Aku dan Dia

Aku dan Dia

Main Cast : Demi (My Friend's Character)

Ryutta (OC)

Rated : T

Genre : Romance, sad/ happy ending

Length : continue

Summary : Perasaan yang sering mereka sebut dengan ‘CINTA’. Cihh, menjijikan. Lebih menjijikan kata ‘itu’ dibandingkan harus memakan buah mengkudu yang super lembek dan bau itu. Tidak manusiawi. Cacian yang pantas di lemparkan kepada kata ‘itu’. Kata yang mampu mengubah kepribadian dan tindak tanduk seseorang dalam mengambil keputusan. Menyiksa batin bagaikan kalium sianida yang tertelan. Membunuh para jiwa yang semula hidup karena kata ‘itu’ menjadi mati pula karena kata ‘itu’.

 

            “ Ehem…ehem, Demi lagi Demi lagi. Kayaknya gue udah bosen banget. Setiap gue datang ke klub. Pasti ketemu Demi terus. kayaknya bentar lagi gue bakal kena sial nih. “ ucap seorang gadis bertubuh ramping sembari melemparkan senyum jahil kepada lawan bicaranya. “ Wuihhh,sembarangan saja kau! Kau fikir aku tak bosan lihat wajah kau.”  Jawab sang lawan bicara tidak kalah ketus dengan nada sindiran yang kentara. “ Hehehe, aku bercanda kok. “ merasa puas sudah menjahili temannya sang gadis bertubuh ramping itu pun mengacungkan kedua jarinya membentuk tanda V yang mewakili permintaan maafnya. Suara tawa menggema memenuhi ruangan klub manga tersebut. Suara nyaring yang keluar dari dua orang gadis yang memang sudah bersahabat sejak menjajakkan kaki sebagai siswa  di sekolah ini, menandakan pertengkaran kecil yang baru saja terjadi telah usai . Demi adalah siswa tingkat dua dan gadis manis  yang kerapkali menggodanya adalah sahabat baiknya Archi. Mereka memulai pertemanan ketika mereka sama-sama diterima di sekolah menengah pertama terbaik di Depok. Gambar. Menulis. Hobi yang kerap kali menjadi bahan argumentasi yang seru dan menguras tenaga dan otak. Tapi hal itu tidak membuat mereka iri atau meregangkan tali persahabatan mereka.

            “ Hei, kau sudah membuat berapa cerita hari ini?” Tanya Demi kepada teman seperjuangannya ini sambil terus menorehkan goresan pensil diatas selembar kertas HVS putih. “ Heh? Berapa cerita? Oeoo,kau fikir aku ini Agatha Christie atau Sir Philip Conan Doyle yang hanya dalam hitungan menit dapat merangkai kata menjadi cerita yang mengagumkan?” jawab Archi dengan suara lebih tinggi satu oktaf  yang sukses membuat Demi berdecak kesal. Bagaimana tidak? Lengkingan suara Archi yang sangat amat cempreng itu sukses membuat goresan pensil itu melenceng dan membuat gambar yang sungguh amat jelek .  Mendapati tatapan kau-bisa-diam-tidak dari sahabatnya ini membuat Archi mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pertengkaran. “ Hei, kau kenapa?” tanyanya dengan nada sedikit melunak. “ Hem,”. “ Oeoo, aku Tanya kau kenapa dan kau hanya membalas dengan ‘hem’ ?” emosi Archi kembali naik ke puncak kepalanya. Archi memang terkenal dengan sedikit sifat temperamen dan pemarahnya. Yang kuat berteman dengan Archi hanya Demi seorang. Mungkin gak tega melihat ekspresi memohon sang kawan yang kerap kali menyerupai orang utan kali ya?. Archi menatap Demi tepat kedalam manik mata gadis itu. Kesedihan menyeruak dibalik mata coklat yang bulat itu. Seakan tahu maksud Archi, Demi hanya menatap Archi dengan tatapan memohon. Dia benar-benar tidak ingin membahas masalah yang baru saja menimpanya. Terlalu menyesakkan.

            Terdengar suara tawa yang cukup memekakan telinga. Seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun yang sedang melaksanakan hobinya merasa sedikit terganggu. Pasalnya suara tawa itu sukses membuat inspirasi cemerlangnya hilang dan berguguran tanpa bisa di kembalikan. Merasa jengah dan kesal. Gadis itu bangkit dari duduknya dan mencari pemilik sumber suara. Kaki jenjangnya berjalan menyusuri rumput-rumput kecil taman belakang sekolah dengan perasaan kesal yang memuncak. Langkah kakinya terhenti tepat di sebuah pohon beringin besar. Sebuah teriakkan hampir saja lolos dengan sempurna kalau saja gerakan refleks kedua tangannya yang segera menutup mulutnya. Gadis itu merapatkan diri pada pohon besar. Berharap dapat mencuri dengar percakapan antara dua orang yang ia kenal. Mereka saling melempar pujian bahkan kerap kali pujian itu berubah menjadi sindiran yang membuahkan tawa diantara keduanya. Seakan memecah jarak yang ada diantara keduanya. Sesekali sang perempuan bertingkah manis dan membuat sang laki-laki mengelus puncak kepala sang perempuan. Tanpa mereka berdua sadari, seorang gadis tengah menahan tangis dengan erangan yang siap meluncur kapan saja. Dia kepalkan erat-erat kedua tangannya seraya memejamkan matanya. Berharap apa yang dilihatnya Cuma mimpi dan ketika bangun nanti semua itu tidak nyata. 1 menit, 2 menit, hingga menit kelima mata sang gadis terbuka dengan lebar terlihat jelas bendungan air mata itu sudah luruh menajadi titik air yang berjatuhan dalam diam. Lemas. Kecewa. Hancur. Dia gigit bibirnya kuat-kuat hingga menorehkan sebuah luka kecil yang mengalirkan sedikit darah segar. Hanya dengan cara itu rasa sakitnya bisa berkurang. Walau hanya sedikit. Sangat sedikit. Perlahan dia ayunkan kaki ini untuk menjauh dari tempat itu. Pandangannya kian memudar seiring derasnya air mata yang turun membasahi pipinya.

            Isakkan kian terdengar. Pilu. Menyesakkan dada. Demi hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Seharusnya ia tahu bahwa orang itu tidak akan pernah menyukainya. Tapi kenapa? Disaat dia yakin akan datangnya cahaya, sang gelap malah merebutnya dengan menyakitkan. Langkahnya kian tak beraturan. Isakkannya menjelma menjadi rintihan pilu berurai air mata. Diam. Dia hentikan langkah kakinya di tepi danau belakang sekolah. Dia hempaskan lutut diatas hamparan padang hijau yang baru ditumbuhi rerumputan kecil. Dia mengaduh kesakitan. Lutunya tersa perih karena hempasannya yang jatuh diatas kerikil kecil. Rasa perih itu menyeruak berganti lumpuh. Ia lumpuh. Hening. Tak ada aktivitas kehidupan yang dapat ditangkap oleh panca inderanya.

            Demi benci dirinya yang seperti ini. Lemah. Bodoh. “BODOHHHH!!!!” teriak Demi disela-sela isakkan tangisnya. “kenapa aku harus menyukai mu? Kenapa harus disaat seperti ini rasa sakit itu datang? Bahkan aku belum memulai apapun?” keluhan-keluhan pilu itu meluncur bebas dari bibir mungil Demi. Dia terus merutuki kesalahan yang bahkan bukan dia pelakunya. Haruskah dia datang dan memarahinya? Haruskah dia kembali menjadi orang bodoh yang akan ditertawakan?. Tidak. Aku harus bangkit dan berhenti. Kalau memang itu yang mereka harapkan dari ku. Mereka tidak akan berhasil membuat seorang Demi tunduk dan lemah hanya karena perasaan yang bisa membuat orang lain bergembira diatas penderitaanya. Perasaan yang sering mereka sebut dengan ‘CINTA’. Cihh, menjijikan. Lebih menjijikan kata ‘itu’ dibandingkan harus memakan buah mengkudu yang super lembek dan bau itu. Tidak manusiawi. Cacian yang pantas di lemparkan kepada kata ‘itu’. Kata yang mampu mengubah kepribadian dan tindak tanduk seseorang dalam mengambil keputusan. Menyiksa batin bagaikan kalium sianida yang tertelan. Membunuh para jiwa yang semula hidup karena kata ‘itu’ menjadi mati pula karena kata ‘itu’.

*

            “ Demi!!!” terdengar suara teriakkan yang memanggil namanya. Bergeming. Ia hanya berdiri terpaku di tempat tatkala langkah kaki orang yang memanggil namanya kian mendekat. Degup jantungnya semakin tak terkendali. Dingin. Beku. Tak ada perlawanan. Tubuh ini hanya diam membatu, menunggu langkah kaki orang itu berhenti di hadapannya. “ Hei, aku meneriakkan nama mu. Dan kau hanya melirik dan berdiam diri disini.” Tuh kan, suaranya aja udah bisa bikin jantung Demi menari lagu hip hop dengan lincahnya. Hening. Logika Demi masih beku tak dapat dikendalikan. Merasa diacuhkan, orang itu berusaha menyadarkan Demi dengan mengguncangkan bahunya. “ Hei..Hei aku ini senior mu. Gunakan bahasa formal ketika berbicara dengan ku.” balas Demi dengan ekspresi tegas dan nada suara yang sangat datar. Itu cara terbaik yang dapat menanggulangi perasaan gugup yang tengah meracau dan mengganggu system kerja otaknya. “ Oey? Aku suda terbiasa seperti ini. Apa aku harus melakukan itu?” ujarnya dengan sedikit nada bersalah dan dia manggaruk tengkuknya dengan mengerakan kakinya. God!!! Aduhhh, kenapa dia bisa bertingkah selucu dan seimut ini sih?. Tuhan mengapa kau menciptakan makhluk yang begitu menggemaskan, rasanya ingin ku cubit pipinya yang gembil itu. “ Berhenti melakukan tindakan kekanakan seperti itu. Aku ini tetap senior mu. Jadi kau harus menggunakan bahasa formal ketika bertemu atau sekedar menyapa ku. paham?” ulang ku dengan sedikit tegas dan agak memaksa sambil mengetuk keningnya tanda ia harus mematuhi perintah ku. “ NO!!! aku tidak mau!!” ucapnya seraya membalikkan badan dan meninggalkan ku yang menatap kepergiannya dengan rasa tidak percaya. Oeoo apa-apaan dia! Kenapa hanya pada ku saja dia tidak mau menggunakan bahasa formal. Perasaan ku semakin yakin bahwa aku bukan orang yang penting untuknya.

*

            Namanya Ryu. Dia adik kelas Demi. Mereka memang berbeda satu tingkat. Tapi mereka mengikuti kegiatan Ekstrakurikuler bersama yaitu menjadi bagian dari bulletin sekolah. Demi dan Ryu memiliki hobi yang sama. Menggambar. Manga lebih tepatnya. Mereka sering terlibat diskusi bersama dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membicarakan hobi menggambar mereka. Tawa riang kerap kali menghiasi percakapan sederhana diantara keduanya. Ryu adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Bahkan dibandingkang dengan Archi yang memiliki sikap temperamen, Ryu jauh lebih sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. Ryu memiliki perawakan tinggi berkulit sawo matang  dengan mata bulat besar berwarna hitam pekat. Penampilannya hampir terlihat tidak ada yang menarik, kalau saja bukan karena sifatnya yang dengan mudah membuat orang merasa nyaman dan tenang berada di sisinya. Dapat dipastikan bahwa Ryu tidak akan memiliki teman di sekolah yang terkenal dengan semua yang berbau kesempurnaan, baik fisik maupun non fisik.

            Demi bukanlah sosok yang mudah untuk berdekatan dengan orang baru dikenalnya. Satu-satunya sahabat yang menjadi tempat curahan hatinya hanya Archi. Teman semasa SMPnya hingga sekarang ini. Tapi Demi juga bukanlah orang yang tidak pandai berteman. Hamper seluruh siswa-siswi di sekolahnya mengenal dan akrab terhadap Demi. Tetap saja pelabuhan terakhir Demi berbagi cerita hanya pada Archi, teman pertama dan sahabat yang  paling mengerti tentang dia. Semua hal yang menyangkut dirinya pasti diketahui oleh Archi. Demi bukanlah orang yang pandai menyembunyikan suatu masalah yang sedang dialaminya, baik itu masalah pribadi atau masalah keluarga. Intinya gak ada satupun tentang dirinya yang Archi tidak ketahui. Seperti sekarang ini. Demi lagi hobi-hobinya ceritain semua hal yang ada sangkut pautnya sama Ryu. Bahkan berbagai hal yang memalukan kerap kali Demi lakukan agar bisa deket sama Ryu. Dan dengan persaan setengah hati Archi dengan setia menemani Demi melakukan hal-hal memalukan itu.

            “ woyyy!!! Kamu serius mau ngelakuin hal ini?” Tanya Archi dengan mantap seraya menatap manik mata Demi. “Yup! Kenapa? Kamu gak mau membantu?” Tanya Demi tidak sabaran. “Yaiyalah!!! Coba fikirkan baik-baik!!! Masa’ iya aku biarin kamu masuk ke toilet Laki-laki hanya karena ingin mengambil sample urinenya buat diteliti?!!!” balas Archi dengan nada yang sudah sangat emosi. “Sssttt, jangn berisik dong Archi. Nanti kalau ada yang denger gimana? Malu kan, kita lagi ada di depan toiletnya tauuu” ujar Demi seraya membungkam mulut sahabatnya itu.

            Matahari kian menyembunyikan rona kemerahannya dibalik kelamnya langit malam. Dua orang gadis itu masih setia menunggu hasil laboratorium di sebuah rumah sakit. Raut kecemasan tampak menghiasi wajah gadis yang tengah menggoreskan garis diatas sebuah kertas putih. Berbeda dengan gadis tadi, gadis bertubuh ramping dan berkaki jenjang ini tengah sibuk dengan laptopnya dan suara ketukan papan keyboard mewarnai detik-detik menunggu mereka.

~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet