H A PP I N E SS

H A PP I N E SS

A/N: anggep aja ini first fanfic yang aku tulis setelah berhibernasi dengan tugas kuliah sompret yang nggak kelar-kelar :’)))) anywaaaayyyy~~~~ buat beberapa FF aku yang kemarin mungkin agak lama aku yang nerusin karena yaaahhh nggak ada waktu luang sebelum pertengahan Juni :’) so i come back dengan satu FF gajelas ini untuk sekadar ngasih sinya bahwa I’m still alive :’D kritik saran sangaaaat membantu ^^ Enjoy this kraaayyy!

 


HAPPINESS

 

 

Yuka

 

 

 

 

“Pa, kenapa Papa jadi pilot?”
“Karena bisa terbang tinggi dan melihat awan.”
“Baiklah... aku juga ingin jadi pilot!”
“Hahahahahaha!”

Keringat mengucur dari keningnya. Dia melihat sekeliling dan menutup matanya dengan bantal.  Mimpi itu lagi...  

Sesaat ia terdiam kemudian beberapa detik kemudian dia segera bangun. Ia menyibakkan selimutnya ke kiri lalu turun dari tempat tidur. Menggaruk rambutnya yang sedikit gatal karena semalam kehujanan, ia berjalan ke kamar mandi.

Guyuran air dari shower membasahi sekujur tubuhnya setelah ia melepas satu-satunya pakaian yang ia kenakan pagi itu - celana pendek. Angin musim gugur terasa semakin dingin akhir-akhir ini. Yah siapa peduli, ini sudah bulan apa?
Keluar dari kamar mandi ia mengibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri kemudian menyambar seragamnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Ia mengambilnya. Sedikit lusuh... ah, tidak  masalah. Toh hari ini pelajaran olah raga. Dengan cepat dipakainya seragam putih itu dan mengambil beberapa buku yang kemudian dimasukkannya dalam tas.
Oh. Dia lupa memakai sepatu.
***

Derap langkahnya terdengar begitu keras di ruang makan yang begitu luas itu. Laki-laki berambut pirang itu duduk di salah satu bangku lalu mengambil beberapa roti. Di sebelahnya ada seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal kecoklatan tergerai bebas.

“Papa ke mana Ma?” tanya laki-laki itu setelah beberapa lama terdiam. Ia masih mengoleskan selai kacangnya saat wanita yang dipanggilnya mama itu menjawab, “Entah. Pergi ke motel dengan perempuan jalang lain mungkin.” Lalu mengehembuskan asap dari mulutnya.

Dia merokok.
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia langsung berdiri setelah menggigit rotinya dan meminum susunya. Meski tidak sampai setengah gelas.
Dari pintu keluar laki-laki itu bisa mendengar suara desahan berat dari ibunya.
***

Pulang sekolah adalah waktu yang tepat untuk lelaki itu melupakan sejenak masalahnya. Ah, masa bodoh dengan tugas esok pagi. Oh iya, ia sekarang sedang duduk di atas gedung sekolah dengan tas sekolahnya yang terbuka. Dia menatap ke langit keorangean di atasnya sembari mengepulkan asap dari mulutnya. Sebatang rokok terselip di jemarinya.

Akan lebih nikmat jika tidak ada masalah, pikirnya.

Dengan satu helaan nafas berat dia berdiri dari duduknya dan menyambar tasnya. Saat hendak melangkah pergi dia melihat sesosok siluet. Hanya bayangannya saja. Di bawah. Sosok itu keluar dari pintu gerbang.
Dan sepertinya, lelaki itu mengenal siluet hitam tadi.

Derap langkahnya bergedepuk melawan tanah. Lelaki itu berlari agar bisa menyambangi si siluet hitam yang masih berada di gerbang. Lelaki pirang itu berdehem kecil membuat si siluet hitam menyadari keberadaannya.

Si siluet hitam itu tidak benar-benar hitam. Kulitnya putih bersih... meski sedikit pucat. Rambutnya pendek bergelombang berwarna sedikit kecoklatan. Matanya besar dengan iris senada dengan rambutnya. Oh, si siluet ini bukanlah perempuan. Meski lelaki pirang ini akui... si siluet hitam ini sangat manis, jika dia perempuan.

Mereka terdiam beberapa detik dan tenggelam dalam hening yang entah kenapa... terasa menyenangkan. Banyangan mereka berlawanan arah meski tubuh aslinya berhadapan. Semakin gelap karena matahari semakin menunjukkan warna orange-nya.

Si siluet membuka mulut untuk bicara, “Kenapa kamu belum pulang?”

Hal itu membuat si pirang sedikit terkejut. Oh... yang benar saja. Dia di sini setiap sore. Apa si coklat ini buta?

“Gue di sini tiap sore. Lo mungkin yang nggak pernah liat.” Ucap si pirang memicingkan mata.

Si siluet membulatkan matanya, “He? Tapi tiap sore aku juga di sini.” Katanya.

Si pirang membuka mulutnya untuk bicara tapi kemudian menutupnya kembali saat ia sadar, dia belum pernah pulang lewat gerbang depan sebelumnya.

“Udahlah lupain aja.”

Lalu hening.

Si pirang tahu, jika si coklat ini tidak terlalu suka bicara. Mereka teman satu kelas, dan sempat beberapa kali sebangku. Tapi si pirang ini jarang sekali bicara pada si coklat. Si coklat tidak menarik, pikirnya.

“Kamu ngapain tiap sore di sini?” tanya si coklat sedikit mendongak karena si pirang jauh lebih tinggi.

Si pirang mendengus kecil sebagai jawaban atas pertanyaan si coklat.
“Mau pulang?” si pirang balik bertanya membuat si coklat agak terkejut, “Iya...”
***

“Rumah lo di mana?”

Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut si pirang saat mereka berhenti sejenak untuk membeli ice cream. Si coklat mendongak dan menjawab, “Setiap hari kamu lewatin rumahku.” Katanya.

Si pirang mengernyit kecil, “Masa? Kok gue nggak tahu?”

“Kayaknya kamu nggak pernah perhatiin sekitarmu, ne?” lalu si coklat memakan ice creamnya.

Mungkin benar. Memang apa yang selama ini dia pikirkan?
Mereka berjalan dalam hening melewati beberapa rumah dan toko. Angin malam menyapu dua tubuh berbeda ukuran itu membuat keduanya merinding  kecil. Entah apa yang tadi mereka lakukan hingga mereka pulang hingga petang hari seperti ini. Berjalan dengan si coklat ini mungkin adalah jawabannya. Tapi apa yang sudah dia lakukan?

Tidak ada.

Beberapa blok lagi dan si pirang akan sampai di rumahnya. Yah, kalau dia bisa menyebutnya rumah. Ice cream mereka sudah habis sejak tadi dan sekarang digantikan dengan sebatang rokok. Oh si coklat tidak merokok.

Sampai di sebuah rumah bergerbang kayu, si coklat berhenti. “Mau mampir?”
Pertanyaan sederhana itu membuat si pirang sedikit terkejut. Ah. Sungguh, dia tidak memperhatikan sekelilingnya. Rumah anak ini tepat berada satu blok dari rumahnya.

Dalam pikirannya dia ingin menjawab nggak usah, gue pulang aja, atau seperti, gue duluan aja tapi justru mengatakan...

“Boleh.”
***

Ketika duduk di ruang tamu-yang tidak ada sofa atau semacamnya-, si pirang tiba-tiba merasa hangat. Dia melirik sekelilingnya untuk mencari penghangat ruangan. Dan kenyataannya, tidak ada. Si pirang menyilakan kakinya yang masih memakai kaoskaki. Dia memainkan korek apinya menunggu si coklat kembali setelah berganti baju.

Membunuh waktu, si pirang melihat-lihat isi rumah sederhana itu. Di sebelah kiri ada televisi, -tidak sebesar yang ada di kamarnya-, tidak ada AC di dinding, tidak ada penghangat ruangan, tidak ada sofa, hanya ada lemari kecil yang berisi keramik-keramik, dinding yang dipenuhi lukisan...

Ah... rumah ini tidak seperti rumahnya.

Meski sederhana, tapi tempat ini bersih dan rapi. Nyaman untuk ditinggali. Dan si pirang juga merasa betah di sini. Meski ia teguh tidak ingin mengakui.
Ketika melirik ke atas lemari kecil di samping televisi, si pirang melihat sebingkai foto dengan empat orang dewasa di dalamnya.

Oh, ada seorang nenek dan anak laki-laki di antara empat orang dewasa itu. Apa ini si coklat itu?
Di sampingnya ada sebingkai foto dua orang dewasa dengan bayi mungil dan bertuliskan Zhang Yixing di dalamnya. Ah, rupanya ini foto si coklat saat masih bayi.

“Ah, itu foto waktu aku masih bayi.” Suara tiba-tiba itu membuat si pirang sedikit terkejut.

“Yixing!” laki-laki pirang itu mengelus dadanya, “Jangan nongol tiba-tiba!”

Yixing tersenyum lebar dan menggaruk tengkuknya, “Hehe maaf Yifan...”

Malam itu Yixing mengenakan kaos ungu pudar sederhana dan celana abu-abu pendek. Rambutnya sedikit berantakan. Adorable...

Dia menyodorkan segelas teh hangat dan beberapa kue kecil, “Ayo diminum...” ajaknya.

Yifan mengangguk kecil dan menyesap tehnya. Setelah beberapa detik, Yifan membuka mulutnya dan berkata, “Xing... Papa Mama lo kemana?”

Yixing sedikit melebarkan mata besarnya, tapi kemudian melembut kembali, “Mama sama Papa udah pisah sejak aku SMP.” Dia berkata dengan senyum lebar.

Hal itu membuat Yifan membulatkan matanya. Apa mungkin foto 4 orang dewasa itu... orang tua Yixing?

Yifan memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi itu foto lo sama orang tua lo?” katanya menunjuk foto 4 orang dewasa itu.

Yixing mengangguk dan merentangkan tangannya untuk mengambil foto itu. Dia memperlihatkannya pada Yifan dan menunjuk seorang perempuan berambut coklat bergelombang di sebelah kiri, “Ini Mama... di sampingnya Papa tiriku.” Katanya menunjuk lelaki di samping ibunya.

“Terus ini Papa kamu?” tanya Yifan menunjuk laki-laki di ujung kanan. Hal itu membuat Yixing tersenyum tapi menggeleng pelan.

Yifan makin terkejut saat Yixing menunjuk perempuan dengan rambut lurus bergaun merah muda, “Ini Papa...”
***

“Waktu usiaku 10 tahun, aku pernah lihat papa pulang sama om-om... waktu itu papa bilang dia temannya jadi aku percaya aja. Tapi hal itu sering terjadi. Sampai aku usia 13 tahun, papa sama mama berantem dan akhirnya mereka pisah. Aku tanya sama mama kenapa mereka pisah tapi mama nggak pernah ngasih tahu...”

Yifan mendengarkan cerita Yixing seperti sedang mendengarkan dongeng. Semua seolah terputar di dalam otaknya. Dia diam.

“Akhirnya aku diasuh sama nenek sampai masuk SMA. Nenek sakit dan meninggal waktu aku kelas satu.”

Ah... Yifan ingat ia tidak turut hadir dalam pemakaman keluarga salah satu temannya saat kelas satu. Kalau Yifan mengenal Yixing lebih lama mungkin ia akan datang.

“Sebelum meninggal, nenek cerita semuanya. Papa itu biual. Papa nikah sama Mama karena disuruh kakek. Setelah aku lahir, Papa sama Mama jarang makan bareng, pergi bareng, tidur bareng... sampai Mama tahu ternyata Papa punya pacar lagi. Dan pacar Papa itu om-om waktu itu.”

Entah mengapa Yifan merasa sesak di dadanya. Mata Yixing yang biasanya besar dan berbinar kini meredup.

“Papa mutusin untuk operasi transgender sejak saat itu dan hal itu bikin Mama shock.”

Yixing terdiam. “Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Papa pernah minta aku tinggal sama dia dan Papa Zhao, tapi aku nggak mau. Nanti Mama iri, pikirku. Jadi aku mutusin buat tinggal di sini aja.” Lalu dia mengakhiri ceritanya dengan senyum lebar.

Hal itu membuat Yifan terdiam beberapa saat.
***

“Gue boleh nginpep sini?”

Yixing menoleh ke belakang saat mendengar pertanyaan Yifan itu. Dia sedang menyingkirkan gelas dan piring kecilnya di dapur.

“Besok hari minggu jadi Mamaku nggak akan ngomel.” Jelas Yifan sebelum Yixing bertanya.

Dengan sebuah senyum Yixing menjawab, “Boleh.”

Setelah merapikan tempat tidur agar muat untuk dua orang, Yifan dan Yixing tidak langsung tidur. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah lampu tidur kecil di tengah-tengah mereka. Lampu utama dimatikan sehingga terang dari lampu kecil itu makin kentara.

“Ne... tadi aku udah cerita banyak sama kamu di ruang tamu.” Kata Yixing sambil mengambil sebuah bantal besar dan memeluknya.

“Terus?” tanya Yifan pura-pura acuh.

“Ya gantian, sekarang kamu yang cerita.”

Yifan mengernyit kecil, “Cerita apa? Dongeng?”

“Ya apa aja... oh iya katanya lulus sekolah kamu mau masuk akademi penerbangan ya?” tanya Yixing melebarkan matanya.

Hal itu membuat Yifan tambah mengernyit. Darimana si pendek ini tahu? Ah, dia tidak mau membicarakan ini.

“Nggak lah. Ngapain?!”

“Kan Papa mu pilot...” kata Yixing, “Mungkin aja kan pengen nerusin...”

Yifan mengambil selimut, “Gue udah nggak minat jadi pilot.” Ungkapnya.

Yixing melebarkan matanya, “Tapi kan asik bisa liat awan...”

“Di Bumi juga bisa kali.” Cetus Yifan menyelimuti kakinya dengan selimut berwarna ungu.

Yixing menatap Yifan dengan kedua mata besarnya, “Kan lebih dekat...”

Ugh... keras kepala sekali anak ini, gerutu Yifan dalam hati.

“Gue nggak mau. Lagian papa udah nggak jadi pilot lagi.” Ooops... Yifan terlihat terkejut dengan apa yang dia ucapkan.

Oh tidak... mulut besar. Tidak bisa diajak kompromi... sebentar lagi pasti Yixing akan melihatnya dengan dua mata besar dan bertanya dengan lembut...

“Kenapa?”

Dengan helaan nafas, Yifan mulai menuturkan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana papanya mulai suka bermain dengan para pramugari dan meninggalkan mamanya. Kemudian memilih keluar dari pekerjaan hanya demi menjadi pejabat kotor dan makin suka bermain dengan wanita. Meninggalkan Yifan dengan mamanya yang makin hari makin senang minum, dan membawa laki-laki lain ke rumah.

“Gue nggak ngerasa aman di rumah... Gue nggak ngerasa nyaman di sana, gue cuma mau semua balik kaya dulu lagi... gue nggak mau kayak gini...” tiba-tiba Yifan merasa matanya berair dan wajahnya memanas. Oh tidak... jangan... jangan menangis...

“Gue... gue pengen pergi dari rumah... gue nggak mau denger suara-suara aneh dari kamar papa tiap tengah malem... gue nggak mau lagi nyium bau obat-obatan sama alkhohol tiap gue pergi ke dapur... gue capek...”

Dan setetes air mata turun melewati pipinya. Lalu ia merasakan ada jemari yang menyentuh rambutnya dengan lembut. Di balik airmatanya Yifan melihat, Yixing tersenyum dan berkata, “Kamu nggak sendiri kok Fan...”

Saat itu Yifan hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan lututnya.

“Udah ayo tidur!” ucap Yixing mematikan lampu kecilnya dan meletakkannya di meja kecil. Ia merapikan tempat tidurnya sebentar, “Ayo Fan...” ajaknya dan mulai berbaring.

Yifan mengikutinya dan menaikkan selimut untuk menutupi tubuh mereka. Yixing terlihat makin kecil seolah ditelan oleh selimut. Yifan menyembunyikan senyumnya.

“Kamu mau bersyukur? Untuk masih tinggal dengan orang tuamu yang masih utuh... untuk masih bisa melihat wajah orang tuamu setiap hari nggak peduli seberapa menyedihkannya mereka? Karena aku juga bersyukur bisa punya orang tua yang masih sayang sama aku meski udah pisah..” kata Yixing pelan menatap mata Yifan dibalik selimutnya.

“Nite Fan...” katanya lalu menutup mata.

Beberapa menit kemudian Yifan mendengar dengkuran halus dari onggokan daging bernyawa di sampingnya. Mungkin iya... dia harusnya bersyukur masih punya orang tua... yang bisa dia lihat setiap hari.

Terima kasih, Tuhan...

Yifan memberanikan diri untuk membelai rambut anak laki-laki di sampingnya.
Mungkin ia juga harus bersyukur telah bertemu dengan peterpan kecil ini.

“Nite Xing...” dan Yifan tenggelam dalam mimpi indah.

 

End

 

A/N: sooooo how was it???? Nggak bagus?? I know :’)
RnR also comment sangaaaat diharapkan ^^ actually aku nggak tahu ini udah beneran selesai atau nggak karena aku juga bingung mau nerusin atau nggak -_-
Mungkin ada sarannnn?? :33
Sankyuu for reading ^^ atau sekedar buka :p
Ciao~`

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
lovemetodeath #1
<3
chamii704 #2
Chapter 1: ino mah hrus dilnjut author....ltar blkg dr kluarga fanxing rumit yah...
NadyaMisa #3
Chapter 1: keduanya punya masalah keluarga yang unik(?) :D. dilanjut ya kak
nagarusa
#4
Chapter 1: Another angel yixing story
Duh xing kamu manusia bukan? Kalau gw di posisi yixing, udah stress kali.
Udah bakal marah sama keadaan tapi yixing masih sma dan bisa nyikapin dgn bijaksana bgt
Ahhhhh... suami idaman
Lanjut ya thor
ReiSama #5
Chapter 1: Ini keren lhoo... ^^
pengennya siiih... Dilanjutin.. Hehehee...
kimzy1212 #6
Chapter 1: Lanjutkan sajalah hahahah,ini nanggung ini....pake bangettttt