[2]
Waiting for You“Seulgi tidak mengirimiku pesan lagi hari ini.”
Soojung yang tengah fokus mengedit sebuah artikel mengernyit. Ditatapnya Jongin yang tengah tengkurap di sofa panjangnya aneh. “Jong, untuk apa Seulgi mengirimimu pesan. Kalian ‘kan sudah putus?”
Jongin dengan sigap menegakkan tubuh. Menatap Soojung lamat-lamat sebelum mengedipkan mata beberapa kali. “Ah, iya. Aku lupa,” gumamnya begitu lirih. Ada nada luka dalam suaranya, membuat Soojung merasa tidak enak hati.
Ini sudah seminggu berlalu dan Seulgi masih menjadi mantan-nya Jongin. Belum ada perubahan terhadap status mereka. Masih sama. Karena itulah Soojung tidak asing dengan kelakuan Jongin yang semacam ini. Sudah seminggu ini lelaki itu tidak mengubah kebiasaannya. Datang ke apartemen Soojung sepulang kerja, tengkurap di sofa sembari melamun, mengeluh karena Seulgi tidak menghubunginya, dan terakhir baru menyadari jika hubungannya dengan Seulgi sudah berakhir.
Selalu sama, seperti itu. Berulang-ulang, sampai Soojung bosan mengingatkan Jongin soal kandasnya hubungan lelaki itu dengan Kang Seulgi.
“Jongin, ijinkan aku menanyakan satu hal.”
Jongin menatap Soojung tanpa minat. Gadis itu kini telah menutup laptopnya. Kelihatannya dia memilih untuk menunda pekerjaannya dan lebih dulu mengurus Jongin dan masalahnya dengan Seulgi. “Kau itu masih sayang Seulgi atau tidak?”
Satu detik.
Hening, tak ada jawaban yang Jongin berikan. Soojung masih menunggu.
Dua detik.
Masih hening, lelaki berkulit tan itu masih enggan bersuara. Dan Soojung masih berusaha menunggu.
Tiga detik.
Yang ini kesabaran Soojung telah mencapai ambang batas.
“Jong—“
“Mungkin.”
Soojung mengerjap cepat. Setelah tiga detik lebih sedikit, akhirnya ada satu kata yang lolos dari bibir Jongin. Kata itu adalah mungkin. Satu kata dengan beribu macam makna jika yang mengucapkannya adalah seorang Kim Jongin yang tengah gundah gulana.
“Mungkin aku masih sayang,” Jongin berkata lirih. Lelaki itu kelihatannya masih berpikir, seakan belum yakin dengan jawabannya. “Yah, kelihatannya aku masih sayang,” suara kekehan terdengar di ujung pengakuannya. Kekehan miris penuh kepedihan.
Jika biasanya Soojung pintar menimpali itu semua dengan candaan atau kata-kata bijak, kali ini tidak. Ada satu hal yang membuat gadis itu kehilangan kemampuannya. Mungkin akibat pengakuan Jongin, entahlah. Yang jelas, Soojung merasa menelan sesuatu yang pahit bersamaan dengan pengakuan lelaki itu.
“Kalau masih sayang—“ Soojung menarik napas dalam sebelum bersuara kembali. Mengumpulkan semua energi agar suaranya tidak terdengar aneh. “—kenapa tidak coba berbaikan dengannya?”
Jongin mulai membuka mulut, hendak menjawab. Namun, lelaki itu segera mengatupkan bibirnya kembali sebelum suaranya keluar. Jongin hanya tidak yakin dengan jawaban yang akan diberikannya. Jongin ingin mencoba berbaikan dengan Seulgi, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Ini merupakan kali pertama lelaki itu putus selama ini. Biasanya dua-tiga hari saja mereka sudah balikan lagi. Ini pencapaian luar biasa, seminggu penuh.
“Kenapa? Tidak mau baikan dengan Seulgi? Maunya pacaran denganku?”
Kedua bola mata Jongin membulat, “Jangan sembarangan bicara, Jung. Tidak lucu!”
Soojung memutar bola matanya kesal. Biasanya dia akan tertawa mendengar penolakan Jongin, tetapi kali ini tidak. Daripada merasa geli, Soojung justru merasa kesal. Entah kesal karena apa. Dia hanya kesal, itu saja. “Kau sendiri yang bilang kemarin. Aku yang terpenting katanya. Lalu kau akan baik-baik saja selama ada aku. Sekarang? Menyesal memutuskan Seulgi? Sadar jika Seulgi juga begitu berarti untukmu?” ketus Soojung begitu saja.
Jongin menghela napasnya berat. Sedikit menyesal karena pernah mengatakan kalau Seulgi tidak penting baginya. Ternyata gadis bermata kucing itu begitu berarti untuknya, sama pentingnya dengan Soojung. Kalau Seulgi tidak penting, mana mungkin kelakuan Jongin pasca putus dengan Seulgi sampai seperti ini.
“Iya, aku menyesal,” aku Jongin setelah perenungan cukup lama.
“Ya sudah, berbaikan saja dengannya!” suruh Soojung dengan nada suara meningkat.
“Ingin, tapi aku bingung.”
“Bingung kenapa?”
“Kalau Seulgi tidak menerimaku bagaimana?”
Soojung memijat pangkal hidungnya pelan. Berdebat dengan Jongin mengenai hubungan lelaki itu dengan Seulgi benar-benar menguras tenaga. Membuatnya merasa lelah dan pening.
“Terserah kau saja, Kim Jongin,” gerutunya kesal. “Aku sudah tidak mau tahu lagi.”
O0O
Soojung tidak bisa untuk tidak mau tahu lagi dengan segala urusan Kim Jongin. Meskipun gadis itu telah berupaya untuk acuh terhadap masalah Jongin, secara otomatis hatinya membangkang. Soojung telah bersahabat dengan Jongin lama sekali, rasanya tidak tega saja jika dia mengabaikan lelaki itu dan tidak membantunya sama sekali. Ah, Soojung bahkan tidak mengerti. Dirinya kelewat baik atau dirinya kelewat bodoh? Batas antara baik dan bodoh begitu tipis dalam kasus ini.
“Soojung, Pak Choi minta artikel yang kau edit untuk edisi minggu ini.”
Seunghwan yang baru saja kembali menduduki bangkunya dibuat mengernyit. Gadis yang telah mengganti warna rambutnya menjadi pirang itu dibuat keheranan melihat tingkah Soojung. Bagaimana tidak heran? Rekan kerjanya itu saat ini tengah melamun dengan telunjuk memencet tombol di komputernya berulang kali, itu pun hanya satu huruf—A. Entah apa yang Soojung pikirkan, tetapi Seunghwan menduga ini berkaitan (lagi) dengan sahabat sehidup sematinya Soojung—Kim Jongin.
Siapa lagi kalau bukan Jongin? ‘Kan hanya lelaki itu yang terus saja mengganggu Soojung dengan segudang masalah percintaannya. Dan bodohnya, Soojung mau saja direpotkan seperti itu. Kalau Seunghwan jadi Soojung, gadis itu pastikan Jongin akan dipenggalnya sebelum mengeluhkan soal percintaannya.
“Hei, Soojung? Kau mendengarku?”
Suara Seunghwan terdengar begitu keras—tepat di sebelah telinga Soojung—membuat Soojung terkesiap. Gadis itu mengerjapkan kelopaknya beberapa kali sebelum menoleh dan menanggapi Seunghwan dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Artikelnya, mana? Pak Choi memintanya.”
Tanpa bersuara—sekadar menanggapi—Soojung segera saja mencari artikel yang Seunghwan maksud di antara puluhan artikel yang ada di komputernya. Setelah mencari dalam waktu 5 menit, gadis itu segera menyerahkan flashdisk berisi artikel yang dimaksud. Lagi, Soojung memberikannya tanpa bersuara sama sekali.
“Kau baik-baik saja?” tanya Seunghwan setelah menerima flashdisk mungil berwarna kuning dari Soojung. Masih sama, Soojung tidak menjawab. Lidahnya serasa kelu untuk digerakkan. Pita suaranya serasa malas untuk bergetar. Rasanya Soojung malas untuk bersuara.
“Ada masalah dengan Jongin lagi, yah?”
Pertanyaan Seunghwan dirasa tepat sasaran. Membuat Soojung tanpa sadar membuka mulutnya, terperangah dengan tebakan Seunghwan. Ah, Soojung lupa jika Seunghwan pengamat alur percintaan Jongin—yang bahkan Soojung kalah darinya. Selain itu, Seunghwan begitu sensitif dengan yang namanya Jongin. Kata gadis itu, muka Jongin kadang menyebalkan. Ingin sekali dia tonjok. Entah apa salah Jongin, yang jelas Seunghwan cukup sadis.
“Sudahlah, jangan terus dipikirkan si hitam itu,” cicit Seunghwan sok menasehati. “Kau mau peduli kepadanya seperti apa, dia juga tidak balik peduli kepadamu. Sebaiknya kau urusi saja hidupmu, jangan terus-menerus hidup Jongin yang diurus.”
Mulut Soojung setengah terbuka. Ingin sekali rasanya Soojung membantah semua kata-kata Seunghwan. Kata siapa Jongin tidak balik memedulikan Soojung? Lelaki itu jelas memedulikannya. Kalau tidak, Jongin tidak akan memutuskan Seulgi karena dirinya. Jongin itu sahabat sejatinya, Soojung mempercayai itu. Namun, namanya juga Soojung sedang enggan bersuara, jadi dia tidak mengungkapkan semua itu sama sekali.
“Aku bosan dengan semua ceramahmu, Seunghwan.” Soojung memutuskan menanggapi semua ocehan Seunghwan yang lebih terdengar seperti omelan dengan kalimat tersebut. “Sudahlah, serahkan saja file artikel milikku pada pak Choi. Jangan sampai aku ikut kena omel hanya karena kau terlambat memberikannya.”
Seunghwan memutar bola matanya malas.
Comments