Opening: Playing the Scene

Music Box

Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh Jiali. Ia tidak berhenti tersenyum. Jujur ia tidak mengerti sudah berapa lama ia ada di tempat ini, tapi ia merasa senang bisa keluar dari sini. Jiali tidak bisa berkata bahwa tempat ini menyenangkan, karena sepanjang waktu ia tidak bisa menikmatinya. Karena ia tidur sepanjang waktu, hanya itu yang ia tahu. Ruangan bercat putih ini cukup besar dan hanya Jiali sendiri yang menempatinya. Jendela di ruangan ini langsung mengarah ke sebuah taman kecil yang ada di sebelah gedung. Hari cukup cerah, dan begitu Jiali menatap keluar jendela, ia melihat banyak orang seperti dirinya yang berjalan-jalan di sana.

Seperti dirinya, di kursi roda.

Tapi Jiali tidak akan berjalan-jalan di taman hari ini, karena ia akan pulang ke rumah. Karena itu, ia merasa sangat senang.

“Maaf merepotkanmu, Yeonjoo ssi.” Jiali tersenyum meminta maaf pada seorang gadis seusianya yang sedang membereskan pakaian miliknya. Gadis yang dipanggil Yeonjoo itu hanya tersenyum tipis.

“Tidak apa-apa,” sahut Yeonjoo pendek, kemudian ia lanjut meletakkan pakaian-pakaian Jiali ke dalam tas.

Jiali tersenyum samar memperhatikan Yeonjoo. Ia tidak kenal baik dengan gadis ini karena mereka baru saling mengenal selama dua bulan belakangan. Yeonjoo datang setiap hari ke rumah sakit begitu Jiali bangun dari tidur. Jiali sendiri tidak mengerti bagaimana Yeonjoo bisa datang kemari, tapi sepertinya Yeonjoo adalah salah seorang teman dari kakak laki-lakinya. Yeonjoo terlihat sangat dekat dengan kakak Jiali (Jiali tidak pernah tahu kakaknya punya teman dekat perempuan) dan kakak Jiali pun tidak pernah jauh dari Yeonjoo. Yeonjoo sepertinya orang yang baik. Meski ia tidak banyak bicara dan tidak sering tersenyum, Jiali mendapat firasat bahwa dulu Yeonjoo adalah orang yang sering tersenyum. Sepertinya sudah terjadi sesuatu. Yah, Jiali tidak tahu apa itu.

“Jiali, kau sudah siap?” Kris, kakaknya, menyeruak masuk ke dalam ruangan. Jiali tersenyum melihat kakaknya yang sekarang tampak jauh lebih ramah. Kakaknya tidak sering memasang ekspresi dingin lagi. Ternyata sudah banyak hal yang berubah selama dirinya tertidur. Dan syukurlah semua perubahan itu adalah perubahan yang baik.

“Sudah, Gege.” Jiali menjawab, dan saat itu ia menyadari bahwa Kris tidak datang sendiri. Ah, ia datang bersama dengan salah satu anak buah di divisinya. Kalau Jiali tidak salah ingat, nama orang itu adalah Luhan. Luhan tampak menatap Jiali dengan aneh begitu melihat Jiali yang tersenyum sopan. Hei, kenapa orang itu seperti itu? Jiali keheranan.

 

 

Luhan merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia merasa kesulitan bernapas selama beberapa saat.

Jiali sedang menatap dan tersenyum padanya.

Seharusnya gadis itu tidak melakukan hal itu. Luhan sudah tidak bisa merasakan jantungnya berdetak normal untuk saat sekarang.

Mungkin ini terkesan berlebihan dan aneh. Bagaimana mungkin ia merasakan perasaan semacam itu kepada adik dari atasannya. Ini sungguh tidak bagus, apalagi jika Kris mengetahui hal ini. Luhan bisa mati karena dibunuh. Luhan sangat mengerti bahwa Kris sangat protektif terhadap Jiali dan pastinya tidak ada kakak yang senang jika ada sembarang pemuda yang mendekati adiknya. Luhan merasanya dirinya masih begitu takut untuk mengaku, lagipula jika ia mengaku pun, tidak akan ada akhir cerita yang indah untuknya. Ia tidak merasa Jiali akan menyukai dirinya.

Sebenarnya awal dari semua perasaan ini adalah begitu aksiden itu terjadi pada Jiali tiga tahun yang lalu dan Jiali dinyatakan koma, Luhan menyadari bahwa Kris sangat terpukul. Chief-nya itu begitu terpukul sampai-sampai ia tidak datang rutin mengunjungi Jiali. Kris sering tampak melamun dan sudah jelas ia terobsesi untuk menangkap pelaku pembunuhan berantai yang sempat bertikai dengan Jiali dan membuat Jiali tertabrak mobil. Luhan adalah satu-satunya orang yang rutin mengunjungi Jiali, paling sedikit satu jam setiap hari. Ia selalu mengajak Jiali berbicara tentang apa saja seolah-olah mereka sudah kenal lama, kenyataannya Luhan hanya asal mengenal Jiali dan tidak pernah berbicara sekalipun dengannya.

Luhan merasa aneh karena begitu Jiali bangun, Jiali tidak ingat apapun. Tentu saja gadis itu tidak ingat apapun, ia tertidur. Dan apa yang Luhan sudah lakukan selama tiga tahun belakangan ini serasa hilang begitu saja. Jiali tidak mengingatnya dan apa yang sudah dilakukannya. Luhan sedikit merasa sedih dan kecewa karena hal itu, tapi ia tidak bisa berbuat banyak.

Luhan memutuskan untuk melupakan perasaanya untuk Jiali. Toh jika ia tidak ambil pusing tentang perasaannya, ia akan baik-baik saja. Ia tidak akan merasa sakit dan sedih.

Jiali sudah siap untuk pulang dan kini sedang duduk di kursi roda. Ya, tubuhnya masih belum pulih. Otot-otot di tubuhnya belum bisa bekerja secara maksimal  karena ia sudah lama tertidur. Tapi Jiali sudah latihan berjalan dan menggerakkan tubuhnya selama dua bulan belakangan, Luhan rasa gadis itu akan semakin sehat. Yah, sepertinya tidak ada yang perlu dicemaskan. Luhan akan perlahan melupakan Jiali.

Tapi, Luhan mulai merasa Jiali menatapnya dengan cara yang berbeda. Luhan tahu ia tampak aneh dengan pura-pura dingin seperti ini pada gadis itu, namun ia sendiri tidak bisa menahan dirinya. Ia harus terus seperti ini, dan Jiali tidak boleh mengetahui isi hatinya, sebelum gadis itu berhasil mengingat dirinya. Luhan tertawa dalam hati. Sudah tentu Jiali tidak bisa mengingat dirinya, bukan?

Ia seharusnya tidak berharap sebaliknya.

 

 

Jiali tercengang dengan sebuah kotak yang cukup berat dipangkuannya. Kris tersenyum senang melihat ekspresi terkejut Jiali. Sudah jelas sekali Jiali tidak menyangka akan mendapat sebuah hadiah darinya.

“Apa ini?” Jiali bertanya dengan suaranya yang serak.

“Hadiah untukmu, karena sudah sehat dan kembali ke rumah.” Kris menjawab dengan riang.

“Sungguh?” Jiali mengangkat kotak itu dan mengamatinya lekat-lekat. Ia tidak bisa menebak apa isinya. “Apa isinya?” ia bertanya langsung pada kakaknya.

“Bukalah sendiri, kau akan tahu jawabannya.” Kris menjawab dengan misterius.

Jiali mendengus mengapa kakaknya itu tidak langsung memberitahunya. Namun ia tidak mempermasalahkannya begitu ia melihat apa yang ada di dalam kotak. Sebuah kotak berwarna kecoklatan. Kotak music ini nampak seperti lemari kecil. Jiali segera membuka kotak itu dan alunan music klasik langsung terdengar. Dibalik penutup kotak itu ada sebuah cermin dan ada sebuah boneka manikin kecil yang berputar pada porosnya begitu kotak dibuka dan manekin itu muncul dari bagian bawah kotak. Jiali mengagumi kotak music yang begitu menawan yang kini ada di pangkuannya ini.

“Bagaimana menurutmu?” Kris bertanya di saat Jiali masih mengagumi kotak music barunya.

“Aku menyukainya, Gege. Terima kasih banyak.” Jiali mendongak dan tersenyum menatap kakaknya. Dilihat dari kursi roda seperti ini, kakaknya nampak beberapa kali lebih tinggi dari biasa. Kris tersenyum kecil dan beberapa saat kemudian music berhenti terdengar. Jiali sedikit kecewa mengapa musiknya harus terhenti. Ia sangat menyukai music klasik dari kotak music ini. Musiknya sangat indah. Ia memang selalu menyukai kotak music seperti ini. Ia sudah lama sekali tidak memiliki benda seperti ini. Terakhir kali ia memilikinya saat ia masih berumur enam tahun.

 “Kau tahu kau harus memutarnya dan semacam itu, kau mengerti? Ada pemutar di bagian belakang kotak.” Kris mengambil kotak itu dari Jiali karena adiknya itu sekilas nampak kebingungan, kemudian ia menunjukkan pemutar itu. Ia memutarnya dua kali putaran dan membuka kotaknya lagi. Jiali mengangguk paham. “Di mana kau ingin aku meletakkannya?” Kris bertanya pada Jiali. Jiali tersenyum dan menunjuk meja tinggi di sebelah televisi.

“Di sana saja, Gege.” Ia berkata.

“Baiklah.” Kris berkata riang dan segera meletakkan kotak music itu di sana. Ia segera berbalik menatap Jiali. “Nah, sekarang apa yang ingin kau makan sebagai  makan siang?” ia bertanya.

Jiali mendorong kursi rodanya perlahan mendekati kakaknya. “Apa saja. Apapun yang Gege masak untukku pasti akan kumakan. Tentu Gege tidak lupa aku bukan orang yang pemilih soal makanan, bukan?” Ia tertawa kecil.

Kris mengusap kepala adiknya. “Tentu saja. Aku akan buatkan masakan yang lezat untukmu.”

Jiali mengangguk. Kris berjalan ke dapur dengan segera, meninggalkan Jiali di ruang tengah. Jiali memandang sekeliling. Ia kira rumah mereka berubah setelah sekian lama. Tidak, sama sekali tidak ada yang berubah. Semua letak perabotan tidak terlihat berbeda dari yang terakhir kali ia lihat. Tidak ada perabotan yang baru, semuanya masih terlihat sama. Yang berbeda mungkin hanyalah rumah ini terlihat tidak terawat. Semua perabotan memiliki banyak debu, meski terlihat sesekali dibersihkan. Rumah ini tidak dibersihkan setiap hari. Jiali memaklumi itu karena sepertinya kakaknya jarang dan hampir tidak pernah berada di rumah.

“Kenapa Yeonjoo ssi tidak ikut kemari?” Jiali bertanya saat ia mendengar percikan minyak dari dapur.

“Ah, dia harus pergi ke kampusnya. Dia sedang sibuk dengan tugas akhirnya, kau tahu.” Kris menyahut dari kejauhan.

“Ah, ternyata begitu.” Jiali mengangguk. Ada rasa penasaran yang sangat menggelitik dalam dirinya. Ia sangat ingin bertanya pada kakaknya. “Lalu apa yang akan kalian lakukan setelah dia selesai kuliah, Gege?”

“Apa maksudmu, Jiali? Aku tidak mengerti.” Suara Kris terdengar sedikit bingung.

“Kalian tidak menikah atau semacam itu? Aku tahu kau menyukainya, Ge.” Jiali tertawa-tawa.

“Dari mana kau mendapat pikiran semacam itu, Jiali?” tanya Kris.

Jiali tertawa senang karena dugaannya sangat tepat. Tidak mungkin kakaknya tidak menyukai Yeonjoo. Matanya tertuju pada Yeonjoo setiap waktu. “Aku tahu segalanya.” Sahut Jiali. “Benar, bukan, kau akan menikah dengannya?” tanyanya jenaka.

“Astaga, dia bahkan tidak pernah mengatakan dia ingin menikah denganku. Bagaimana aku bisa menikah dengannya?” Kris menjawab dengan nada gurau. “Sudahlah, tidak usah bertanya lagi tentang itu.”

“Kenapa tidak? Aku ingin terus menanyakannya.”

“Tanya saja, dan kau tidak akan mendapatkan makan siang yang lezat dariku.”

Jiali mendesis. Ia tahu ia tidak bisa melawan kakaknya. “Baiklah, baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi. Aku ingin sekali makan siang.”

“Bagus.” Kris tertawa senang dari dapur.

Jiali tertawa kecut dan perhatiannya kembali tertuju pada kotak music barunya. Menatapnya dari kejauhan seperti ini tampak sangat menyenangkan. Benda berbentuk kotak itu tampak sangat menawan. Jiali menggerakkan kursi rodanya ke arah meja tinggi di sebelah televisi itu. Ia dengan susah payah berusaha mengambil kotak music itu. Meja itu terasa sangat tinggi untuknya yang duduk di kursi roda. Ia terkadang menyesal mengapa ia tidak bisa bergerak bebas seperti dulu. Namun ia tahu semua itu ada saatnya. Ia yakin ia akan segera pulih dan beraktivitas seperti biasa. Setidaknya ia harus yakin ia akan sembuh, dengan begitu ia tidak akan merasa begitu sengsara. Ia mengangguk. Ia memang seharusnya berpikir seperti itu.

Kotak music itu kini sudah ada di tangannya. Jiali tersenyum senang dan membuka kotak music itu. Ia kebingungan saat tidak ada music klasik yang keluar dari kotak itu. Ia mengerjap beberapa kali. Hei, apakah kotak music ini rusak? Pikirnya. Ia jelas melihat Kris sudah memutar pemutar dua kali, berarti sudah jelas kotak music ini akan berbunyi. Tapi mengapa tidak ada suara yang keluar? Manekin kecil itupun sama sekali tidak bergerak. Cermin dalam kotak music itu hanya memantulkan wajah Jiali yang berkerut heran.

Jiali mendengus. Ia bisa mengatasi ini. Ia menutup kotak music itu dan membaliknya. Ia memutar pemutar beberapa kali, berharap music akan terdengar lagi dalam waktu yang cukup lama. Sesuai dengan harapannya, begitu ia membuka kotak music itu untuk kedua kalinya, alunan music klasik yang indah terdengar. Jiali tersenyum puas dan berusaha dengan susah payah meletakkan kembali kotak music itu di atas meja. Kemudian ia memutar kursi rodanya ke arah dapur, dengan masih mendengarkan dan menggumamkan music klasik dari kotak dengan riang. Tapi ada sesuatu yang aneh.

Ia memang menggerakkan kursi rodanya dengan lambat dan ia tahu akan memakan waktu lama baginya untuk sampai di dapur. Yang terdengar saat itu adalah suara-suara dari masakan yang sedang dimasak oleh kakaknya, dan juga derit dari roda kursi rodanya. Tapi ia mendengar ada suara lain.

Langkah kaki, tepat di belakangnya.

Jiali mengerjap dan berpikir bahwa dirinya sedang berhalusinasi, karena yang ada berada di rumah ini hanya dirinya dan kakaknya.

Tapi langkah kaki yang pelan itu masih terdengar, dan semakin dekat. Jiali menghentikan kursi rodanya. Langkah itu sesaat masih terdengar, namun begitu kotak music itu berhenti mengeluarkan music klasik indahnya, langkah kaki itu sudah tidak terdengar lagi.

Astaga, langkah kaki tadi itu apa?

Saat Jiali sedang sibuk memikirkan kemungkinan paling masuk akal mengenai langkah kaki itu, kakaknya keluar dari dapur.

“Makan siang sudah siap. Ayo, kita makan.” Ia mendorong kursi roda Jiali ke arah ruang makan. Jiali berusaha keras untuk tidak terlihat aneh dan ketakutan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 2: whahahaha Luhan bakal tinggaql sama Jiali chukkae!! ^^
keyhobbs
#2
Chapter 2: hyaa~~~aku seneng bnget fanfic ini update,gomawo authornim!~^^ oh y,jd pelaku dr pembunuhan itu belum ketangkep yah??hemm...d tunggu update selanjutnya^^
ss501rocks99 #3
loved it...too nice