2#

Thru the Mirror

 

Hari demi hari, Sooyoon semakin dihantui perasaan takut dikarenakan keberadaan pemuda dalam cermin meja riasnya. Ia merasa hidupnya tidak tenang, tidak bebas. Astaga. Ia tidak pernah merasa tertekan seperti ini sebelumnya. Ia merasa tertekan karena rasa takutnya terhadap pemuda itu, juga ‘tugas’nya.

Ya, ia harus menemukan cara untuk mengeluarkan pemuda itu dari dalam cermin.

Tapi bagaimana caranya?

Ya Tuhan, Sooyoon bahkan hingga detik ini masih tidak percaya bahwa ada pemuda di dalam cermin meja riasnya, bagaimana bisa ia menemukan cara untuk mengeluarkannya?

Pemuda itu juga tidak berbicara apa-apa mengenai mengapa ia bisa terjebak dalam cermin. Pemuda itu terlalu tertutup, sombong, dingin, yah, Sooyoon tidak menyukai sifat-sifat pemuda itu. Ia memang tidak menyukai pemuda itu, namun ia tidak bisa berpikir seperti itu bila ia sedang berada di kamar. Pemuda itu selalu bisa membaca pikirannya dan bila ia tahu Sooyoon berpikir seperti itu ia bisa saja memprotes dengan nada dingin yang tidak disukai Sooyoon itu. Namun Sooyoon ragu apakah pemuda itu masih bisa membaca pikirannya bila ia sedang tidak berada di rumah, seperti saat ini.

Ia dan Chanyeol sedang berbelanja bahan makanan di supermarket. Hari ini adalah jadwal mereka berbelanja dan hari ini adalah jadwal Chanyeol untuk memasak. Chanyeol tidak pernah mau berbelanja sendiri, entah apa alasannya. Karena itu, ia selalu mengajak Sooyoon ikut serta. Ia selalu menyuruh Sooyoon untuk mendorong troli sementara ia yang mengambil bahan-bahan makanan. Sepertinya tugas ini terbalik, namun Chanyeol tidak pernah mau bertukar. Sooyoon hapal benar sifat kakaknya yang keras kepala dan aneh itu.

Sooyoon berhenti di bagian minuman dingin dan mencari jus jeruk favoritnya sementara Chanyeol sudah berbelok ke bagian sayur-sayuran. Botol-botol jus jeruk yang berada di deret terakhir itu sedikit tak terlihat dikarenakan botol-botol yogurt yang lebih besar di sebelahnya. Sooyoon berjalan mendekati ujung deretan dan melihat pantulan dirinya. Cermin di sudut deretan itu memantulkan tubuhnya. Awalnya ia hanya biasa saja dan segera meraih botol jus jeruk, namun ia terperanjat begitu melihat bayangan, di belakangnya.

Pemuda dalam cermin meja riasnya.

Mata Sooyoon membesar ketakutan sementara pemuda itu hanya tersenyum kecut menatapnya. Sooyoon menggeleng dan menyeka matanya. Tidak, pemuda itu tidak mungkin berada dalam cermin ini. Tidak mungkin. Ia berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa ia hanya berimajinasi karena ia terlalu takut. Akhirnya Sooyoon membuka mata dan tidak mendapati bayangan apapun di belakanganya. Cermin itu hanya memantulkan botol-botol minuman yang ada sepanjang rak. Sooyoon pun menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa kecuali kakaknya yang berkacak pinggang menatapnya.

“Sedang apa kau di sini? Sudah kubilang mengambil minumannya belakangan saja,” gerutu Chanyeol.

Kekagetan Sooyoon masih belum sirna. Ia ingin menjawab kakaknya, ia membuka mulut untuk bicara namun tak ada suara yang keluar. Chanyeol mengernyit bingung.

“Kenapa wajahmu jadi pucat seperti ini? Seperti melihat hantu saja.” Ia menepuk kepala adiknya pelan. Sooyoon menelan ludah. Ia melirik cermin di ujung rak dengan takut-takut. Tidak ada bayangan lain selain dirinya dan kakaknya. Ya Tuhan, ia sungguh ingin imajinasinya tidak bermain-main seperti ini. Ia sudah cukup takut dengan keberadaan pemuda itu, dan sekarang bayangan pemuda itu seolah menghantuinya. Hal yang selalu Sooyoon pikirkan adalah bagaimana bila ia tidak bisa membantu mengeluarkan pemuda itu? Apakah pemuda itu akan mengutuknya? Apakah pemuda itu akan terus menghantuinya seperti ini? Memikirkan semua itu membuat Sooyoon merinding.

Sooyoon dan Chanyeol berjalan menyusuri jalan ke rumah mereka. Chanyeol membawa sekantung besar belanjaan semenatara Sooyoon membawa kantung kecil berisi minuman. Akhirnya tugas berbelanja mereka ini selesai juga. Sooyoon membuang napas selagi ia melirik jam tangan di tangan kanannya. Pukul 6:30 petang. Appa mungkin sudah ada di rumah, batinnya. Sooyoon mendongak dan melihat rumahnya yang gelap dan berada di ujung gang. Hei, mengapa rumahnya gelap seperti itu? Hanya rumahnya yang tampak gelap, rumah-rumah lain tampak terang-benderang.

“Hei, ada apa dengan rumah kita? Kenapa gelap sekali?” Chanyeol terdengar sama bingungnya seperti Sooyoon.

“Aku tidak tahu.” Sooyoon menjawab kakaknya.

“Appa pasti sudah pulang, bukan? Lagipula tadi aku sudah menyalakan lampu depan,” gumam Chanyeol. Ia berhenti berjalan sejenak. “Oh, tidak. Perasaanku tidak enak.” Sekilas raut wajahnya berubah cemas. “Langkahkan kakimu dengan lebar, Park Sooyoon. Kita harus cepat sampai di rumah.” Chanyeol mulai berjalan dengan cepat. Sooyoon berlarian di belakang kakaknya. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi, cicit Sooyoon dalam hati.

“Appa?” Chanyeol membuka pintu dengan keras. Dua detik sebelumnya ia nyaris menendang pintu dikarenakan pintu tua itu tidak mau membuka. Rumahnya gelap gulita. Tidak ada satu cahaya pun. Apa yang sudah terjadi? Sooyoon mulai tidak tenang. Tidak mungkin ada pemadaman bergilir, bukan? Jika hal itu benar, seharusnya rumah-rumah yang sederet dengan rumahnya juga mati listrik. Ada apa sebenarnya?

“Chanyeol? Sooyoon?” terdengar suara ayah mereka setelah beberapa saat. Kemudian, sebuah cahaya dari senter kecil mendekati mereka yang masih berdiri di depan pintu.

“Apa yang sudah terjadi, Appa? Mengapa listriknya mati?” tanya Chanyeol segera.

“Appa tidak tahu.” Ayahnya menjawab pelan. Ia mendekatkan senter ke tangannya. Ayah mereka membawa beberapa obeng dan tang. “Sejak Appa pulang, rumah ini sudah gelap sekali. Appa berusaha mengecek kotak listrik di dapur, tapi sepertinya tidak ada yang salah. Listrik juga tidak turun. Di luar rumah-rumah lain masih menyala.”

“Apa listrik rumah ini diputus dari sumbernya?” tanya Sooyoon dengan suara kecil.

“Tidak mungkin, Sooyoon. Tidak mungkin perusahaan listrik Negara melakukan hal itu. Lagipula kita selalu membayar listrik tepat waktu,” cerocos Chanyeol. Sooyoon mengangguk. Benar, pasti seperti itu, seperti yang dikatakan kakaknya. Lalu mengapa rumah mereka padam hari ini? Apakah ada seseorang yang berbuat iseng? Ataukah ada beberapa penjahat yang berniat memasuki rumah ini dan memadamkan listrik?

“Yah Park Sooyoon…”

Sooyoon tersentak. Si-siapa yang sudah memanggilnya? Ayah dan kakaknya tidak mungkin memanggilnya saat ini. Suara itu terdengar dingin dan terdengar sangat familiar, juga keras dan menggema ke seluruh ruangan. Sooyoon merinding.

“Apakah kalian mendengar suara..?” tanya Sooyoon pada ayah dan kakaknya.

“Suara? Suara apa?” tanya ayahnya. Chanyeol memandang ayahnya dan Sooyoon bergantian.

Oh ya, pemuda dalam cermin itu yang memanggilku, batin Sooyoon. Sudah terbukti, tidak ada yang mendengar suara pemuda itu kecuali dirinya. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Telapak tangannya mulai berkeringat dan dingin.

“A-aku ke atas dulu.” Sooyoon mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan menjadikannya sebagai alat penerangan.

“Yah, untuk apa kau ke atas? Di atas malah lebih gelap, sebaiknya kau di bawah saja,” teriak Chanyeol, namun Sooyoon tidak menjawabnya. Sooyoon menaiki setiap anak tangga dengan berhati-hati, dan berpikir keras mengapa pemuda dalam cermin itu memanggilnya. Seolah sudah terkena kutukan, ya, ia memang merasa sudah dikutuk, ia tidak punya pilihan lain kecuali masuk ke kamar dan berhadapan dengan pemuda tidak menyenangkan itu.

Cahaya temaram dari ponselnya telah mengantarkan ia ke depan pintu kamarnya. Ia tidak mempercayai pengelihatannya bahwa ia telah melihat simbol-simbol segienam yang terukir di pintunya menyala untuk beberapa detik. Sooyoon membuka pintu dengan tangannya yang basah karena keringat dingin. Ia berjalan pelan menuju meja riasnya. Cahaya terang benderang dari luar masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar dan membuat kamarnya tidak begitu gelap.

Sooyoon menatap ke arah cermin dengan takut-takut. Sedetik kemudian, pemuda itu sudah muncul di belakangnya. Sooyoon menelan ludah yang lagi-lagi terasa pahit.

“A-ada apa?” tanya Sooyoon dengan gagap. Pemuda itu menatapnya muram. Sooyoon berusaha memalingkan wajah. Pemuda itu seolah mencari-cari mata Sooyoon, ingin memandangnya. Sooyoon sudah tahu hal itu karena pemuda itu memang tidak suka bila Sooyoon berbicara namun tidak bertatapan dengannya. Hal itu adalah hal paling menakutkan di dunia, ya, saat pemuda dalam cermin itu menatap matanya lurus-lurus. Pemuda itu memiliki mata yang menakutkan.

“Aku bosan,” keluh pemuda itu.

Apa?

Sebelum Sooyoon sempat bertanya, pemuda itu kembali berceloteh. “Setidaknya kau jangan pulang terlalu lama. Segeralah pulang jika urusanmu di luar rumah sudah selesai.”

Sooyoon mengerjap kebingungan. Apa maksud pemuda ini?

“Sepi seperti ini, sendirian, aku benci sekali,” desis pemuda itu. “Aku sudah mati bosan berada di dalam sini. Dulu aku berada dalam kegelapan, sendirian, dan sekarang aku mendapat cahaya dan aku tetap sendirian. Sungguh tidak mengasyikkan.” Pemuda itu tampak berjalan mengelilingi Sooyoon.

“Lampu kupadamkan setiap waktu, tetap saja aku mati bosan. Aku sungguh bosan.”

Dipadamkan? Mata Sooyoon melebar. Jangan-jangan…

“Ya, aku yang memadamkan listrik rumah ini.” Pemuda itu menjawab pertanyaan dalam kepala Sooyoon.

“Ke-kenapa kau melakukannya?” Sooyoon bertanya. Jelas sudah, ya semuanya sudah jelas. Perkataan Ahjumma tempo hari itu tentang lampu rumah ini yang sering hidup-mati secara sendirinya ternyata ulah pemuda dalam cermin ini. Sooyoon menatap pemuda itu melalui cermin. Pemuda itu sedang duduk di tepi tempat tidur, namun matanya masih terpancang pada Sooyoon yang berdiri kaku di depan cermin.

“Sudah jelas, bukan? Aku bosan.” Pemuda itu menjawab dengan enteng.

Sungguh kekanak-kanakan.

“Sudah tentu kau akan menganggapku begitu,” kata pemuda itu, matanya berputar-putar kesal. Lama-lama Sooyoon tidak perlu berbicara untuk mengeluarkan pikirannya. Pemuda itu sudah tahu. Pemuda itu meluruskan kedua tangan. “Kau tidak tahu rasanya bagaimana terkurung dalam cermin seperti ini. Apakah kau ingin berada di sini? Kau ingin tahu bagaimana rasanya?”

“Tidak,” balas Sooyoon cepat. “Daripada itu, tolong pulihkan listrik rumah ini.” Sooyoon tidak ingin bertele-tele. Ia langsung saja mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, sebelum pemuda itu mengetahuinya dan menyelanya.

“Tidak, aku tidak bisa melakukannya.”

“Mengapa kau tidak bisa?” Sooyoon mengerutkan kening.

“Karena aku tidak ingin melakukannya. Itu saja.”

Apa?

Demi Tuhan, pemuda ini sungguh menyulitkan. Sooyoon membuang napas. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan pemuda itu. Pada dasarnya ia tidak suka berdebat. Lagipula ia sudah tahu bahwa pemuda itu cukup keras kepala untuk memenuhi permintaannya. Sooyoon berbalik dan berjalan ke arah pintu.

“Yah, kau mau pergi ke mana?” seru pemuda itu.

“Di bawah lebih banyak cahaya kurasa,” jawab Sooyoon pelan dan tanpa menoleh.

“Oh baiklah, baiklah,” sahut pemuda itu tidak sabar. Walaupun pemuda itu berada dalam cermin, langkah kaki dan setiap gerakannya terdengar. Sooyoon mendengar samar-samar pemuda itu bangkit dari tempat tidur dan menghentakkan kaki dengan kuat ke lantai. Segera Sooyoon merasa seperti ada gempa bumi dan sedetik kemudian listrik sudah kembali menyala.

“Oh, akhirnya listrik sudah kembali menyala!” Sooyoon mendengar seruan riang kakaknya dari lantai bawah. Sooyoon membuang napas lega.

“Pastikan kau segera kembali kemari setelah makan malam.” Pemuda itu mengingatkan saat Sooyoon memutar kenop dan menghilang di balik pintu.

 

--

 

Sooyoon serta ayah dan kakaknya sudah memeriksa ke sekeliling rumah. Tidak ada bagian rumah yang dirusak dan sebagainya. Berarti tidak ada orang jahat yang berusaha masuk ke rumah. Chanyeol dan ayah mereka terus saja bertanya-tanya sepanjang waktu makan malam mengapa listrik rumah bisa mati seperti itu. Sooyoon diam saja walaupun ia tahu jawabannya. Ia tidak mungkin menceritakan tentang pemuda dalam cermin itu serta ulahnya hari ini. Semuanya begitu tidak logis. Ayah dan kakaknya tidak akan mungkin percaya. Ah, bila mereka bisa melihat dan mendengar pemuda itu, mungkin semua ini akan menjadi lebih jelas. Sayangnya, buruknya, hanya Sooyoon yang bisa mendengar dan melihat pemuda itu.

Setelah makan malam, Sooyoon bergegas naik ke kamarnya dan beralasan pada ayah dan kakaknya bahwa ada tugas yang belum ia kerjakan. Kenyataannya ia tidak punya tugas apapun untuk tiga hari ke depan. Sooyoon menyalakan lampu kamarnya sebelum akhirnya ia menutup pintu. Ia berjalan pelan ke arah tempat tidurnya. Ia duduk di tepi. Begitu ia menoleh ke arah cermin, ia melihat pemuda itu sedang berdiri di depannya. Rasa takut kembali menjalari diri Sooyoon. Ia memang tidak pernah terbiasa dengan keberadaan pemuda itu di kamarnya.

Pemuda itu tidak berkata apapun, ia hanya diam berdiri menatap Sooyoon melalui cermin. Jantung Sooyoon berdegub tak keruan karena ketakutan. Sama seperti pemuda itu, ia tidak ingin berkata apapun. Pemuda yang selalu merasa sepi itu memang butuh teman, tapi ia tidak bisa memperlakukan temannya dengan baik. Ia memang mengaku tidak suka sepi dan sendirian, tapi ia sendiri tidak bisa membuat perbedaan dengan adanya seorang teman di sampingnya. Ia tetap diam seperti itu, dingin seperti itu. Sungguh tidak menyenangkan. Sooyoon memutuskan untuk merangkak ke tempat tidur saat ia merasa kelopak matanya sudah berat. Ia merasa lelah sekali.

 

--

 

Sooyoon sedang duduk di dalam bioskop. Ia menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak ada satu orang pun kecuali dirinya. Bioskop ini kosong. Sooyoon mengernyit bingung. Ke mana orang-orang? Sooyoon yang masih kebingungan kemudian menatap ke depan, ke arah layar. Ia sedang menonton film tua, film hitam-putih. Di layar besar itu Sooyoon melihat seorang anak laki-laki kecil yang ceria sedang berlarian di pekarangan rumah. Umur anak itu sekitar 8-10 tahun. Ia terlihat ceria sekali. Kemudian ada seseorang yang memanggil anak itu.

“Byun Baekhyun!”

Setelah itu adegan itu terputus dan kemudian menyusul sebuah adegan lain. Anak laki-laki tadi berada dalam sebuah kamar. Seorang anak laki-laki lain berdiri di ambang pintu dengan membawa sebotol besar pasir yang berkilauan. Percakapan mereka dalam adegan kali ini tidak bisa Sooyoon tangkap dengan jelas. Entah apa yang mereka bicarakan, beberapa saat kemudian anak laki-laki di ambang pintu melemparkan pasir dalam botol itu ke arah anak laki-laki itu. Dan adegan setelah itu gelap. Gedung bioskop pun dengan sangat tiba-tiba menjadi gelap sekali. Ada apa ini?

“Astaga, lihatlah dirimu. Kau berkeringat banyak sekali. Apakah kau mendapat mimpi buruk?” kata-kata itulah yang menyambutnya begitu ia membuka mata. Sooyoon bangkit dan melihat ke cermin. Pemuda itu sedang duduk di tepi tempat tidurnya, tampak menatapnya. Sooyoon mengacuhkan pemuda itu.

“Bu-bukan urusanmu,” katanya sambil menyeka keringat di dahi. Ia sudah mendapat mimpi buruk dan kata-kata pemuda itu semakin membuat perasaannya memburuk.

“Oh, baiklah. Aku hanya bertanya, walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawaban sebenarnya,” sahut pemuda itu dengan nada sombong. Terserah saja. Sooyoon tersenyum kecut.

Oh, ada satu hal yang mengganggu.

“Mengapa kau duduk di situ?”

Pemuda itu menoleh ke cermin dan melihat ekspresi kebingungan Sooyoon. “Aku..? Hanya duduk,” jawab pemuda itu menggantung. Sooyoon menahan napas. Jangan bilang selama ini pemuda itu mengawasinya saat sedang tidur. Oh, semoga tidak seperti itu. Ia memang tidak pernah tahu bagaimana pemuda itu tidur di malam hari dan di mana pemuda itu tidur. Malah menurutnya, pemuda itu tidak pernah tidur. Ya, tidak pernah. Biasanya saat pagi pemuda itu sudah berdiri di dekat jendela sambil menghadap sinar mentari. Sooyoon melihat semua itu melalui cermin.

Sooyoon melirik beker kecil di meja di samping tempat tidurnya. Pukul 2 pagi. Seumur hidupnya ia tidak pernah bermimpi dan terbangun seperti ini. Mimpi tadi seperti mimpi buruk. Siapa anak-anak tadi? Apa sebenarnya pasir itu? Mengapa semuanya menjadi gelap seperti itu? Film dan gedung bioskop menjadi gelap gulita. Gelap.

Sooyoon berusaha mengingat nama anak laki-laki ceria itu. Tadi ia mendengarnya dengan jelas dan sekarang ia kesulitan mengingatnya. Mengapa anak itu muncul dalam mimpinya?

“Byun… Baekhyun…” hei, sepertinya itu nama anak kecil itu. Sooyoon berusaha keras mengingatnya.

“Ada apa?” pemuda dalam cermin itu tiba-tiba bertanya.

Sooyoon mengerjap bingung. “Apa?”

“Kau memanggilku.”

“Kapan aku memanggilmu?” Sooyoon mengerutkan kening.

“Baru saja kau memanggilku. Kenapa kau bisa lupa hal kau lakukan beberapa detik yang lalu?” pemuda itu terdengar kesal.

“A-aku tidak…”

Oh.

Sooyoon menatap wajah pemuda itu lekat-lekat. Astaga. Pemuda inilah anak laki-laki ceria dalam mimpinya. Wajahnya tidak berubah, hanya model rambutnya saja. Dan sekarang pemuda ini tampak lebih tinggi dan kurus, dan galak. Sooyoon tidak pernah sekalipun melihat pemuda itu tersenyum. Pemuda itu tak lagi ceria seperti saat masih kecil dulu. Ia muram, selalu muram dan sangat ketus. Pemuda itu balas menatap Sooyoon lama, tapi ia tidak berkata apa-apa. Sooyoon yakin pemuda itu sudah tahu apa yang ada dalam pikirannya.

Ya Tuhan, mengapa pemuda ini harus masuk dalam mimpinya? Ada apa sebenarnya?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
exo9irl #1
Chapter 4: gue suka ini FF TTT andai Baekhyun Sooyoon moment bisa lebih diperpanjang. Overall bagus fantasynya dapeettt ah ByunBaek, makin cinta aku
aniati #2
Chapter 4: ampuuuun....ceritaanya serru bgt ampe ga bsa brkta apa2aqnya......

saking menghayatinya ni ff....
author Daebbak...
cit___
#3
Chapter 4: Astaga aku ga tau harus ngomong apa buat ff ini, thor. Tapi yang penting aku suka sama alur ceritanya >,< DAEBAKK
morinomnom
#4
Chapter 4: Astaga, best indonesian fic ever. Kukira aku akan menangis di akhirnya tadi... Bagus, bagus. Kerennnnn xD
junioren
#5
SUMPAH K.E.R.E.N.
Livia-KYUHYUN #6
min , saya reshared ya :D boleh kan?? Full credit kok :D
Livia-KYUHYUN #7
wow. critanya bagus :DD
nammyunghee
#8
@coasterdeera : kok tau aku bikin fic baru? lol~ target cuma oneshot, tapi kayaknya 2 ato 3 chappie lol~~
@Nisha_gaem407 : kalo sempet akan ngupdate cepet lol~ *dilempar sepatu*