coffeestruck

coffeestruck

Setelah kejadian itu, kupalingkan kepalaku ke sebelah kanan, dan kudapati ekspresi aneh dari wajah Jinri plus tatapan sinis dari kedua matanya. Hmm. Ada apa? Kenapa ia memandangiku terus? Oh iya, rangkulannya! Aku lepaskan rangkulan ini dan mulai menunduk ke lantai. Aku takut menatapnya lagi. Hidupku masih panjang. Aku belum mencapai cita-citaku untuk jadi gitaris terkenal. Aku juga belum menikah. Kalau sampai aku dilaporkan ke polisi atas tuduhan penculikan atau pelecehan seksual, aku bisa apa?

"Ma-ma-maaf, Jinri. Itu tadi kepepet. Maafkan aku, ya?," melasku. Sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku di hadapannya. Memohon ampun.

"Hehehehe," balasnya, tersenyum lebar sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. "...gak apa-apa kok. Aku paham. Kalau begitu, ayo keluar!," lanjutnya.

"Seriusan? Aku beneran minta ma...."

 

Belum sempat melanjutkan ucapanku, punggungku malah dipukulnya. Eh? Dipukul? Tapi kenapa rasanya tidak sakit, ya? Apa ini? Mengapa rasanya seperti ada sebuah tangan yang merangkulku? Ini rangkulan? Ia merangkulku?!

 


 

"H-hah?," tanyaku penuh heran. Aku memang benar-benar heran. Jadi, maksud dari tatapan dan raut wajahnya tadi itu apa? Bukankah ia barusan marah padaku? Aku sungguh tak mampu membaca pikirannya.

"Udah, ayo ikut aku. Mau ke Lotte World, gak? atau Everland?."

"Lotte World? Hmm... Gak sejauh itu deh kayaknya, apalagi Everland, terlalu jauh. Mau cari tempat lain?," ujarku. Kedua tempat itu memang jauh dari sini. Mana mau aku pergi ke Gyeonggi dengan orang yang baru saja aku kenal. Kalau sampai aku diculik dan diasingkan disana, aku bisa apa? Bagaimana dengan nasib penggemar-penggemarku nanti?"

"Ah, ya udah deh. Ayo ikut aku. Aku bosan menunggu disini haha." Lalu, kami berdua bangkit dari kursi sakral ini, melangkahkan kaki keluar dari cafe sambil menggenggam bekas minuman kami yang sudah habis.

 

XXXXX

 

BIASANYA, laki-lakilah yang menjadi penunjuk jalan saat berkencan. Tapi, kali ini malah kebalikannya. Aku yang celingukan, dan dialah yang sibuk menunjuk tempat sana sini. Naik bus nomor sekian, belok kiri, kanan, naik bus lagi, naik taksi, jalan lagi, naik taksi lagi. Untung saja ini bukan 'kencan' yang sesungguhnya. Kalau ini kencan sungguhan, mungkin dompetku bisa kosong demi menanggung semua biaya transportasi ini.

 

"SUDAH SAMPAI!," serunya. Meregangkan kedua tangannya sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Senyum penuh rasa puas terpaut di wajahnya. Setengah rasa lelahku luntur dibuatnya.

"Ini? Wah, lumayan bagus juga ya!."

 

Di hadapanku terpampang jelas sebuah taman bermain yang lumayan besar. Wahananya mungkin tak sehebat Everland atau seraman Lotte World, tapi kelihatannya tempat ini cukup memadai. Wahana favorit seperti Viking, Roller Coaster, bahkan Komidi Putar ada disini. Penjual boneka-boneka binatang seperti beruang atau kelinci juga ada! Tak lupa juga kedai permen kapas yang ada di sebelahnya. Permen kapasnya tak hanya merah muda, lho. Ada juga yang warnanya biru muda, kuning, ungu, bahkan warnanyapun bisa digabung! Wah, membayangkannya saja sudah membuat hormon endorfinku naik. Makasih ya, Jinri! 

 

"Gimana, oppa? Kelihatannya asyik, kan? Ayooo, mau main apa nih?," tanyanya.

Oppa. Gimana, oppa?. Oppa. Oppa. Op-op-op-op. Oppa. 

Kata oppa itu membuat kupingku geli-geli suka. Rasanya seperti sedang menikmati tetesan air dingin yang menggelinding jatuh di tenggorokan saat kemarau datang. Segarnya.

"CHANYEOL OPPA?," tanyanya lagi, sambil mengguncang-guncang badanku. Membuyarkan lamunan indahku.

"Oh.... Oh... OH IYA! MAIN, YA? Hm, main apa ya? Terserah deh."

"Aku yang nentuin, ya? Gimana kalau kita naik................"

"...............BERANI NAIK VIKING, GAK?," potongku. Aku bahkan baru sadar kalau aku telah memotong ucapannya.

"Hah? Oh, baiklah. Berani kok! AYO!!," jawabnya antusias dan penuh percaya diri. Rasa percaya dirinya yang membuncah itu mungkin terakumulasi di tangan kanannya, dan membuat pukulan yang mengenai punggungku ini terasa sakit sekali. Gigiku rasanya hampir mau lepas karenanya.

 

XXXXX

Setelah menyusuri taman bermain, kamipun dihadapkan dengan sesosok Viking berwarna merah kecoklatan. Wahana berbentuk perahu bajak laut itu berayun-ayun dengan amat kencang. Membuat 'nahkoda-nahkoda'nya menjerit karena takut.

 

Tunggu.

 

Haruskah aku menaiki ini?

 

Apakah ini karma karena telah memotong ucapannya tadi?

 

Haruskah aku kembali ke rumah dan memohon ampun pada ayahku?

 

Haruskah aku berlutut agar diantarkan pulang?

 

Haruskah?

 

"PARK CHANYEOOOL!," ucap sebuah jeritan yang menendang gendang telingaku. Aku hampir melonjak kaget dibuatnya.

".....sudah selesai tuh. Ayo naik!," lanjut Jinri. Lalu menggandeng tangan kananku dengan paksa dan menyeretku masuk dalam perahu setan ini. Mulutku, harimaku. Sial.

 

Hormon adrenalinku melambung naik. Detak jantungku mulai tak menentu. Butiran-butiran peluh mulai membasahi dahi. Tanganku menangis hebat sampai mereka tak kuat lagi untuk menggenggam. Kepalaku mulai naik turun, wi, wi, arae mengikutin arah gerak perahu setan ini. Kupandangi Jinri di sebelah kananku. Dan aku menghela nafas dengan hebatnya.

Dia tersenyum puas.

 

Menjerit dengan rasa gembira.

 

Di atas penderitaanku.

 

"YAHOOOOO! HAHAHAHA," serunya.

 

Maafkan aku, Tuhan.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet