#1

Thru the Mirror

 

Senyum kecil menghiasi bibir Park Sooyoon. Ia mengamati sebuah rumah tua namun apik yang ada di depannya. Bukan, rumah itu bukan rumah lamanya yang sekarang bisa ia tinggalkan. Justru hari ini, saat ini, ia akan mulai menempati rumah itu. Ia tersenyum senang karena akhirnya setelah bertahun-tahun ia, ayah dan kakak laki-lakinya memiliki rumah sendiri. Sebelum ini rumah yang mereka tempati adalah rumah kontrakan kecil di daerah pinggir kota. Ayah Sooyoon memutuskan untuk mencari rumah yang sedikit lebih besar dan cukup dekat dengan pusat kota.

Rumah mereka yang baru ini bukan rumah baru dari segi bangunan, tentu saja. Rumah ini bisa dibilang rumah yang tua dibandingkan dengan rumah-rumah lain yang masih sederet. Rumah-rumah lain masih terlihat sama bagus dan masih terlihat baru. Namun rumah ini seperti dibangun lebih dari setengah abad yang lalu. Tidak, rumah ini tidak terlihat kuno dari segi model dan interiornya. Hanya bangunannya, yah, bangunannya terlihat sangat tua.  

Sooyoon menghembuskan napas disela-sela kesibukannya mengitari rumah barunya. Ia sudah berkeliling ke dapur, ke ruang tengah, ruang makan, kecuali kamar-kamar yang di lantai dua. Rumah ini punya tiga kamar, satu di lantai satu dekat dengan ruang tengah dan dua lainnya ada di lantai dua. Karena ayah tidak suka berurusan dengan tangga, maka ayah memilih kamar di lantai bawah. Sudah jelaslah pemilik dua kamar di atas.

“Oppa, apakah kau sudah melihat kamar di atas?” tanya Sooyoon saat ia melihat Chanyeol menuruni tangga. Sooyoon memang sudah melihat keadaan rumah ini jauh sebelum mereka sekeluarga pindah kemari. Hanya saja ia lupa apakah ia sudah mengecek kamar-kamar di lantai dua atau belum. Sepertinya sudah, namun ia tidak yakin.

Chanyeol tersenyum menatap adiknya. “Tentu sudah, adikku sayang,” jawabnya. “Dan tentu kau sudah tahu siapa yang menempati kamar yang paling luas.” Ia tersenyum penuh arti.

Sooyoon mengernyit. “Apa maksud Oppa?”

“Tidakkah kau tahu dua kamar di atas berbeda luas?” Chanyeol menunjuk-nunjuk ke atas. Sooyoon semakin tidak mengerti. Apakah memang seperti itu? Rupanya kakak semata wayangnya ini sudah menjelajah lebih jauh dari yang bisa ia lakukan.

“Aish, Oppa curang sekali. Tidak bisa begitu.” Sooyoon menggeleng-geleng kuat. Chanyeol terkekeh.

“Apakah kau mau bertanding?” tanyanya.

“Bertanding?” Sooyoon mengerutkan dahi.

Chanyeol tersenyum. “Kita bisa lomba lari. Siapa yang pertama kali mencapai pintu kamar besar itu adalah pemenangnya, dan dia menjadi pemilik kamar itu secara sah,” katanya.

“Oh, baiklah.” Sooyoon merasa tertantang. Sebenarnya karena lupa tentang ruangan di lantai dua, ia sedikit bingung. Bagaimana ia bisa tahu kamar mana yang lebih luas? Apakah kedua kamar di atas bersebelahan? Benarkah? Lalu bagaimana? Ia harus bisa menebak dengan mata batinnya kamar mana yang terluas sehingga ia tidak akan kalah dari kakaknya. Ya.

“Siap? Mulai!”

Sooyoon dan Chanyeol berlari menaiki tangga. Mereka berlari sekencang-kencangnya, sedikit tidak sadar bahwa rumah baru mereka itu punya anak tangga yang cukup rapuh. Balap lari mereka menimbulkan sedikit kegaduhan dan nyaris membuat ayah mereka yang sedang beristirahat di kamar jantungan karena mengira sedang ada gempa bumi. Mereka mencapai lantai atas. Seperti dugaan Sooyoon, dua kamar itu bersebelahan. Ia harus bisa menebak kamar mana yang lebih luas. Ia memikirkan berbagai kemungkinan dan kemudian ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa kamar yang paling jauhlah yang terluas. Ia berlari kencang menuju pintu kamar itu.

Ia berhenti dan menoleh pada kakaknya. Chanyeol berdiri di depan pintu kamar yang lain dan tersenyum senang.

“Kau kalah, adikku sayang. Kamar ini yang terluas.” Ia menunjuk pintu di depannya dengan senyum lebar menghiasi bibirnya. Sooyoon menghembuskan napas dengan keras.

“Selamat menikmati kamar barumu,” kata kakaknya riang sebelum menutup pintu kamar. Sooyoon membuang napas lagi. Yah, ia harus menerima kekalahannya. Ia sebenarnya tidak masalah dengan kamar kecil atau besar. Ia hanya tidak ingin kalah dari kakaknya. Yah, kedengarannya memang sangat konyol. Ah, sudahlah.

Sooyoon menatap pintu kamar barunya. Pintu itu kelihatan sangat tua. Beberapa sudut terlihat rapuh dan bolong karena dimakan rayap. Sooyoon mengernyit. Sebenarnya ia tidak perlu kaget karena rumah ini bukan rumah yang baru. Melihat semua sudut rumah ini membuat ia ingin tahu berapa umur rumah ini sebenarnya. Pemilik rumah sebelumnya sepertinya memang bukan tipe orang yang peduli dengan kondisi rumah ini. Rumah ini memang sangat apik bila dilihat dari luar. Tapi ternyata, yah, banyak hal yang memperlihatkan bahwa rumah ini memang tidak terawat.

Sooyoon menunduk menatap kenop pintu. Oh, bagian lubang kunci pun tak luput dari karat. Jangan-jangan engselnya juga berkarat. Sooyoon ragu pintu ini bisa membuka dengan baik. Bila diperhatikan lagi, pintu kamar barunya yang terbuat dari kayu ini juga nampak sangat kuno. Terdapat ukiran-ukiran bentuk segi-enam dan beberapa bentuk lain yang terdapat di bagian sebelah kanan, yang mana sisi seberangnya penuh dengan sarang laba-laba. Ia juga melihat beberapa sayatan, sepertinya ada yang berusaha merusak pintu ini dengan menggunakan belati. Sooyoon kebingungan. Pintunya aneh sekali.

Sooyoon menelan ludah. Ia tidak bisa berharap bagian dalam kamarnya bisa lebih baik dari ini. Namun ia keliru. Kamarnya memang tidak terlalu luas, namun ia punya jendela yang sangat besar. Angin sepoi-sepoi dapat masuk dengan mudahnya melalui jendela itu. Sooyoon berjalan menuju jendela dan membukanya. Yah, tidak terlalu buruk, batin Sooyoon senang. Kamar barunya sangat sejuk. Walaupun pintunya terlihat reyot dan sangat buruk, namun kamarnya sangat bersih. Bisa dilihat bahwa kamar ini mengalami sedikit renovasi, melihat dari dinding yang memiliki cat baru. Ranjang juga meja kecil untuk belajar terlihat baru. Ada satu yang tidak terlihat baru.

Kamar Sooyoon yang baru memiliki sebuah meja rias yang saat ini masih ditutupi oleh kain putih. Meja rias itu sangat besar, dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan meja belajarnya yang ada di sudut yang berlawanan. Sooyoon tidak pernah punya meja rias besar sebelumnya, jadi ia sedikit merasa senang. Ia bisa melihat wajahnya di cermin dengan jelas.

Dengan segera ia membuka kain putih itu. Ia melihat tiga cermin lonjong besar berada di depannya. Cermin-cermin itu semua menyatu dengan meja rias, di bagian kiri, tengah dan kanan. Ini akan sangat menyenangkan bisa melihat dirimu dari segala arah, batin Sooyoon. Ia duduk di kursi kecil di depan meja rias dan tersenyum menatap bayangannya lama.

Sedetik kemudian ia melihat bayangan yang lain di belakangnya.

Seseorang sedang menatapnya tanpa ekspresi, dan orang itu sedang berdiri di belakangnya. Mata Sooyoon melebar. Ia segera menoleh ke belakang dan ia tidak mendapati siapa-siapa. Ia mengerjap tidak percaya. Apakah tadi ia salah lihat? Apakah bayangan tadi hanya imajinasinya? Ia perlahan menoleh kembali ke cermin dan betapa terkejutnya ia mendapati bayangan yang sama masih tampak, dan masih berdiri di belakangnya. Sooyoon merinding.

“OPPA!!” Ia berhambur keluar dan segera mengetuk-ngetuk keras pintu kamar Chanyeol. Chanyeol membuka pintu kamar dengan raut wajah kesal.

“Ada apa mengetuk pintu kamarku sekeras itu?”

“O-oppa, kau harus masuk ke kamarku! Ada hal aneh di dalam.” Sooyoon lantas menarik-narik tangan kakaknya.

“Apa?” sahut Chanyeol bingung, namun ia tidak sempat bertanya lagi karena Sooyoon sudah membawanya ke kamar sebelah. Angin sedikit kencang masuk melalui jendela yang besar. Entah mengapa atmosfernya menjadi tidak enak. Sooyoon berdiri di belakang tubuh tinggi kakaknya. Ia takut menghadap ke cermin lagi.

“Nah, sekarang bisa kau jelaskan ada apa? Aku sungguh tidak mengerti,” kata Chanyeol sambil menatap sekeliling, berusaha mencari keganjilan yang dimaksud oleh Sooyoon. Jari telunjuk Sooyoon yang panjang menunjuk ke arah cermin.

“I-itu..cermin..” katanya dengan terbata. Suaranya tiba-tiba menjadi serak. Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi?

“Ada apa dengan cermin itu?” Chanyeol melirik Sooyoon yang bersembunyi di belakangnya.

“Coba lihat saja. Kau akan tahu sendiri.” Sooyoon mendorong tubuh Chanyeol. Dengan bingung, Chanyeol menatap cermin di depannya. Sooyoon dari kejauhan meremas-remas tangan menunggu reaksi kakaknya. Apakah kakaknya juga melihat hal yang sama?

“A-apakah kau melihat bayangan itu, Oppa?” tanyanya ragu.

Chanyeol mengerutkan dahi. “Bayangan apa?”

“Bayangan seseorang, seorang pemuda yang tampak seusiamu.”

Beberapa detik tanpa suara, kemudian Chanyeol meledak tertawa. Sooyoon menatap kakaknya dalam kebingungan. Apa yang sedang Oppa tertawakan? “Ya Tuhan, adikku, bayangan seseorang apa? Aku hanya melihat bayanganku yang tampan.” Chanyeol masih tertawa keras. “Yah, apakah kau berusaha mengerjaiku? Kau nakal sekali.” Ia beranjak dari kursi sambil masih terkekeh.

“Ta-tapi Oppa, aku tidak bercanda!” Sooyoon berusaha menghalangi Chanyeol keluar dari kamarnya. “Aku sungguh melihat bayangan itu. Aku tidak bercanda!”

Chanyeol hanya tertawa dan menyentuh kepala Sooyoon sebelum akhirnya ia keluar dari kamar. Sooyoon berdiri tercenung. Apakah tadi ia salah lihat? Tidak. Ia yakin sekali ia tidak salah lihat. Ia sungguh melihat bayangan itu, ia sungguh-sungguh melihatnya! Apakah ia hanya berhalusinasi? Apakah ia hanya berfantasi? Ia tahu dengan baik bahwa ia berimajinasi dengan muluk-muluk, sangat berlebihan ketimbang orang lain. Apakah tadi imajinasinya sedang bermain? Apakah tadi ia tidak benar-benar melihat bayangan pemuda di belakangnya?

Memikirkan semua itu membuat bulu kuduk Sooyoon meremang. Ia melirik cermin itu dari tampatnya berdiri. Ia harus memastikan semuanya. Ia harus memastikan semuanya. Ia harus tahu yang ia lihat tadi hanya imajinasinya atau kenyataan. Ia tidak bisa hanya ketakutan karena alasan yang belum pasti seperti ini. Ia tidak ingin hari pertamanya di rumah baru ini menjadi buruk karena hal-hal semacam ini. Ia tidak pernah percaya tentang hantu dan semacamnya walaupun ia sendiri selalu takut akan hal itu.

Sooyoon memberanikan diri mendekati cermin-cermin itu. Ia menutup matanya rapat-rapat selagi ia meraba kursi kecil di depan meja rias. Ia duduk di sana. Setelah berargumen cukup lama dengan dirinya sendiri, ia membuka mata dan menghadap cermin.

Ya Tuhan.

Bayangan itu masih di sana, di belakangnya.

Ya Tuhan, aku pasti sudah gila.

“Yah, kau tidak gila, Agassi.” Sooyoon mendengar suara yang membuatnya semakin berpikir bahwa ia memang sudah gila.

 

--

 

“Oppa, kita bertukar kamar, oke? Ayolah, Oppa!” Sooyoon terus merengek kepada Chanyeol sejak waktu makan malam. Sudah pasti ia tidak ingin berada dalam kamar barunya yang mengerikan itu, dengan meja rias dan cermin-cermin besar. Semua hal itu membuatnya ketakutan. Apalagi kenyataan bahwa adanya bayangan pemuda itu di belakangnya, dan bayangan itu berbicara padanya, seolah mengetahui pikirannya. Ya Tuhan. Ia bisa melihatnya mengapa kakaknya tidak? Apakah ia benar-benar menjadi gila?

“Sooyoon, kita sudah sepakat, bukan? Kau tidak boleh melanggar kesepakatan,” kata Chanyeol sambil menepuk-nepuk pelan kepala Sooyoon. “Lagipula mengapa kau ingin sekali pindah kamar?”

Apakah ia harus menjelaskan semuanya kepada Chanyeol? Kakaknya itu sudah pasti tidak akan percaya. “A-aku hanya ingin pindah kamar. Aku merasa kamar itu tidak cocok untukku.”

Chanyeol mendesis. “Tidak masuk akal. Aku tidak akan bertukar kamar denganmu, okay? Itu kata-kata final untukmu.”

“Oppa…” Sooyoon menatap kakaknya dengan wajah kecewa. Chanyeol menggerak-ngerakkan jari telunjuknya, pertanda bahwa ia tidak akan mengubah keputusan. Oh Tuhan, semua ini menjadi lebih buruk. Tiba-tiba Sooyoon mendapat ide,”Oppa, boleh aku tidur di kamarmu malam ini?”

Chanyeol mengerutkan kening. “Apa? Tidak boleh!”

“Oppa, kau sangat pelit!” teriak Sooyoon penuh derita.

“Aku memang pelit!” balas Chanyeol tidak peduli.

Sooyoon mendesis dan menghadap ayahnya yang sedang menonton televisi dan tampak tidak terganggu dengan pertengkaran kedua anaknya yang memang sudah menjadi hal biasa itu. “Appa, bolehkah malam ini aku tidur di kamar Appa?” Sooyoon tersenyum lebar menatap ayahnya yang sabar dan baik hati itu. Ayahnya menoleh ke arah Sooyoon dan tersenyum. Sooyoon merasa mendapat sinyal positif.

“Appa, jangan biarkan Sooyoon tidur di kamar Appa!” Chanyeol segera menginterupsi, membuat mood Sooyoon menjadi buruk. “Dia sudah besar, lagipula dia punya kamar sendiri. Dia tidak boleh bermanja-manja.” Chanyeol menjulurkan lidahnya pada Sooyoon. Sooyoon mendesis. Ia menatap Chanyeol dengan tatapan tidak senang. Kakaknya ini sungguh pengacau.

“Sudah malam, Sooyoon, Chanyeol. Besok pagi kalian harus kuliah, bukan?” kata-kata ayah mereka seolah membuat mereka menyadari bahwa sudah terlalu malam untuk bertengkar. Sooyoon membuang napas berat. Ia merinding. Bagaimana ini?

 

--

 

Sooyoon membuka pintu kamarnya. Ia menyalakan lampu dengan takut-takut. Sejak sore, ia tidak masuk lagi ke kamarnya. Ia terlalu takut untuk masuk. Dan sekarang ia harus berada di kamar ini. Bisa-bisa ia tidak bisa tidur. Masalahnya adalah meja rias itu tepat menghadap ke tempat tidurnya. Ya Tuhan. Benar-benar mimpi buruk. Sooyoon memikirkan hal itu sepanjang sore dan ia benar-benar ketakutan. Bagaimana? Bagaimana ini?

Sooyoon menatap kosong pada lantai kamarnya dan menemukan kain putih penutup meja rias itu. Apakah ia perlu menutup meja itu lagi? Tentu saja. Dengan cepat, Sooyoon meraih kain itu. Ia menutup matanya erat-erat sebelum akhirnya berusaha menutup meja rias itu. Belum sempat ia menutupi meja rias itu dengan sempurna, ia mendengar seseorang berseru.

“Hentikan!”

Sooyoon terkesiap. Tanpa sadar ia membuka mata. Bayangan pemuda itu tepat berada di belakangnya. Ia tampak seperti ingin menahan Sooyoon. Melalui cermin, Sooyoon bisa melihat pemuda itu menyentuh bahu kanannya. Dan anehnya, saat itu juga Sooyoon merasakan sentuhan di bahunya. Tubuh Sooyoon langsung gemetar. Bayangan itu terlihat begitu dekat dengannya. Tentu saja, ketika Sooyoon menoleh ke belakang, ia tidak mendapati siapapun.

“AH!” Sooyoon berusaha berlari menjauh dari meja rias, namun ia terjatuh. Ia memekik kesakitan tanpa suara. Ia mendongak menatap cermin dan mendapati bayangan itu sedang menatapnya lurus-lurus dengan tatapan yang tajam dan dingin. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Ketakutan benar-benar menyergapnya. Ia ingin berteriak, namun tidak ada satu suara pun yang keluar. Ia ingin lari keluar, namun ia ragu apakah ia masih bisa berlari. Dan jantungnya, jantungnya. Jantungnya berdetak begitu kencang. Di kamar yang kosong ini ia bisa mendengar suara degup jantungnya dengan jelas. Ia takut, ia takut.

“Apa yang kaulakukan? Kau ingin menutup cermin ini?”Sooyoon tidak percaya bayangan itu kembali bicara padanya. Sooyoon berusaha menyeret tubuhnya menjauh sehingga ia tidak lagi dapat melihat dan menatap cermin itu. Semua hal datang semakin aneh. Sejauh apapun Sooyoon menyeret tubuhnya agar ia sudah tidak lagi dapat melihat permukaan cermin, ia masih saja mendengar suara pemuda dalam cermin itu. Astaga. Ia masih tidak bisa mempercayainya. Ia benar-benar sudah gila.

“Jangan pernah menutup cermin ini, mengerti?”suara pemuda itu kembali menggema di dalam kamar Sooyoon yang sepi, mengalahkan suara detak jantung Sooyoon. Sooyoon masih membisu dan tidak mengerti mengapa pemuda dalam cermin itu bicara seperti itu, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya tahu dua hal, bahwa ia sangat ketakutan dan ia sudah menjadi gila. Sedari tadi ia menyeret tubuhnya yang gemetar. Kini ia berada sangat jauh dari meja rias, nyaris dekat dengan pintu. Sebentar lagi ia bisa keluar. Ya, sebentar lagi ia bisa keluar dari ketakutan yang menyelubunginya. Ia tidak keberatan tidur di ruang keluarga. Sama sekali tidak keberatan, ia sangat bersedia. Kamarnya bukan tempat yang menyenangkan seperti yang ia duga diawal. Kamarnya sangat mengerikan.

Sejak masuk beberapa saat yang lalu, Sooyoon tidak menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Sekarang hal itu sangat berguna karena ia tidak perlu lagi bersusah payah hanya karena ingin membuka pintu. Namun ia sungguh sial saat ini. Jendela yang lupa ia tutup semenjak sore dimasuki oleh angin semilir, yang anehnya dapat menutup pintu dengan perlahan. Sooyoon terperanjat begitu selangkah lagi ia sudah bisa menjangkau pintu, pintu tua itu malah mengayun menutup dikarenakan angin malam.

Ini pertanda buruk.

“Jangan pikir kau bisa lari dari sini.”Sooyoon mendengar kembali suara yang membuatnya merinding. Apa maksud pemuda itu? Mengapa ia tidak bisa lari dari sini? Mengapa ia tidak bisa?

“Kau sudah memulainya sendiri, Agassi. Sekarang kau harus menjalaninya.”Suara dingin itu kembali menggema. Sooyoon terbelalak. Apa yang sebenarnya ingin pemuda itu katakan? Memulai? Menjalani? Apa maksudnya? “Dan perlu kukatakan bahwa kau tidak perlu bereaksi seperti itu. Reaksimu terlalu berlebihan.”Suara dingin itu terdengar seperti cemoohan.

Apa?

“Aku senang bisa mendapat angin semilir dan cahaya bulan lagi.”Perkataan pemuda itu kali ini semakin membuat Sooyoon semakin tidak mengerti. Jujur ia masih tidak bisa mempercayai pendengarannya sendiri.

Setelah itu, menit-menit berlalu dan tidak ada suara apapun lagi dari si pemuda dalam cermin. Sooyoon sedikit lega, namun ketakutannya tidak juga memudar. Ia bersandar di dinding dekat pintu dan menghembuskan napas panjang. Sepertinya hari-harinya di rumah ini tidak akan tenang. Karena lelah dan mengantuk, akhirnya ia terbang ke alam mimpi. Ia tidak tahu bahwa bayangan dalam cermin itu terus mengawasinya, melihatnya terlelap.

 

--

 

Sooyoon menutup buku pelajarannya sembari menghembuskan napas sepanjang-panjangnya. Ia kesal. Jam pelajarannya sudah berakhir dan ia sudah tidak punya mata kuliah setelah ini. Uh, ini tidak menyenangkan. Baru kali ini selama hampir dua tahun ia duduk dibangku universitas, ia merasa tidak senang tidak memiliki banyak mata kuliah dalam sehari. Bukan karena apa, ia benar-benar malas pulang ke rumah. Jika ia pulang sekarang, sudah jelas ia akan sendirian. Ayah sedang bekerja di kantor dan Chanyeol terlalu sibuk dengan organisasi kemahasiswaannya. Ayah dan kakaknya itu tidak mungkin pulang dalam dua-tiga jam ini. Mereka berdua akan pulang setelah pukul 6.

Ia tidak pernah mengeluh bila ia sendirian di rumah. Ia tidak pernah punya masalah dengan itu. Namun berbeda, kali ini ia punya masalah. Kamar barunya. Meja rias. Cermin. Aish. Fantasinya kembali bermain dengan ganas. Ia takut jikalau ia mendengar suara pemuda dalam cermin itu lagi meski ia tidak berada dalam kamarnya. Sendirian di rumah, itu berarti segala kemungkinan bisa terjadi. Banyak hal yang tidak Sooyoon mengerti. Apakah hanya ia yang bisa melihat dan mendengar si pemuda dalam cermin? Sudah jelas Chanyeol tidak bisa melihat pemuda itu, namun Sooyoon tidak yakin apakah ayahnya juga tidak bisa melihat orang itu. Ia belum meminta ayahnya untuk datang ke kamarnya dan memeriksa cermin.

Apakah pemuda dalam cermin itu bersembunyi ketika Chanyeol yang melihat ke cermin? Tiba-tiba pemikiran itu muncul dalam kepala Sooyoon. Tapi mengapa dia hanya ingin memperlihatkan dirinya padaku? Pikir Sooyoon bingung. Sepertinya ia berpikir terlalu berlebihan.

Setelah membeli roti dan selai di Mini market, Sooyoon melangkah gontai menuju rumahnya. Ia tidak suka gagasan bahwa ia sebentar lagi akan tiba. Ia sengaja melambat-lambatkan langkahnya, bermain dengan kerikil yang ada dekat dengan kakinya dan melihat ke sekeliling dengan tatapan ingin tahu. Ya, ia masih belum mengenal baik daerah rumah barunya ini. Oh tentu saja, ia baru saja pindah kemarin siang. Ia memanfaatkan kesempatan ini dengan sedikit menghapal jalan dan perempatan, juga pertokoan atau warung ramyun yang ada, dan menandai jalan mana yang cukup tidak menyita waktu. Sooyoon yang sedang menghapal keadaan sekeliling itu akhirnya bertemu mata dengan seorang Ahjumma yang ternyata memperhatikannya sejak ia berjalan dari ujung jalan sana.

Sooyoon lantas berhenti dan mengucapkan salam. “Annyeonghaseyo.”Ia membungkuk dan kemudian ia tersenyum. Ahjumma itu menatapnya, dan sekilas tatapannya tidak menyenangkan. Tapi percayalah itu semua hanya kesan sesaat, karena pada akhirnya Ahjumma itu tersenyum ramah dan balik mengucap salam.

“Annyeonghaseyo. Sepertinya aku baru melihatmu di sekitar sini, Agassi,”kata Ahjumma itu.

Sooyoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku baru pindah ke daerah ini, Ahjumma.”

“Oh, benarkah?”Ahjumma itu tampak terkejut. “Di mana? Apakah rumahmu dekat dengan rumahku?”Ahjumma itu menunjuk dengan ibu jari, menunjuk rumah yang ada di belakangnya. Sooyoon tersenyum sopan dan melirik rumahnya yang ada di ujung jalan dengan cemas. Haruskah ia mengaku? Atau tidak?

Entah kenapa ia akhirnya memilih untuk berbohong.

“Tidak, Ahjumma. Rumahku masih agak jauh. Aku harus berbelok ke kiri.”Sooyoon mencoba membuat suaranya kedengaran normal. Ia tidak biasa berbohong, dan bila berbohong, suaranya akan menjadi aneh. Begitu juga dengan gerak-geriknya.

“Ah, benar juga. Kudengar ada beberapa orang yang menjual rumahnya di sebelah sana.”Ahjumma itu berkata. Sooyoon sedikit lega karena sepertinya Ahjumma itu percaya dengan kata-katanya. “Kukira kau adalah anak dari penghuni baru rumah yang ada di ujung jalan sana.”Kata-kata Ahjumma ini lantas membuat Sooyoon membeku.

“Begitukah?”Sooyoon mulai kehilangan suara. Ia gugup bukan main.

“Ya. Kemarin siang sebuah keluarga baru saja pindah ke rumah itu. Menurutku mereka seharusnya pindah ke daerah rumahmu saja, Agassi.”Ahjumma itu mengibas-ngibaskan tangan.

“Mengapa begitu, Ahjumma?”Sooyoon memberanikan diri bertanya, dan fantasinya yang liar kembali bermain.

“Rumah itu sudah kosong lebih dari sepuluh tahun. Tidak ada yang pernah menghuni rumah itu. Lampu rumah itu terkadang mati sendiri, redup dan kemudian hidup lagi. Terkadang muncul kabut dari rumah itu sehingga rumah itu tak terlihat. Setiap malam memang sering terdengar suara aneh dari lantai dua, seperti langkah kaki orang yang menuruni tangga dengan terburu-buru. Gaduh sekali. Tidak ada yang tahu dari mana suara itu berasal, sudah jelas rumah itu kosong. Masyarakat di sekitar sini tidak pernah berani menapakkan kaki ke rumah itu, kecuali seorang laki-laki tua yang menjadi penjaga rumah itu. Kudengar dia juga berusaha menjual rumah itu kesana kemari, tapi tidak ada satu orang pun yang berniat membeli. Ah, pernah ada satu keluarga yang melihat-lihat kondisi rumah itu. Tapi akhirnya mereka tidak jadi membeli rumah karena mendengar langkah-langkah kaki aneh dan pintu-pintu kamar yang menutup dengan sendirinya. Rumah itu benar-benar seram.”Ahjumma itu bergidik ngeri.

Sooyoon menelan ludah. Mendadak ia teringat kata-kata pemuda dalam cermin itu.

Jangan pikir kau bisa lari dari sini.

Kau sudah memulainya sendiri, Agassi. Sekarang kau harus menjalaninya.

Oh Tuhan. Ia merasa dirinya telah dikutuk.

 

--

 

“Sooyoon?”

Sooyoon lantas menoleh dan mendapati ayahnya sedang menatapnya bingung. Jelas saja ayahnya bingung, Sooyoon sedang duduk di depan pintu pagar rumah mereka. Sejak tadi ia menunggu ayah atau kakaknya pulang. Ia benar-benar tidak ingin sendirian di rumah.

“Sedang apa kau di sini?”kening ayahnya berkerut samar.

“Aku menunggu Appa pulang.”Sooyoon lantas bangkit berdiri. Ia tersenyum lega menatap ayahnya. Ayahnya masih terlihat bingung melihat sikap aneh Sooyoon.

“Ada apa? Apa kau lapar dan menunggu Appa untuk memasak untukmu?”goda ayahnya.

Sooyoon tidak memberitahukan alasan sebenarnya. Akhirnya ia mendapati dirinya mengangguk dan tersenyum kecil. “Aku belum makan apapun sejak siang, Appa.”Ia melirik tas punggungnya yang berisi roti dan selai. Sejak mendengar cerita Ahjumma tadi, ia menjadi kehilangan nafsu makan.

Ayahnya mendecakkan lidah. “Astaga anak ini. Kenapa kau tidak masuk sejak tadi dan memasak sesuatu? Appa yakin masih banyak persediaan sayur di dalam,”kata ayahnya sambil membuka pintu pagar. Saat itu juga, bulu kuduk Sooyoon meremang.

“Oh, hari ini memang jadwal ayah untuk memasak.”Sooyoon mendengar celotehan ayahnya. “Kau tunggu saja di kamarmu, Sooyoon. Nanti ayah akan memanggilmu bila makanan sudah siap.”

Sooyoon terdiam beberapa saat.

Menunggu di kamarnya? Itu gagasan buruk. Ia melirik ayahnya yang sudah masuk ke kamar. Aish. Ia ingin menceritakan semua keganjilan ini pada ayahnya, ia ingin menceritakan apa yang sudah ia dengar dari Ahjumma tadi siang, ia ingin meminta ayahnya untuk pindah rumah lagi. Astaga. Apakah ia berani mengatakan semua itu? Apakah ia berani berkata pada ayahnya untuk pindah rumah lagi sementara mereka sudah memiliki rumah ini? Ia sungguh tahu tidak mudah untuk menemukan rumah baru, ia sungguh tahu bagaimana ayahnya berusaha mencari rumah untuk mereka sekeluarga tinggali, ia sungguh tahu ayahnya sudah tidak punya cukup uang untuk pindah rumah lagi.

Ia merasa dirinya terlalu egois. Sooyoon menghembuskan napas panjang dan tanpa sadar ia berbalik dan menaiki tangga menuju kamarnya. Angin semilir menyambutnya dan menerbangkan rambutnya yang panjang sebahu. Ia menelan ludah. Mengapa atmosfirnya selalu tidak enak seperti ini? Sooyoon meraba dinding dan menyalakan lampu. Hari sudah menjadi gelap. Ia memberanikan diri berjalan menuju jendela itu, berniat menutupnya. Sudah semalaman jendela itu terus terbuka. Bagaimana bila ada penjahat masuk? Ah, sepertinya ia tidak perlu memikirkan hal itu. Rumah ini terlalu seram sampai tidak ada seorang penjahat pun yang berani datang kemari.

“Jangan tutup jendelanya.”

Sooyoon membeku. Suara itu lagi. Ya Tuhan…

Ia menoleh perlahan ke arah cermin. Bayangan pemuda itu berada tepat di sebelahnya, seolah mereka sedang berdiri berdampingan. Sooyoon berusaha keras untuk tidak berteriak. Ia menelan ludah, mengurungkan niatnya untuk menutup jendela, dan ia berbalik menuju pintu tanpa sekalipun melirik cermin.

“Agassi, kau mau pergi ke mana?”

Sekali lagi Sooyoon membeku. Ia menghentikan langkah.

“Ah, apakah kau harus kupanggil Sooyoon?”

Mata Sooyoon terbelalak lebar. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Jeritnya dalam hati.

“Tentu saja aku tahu. Aku tahu banyak hal,”kata suara dalam cermin itu dengan nada sombong dan seperti bisa membaca pikiran Sooyoon. “Aku tahu banyak hal tentang dirimu. Aku bisa tahu apa yang sedang kaupikirkan.”

“Ba-bagaimana kau bisa tahu?”akhirnya Sooyoon bersuara, walaupun terdengar sangat serak.

“Tentu saja aku tahu.”Bayangan dalam cermin itu mengulangi. Nadanya masih terdengar sombong. Sooyoon tidak suka dengan hal itu. “Aku memiliki koneksi, dengan pikiranmu.”

Apa?

Mengapa bisa?

“Aku akan memberitahukanmu lain kali. Ah, sebenarnya tidak penting bagaimana aku bisa menebak pikiranmu.”Pemuda dalam cermin itu mengganti topic pembicaraan dan seperti tidak ingin menjelaskan lebih jauh. “Sekarang karena kau sudah di sini, aku akan meminta beberapa hal.”

“Apa?”Sooyoon mengerjap tidak percaya. Apa yang akan diminta oleh seorang pemuda dalam cermin pada dirinya?

“Aku punya banyak permintaan, kau tahu. Dan aku akan mengatakannya sebanyak mungkin yang aku bisa katakan saat ini.”

Sooyoon menelan ludah.

Pertama,”pemuda itu menghembuskan napas dan melanjutkan,”tolong balikkan badanmu dan berjalan kemari. Sungguh tidak enak berbicara pada lawan bicara yang sama sekali tidak menatapmu.”

Astaga. Bagaimana bisa Sooyoon melakukan hal itu sementara pemuda itu sendiri-lah alasan Sooyoon menjauh dari cermin? Tidak, ia tidak berani menatap pemuda itu. Ia tidak berani. Ia tidak mau. Seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti ini, toh wajah pemuda itu tidak mengerikan seperti hantu yang sering digambarkan dalam novel. Namun kenyataan bahwa pemuda itu berada dalam cermin, mengetahui pikirannya, berbicara padanya, membuat Sooyoon ketakutan. Ia belum pernah mendengar tentang pemuda dalam cermin sebelumnya. Dan ia tidak pernah bertemu dengan pemuda dalam cermin sebelumnya. Sudah pasti pemuda ini adalah hantu, arwah gentayangan. Pikiran-pikiran itu membuat Sooyoon berkeringat dingin.

“Kemarilah.”Suara pemuda itu kembali terdengar. “Kemarilah dan duduk di kursi kecil ini.”

Sooyoon yang ketakutan akhirnya menurut saja. Ia berjalan menuju kursi kecil di depan meja rias dengan mata tertutup erat. Ya, ia menuruti keinginan pemuda dalam cermin itu. Tapi bukan berarti ia akan bertatapan langsung dengannya.

“Apa-apaan kau ini? Untuk apa kau menutup matamu?”pemuda itu segera melayangkan protes. “Apakah wujudku begitu mengerikan?”

Untukku, ya.

“Aku yakin aku tidak mengerikan seperti yang kaupikirkan.”Nada penuh percaya diri meluncur dari mulut pemuda itu. Sooyoon tidak habis pikir mengapa pemuda ini begitu sombong. Pemuda ini lebih sombong dan lebih menyebalkan dari kakaknya.

Cepat katakan apa permintaanmu.

Sooyoon merasa pundak kanannya terasa berat. Ia mengernyit. Ada apa ini? Dengan perlahan ia membuka mata dan mendapati bayangan pemuda itu sedang berdiri di belakangnya, berada begitu dekat dengannya. Pemuda itu menyandarkan dagunya di bahu Sooyoon. Pemuda itu tersenyum kecut dan menatap Sooyoon dengan muram. Sooyoon merasa tubuhnya gemetar lagi. Ia memutuskan untuk menunduk. Ia kembali menutup kedua matanya dengan erat.

Beberapa saat kemudian, Sooyoon merasakan beban di kedua pundaknya. Ia bisa merasakan bahwa sepasang tangan sudah mendarat di sana. Ia bisa merasakan ujung-ujung jemari pemuda itu di pundaknya. Ia bisa merasakan tepukan pelan yang pemuda itu daratkan di pundaknya, seolah ingin membuat gemetar itu hilang.

“Tidak perlu takut padaku, Park Sooyoon,”kata pemuda itu pelan namun terdengar jelas sekali di telinga Sooyoon. “Kau tidak perlu takut.”

Bagaimana mungkin Sooyoon tidak takut? Pemuda yang berbicara dan menyentuh kedua pundaknya ini sama sekali tidak nyata, dan hanya berada di dalam cermin. Ia benar-benar merasakan kehadiran pemuda itu, namun kenyataan bahwa pemuda itu berada di dalam cermin membuatnya ketakutan. Sooyoon serasa berada dalam negeri dongeng. Mana mungkin ada hal seperti ini di dunia kita?

Sooyoon perlahan membuka mata dan menatap lurus ke cermin, ia menatap lurus ke pemuda itu. Pemuda yang menyentuh kedua pundaknya itu hanya memiringkan kepala dan balas menatapnya.

“Kau harus membantuku untuk keluar dari cermin ini.”

“B-bagaimana caranya?”

“Kau pikir aku tahu? Itu adalah tugasmu, kau harus mencari tahu. Intinya kau harus membebau dari sini. Tidak ada orang lain yang bisa membebau kecuali kau. Hanya kau yang bisa mendengar dan melihatku.”

Pertanyaan terbesar yang ada dalam kepala Sooyoon adalah mengapa hanya dirinya yang bisa melihat dan mendengar pemuda itu? Dan mengapa itu menjadi ‘tugas’nya untuk menolong pemuda itu keluar dari dalam cermin? Mengapa dirinya? Selagi Sooyoon sibuk berpikir, ia mendengar ayahnya memanggil.

“Sooyoon, turunlah. Makan malamnya sudah siap.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
exo9irl #1
Chapter 4: gue suka ini FF TTT andai Baekhyun Sooyoon moment bisa lebih diperpanjang. Overall bagus fantasynya dapeettt ah ByunBaek, makin cinta aku
aniati #2
Chapter 4: ampuuuun....ceritaanya serru bgt ampe ga bsa brkta apa2aqnya......

saking menghayatinya ni ff....
author Daebbak...
cit___
#3
Chapter 4: Astaga aku ga tau harus ngomong apa buat ff ini, thor. Tapi yang penting aku suka sama alur ceritanya >,< DAEBAKK
morinomnom
#4
Chapter 4: Astaga, best indonesian fic ever. Kukira aku akan menangis di akhirnya tadi... Bagus, bagus. Kerennnnn xD
junioren
#5
SUMPAH K.E.R.E.N.
Livia-KYUHYUN #6
min , saya reshared ya :D boleh kan?? Full credit kok :D
Livia-KYUHYUN #7
wow. critanya bagus :DD
nammyunghee
#8
@coasterdeera : kok tau aku bikin fic baru? lol~ target cuma oneshot, tapi kayaknya 2 ato 3 chappie lol~~
@Nisha_gaem407 : kalo sempet akan ngupdate cepet lol~ *dilempar sepatu*