chapter iii

To That Sunflower Garden

NAM WOOHYUN

"Apa kita sudah sampai?" bisik Sunggyu.

 

Woohyun menghela nafas. Ini sudah yang kelima kalinya Sunggyu bertanya dalam waktu kurang dari satu jam. Mereka berdua duduk bersisian di gerobak yang sempit, dengan selimut menutupi hingga ke leher. Gerobak sedang berjalan, dan mereka akhirnya memutuskan bahwa cukup aman bagi mereka untuk tidak menutupkan selimut hingga ke kepala, selain itu rasanya terlalu pengap.

 

"Sebentar lagi kita sampai 'kan?" desak Sunggyu.

 

Woohyun mengerutkan kening. "Sunggyu, apa kau tahu seberapa jauh jarak dari distrik kita ke Distrik Trost?"

 

Sunggyu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah berpergian keluar dari distrik kita," sahutnya polos.

 

"Aku juga tidak pernah. Tapi yang aku tahu jarak dari Dinding Sina ke Dinding Rose kurang lebih 130 kilometer. Dengan kecepatan seperti ini, aku rasa akan memakan waktu enam hingga tujuh jam untuk sampai di Dinding Rose. Tetapi Distrik Trost terletak di selatan, sementara Distrik Yarckel tempat kita tinggal ada di barat, jadi akan memakan waktu yang lebih lama karena harus sedikit memutar. Menurut tebakanku kita akan sampai menjelang fajar," terang Woohyun.

 

Lebih dari seratus tahun yang lalu, tiga dinding tinggi dibangun melingkar mengelilingi wilayah yang dihuni manusia. Masing-masing dinding memiliki ketinggian lima puluh meter dengan jarak antar dinding lebih dari seratus kilometer. Dinding terluar adalah Dinding Maria yang memiliki radius sekitar 480 km, kemudian Dinding Rose dengan radius 380 km dan lingkar terakhir adalah Dinding Sina yang beradius 250km. Wilayah di dalam Dinding Sina disebut dengan Capital, dan ditengah-tengahnya terdapat sebuah istana tempat keluarga kerajaan tinggal. Penduduk-penduduk lain tinggal di desa-desa yang ada di antara dua dinding, atau di distrik-distrik yang dibangun di empat sudut mata angin di setiap dinding. Distrik Yarckel tempat Woohyun dan Sunggyu tinggal terletak di barat Dinding Sina, sementara Distrik Trost tujuan mereka berada di selatan Dinding Rose. Jadi perjalanan mereka memang cukup jauh.

 

Lalu mereka juga masih harus melanjutkan perjalanan keluar Dinding Rose, karena kebun bunga matahari yang menjadi tujuan akhir mereka berada di suatu tempat di antara Dinding Rose dan Dinding Maria.

 

"Fajar? Lama sekali," gumam Sunggyu pelan. "Aku kira kita sudah akan bisa kembali sebelum makan malam besok. Sepertinya tidak bisa ya..."

 

Woohyun mendengus. "Jika beruntung, tidak sampai dua hari kita sudah bisa pulang kembali."

 

Sunggyu memanyunkan mulutnya. "Yah, semoga saja. Aku khawatir Dongwoo tidak bisa berbohong lama-lama."

 

Woohyun mengernyitkan alisnya. Ini kedua kalinya Sunggyu menyebut nama Dongwoo, dan sampai sekarang Woohyun tidak tahu siapa Dongwoo.

 

"Ngomong-ngomong, Tuan Muda Nam pintar sekali, ya. Pasti karena buku-buku yang selalu Tuan Muda baca itu."

 

Woohyun sedikit tersipu karena dipuji oleh Sunggyu. "Kau juga sekali-sekali perlu membaca. Ada banyak pengetahuan baru yang bisa kau dapatkan," sarannya. Ketika Sunggyu tidak juga membalas ucapannya, Woohyun menoleh. Dilihatnya wajah Sunggyu sedikit suram. "Kenapa?" tanya Woohyun.

 

"Aku tidak lancar membaca," kata Sunggyu pelan. "Ayah dan Ibu tidak punya cukup uang untuk menyekolahkanku. Selain itu karena sibuk bekerja mereka hanya sempat mengajariku dasar-dasarnya saja. Ah, tapi tidak apa-apa… Aku tidak perlu pandai membaca kalau hanya untuk merawat tanaman saja," ujar Sunggyu sambil meringis.

 

Woohyun tertegun. Mengetahui bahwa Sunggyu tidak bersekolah membuatnya terkejut, tapi ada juga sedikit perasaan bersyukur, menyadari bahwa dirinya cukup beruntung untuk mendapatkan pendidikan. Timbul juga perasaan iba. "Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu," kata Woohyun.

 

Sunggyu mengangkat wajahnya. "Benarkah? Tuan Muda Nam mau mengajariku?" tanyanya penuh semangat, namun hanya sekejap karena kemudian dia tampak ragu. "Tapi... aku tidak punya apa-apa untuk ditukar sebagai bayarannya."

 

"Tidak perlu," dengus Woohyun, "anggap saja sebagai rasa terima kasihku karena kau sudah menemaniku pergi mencari bunga matahari. Setelah kita kembali nanti, aku akan mengajarimu setiap sore."

 

Lagi-lagi Sunggyu memanyunkan mulutnya. "Tapi… tidak enak rasanya kalau aku tidak punya sesuatu yang bisa ditawarkan sebagai gantinya pada Tuan Muda." Tiba-tiba Sunggyu menepuk tangannya. "Ah, aku tahu. Aku akan mengajak Tuan Muda Nam ke sungai. Bagaimana? Di sana sangat asyik sekali, kita bisa bermain-main. Di sana juga akan ada Sungjong, Dongwoo dan Myungsoo, mereka semua teman-temanku."

 

Dengan bantuan cahaya bulan yang masuk melalui sela-sela terpal, Woohyun memperhatikan bagaimana mata Sunggyu berbinar-binar dan seulas senyum tersungging di bibir Sunggyu ketika Sunggyu bercerita tentang teman-temannya dan apa yang biasa mereka lakukan bersama-sama. Woohyun tidak memiliki teman sama sekali, selama ini hidupnya selalu dihabiskan di dalam rumah, tak pernah keluar selangkah pun. Dia bahkan tidak tahu apakah dia bisa pergi ke sungai yang diceritakan Sunggyu. Ah, tapi mungkin setelah pulang dengan membawa bunga matahari dia akan diizinkan pergi bermain? Dia juga ingin memiliki teman. Woohyun berharap sangat banyak dari perjalanan ini.

 

Tanpa sadar Woohyun bergumam. "Senangnya punya teman."

 

Sunggyu terdiam, rupanya dia mendengar kata-kata Woohyun. Dia menatap Woohyun lamat-lamat, tampak berpikir sebelum kemudian membuka mulutnya. "Kalau Tuan Muda Nam mau, aku bisa jadi teman Tuan Muda…"

 

Woohyun tertegun. Tak pernah ada yang berkata seperti itu padanya sebelumnya. Kata-kata Sunggyu membuat dadanya terasa hangat, dan dia menyukai perasaan itu. Perlahan Woohyun mengangkat sudut-sudut bibirnya. "Kalau begitu... kau teman pertamaku," katanya.

 

Sunggyu juga ikut tersenyum. "Teman," katanya sambil mengulurkan tangannya.

 

Woohyun menyambut tangan itu.

 

"Teman."

 


 


Woohyun dan Sunggyu mengobrol tentang berbagai hal sepanjang perjalanan, atau lebih tepatnya Sunggyu yang banyak bercerita, tentang teman-temannya, tentang tanaman-tanaman yang pernah dirawatnya, dan hal-hal lain yang bisa dilihat di distrik mereka. Woohyun lebih banyak mendengarkan, karena tidak ada yang bisa dia ceritakan, hari-harinya hanya diisi dengan belajar dan membaca saja, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Selain itu Sunggyu juga tampak lucu ketika bercerita, jadi Woohyun tidak keberatan. Bibir Sunggyu selalu sedikit dimanyunkan dan walau mereka berbicara sambil berbisik-bisik, Woohyun bisa mendengar bahwa Sunggyu sedikit cadel dalam pengucapan huruf s. Hingga akhirnya mereka kelelahan dan tanpa sadar mereka pun jatuh tertidur. Kepala mereka saling bersandar satu sama lain. Mereka tidur begitu lelap dan tidak menyadari bahwa gerobak mereka sudah berhenti. Mereka juga tidak mendengar ketika ada seseorang membuka terpal belakang dan berseru terkejut ketika melihat ada dua orang anak kecil di sana. Orang itu mengguncang pelan pundak mereka, mencoba membangunkan mereka.

 

Woohyun menggeliat, tubuhnya terasa kaku. Dia biasa tidur di kasur yang nyaman dan empuk, tapi semalam dia terpaksa tidur dalam posisi duduk dan hanya bersandar pada dinding gerobak yang terbuat dari kayu keras. Posisinya sungguh tidak nyaman kalau saja Sunggyu tidak ada di sampingnya, Sunggyu agak sedikit chubby, sehingga enak buat dijadikan tempat bersandar. Setelah mengucek mata karena silau dengan cahaya pagi yang berasal dari luar, akhirnya Woohyun menyadari bahwa terpal bagian belakang gerobak telah disingkapkan dan ada seseorang berdiri di sana.

 

"Kalian siapa?" tanya orang itu.

 

"Uhm…" Woohyun tidak tahu harus menjawab apa. Gawat, kita ketahuan, pikirnya cemas. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika mereka ditendang keluar dari gerobak? Lalu mereka harus melanjutkan sisa perjalanan ke Distrik Trost dengan berjalan kaki. Seberapa jauh mereka dari Distrik Trost?

 

Disebelahnya, Sunggyu akhirnya terbangun juga. Sunggyu terkesiap, sebelum menyapa orang asing itu dengan riang. "Oh, kak Sungyeol!"

 

Yang disebut Sungyeol menatap Sunggyu dengan kening berkerut, tapi hanya selama sedetik. "Oh, kamu… Sung… Sunggyu 'kan? Temannya Sungjong?"

 

Sunggyu menggangguk membenarkan.

 

"Aku tidak mengenalimu dengan jelas karena agak gelap di dalam gerobak," lanjut Sungyeol. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"

 

"Oh, semalam aku bersembunyi di sini, awalnya ingin mengejutkan Sungjong… Tapi sepertinya aku jatuh tertidur ya?" kata Sunggyu dengan suara lebih pelan, seolah-olah malu karena tertangkap melakukan kesalahan.

 

Woohyun menatap Sunggyu dengan heran. Lihat, betapa mudahnya Sunggyu mengarang cerita.

 

Sungyeol menghembuskan nafas dalam-dalam, tampak sedikit risau. Kemudian tiba-tiba muncul seseorang yang tampak lebih tua di sampingnya. "Ada apa? Kenapa lama sekali? Aku menyuruhmu menurunkan barang dari tadi."

 

"Oh, Ayah," sapa Sungyeol. "Lihat, ada teman Sungjong yang terikut dalam gerobak."

 

Ayah Sungyeol akhirnya menyadari keberadaan Woohyun dan Sunggyu dalam gerobak. Air mukanya segera saja berubah penuh kekhawatiran. "Aduh, bagaimana ini? Mereka seharusnya tidak di sini."

 

"Ayah, begini saja, kita semua masuk untuk sarapan saja terlebih dulu, setelah itu aku akan langsung mengantar mereka pulang lagi. Ayah tidak apa-apa 'kan kutinggal di sini dulu sendiri selama sehari? Setelah itu aku akan kembali lagi ke sini untuk menemani nenek bersama ayah," Sungyeol memberi usul.

 

"Terserah kamu saja, begitu juga baik," kata Ayah Sungyeol. "Kita sarapan dulu saja, kuda-kuda ini juga butuh istirahat." Setelah itu dia berbalik pergi.

 

Sungyeol kemudian berkata pada Woohyun dan Sunggyu. "Ayo, kalian turun dulu. Setelah sarapan aku akan segera mengantar kalian pulang agar orang tua kalian tidak khawatir."

 

Woohyun dan Sunggyu pun menurut, bergantian mereka memanjat turun dari gerobak. Woohyun hampir saja terjatuh karena kakinya terasa kaku, tapi untunglah dengan sigap Sungyeol menangkap lengannya.

 

"Kamu… uh, siapa namamu? Aku tidak ingat wajahmu," tanya Sungyeol sambil mengamati wajah Woohyun lekat-lekat.

 

"Oh, dia Tuan Mu--"

 

Tapi Woohyun segera memotong ucapan Sunggyu. "Woohyun, namaku Woohyun. Aku jarang ikut bermain, tapi aku temannya Sunggyu."

 

"Oh… Yah, temannya Sunggyu ya temannya Sungjong juga," kata Sungyeol sambil tertawa. Dia kemudian menurunkan beberapa barang dari gerobak dan menyuruh mereka mengikutinya masuk ke sebuah pondok di dekat mereka.

 

"Selama di sini, panggil aku Woohyun saja, jangan Tuan Muda Nam!" Woohyun berbisik pada Sunggyu.

 

"Kenapa?" tanya Sunggyu heran.

 

"Karena aku bilang begitu," kata Woohyun.

 

Sunggyu mengendikkan bahunya, tapi dia tidak membantah. Mereka kemudian melangkah bersama-sama masuk ke pondok.

 

Untunglah kekhawatiran Woohyun tidak terjadi. Rupanya mereka telah tiba di rumah nenek Sungyeol di Distrik Trost. Sungyeol dan ayahnya juga sangat baik, dirinya dan Sunggyu diberi sarapan yang enak. Hanya saja mereka tidak boleh terlalu ribut karena akan mengganggu nenek yang sedang sakit dan beristirahat di kamar. Setelah selesai sarapan, Sunggyu membantu Sungyeol membereskan meja makan.

 

"Kak, perlu aku ambilkan air? Sumur ada di belakang, 'kan?" tanya Sunggyu sambil membawakan piring-piring kotor.

 

"Aih aih… Sunggyu, kamu rajin sekali. Tidak seperti Sungjong yang pemalas. Dia perlu disuruh sampai berkali-kali baru mau mengerjakan yang kuminta," puji Sungyeol. "Ya, sumur ada di belakang, kamu bisa lewat pintu samping. Hati-hati jangan sampai bajumu basah, ya."

 

"Baik, kak," kata Sunggyu sambil tersenyum manis. Kemudian dia meraih tangan Woohyun yang masih duduk di meja. "Ayo, bantu aku mengambil air."

 

Woohyun mengernyitkan alisnya, dia tidak mau mengambil air. Itu terdengar seperti pekerjaan yang berat. Tapi Sunggyu melotot padanya dan menarik tangan Woohyun lebih kencang, sehingga mau tidak mau akhirnya Woohyun turun dari kursinya. Sunggyu menoleh pada Sungyeol yang masih sibuk di dapur sebelum menyambar tas Woohyun. Mereka keluar lewat pintu samping dan berjalan ke belakang. Tapi alih-alih berhenti di sumur, Sunggyu terus saja berjalan hingga ke gerbang belakang.

 

"He-hei… Sunggyu, sumurnya sudah terlewat 'kan?" panggil Woohyun. Tangannya masih digenggam oleh Sunggyu.

 

Sunggyu menoleh dan tersenyum. "Bodoh, siapa yang mau mengambil air. Kita 'kan mau mencari bunga matahari." Dia menuntun Woohyun untuk menyelinap keluar halaman rumah nenek Sungyeol sebelum berlari kencang.

 

"Hahaha, Woohyun bodoh, kau benar-benar mengira kita akan mengambil air?" Sunggyu tertawa disela-sela berlari. "Kalau kita tidak segera menyelinap keluar kita akan diantar pulang oleh Kak Sungyeol sebelum kita bisa mengambil bunga matahari. Kau tidak mau itu, 'kan? Kita sudah jauh-jauh pergi ke sini, kita harus berhasil."

 

Woohyun terkesima, Sunggyu benar-benar pintar. Sunggyu memang tidak pandai membaca dan tidak mengenyam pendidikan, tapi dia cerdas dan punya banyak akal. Dan… ternyata juga pandai berbohong. Tapi tiba-tiba Woohyun menyadari sesuatu. "H-hei.. Kau tadi memanggilku bodoh, ya? Bahkan sampai dua kali? Kau kira siapa dirimu? Kau kira dengan tidak memanggilku dengan sebutan Tuan Muda lagi lalu kau bisa memanggilku dengan berbagai sebutan sesukamu?"

 

Sunggyu memekik tertawa dan berlari lebih kencang lagi, meninggalkan Woohyun.

 

"Y-yah, kembali kesini!" teriak Woohyun sambil mengejar Sunggyu.

 

"Tidak mau, kau pasti mau memukulku 'kan?" pekik Sunggyu.

 

Woohyun berlari mengejar Sunggyu. Mereka berlari di sela-sela rumah, menghindari orang-orang, sebelumnya akhirnya Sunggyu tersandung dan hilang keseimbangan. Woohyun yang tepat ada di belakang Sunggyu tidak sempat menghentikan larinya dan menabrak Sunggyu, membuat mereka berdua jatuh berguling-guling. Mereka berhenti dengan posisi Woohyun ada di atas tubuh Sunggyu. Woohyun memanfaatkan kesempatan itu untuk memerangkap tubuh Sunggyu dan menahan pundaknya.

 

"Sekarang kau tidak bisa kabur lagi," kata Woohyun dengan nafas tersengal-sengal.

 

"Jangan pukul, jangan pukul," jerit Sunggyu sambil tertawa-tawa.

 

"Baiklah, kau tidak akan kupukul, tapi kau tetap harus dihukum," gertak Woohyun main-main, sebelum menggelitik Sunggyu di berbagai tempat. Sunggyu memekik-mekik, menggeliat berusaha menghindari tangan Woohyun. Tapi walaupun Woohyun bertubuh lebih kecil dan lebih lemah dari Sunggyu, posisinya memberi keuntungan lebih. Sunggyu tidak tahan dan mulai membalas serangan Woohyun. Mereka berdua terus saja saling gelitik sampai kehabisan nafas.

 

Woohyun akhirnya menyerah dan berguling ke samping. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya, membuatnya terpaksa menyipitkan mata. "Sudah ah, capek…," keluhnya, tapi senyuman masih tampak jelas di bibirnya. Dia melirik ke samping, Sunggyu tidak mampu membalas ucapannya karena sibuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

 

Rasanya seumur hidupnya Woohyun tidak pernah berlari sekencang dan selama tadi, juga tertawa selepas tadi. Kepalanya terasa agak sedikit berputar karena kekurangan oksigen. Tapi walau lelah, Woohyun merasa sangat gembira. Ini pertama kalinya dia bermain dan bercanda-canda seperti ini. Betapa senangnya memiliki teman.
 

 

 


Setelah nafas mereka kembali normal, Sunggyu akhirnya berdiri. Dia mengulurkan tangan, menarik Woohyun berdiri juga. "Ayo, kita cari bunga matahari itu sekarang dan setelah itu kak Sungyeol dapat mengantar kita pulang."

 

Tidak susah mencari gerbang distrik, mereka hanya perlu menuju jalan utama yang ada di distrik dan kemudian berjalan lurus ke gerbang. Sebuah perisai segi lima besar terpasang tinggi di dinding atasnya, siluet tampak samping wajah seorang wanita yang memakai mahkota terpahat di sana, dengan tulisan Dinding Rose di bagian atas.

 

"Uh, wanita yang di perisai itu tampak berbeda dengan yang ada di distrik kita," tunjuk Sunggyu.

 

"Itu Rose, pelindung dinding lingkar kedua. Berbeda dengan Sina yang rambutnya digelung ke atas, Rose memakai tudung kepala. Sementara, Maria memliki rambut pendek. Kalau kau perhatikan baik-baik mahkota mereka bertiga juga berbeda," sahut Woohyun. Dia tahu semua itu dari buku, tentu saja.

 

"Aku baru tahu," gumam Sunggyu, matanya tak lepas-lepas memandang perisai Dinding Rose.

 

Mereka terus melangkah tapi sebelum mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup, seseorang menghentikan mereka. Berdasarkan pakaian yang dipakai orang itu, jaket pendek berwarna coklat muda, celana putih dan sepatu boot selutut berwarna coklat tua, tampak jelas bahwa dia adalah seorang prajurit. Badge yang terpasang di kedua pundak dan dada kirinya, serta di punggungnya, berbentuk perisai dengan dua bunga mawar merah, menunjukkan bahwa dia adalah penjaga gerbang.

 

"Anak kecil, mau ke mana?" tegurnya.

 

Sunggyu menjawab pertanyaannya, mengatakan bahwa mereka ingin keluar sebentar.

 

Prajurit itu mengernyitkan alisnya. "Kalian… tidak berasal dari sini ya? Gerbang ini sudah lama ditutup, tidak boleh ada yang lewat."

 

"Hanya sebentar saja," pinta Sunggyu. "Kami akan segera kembali."

 

"Tidak bisa. Sana pergi, di luar sangat berbahaya." Prajurit itu lalu mengusir mereka.

 

"Aku masih tidak mengerti, mengapa ada larangan keluar," gumam Sunggyu. Mereka saat itu duduk di balik dinding sebuah rumah, tidak terlalu jauh dari gerbang. "Di Yarckel kita bisa dengan bebas keluar-masuk. Tapi di sini, lihat, penjagaannya ketat dan gerbangnya juga diturunkan, kita tidak akan mungkin bisa menyusup keluar."

 

"Ya, setahuku juga hanya gerbang keluar Dinding Maria yang tidak boleh dilalui, sementara gerbang-gerbang lainnya bebas," sahut Woohyun, dia ingat pernah membaca hal itu buku sejarahnya. Kemudian tiba-tiba terlintas sebuah pikiran. "Sunggyu, jangan-jangan… Gerbang Rose sekarang terlarang karena alasan yang sama dengan Gerbang Maria? Prajurit tadi juga bilang di luar sangat berbahaya 'kan?" tanyanya ragu.

 

Sunggyu menatap Woohyun, menyipitkan matanya, berpikir. Kemudian dia tergelak. "Eyy… jangan bilang kau percaya pada hal itu? Woohyun bodoh, bukankah hal itu hanya dongeng pengantar tidur? Memangnya kau masih berumur lima tahun, percaya pada hal itu?"

 

"Itu bukan dongeng," sergah Woohyun. "Aku membacanya di buku sejarah, dan buku sejarah itu berdasarkan fakta, bukan dongeng. Lagipula, kau kira untuk alasan apa dinding-dinding ini dibangun jika bukan karena hal itu?"

 

Sunggyu menggigit-gigit bibir bawahnya. "Entahlah…," katanya dengan nada bingung. "Bukankah tidak pernah ada orang yang melihat mereka? Selain itu, lihat, dinding-dinding ini begitu kokoh dan sangat tebal, mereka tidak akan bisa masuk. Tidak mungkin mereka bisa menerobos Dinding Maria."

 

Woohyun meneguk ludah. Memang, dinding-dinding ini sangat kokoh dan sudah menjadi pelindung selama berpuluh-puluh tahun. Tebakannya mungkin memang sangat bodoh.

 

Suara gaduh menarik perhatian Woohyun. Sebuah kereta kuda berhenti di ujung jalan tempat mereka bersembunyi, diikuti kereta-kereta dan gerobak-gerobak lain, juga kuda-kuda yang meringkik. Beberapa orang prajurit berseru-seru, semua tampak sibuk. "Cepat, semua harus sudah segera siap. Begitu matahari terbenam kita akan segera berangkat. Periksa lagi yang bagian sana," teriak seseorang memberi komando. Berbeda dengan prajurit penjaga gerbang, para prajurit yang baru datang ini memakai lencana berbentuk dua sayap bersilangan, satu berwarna putih dan pasangannya berwarna biru gelap.

 

Woohyun beradu pandang dengan Sunggyu. Mata Sunggyu berkilat, bibirnya menyeringai. Kali ini Woohyun tahu apa yang ada di pikiran Sunggyu. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, sekarang dia bisa menebak apa rencana temannya itu.

 

Sunggyu meloncat berdiri. "Mau jalan-jalan keliling distrik dulu? Kita punya banyak waktu sampai nanti sore."

 

Woohyun tersenyum dan ikut meloncat berdiri. "Ayo!"

 

Kekhawatirannya yang tadi segera terlupakan.

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
diniazakee #1
Chapter 11: Amazing, author!
Ceritanya menarik dan menyentuh. Aku harap bisa menemukan ff Infinite/Woogyu sebagus ini, atau mungkin lebih.
Terima kasih, author atas ceritanya(ff). Semoga dikemudian hari aku bisa baca cerita/ff darimu.
Love love author ♡♡♡
keyhobbs
#2
Chapter 10: ahh.....woohyun meninggal,mana gk d lakukan upacara kematian lg,kasian....btw,nyonya nam jahat bnget, bahkan sampe d akhir hayatnya woohyun dia tetep gk mau ngakuin woohyun, kayaknya ini orang gk punya hati bnget-_- eh eh , awalnya kukira hoya itu udh dewasa lho..ternyata cuma beda beberapa tahun sma sunggyu hehe...
Alvin_19 #3
Chapter 10: Akhirnya q paham dan menangis.,,, cerita yang bener² bagus. Maksih buat author,,, cerita anda sungguh mengangumkan
Alvin_19 #4
Chapter 4: Ahh,,,, belum paham maksud ceritanya. *plakk (msih blum slesai udah kburu komen)
Maaf y,, Lanjut baca terus!!! ^_^
nwh311 #5
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
nwh311 #6
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
garichan #7
Chapter 10: tapi jalan ceritanya beda, tadinya sempet males baca soalnya mirip anime attack on titan. Tapi karna jalan ceritanya beda, jadi mau baca sampe abis apa lg menyangkut bunga matahari. Keren banget ff'nya. Dan kapan season 2nya??? Ditunggu thor!!!
garichan #8
Chapter 4: udah saya kira ini mirip shingeki no kyojin bukan mirip lg tapi sama dari tempat, nama dinding, dan seragam situasi juga. Apa lg ada titan
inspiritly_beauty
#9
Chapter 11: Udah tamat aja >.<
Awalnya aku aneh kok ga pernah ada updat lagi, ternyata aku ga subscribe. Mian... ;_;
Sad ending... kenapa Ny. Nam gamau terima bunga dari Woohyun? Tega banget.
Senang pas tau kamu ada rencana bikin Season 2. Semoga nanti ada karakter pengganti Woohyun >.< Atau ada anak lain yang punya nama sama kaya Woohyun. Soalnya sunggyu tanpa woohyun itu kurang afdol. lol
lovedio #10
Chapter 10: gilakk.. ini pengobrak abrik hati sayaaa T.T