Lee Chaerin and Kwon Jiyong belong to themselves. This work is only a fiction and pure mine, except the picture. I don't earn any material profit from it.

Satu jam yang lalu langit biru tertutup oleh kumpulan awan kumulus, membuat cahaya mentari yang tadinya menyinari seisi kota tak lagi terlihat. Orang-orang bersyukur karena panas tak lagi menyengat. Oh, tidak semua. Ada beberapa yang nampak kesal; contohnya ibu rumah tangga yang sedang menjemur pakaian.

Sepuluh menit setelahnya rintik hujan mulai turun, menciptakan percikan-percikan kecil pada entitas berwujud. Yang sedang tak berada di bawah atap bergegas pergi. Berlari mencari tempat teduh karena yakin sebentar lagi air akan menghujam dengan ganasnya.

Benar saja. Tak sampai lima menit kemudian titik-titik besar air berjatuhan ke bumi. Senyawanya membasahi ribuan orang di jalan utama Seoul yang berlari semakin kencang menuju area beratap sembari menutupi badan—terutama kepala—dengan apa saja yang dapat meminimalisir jatuhnya air pada anggota tubuh.

Kau mendesah pelan menatap semut-semut yang berbondong-bondong menuju pelantaran toko—setidaknya itu yang terlihat dari lantai lima sebuah gedung pencakar langit. Embun basah akibat hujan yang menempel pada jendela mengaburkan pandanganmu pada salah satu jalan utama Seoul, membuat dirimu mengalihkan pandangan pada pria mapan yang kini tengah duduk seraya menyesap hangatnya cappuccino dari cangkir berwarna putih gading.

“Oppa.”

Kau memanggilnya. Mencoba mengalihkan atensi manik yang berhasil menjeratmu itu dari sebuah majalah fashion.

“Hn.”

Gagal. Ia merespon, hanya saja perhatiannya tetap terpusat pada kumpulan kertas yang kaupikir lebih menarik dari dirimu.

“Jiyong oppa.”

Kau mencoba lagi. Berharap dengan menambahkan nama panggilannya dapat membuat ia melirik ke arahmu.

“Ada apa, Chae-ah?”

Hanya itu jawaban yang kau dapat. Aa, dan suara kertas majalah yang dibalik ke halaman selanjutnya. Cukup. Kau memang jarang sekali marah. Tapi tak ada salahnya marah jika pacarmu menjadi semenjengkelkan ini, bukan?

“Ya, Kwon Jiyong!”

Nada bicaramu naik satu oktaf. Boneka asal jepang yang tadi berada dipangkuanmu beralih ke wajah kaget Kwon Jiyong. Apa tadi aku bilang ke wajah Jiyong? Yap, benar sekali. Kau membuang boneka pemberian pacarmu ketika ia memintamu menjadi kekasih tepat di wajah tampannya.

Berhasil. Kini iris hitamnya menatapmu. Wajahnya dimiringkan ke kanan beberapa derajat seolah berkata, “Ada apa? Aku salah apa?”

Ck. Dasar cowok tidak peka.

“Tidak. Lupakan!”

Kau membuang parasmu ke kanan, menghadap kembali jendela berembun yang beberapa saat lalu kau tinggalkan.

Jiyong? Kembali menekuni kumpulan kayu olahannya.

Huh, menyebalkan!

“—Kembalikan Rilakkuma-ku, oppa.”

“Ya ya. Cerewet sekali.”

Mendesah napas, entah sudah berapa kali kegiatan itu kaulakukan. Bosan dan jengkel menjadi satu dan menguasai hatimu. Oh, indahnya hari ini, batinmu sarkastik.

Kau menatap kembali Boneka Rilakkuma pemberian Jiyong oppa-mu. Beruang buatan berbulu coklat tua dengan mata bulat dan pita kupu-kupu melingkar di lehernya. Lucu sekali, itu yang kaupikir ketika pertama kali melihatnya.

Menatapnya membuat alam pikirmu berkelana meniti bingkai-bingkai memori yang kau dan dirinya susun bersama tiga tahun terakhir. Senang, sedih, susah, dan gugup menjadi satu dalam sebuah kata—

—RILAKKUMA.