bc chap 1, udah bikin penasaran. Interesting -_,-
weirdoren
#8
Chapter 4: BAGUSSS UPDATE LAGI JUSEYO!!!!!
weirdoren
#9
UPDATENYA PLISEUUU asli penasaran gimana nasib sehun ._.
nora50
#10
Kpn diupdate? M tau lanjutannya pliz...i love action story!