Red Umbrella

Still EunBi

Eunha POV

5 Januari 2015

Aku benci hujan. Aku benci jadi basah. Dan sialnya aku selalu lupa membawa payung. Sebenarnya bukannya lupa, hanya saja kukira hari ini tidak akan ada hujan. Hah selalu saja begitu, jika aku membawa payung maka hujan tidak turun. Tapi jika aku tidak membawa payung, maka hujan, badai, angin, dan tak lupa petir bermunculan seakan-akan mengejekku.

Disinilah aku berjalan sendirian di pinggir trotoar ditemani dengan guyuran hujan yang deras. Tak kuhiraukan lagi sekujur tubuhku yang basah kuyub. Kupeluk tas kerjaku di depan dada dan kusembunyikan dibalik blazer hitam yang ku kenakan. Aku benar-benar membenci keadaan ini.

Di tengah perjalanan kurasakan hujan yang tiba-tiba berhenti mengguyur tubuhku. Tapi anehnya aku masih bisa melihat hujan turun di depanku. Aku tengadahkan kepalaku keatas,lalu aku melihat sebuah payung berwarna merah yang melindungiku dari hujan yang semakin deras. Kemudian aku edarkan pandanganku kearah lain untuk mengetahui siapa pemilik payung ini, dan saat itulah pertama kalinya aku menatap kedua bola matamu yang tajam. Kau masih SMA, terlihat dari baju seragam yang masih menempel di tubuhmu. Kau cantik dengan rambut panjang yang bergelombang di bagian ujungnya, sedang rambutku pendek. Tinggi kita hampir sama, tapi mungkin karena aku yang sedang memakai heels. Jika aku memakai sepatu biasa, sudah bisa dipastikan kau lebih tinggi dariku.

Di bawah payung merah ini kau memandangku dengan senyum. Dan aku hanya bisa memandangmu. Entah kenapa aku seakan-akan ketagihan melihat senyum di wajahmu itu. Kalian boleh menyebutku e, kalian boleh menyebutku konyol dan tak masuk akal, tapi yang pasti aku sudah terpesona dengan anak ini. Tak lama kemudian kau mulai mengajakku berbicara,

“ahgassi, kau itu sudah dewasa kenapa malah hujan-hujanan?” tanyamu dengan nada bicara yang ramah dan terkesan bercanda. Tapi sekali lagi aku hanya bisa memandangmu saja. Seakan-akan aku tak bisa mendengar ucapanmu, mataku telah terkunci oleh kedua bola matamu. Lalu tiba-tiba kau meraih tanganku dan mengajakku untuk berjalan di sampingmu.

“aku antar kau pulang…”

Dan aku sama sekali tidak menolak. Aku ikut berjalan membersamaimu. Aku sudah terhipnotis olehmu. Aku tidak tahu apa yang telah merasukiku. Sepanjang perjalanan aku mulai merasa aneh. Seharusnya aku memberitahumu kemana arah jalan menuju rumahku. Tapi kau dengan santainya terus menggenggam tanganku dan berjalan sedikit didepanku seola-olah kau pemanduku. Kau tahu kapan waktunya belok ke kiri dan ke kanan. Kau tahu harus mengambil jalan lurus di pertigaan kedua Dan kau tahu harus berhenti di depan gerbang bercat hijau, yang tak lain adalah gerbang rumahku. Setelah kau rasa telah menunaikan tugasmu untuk mengantarku, kau langsung pamit pulang. Namun sebelum kau pergi menjauh, aku kumpulkan seluruh keberanianku untuk sedikit menarik ujung bajumu dan akhirnya aku mulai mengeluarkan suaraku,

“mampirlah sebentar…..” kusadari kau mengangguk mau dan melebarkan senyum bodohmu.

.

.

.

3 Mei 2015

Aku kembali terjebak di dalam guyuran hujan. Namun bedanya kali ini aku sedang berteduh di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Tadinya aku sedang jalan-jalan sore di sebuah taman kota, namun tiba-tiba hujan kembali datang. Di bawah pohon ini aku memeluk diriku sendiri. Badanku mulai basah dan tubuhku mulai menggigil. Saat itulah kau kembali datang. Entah bagaimana caranya tapi kau selalu tahu keberadaanku. Kau datang dengan payung merah kesayanganmu. Kau memintaku untuk menggenggam payungmu itu. Tak lama kemudian kau mendekap tubuhku dari belakang. Memasukkan tubuhku kedalam pelukanmu sekaligus ke dalam jaket tebal yang kau kenakan. Sejaket berdua. Ah aku tahu kau sedang berusaha menghangatkanku.

“unnie pasti kedinginan…” setelah sekian lama kita mulai dekat, kau memanggilku unnie. Walaupun sebenarnya aku tidak akan marah jika kau memanggilku ahjumma. Usia kita memang terpaut jauh. Kau masih 17 tahun sedangkan aku sudah 26 tahun. Tapi kurasa memang masih terlalu muda untuk dipanggil ahjumma olehmu.

Aku hanya pasrah di dalam dekapanmu. Tangan kananku memegang payung merah yang melindungi kita berdua, sedang tangan kiriku berada diatas kedua tanganmu yang menempel di perutku. Aku mulai memejamkan kedua bola mataku untuk menikmati moment ini.

“unnie….?”

“hmm…”

“jadilah pacarku…”

Kau tidak akan pernah tahu bahwa aku tersenyum geli kala mendengar permintaanmu itu. Setelah sekian lama kita mulai dekat, kau akhirnya memintaku menjadi pacarmu. Di bawah payung merah yang melindungi kita dari hujan, dan dengan posisimu yang mendekap erat tubuhku, kau memintaku untuk menjadi kekasihmu. Baiklah menurutku ini cukup romantis. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak lagi membenci hujan. Karena hujan yang mempertemukan kita, dan saat hujan pula aku resmi menjadi milikmu.

“iya, aku mau.”

“mau apa?”

“jadi pacarmu…”

Lalu kau membalikkan tubuhku untuk saling berhadapan denganmu. Aku bisa melihat senyum bahagia yang menghiasi wajahmu itu. Lalu kau mengatakannya. Kau mengatakan sebuah kalimat pernyataan yang memiliki sebuah jawaban.

“I love you…”

“I love you too..” dan saat itulah kita berbagi ciuman pertama kita.

.

.

.

12 Desember 2015

Aku melihatmu disana, di sebrang jalan dengan payung merah yang selalu setia berada di genggamanmu. Dengan hati-hati kau menyebrangi jalanan dan melangkahkan kakimu ke arahku. Kau menghampiriku dengan langkah yang pasti. Saat kau telah di depanku, kau kembali melemparkan senyummu untukku. Tanpa sadar bibirku ikut melengkung ke atas melihat kedatanganmu.

“aku tahu pacarku yang cantik ini pasti tidak mambawa payung” ucapmu dengan nada agak mengejek.

Yah seperti biasa, sekarang sedang hujan dan aku terjebak di emperan toko pinggir jalan raya. Dan berondong dihadapanku ini selalu bisa melacak keberadaanku saat aku terjebak hujan.

“aku tidak perlu payung jika pacarku yang keren ini sudah membawakannya untukku…”

Lalu kau kecup keningku dan meraih tanganku untuk kau ajak pulang bersamamu. Aku harap kau bisa selalu disisiku. Aku harap kau tidak pernah berubah. Aku mencintaimu berondongku.

.

.

.

7 Februari 2016

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku kau tidak membawa payung merahmu itu. Tapi entah kenapa kurasa itu hanya alibimu saja agar kau bisa menginap di rumahku. Entah kenapa aku bisa berpikiran bahwa kau sudah tahu hari ini akan hujan dan kau sengaja tidak membawa payungmu saat pergi ke rumahku.

Dan pada akhirnya kau benar-benar menginap di rumahku. Kita tidur diranjang yang sama. Kita tidur di dalam selimut yang sama. Matamu tak pernah lepas memandangi wajahku. Begitu pula aku. Kita tak melakukan banyak hal. Hanya saling memandang hingga akhirnya terlelap dengan sendirinya.

Keesokan paginya aku yang bangun terlebih dulu. Kulihat kau masih terlelap dengan mulut yang sedikit terbuka. Dasar anak kecil. Aku bangun dan beranjak dari ranjangku, lalu melakukan sedikit peregangan. Aku berjalan kearah jendela kamarku. Membuka tirainya lebar-lebar. Menikmati pemandangan yang ada dari balik jendela kamarku. Selang beberapa menit kemudian aku merasakan ada sepasang tangan yang melingkar di perutku. Untuk menit-menit pertama kita saling terdiam. Lalu tiba-tiba kau menciumi pundakku yang agak terekspos. Tak puas dengan pundakku, kau menyapu area leherku dengan bibir lembutmu itu. Aku hanya memejamkan mataku seraya menikmati segala bentuk seranganmu. Kemudian kau membalik tubuhku untuk berhadapan denganmu. Kutatap kedua bola matamu, dan kulihat jelas ada nafsu yang menggebu-gebu di dalam manik matamu. Aku mendengus sebal. Kenapa kau malah bernafsu dipagi hari? Kenapa tidak kemarin malam saja? Kan lebih enak…

Kini kau terkekeh geli melihatku yang cemberut. Nafsu yang ada di matamu tiba-tiba saja memudar.

“kau kenapa hmm?”

“kenapa merangsangku di pagi hari begini? Harusnya tadi malam kau merangsangku dasar anak konyol…” ucapku sambil menjitak jidatmu yang lebar itu.

“hehe entahlah tadi malam belum nafsu, tapi melihatmu pagi-pagi begini aku malah jadi nafsu berat. Ternyata kau jadi seksi di pagi hari…..” ucapmu sambil memamerkan seringaian bodohmu itu.

“jadi selama ini aku tidak seksi hah?!”

“kau seksi, tapi saat ini jaauuuhh lebih seksi daripada biasanya..”

“halah alasan saj- hmmpphh” kau mengunci bibirku dengan sebuah hisapan lembut dari bibirmu. Kau melumatku seakan-akan ingin memakanku. Setiap desahan yang aku keluarkan malah membuatmu semakin beringas untuk menyerang bibirku. Entah bagaimana ceritanya kini kedua kakiku telah mengunci pinggangmu dan kedua tanganmu menyangga pahaku. Pada akhirnya kau mengajakku bercumbu di atas ranjang kamarku.

.

.

.

4 September 2016

Untuk pertama kalinya aku membencimu. Aku memang berulangkali kesal karena ulahmu. Namun kali ini aku membencimu. Aku sangat membenci dirimu. Bagaimana bisa kau tega melakukan ini kepadaku? Apa selama ini aku tidak berharga dalam hidupmu hah?! Aku sungguh membencimu. Aku membencimu karena kau membuatku kecewa terhadap diriku sendiri.

Di sini aku duduk dengan ditemani payung merah yang selalu kau andalkan. Hujan disekitarku semakin deras. Aku hanya ingin duduk di sini dengan payung merahmu ini. Membayangkan bahwa sekarang ada sosokmu yang menemaniku di bangku taman ini. Walau kutahu sekarang kau sedang berjuang diantara hidup dan mati di salah satu ruangan yang ada di rumah sakit ini. Saat kau dilarikan ke ruang operasi, aku malah pergi membawa payung merahmu ke taman belakang rumah sakit ini. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan. Aku tidak terbiasa melihatmu dalam kondisi yang lemah. Apa karena ini sebabmu tidak pernah menceritakan rasa sakitmu itu? Ternyata satu-satunya orang lemah diantara kita adalah aku. Maafkan aku. Tapi aku tetap menyalahkanmu. Menyalahkan raut wajah sempurnamu yang bisa menyembunyikan segala rasa sakit yang kau pendam sendirian. Bahkan kedua orangtuamu tidak tahu akan hal ini. Semua orang-orang disekitarmu tidak ada yang tahu tentang kanker yang menggerogoti organ paru-parumu. Selamat, kau berhasil menghukum kami semua dengan kepedihan.

.

.

.

5 Januari 2017

Akhirnya sekarang kau sudah bebas. Kau telah terbebas dari segala rasa sakit yang kau terima. Kini gantian aku yang memayungimu. Tentu saja dengan payung berwarna merah kesayanganmu. Ada rasa sakit dan tidak ikhlas saat mengetahui kau terbebas sekaligus pergi meninggalkanku. Meninggalkan aku ke tempat yang tidak akan bisa kucapai kecuali Tuhan sendiri yang berkehendak. Kini aku mulai berpikir, apa karena ini kau tidak pernah mau merenggut mahkotaku? Seharusnya kau berani merenggut mahkotaku disetiap kita bercumbu. Agar kau bisa mengikatku. Agar aku bisa selalu terikat olehmu. Sungguh aku tidak keberatan jika harus terikat olehmu. Justru aku yang menyesal karena kau belum memilikiku seutuhnya.

Hari ini hujan ikut mengantar kepergianmu. Dan hari ini juga aku kembali membenci hujan. Payung merahmu tak pernah lepas dari genggamanku. Disaat semua orang sudah pergi, aku dan payungmu masih setia disini. Di depan pusaramu. Di depan batu nisanmu. Batu nisan yang mengukir namamu yang indah. Nama seseorang yang aku kasihi seumur hidupku, “Sinbi binti Hwang”.

Aku selalu mencintaimu berondongku.

.

.

.

.

fin

 

//akhirnya sekarang boleh di post disini...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin_arman #1
Chapter 7: Wah, wah, eah,
Jungminah18 #2
Chapter 6: gue udah baca yg di instagram, masih sad karna sad ending... tp alurnya bagus bngttttt
Jungminah18 #3
Chapter 5: wkwkwk emang absurd tp bikin ngakak "...tanpa jigong" XD
btw, hyung baru kambek i micuuuuu TT
yi_piii #4
Chapter 3: kau sudah menyeretku ke dunia sinrin dengan akun instagram itu
membuatku jatuh cinta
uda cinta kau menghilang dengan menghapus akun itu
dan sekarang kau menawarkan kisah Eunbiline yang selalu indah ini
T.T ...aku tanpamu hanya butiran nutrisari
yi_piii #5
Chapter 1: apaan???? di hapusss?????
sungguh durjana kau dek T.T
Jungminah18 #6
Chapter 4: keluarga sengklek wkwkwk
Jungminah18 #7
Chapter 3: awww gue baper ^^
sequel juseyo~ sekalian sampe mereka married XD
Jungminah18 #8
Chapter 2: wkwkwk una sampe lempar hair dryer
umjunya dinistakan

NB : @bonaajung authornya, gfriendster unni