Final

The Doorbell Ring

 

Aku masih di sini, di tempat dengan aroma yang sama setiap harinya. Biar aku jelaskan sedikit tentang tempat yang menelan banyak waktu senggangku, desain minimalis dengan furniture yang hampir semuanya terbuat dari kayu. Tempat yang nyaman untuk kabur dari kepenatan sehari-hari.

Terdengar dentingan bel dari pintu masuk, beberapa pegawai café  langsung bersiap di tempat mereka masing-masing. Biar kutebak, pasti ada pelanggan. Dengan sapaan yang khas dari para pegawai itu, pelanggan tersebut berjalan ke salah satu meja.

Gerakan yang ia buat seperti mengikat mataku, entah kenapa. Tubuh tegapnya yang tinggi itu hanya mengenakan kaus coklat dan celana jeans yang membuatnya terlihat sederhana tapi enak dipandang. Rambut cokelatnya terlihat sedikit berantakan, tapi malah menambah kesan manly di wajahnya. Mata bulatnya terlihat indah. Manik matanya hitam separti malam, membuat siapa pun yang memandangnya akan merasa tenang. Jangan lupakan kupingnya yang sedikit lebar, seakan memberi sedikit kesan jenaka tanpa menghilangkan kesempurnaan di wajahnya. Astaga, dia tampan sekali. Sayup-sayup kudengar dia memesan americano. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Oh tidak, aku harus pulang sekarang.

Aku kembali lagi kesana, sudah 4 hari sejak kejadian itu tapi aku masih ingat dengan jelas orang itu. Haah~  Sebenarnya siapa dia? Ku langkahkan kakiku masuk ke dalam café itu, sepertinya aku datang disaat yang tidak tepat. Tempat ini sedang ramai, dan aku tidak suka keadaan ramai seperti ini. Kulihat masih ada 1 meja yang masih kosong di dekat jendela, tempat yang bagus sepertinya. Seorang pelayan yang lumayan aku kenal menghampiriku.

“Kyungsoo, aku mau Caramel macchiato & Chocolate Croissant.

“Waaah….tumben tidak pesan strawberry cheesecake & Latte, Eon?” tanya nya sambil mencatat pesananku. Sesering itu kah aku kesini? Sampai-sampai Kyungsoo hafal dengan pesananku.

“Sedang ingin coba menu yang lain,” jawabku singkat diiringi senyuman.

“Baiklah, tunggu sebentar ya,” katanya seraya pergi.

Bel di pintu masuk berdenting lagi, tapi aku tidak menghiraukan itu. Aku hanya terfokus melihat jalanan dan awan yang mulai mendung. Aku suka hujan. Walaupun awalnya hanya sekedar gerimis, tapi lama-kelamaan tetes air itu semakin banyak. Entah kenapa hujan selalu sukses membuat perasaanku yang sedang kalut menjadi tenang kembali. Suara gemericik air yang turun ke bumi seakan-akan menjadi alunan melodi yang mampu membuatku nyaman.

Sayup-sayup kudengar bel pintu masuk berdenting lagi, kali ini aku menoleh. Kulihat beberapa orang yang setengah basah kuyup datang kesini sekedar untuk berteduh. Tapi mataku tiba-tiba terfokus pada orang itu lagi.

Dia datang lagi.

Matanya menerawang ke seluruh ruangan. Dia pasti mencari tempat kosong. Benar saja, matanya berhenti saat melihat ada kursi yang masih kosong di tempatku. Tanpa basa-basi dia langsung menghampiri mejaku.

“Boleh duduk di sini?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Dia melambaikan tangan kepada pelayan dan memesan pesanan yang sama saat terakhir kali aku melihatnya. Tak lama terdengar bunyi mesin dan aroma kopi menyeruak ke seluruh penjuru ruangan, ini yang aku suka dari sini. Tepat ini punya citarasa yang autentik.

Kami saling diam satu sama lain. Dia sibuk dengan buku yang ia baca, sedangkan aku sibuk memperhatikan awan yang tak kunjung cerah.

“Sering kesini?” Dia berusaha memecah keheningan.

“Lumayan, kalau ada waktu kosong,” jawabku.

Dia hanya mengangguk tanda mengerti dengan jawabanku. Dan keadaan mulai hening lagi.

Awan sepertinya mulai berhenti menjatuhkan titik air, ia mulai cerah sedikit demi sedikit. Beberapa orang di tempat ini mulai keluar, ingin segera pulang ke rumah sepertinya.

“Yaaaaah….hujannya reda,” gumamku.

“Memangnya kenapa kalau hujannya reda?” tanyanya.

“Karena aku suka hujan,”

“Kau suka hujan?” lelaki itu menyeritkan alisnya. Aku hanya mengangguk. “Kenapa?”

“Ketika hujan turun, entah kenapa aku selalu merasa tenang. Hujan juga bisa membuatku mengingat masa laluku, itulah kenapa aku suka hujan,” jawabku.

“Kau berbeda sekali dengan noona-ku, dia malah tak suka hujan,” ujarnya sambil tersenyum.

“Jinjja? Aku kira semua orang suka hujan,” tanyaku bingung.

“Ckckck….kamu salah besar, noona-ku itu kalau sedang hujan harus tidur pakai penutup telinga. Kalau tidak, dia tak akan bisa tidur, dan kau tahu…. dia pasti mengganggu tidur orang lain. Andai saja noonaku suka hujan sepertimu.”

Refleks aku tertawa kecil dengan ocehan lelaki itu.

“Oh iya aku Chanyeol,” ucapnya sambil tersenyum.

“Baekhyun,” ucapku singkat.

Well, aku duluan ya, ada hal yang mesti diurus. See you next time Baek.”

Aku hanya mengangguk tersenyum. Dia mulai mendekati pintu dan berjalan keluar, sampai ia tak terlihat lagi dari pintu kaca transparan itu.

Tugas-tugas ini benar-benar ingin membunuhku. Otakku butuh istirahat se-ka-rang. Akhirnya kuputuskan untuk pergi café itu lagi. Entah kenapa saat di depan pintu café, aku merasa tidak ingin masuk kesana. Aku butuh suasana baru sepertinya. Taman jadi tujuanku sekarang, jaraknya sekitar 2 atau 3 blok dari tempat ini. Lumayan jauh, tapi tak apalah sekalian olahraga.

Kulihat ada beberapa anak sedang bermain di sana. Aku lebih memilih duduk di bangku panjang di bawah pohon yang rindang, berusaha mencari ketenangan di sana. Tak lama, aku mendengar suara petikan gitar dari balik pohon. Ada seorang laki-laki yang memunggungiku di sana, orang itu telihat seperti……..

 

“Chanyeol,” ucapku pelan.

Dia mengengok kebelakang, dia bisa mendengar suaraku ternyata.

“Baekhyun, sedang apa disini?” tanyanya.

“Hm~ aku… mencari udara segar, iya udara segar,” jawaban bodoh.

“Ooohh~” Chanyeol hanya ber –oh ria.

“Jadi, mau terus berdiri di sana?” tanyanya sedikit tertawa.

“Eh? Um….tidak hehe,” jawabku gugup.

“Ya sudah, sini,” dia melambaikan tangannya kepadaku.

Aku berjalan mendekatinya dengan ragu.

“Lama sekali, tenang saja aku tak akan menggigitmu kok,” ucapnya kemudian tertawa

“Hehehe,” aku hanya cengar cengir.

Bagus, aku pasti terlihat bodoh sekarang. Harusnya tadi aku tidak kesini. Sialnya, penyesalan selalu datang terakhir.

“Ya~, kenapa lesu?” tanya lelaki itu.

“Besok ujian,” ucapku makin lesu.

“Lalu?”

“Aku belum mengerti materinyaaaa~”

Dia terkekeh melihatku.

“Kenapa malah tertawaa~” ucapku cemberut.

“Materi ujiannya apa?” tanyanya lagi.

“Ini, memangnya kau bisa?” tanyaku sambil menyodorkan buku padanya.

Diluar dugaan, dia bisa bahkan lancar dengan materi itu. Dia menjelaskan materi itu kepadaku dan anehnya aku mengerti. Rasanya ingin kutarik kata-kataku tadi dan ku ubah menjadi ‘aku tidak menyesal sedikitpun datang  ke sini.’ Dia benar-benar membantuku hari ini.

Hari ini adalah hari yang bersejarah menurutku. Hari ini hari dimana aku bisa mendapatkan nilai yang nyaris sempurna, ingat itu nyaris sem-pur-na.

Aku datang ke café itu lagi. Entah kenapa sekarang aku punya hobi baru, membaca pesan-pesan dari para pelanggan. Di tempat ini terdapat triplek yang dilapisi sterofoam dan dipasang berjejer di dindingnya. Di setiap meja pengunjung disediakan kertas kecil dan pulpen. Para pengungjung bebas  menulis apapun di sana, boleh kritikan, saran, dan lainnya. Dan aku suka membaca tulisan-tulisan mereka.

Aku duduk di meja yang ada di sudut ruangan. Aku memilih meja itu agar bisa lebih dekat dengan papan sterofoam yang penuh dengan tulisan itu. Aku menikmati strawberry cheesecake & latte sembari membaca tulisan-tulisan yang terpajang di sana. Sesekali aku tertawa melihat tulisan-tulisan itu. Tiba-tiba kudengar suara berat yang menginterupsi hobi baruku itu.

“Hai Baek,” ternyata Chanyeol.

“Hei~” sudut bibirku refleks tertarik kesamping. Aku tersenyum.

“Kau terlihat sangat serius, ada apa?” tanya lelaki jangkung itu sambil duduk di hadapanku.

“Tulisan mereka aneh-aneh,” jawabku sambil tertawa tetap memandang kertas-kertas itu.

Tanpa kusadari dia tersenyum kearahku dan ikut membaca kertas-kertas yang berisi coretan tinta itu.

“Besok kesini lagi?” tanyanya kemudian.

“Mungkin, kalau ada waktu,” jawabku sambil tersenyum

Aku masih berkutat dengan tugasku. Kenapa hari ini harus ada jam tambahan? Padahal aku sudah menjadwalkan kegiatan hari ini serapi mungkin.

Tiba-tiba ku teringat dengan pertanyaan Chanyeol kemarin. Apa sekarang dia ada di sana? Haaaah~ aku harus fokus dengan materi ini.

Sudah 3 hari aku tidak datang ke café itu. Entah kenapa aku ingin sekali datang ke sana.

Bel pintu masuk berdenting saat aku memasuki café ini. Entah kenapa kakiku seperti tertuntun ke papan yang penuh dengan kertas itu. Mataku menangkap sebuah tulisan.

‘08-03-14
 Besok di taman jam 3

Chanyeol’

 

Itukan 3 hari yang lalu. Aku buru-buru pergi keluar menuju taman tapi salah satu barista yang lumayan aku kenal—Xiumin menahanku.

“Baekhyun-ah, sudah 3 hari ada namja yang badannya tinggi ke sini, dia bilang mau bertemu dengan mu. Tapi kau tak pernah datang ke sini, kemana saja kau Baek?” tanya Xiumin.

“Akhir-akhir ini aku sibuk mengerjakan tugas, Oppa,” jawabku murung.

“Ya sudah aku duluan ya~” Aku langsung melangkahkan kakiku keluar tanpa menunggu jawaban dari Xiumin oppa.

Aku kembali ke Cafe itu, berharap dia datang. Ice cream strawberry  yang aku pesan mulai mencair karena lamunanku. Sebenarnya kau ini kenapa? Kau ingin bermain petak umpet atau apa?.

Esoknya aku kembali lagi, berharap kau tiba-tiba muncul. Tapi kau tidak ada. Aku datang lagi esok harinya berharap bel di pintu itu berdenting dan kau tiba-tiba muncul, tapi kau tetap saja tidak terlihat. Aku kembali datang esok harinya, esok harinya lagi, dan esok esok harinya lagi. Tapi itu percuma. Walaupun bel di pintu itu berdenting jutaan kali kau tidak akan pernah muncul sedikitpun di hadapanku.

As the doorbell ring, I could only see the memories not the ‘you’.

 

END

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet