Worth

Description

Short Fanfiction by : Lovein 

 

 

 

For someone, that i've waiting for.

Foreword

Aku duduk termenung di bangku dekat gerbang sekolahku, rintik-rintik hujan masih betah menggelayuti awan kelabu sore itu. Udara dingin menghembus diantara bulu romanku, menghantarkan rasa dingin diantara pori-pori ini. Sesekali aku menyesapi Vanilla Latte yang sedaritadi bersarang dalam genggaman. Angin musim hujan dengan mudahnya berhembus riang, dengan dua gulungan pekat menyatu, bertabrakan dengan gumul-gumul kelabu bak untaian asap, kemudian perlahan di hadapanku rintik-rintik hujan jatuh dengan lebih deras.

Hari sudah semakin sore, saat seluruh warga sekolah satu-persatu bergegas pulang seusai menyelesaikan urusan ekstrakulikuler mereka. Tiba-tiba seseorang menarik perhatian manik kokoaku yang sedari tadi hanya memandangi jalanan kosong dan basah terkena guyuran hujan. Lelaki itu. Lelaki yang sekarang sedang duduk di sebelahku. Kim Hanbin namanya.

Hanbin nampak gelisah, biasanya ia pulang tepat waktu dan aku tak tahu gerangan apa yang membuatnya belum pulang saat matahari sudah akan menyingsing seperti ini.

“Belum pulang ?” ucapnya tiba-tiba, yang sontak membuatku kaget bukan kepalang.

“Belum, saya masih menunggu” jawabku dengan canggung.

Hanbin hanya tersenyum, lalu ia kembali memandangi jalanan. Hening menyelimuti kami. “Kamu  sendiri belum pulang, kenapa?” ucapku tiba-tiba memecah keheningan, sebenarnya akupun enggan bertanya kepada Hanbin.

“Aku masih nunggu jemputan,” jawabnya enteng.

Aku tak menanggapi pernyataannya. Tak ada satupun yang mulai berbicara, hanya ada bunyi rintik hujan dan suara beberapa kendaraan yang lewat di depan sekolah kami. Satu jam, dua jam, aku masih menunggu hujan reda, tapi tampaknya harapanku akan sia-sia. Aku menengok ke sebelah, Hanbin masih di sampingku. Sibuk mengutak-atik telepon pintarnya. Aku hanya tersenyum kecil memandanginya, surai hitam miliknya sedikit basah akibat tetesan air hujan.

Kok belum pulang sih? Udah sore lo, hujannya juga gak deres-deres banget tu!” ucapnya dengan kesal, mungkin ia merasa tidak nyaman, karena aku memandanginya terlalu lama.

“Sebentar lagi,” ucapku sambil mengalihkan pandanganku darinya.

Hanbin mendengus kesal. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, aku takut membuatnya tambah tak nyaman. Matahari mulai tertarik ke arah barat, bagai ada magnet yang menarik bola raksasa itu, atau mungkin pegas yang membuatnya berputar perlahan.

Aku mendengar Hanbin mengambil napas panjang lalu menguraikan gas Karbondioksida itu dengan berat, aku memandangnya lagi. Kim Hanbin,  teman seangkatanku yang aku kagumi sejak aku pertama kali menjejakkan kaki di sekolah menengah atas. Sebetulnya tidak ada yang spesial dari Kim Hanbin, hanya saja ia berhasil mencuri perhatianku dengan senyum lebarnya di hari pertama masa orientasi.

“Hanbin,” ujarku sambil memandang ke dalam gelas plastik Vanilla Latte ku yang tinggal separo “Hanbin, apakah kamu percaya dengan penantian?” lanjutku.

Ia menatapku dengan pandangan bingung “Kamu ngomong apasih?” tanyanya.

“Tidak. Bukan apa-apa, saya cuma penasaran,” jawabku “kalau kamu, disuruh menunggu seseorang dan itu memakan waktu yang lama, apa kamu mau?” sambungku.

Ia tampak bingung, ia tak bergeming. Alih-alih menjawab dia malah memberikan pandangan kesal kepadaku.

“Ya, jika dia emang pantas untuk di tunggu,” jawabnya kemudian.

Aku terdian untuk beberapa saat, jawaban Hanbin sudah berada di dalam ekspektasiku, aku benar atas penilaianku selama ini.

 “Kita itu punya pilihan,” ucap Hanbin secara tiba-tiba, “Kita selalu mempunyai pilihan. Kebohongan besar kalo ada orang bilang dia nggak punya pilihan, itu bukannya dia nggak punya pilihan tapi dia nggak mau mikirin pilihan lain itu sendiri.”

“Maksudnya?”

“Ya... maksudnya, kalo kamu mau nunggu atau nggak nunggu seseorang itu pilihan. Pilihan kamu sendiri. Kamu tentu punya pilihan dong, pikirin dia itu layak nggak buat di tunggu, buat di harapin, dan yang terpenting pantas gak dia buat di ‘pilih’ ”

Aku tersenyum. Dia memang Kim Hanbin yang aku kenal, Kim Hanbin yang lebih mengutamakan logika ketimbang hatinya.

“Semua itu pantas untuk ditunggu,” jawabku. Manik mata kami bersirobok, aku dapat melihat warna manik matanya sekarang. Coklat. Coklat pekat.

“Terkadang kita juga menunggu hal-hal yang tidak pantas untuk ditunggu, tapi kita tetap menunggu. Kamu tahu kenapa?”

“Kenapa? Kenapa ada orang bodoh kayak gitu maksud kamu?”

Aku tersenyum, “Mereka ada, karena mereka menyadari semua pantas untuk ditunggu”

“Iya mangkannya aku bilang mereka ‘bodoh’ ”  jawabnya ketus.

“Orang-orang bodoh yang mau menunggu untuk orang-orang yang tidak pantas untuk ditunggu, orang-orang bodoh yang hanya mengikuti hati daripada logika, begitu maksudmu ?”

“Ya mau gimana lagi sih kamu.”

Aku tersenyum lagi “Dan misal ada orang yang mau menunggu kamu, kamu masih berpikiran kalau kamu itu tidak layak?” tanyaku.

Ia termenung, dalam waktu yang cukup lama. “Ya buktinya kalo ada yang mau nunggu berarti ya layak dong!”

Aku tersenyum puas “Berarti secara tidak langsung kamu bilang kalau, semua yang ditunggu itu layak untuk ditunggu bukan? Tidak ada layak maupun tak layak, semuanya sama. Faktanya semua yang ditunggu itu punya sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.”

Iyadeh, kamu menang sekarang,” jawabnya.

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum, lalu terkikik pelan.

“Kamu kok belum pulang sih?” tanyanya lagi.

“Sebentar lagi,”

Ketika kami sudah benar-benar berada dalam geming. Matahari  sudah mulai di tarik ke arah barat. Kemudian semburat ke-emasan yang di pantulkan bola besar itu mulai kentara.  Aku belum berani menatap Kim Hanbin lagi. Dari arah selatan, sebuah mobil Sedan hitam mengampiri kami, Hanbin mendongak. Bola matanya terlihat begitu bening dan indah. Dan lagi-lagi aku tersenyum.

“Aku duluan ya, kamu belum mau pulang?”

Aku menggeleng, lalu menyesap Vanilla Latte ku untuk yang terakhir kalinya lalu segera beranjak.

“Ini saya sudah mau pulang sekarang,” jawabku.

Hanbin memandangku dengan pandangan menyelidik, kedua alisnya nyaris bersatu ketika ia berpikir, sepertinya ia mulai menyadari sesuatu. Lalu ia tersenyum. Kemudian menggelengkan kepalanya.

“Makasih ya udah mau nungguin aku,” ia menggaruk belakang lehernya, lalu mengelus poniku pelan. "Aku duluan," ucapnya sembari tersenyum.

Aku hanya mengangguk, lalu membalas senyumnya. Sebelum aku benar-benar melangkah pulang.

 

[ Iya, aku memang menunggumu, bahkam lama sebelum kau menyadarinya. Waktu bukan penghalang bagiku karena senyummu dan semua darimu memang pantas untuk ditunggu—atau bahkan diperjuangkan.]

***

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet