coffeestruck

coffeestruck

Hormon adrenalinku melambung naik. Detak jantungku mulai tak menentu. Butiran-butiran peluh mulai membasahi dahi. Tanganku menangis hebat sampai mereka tak kuat lagi untuk menggenggam. Kepalaku mulai naik turun, wi, wi, arae mengikutin arah gerak perahu setan ini. Kupandangi Jinri di sebelah kananku. Dan aku menghela nafas dengan hebatnya.

Dia tersenyum puas.

 

Menjerit dengan rasa gembira.

 

Di atas penderitaanku.

 

"YAHOOOOO! HAHAHAHA," serunya.

 

Maafkan aku, Tuhan.


 

Tapi, akhirnya penderitaan ini selesai juga --Terima kasih, Tuhan-- Aku menjauh dari perahu setan ini dengan limpung. Mungkin bibirku sudah berubah jadi pucat pasi. Jinri menatapku dengan iba, lalu diangkatlah tangan kananku ini agar melingkari bahunya. Iapun membantuk berjalan, seperti sedang membantu siswa yang hampir pingsan saat upacara bendera.

 

Selamat tinggal, harga diri.

 

SETELAH ITU, kamipun pergi ke toko boneka yang berada di dekat pintu masuk tadi. Mata Jinri tertuju pada satu boneka beruang berwarna putih yang berpitakan merah hati. Iapun mendekati boneka itu dan menggendongnya layaknya anak sendiri.

 

"Ah, lucuuuu," gemasnya. "...warnamu sama seperti casing handphone-ku, lho. Hihihi."

Lalu, dikeluarkanlah sebuah dompet merah muda dari tas kecilnya. Iapun merogoh beberapa lembar uang kertas dan memberikannya pada si penjual.

"Terima kasih, ya. Semoga harimu menyenangkan!," seru si penjual sambil tersenyum.

 

Dan, aku ketingalan satu langkah lagi. Kemana semua pengalamanmu, Park Chanyeol? Harusnya KAULAH yang membelikannya boneka. Bukannya dia yang membelinya sendiri. Bodoh.

"Gimana? Lucu, kan? hihihi," tanya Jinri sambil menggerak-gerakkan tangan si berunag di depan wajahku. Aku hanya membalasnya dengan segores senyuman canggung.

"Hmmmm~ Sekarang, aku yang jadi navigatornya, ya?," tanyaku dengan nada manja.

"Oke, call!."

 

XXXXX

 

Kurangkul pinggang Jinri dan kutarik ia agar bersandar di bahuku. Langkah kakinya sejalan denganku, membiarkan tubuhnya dibawa pergi menuju tempat yang aku mau. Sesekali aku menangkap senyum kecilnya, dan kubalaslah ia dengan belaian lembut di rambut hitamnya itu.

Balon sabun beterbangan ditiup angin, semburat oranye di atas kanvas biru di langit lambat laun menyatukan hati kami, suara riuh pengunjung terdengar bagai denitingan lembut piano yang menemani langkah kami berdua, kukecup pipi kemerahannya itu dengan lembut, dan kedua mata sayunya tersenyum menatapku.

Setelah beberapa menit berjalan, kami terhenti di sebuah cafe  di samping wahana komidi putar. Cafe. Tempat yang perlahan mengikis jauhnya jarak antara kami berdua. Tempat yang perlahan menghapus bayang-bayang Hani dari kedua mataku. Tempat yang mempertemukanku dengan gadis yang tak bisa ditebak ini. Gadis yang berdiri di sampingku ini.

 

"Cafe lagi?," tanya Jinri.

"Iya," jawabku sambil mengangguk.

 

Kami saling pandang sebentar. Lalu akhirnya masuk ke dalam bangunan yang interiornya berdesain mirip dengan cafe siang tadi. Cahaya lampunya redup, suasananya agak sejuk, kursi dan meja kayunya pun tersusun mirip seperti tempat itu. Kamipun memesan apa yang telah kami pesan sebelumnya. Aku, americano. Dan Jinri, chocolate frappe. Tenang saja, kali ini aku yang bayar kok.

Canggung. Akupun mencoba membuka pembicaraan. Menanyakan tentang maksud dari ekspresinya siang tadi, yang tadinya menatapku sinis lalu tiba-tiba tersenyum manis. Entah apa mungkin dia punya kepribadian ganda seperti dalam drama-drama, atau memang akulah penyebab dari semuanya,  aku tak peduli. Aku hanya ingin tau jawabannya. Agar rasa was-wasku ini bisa hilang sepenuhnya.

 

"Jinri, maaf ya soal tadi siang, saat aku merangkumu tiba-tiba. Kamu pasti marah, kan?," tanyaku, menuntunnya menuju ke inti pertanyaanku, walau secara tak langsung.

"Oh tadi? Gak kok! Aku sama sekali gak marah. Mungkin kau sempat melihat raut wajahku, ya? Itu bukan karenamu, oppa. Tadi...."

 

Rrrrrrrr

 

Rrrrrr

 

Benda bulat hitam yang ada di atas meja cafe bergetar hebat. Tanda kalau pesanan kami sudah selesai dibuat. Akupun beranjak dari kursi dan mengambil pesanan kami berdua.

 

"Ini, Jinri." Kusodorkan segelas chocolate frappe itu padanya. "...oh iya, lanjutkan soal tadi," ujarku sambil menyeruput americano hangatku peralahan.

"Itu... Saat kau menyapa mantanmu tadi... laki-laki itu mengirimkanku sms....." ujarnya ragu-ragu, lalu menatapku sebentar untuk membaca ekspresiku.

"Laki-laki yang kau ajak kencan buta itu? Ah, lanjutkan saja. Aku akan mendengarkanmu, kok."

"......Iya. Ia bilang, ia tak bisa datang. Padahal aku kan sudah menunggunya berpuluh-puluh MENIT! Kau tahu apa alasannya?!," lanjutnya dengan penuh amarah. Tatapannya mungkin bisa menididhkan americano-ku.

"Tidak," aku menggelengkan kepalaku. "....apa alasannya?,"

"Dia sedang pergi dengan perempuan lain! Perempuan dari kencan butanya yang lain! COBA BAYANGKAN! Aku... disini... nungguin dia... hanya demi sms sialan itu?!," kesalnya sambil menunjuk-nunjuk dirinya sendiri saat kata 'aku' disebutnya.

"Wah, parah banget! Parah!, " jawabku, memanas-manasinya, dengan harapan agar api di hatinya cepat reda.

"Parah, kan? !@%$^#&!*@!(@!)@!(@*!@!)!)!)&!^%!&!."

"I-I-I-IYA! PARAH!," jawabku lagi. Padahal, kata-katanya sudah melangkah jauh dari telingaku. Kata-katanya tak bisa lagi kudengar. Aku hanya bisa memperhatikan gerak bibirnya dan menerka-nerka kalimat apakah yang sedang ia lontarkan.

"!@#$%%^&*(*&^%$#!#@%^&*^%$#%^&!"

 

Apa ini? Dia ngomong apa?

 

Hello?

 

Zzzzzzzz

 

Seperti orang yang tak sengaja memegang kabel bocor, badanku tiba-tiba bergidik ngeri. Bagai kerasukan roh jahat, kepalaku mulai bergeleng-geleng sendiri. Sepertinya aku pernah mengucapkan kalimat ini, tapi.. ah entahlah. INTINYA, sekarang aku panik. Pandanganku mengabur. Sekujur tubuhku mulai bergetar mirip seperti orang yang sedang kejang-kejang. Bibirku gemetaran.

 

"Park Chanyeol?."

 

Kemampuan mendengarku kembali lagi. Tapi, kesadaranku masih dipertaruhkan. Ada apa ini?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet